Sastra Moderen
Chairil Anwar. Aku ini Binatang Jalang
Apero Fublic.- Chairil Anwar, lahir pada tanggal 26 Juli
1922 di Medan, meninggal pada 28 April 1949 di Jakarta. Ia pernah belajar di
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). MULO pada zaman kemerdekaan
Bangsa Indonesia sama dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), tetapi tidak
selesai.
Oleh. Chairil Anwar. 1946.
Dia pernah menjadi redaktur “Ge-langgang” atau pada bagian Ruang
Kebudayaan Siasat, 1948-1949, dan redaktur Gema
Suasana 1949. Dalam antologi puisi yang lain oleh Chairil Anwar,
seperti Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang
Terampas dan Yang Terputus (1949), dan Tiga Menguak Takdir bersama
Rivai Apin dan Asrul Sani 1950.
Sejumlah prosanya dihimpun oleh H.B Jassin
dalam buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 tahun 1956.
Selain menulis sajak Chairil juga menerjemahkan karya sastra, diantaranya Pulanglah
Dia si Anak Hilang karya oleh Andre Gide pada tahun 1948, dan Kena
Gempur tulisan John Steinbeck tahun 1951.
Sajak-sajak Chairil banyak
diterjemahkan ke Bahasa Inggris. Diantara terjemahan oleh Burton Raffel, Selected
Poems (of) Chairil Anwar (1962), dan The complete poetry and
prose of Chairil Anwar (1970). Sementara Liauw Yock Fang yang dibantu
H.B. Jassin berjudul The Complete poems of Chairil Anwar (1974).
Kemudian sajak Chairil juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman oleh Walter
Karwath berjudul Feuer und Asche (1978). Chairil Anwar lazim
dianggap sebagai pelopor “Angkatan 45” dalam sastra Indonesia. Berikut
sajak-sajak kenangan dari Chairil Anwar, dalam antologi puisi Aku Ini
Binatang Jalang, dan Antologi Deru Campur Debu.
NISAN
Untuk
nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha bertakhta.
Chairil Anwar, Oktober 1942.[1]
TAK SEPADAN
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu jua dinding terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal kerangka.
Chairil Anwar, Februari 1943.[2]
SENDIRI
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang meminta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari setiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu
nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: ibu! Ibu!
Chairil Anwar, Februari 1943.[3]
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri.
Dan aku tidak akan lebih peduli.
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Chairil Anwar, Maret 1943.[4] (versi DCT)
SEMANGAT
Kalau sampai waktuku
Kutahu tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu!
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kebawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih dan peri,
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Chairil Anwar, 1943.[5] (versi KT)
KESABARAN
Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing ngonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan abu
Aku hendak berbicara
Suara ku hilang tenaga terbang
Sudah! Tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli
Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi
Kuulangi yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba
Chairil Anwar, Maret 1943.[6]
DENDAM
Berdiri tersentak
Dari mimpi aku bengis dielak
Aku tegak
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Tangan meraba ke bawa bantalku
Keris berkarat kugenggam di hulu
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Aku mencari
Mendadak mati kuhendak berbekas di jari
Aku mencari
Diri tercerai dari hati
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Chairil Anwar, 13 Juli 1943.[7]
SAJAK PUTIH
buat
tunanganku Mirat
bersandar pada tari warna pelangi
kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun bergelut senda
sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
meriak muka air kolam jiwa
dan dalam dadaku memerdu lagu
henari menari seluru aku
hidup dari hidupku, pintu terbuka
selama matamu bagiku menengadah
selama kau darah mengalir dari luka
antara kita Mati datang tidak membelah...
Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia
sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang
mati di alam ini!
Kucuplah aku terus, kucuplah
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam
tubuhku...
Chairil Anwar, 18 Januari 1944.[8]
KEPADA PENYAIR BOHANG
Suaramu
bertanda derita laut tenang...
Si
Mati ini padaku masih berbicara
Karena
dia cinta, di mulutnya membusa
Dan
rindu yang mau memerahi segala
Si
Mati ini matanya terus bertanya!
Kelana tidak bersejarah
Berjalan kau terus!
Sehingga tidak gelisah
Begitu berlumuran darah.
Dan duka juga menengadah
Melihat gayamu melangkah
Mendayu suara patah:
“Aku saksi!”
Bohang,
Jauh di dasar jiwamu
Bertumpuk suatu dunia;
Menguyup rintik satu-satu
Kaca dari dirimu pula....
Chairil Anwar, 1945.[9]
KEPADA PELUKIS APANDI
Kalau, ‘ku habis-habis kata, tidak lagi
berani memasuki rumah sendiri, terdiri
di amabang penuh kupak,
adalah karena kesementaraan segala
yang mencap tiap benda, lagi pula terasa
mati kan datang merusak.
Dan tangan ‘kan kaku, menulis berhenti,
kecemasan derita, kecemasan mimpi;
berilah aku tempat di menara tinggi,
di mana kau sendiri meninggi
atas keramaian dunia dan cedera,
lagak lahir dan kelancungan cipta,
kau memaling dan memuja
dan gelap-tertutup jadi terbuka!
Chairil Anwar, 1946.[10]
KABAR DARI LAUT
Aku memang benar tolol ketika itu,
mau pula membikin hubungan dengan kau;
lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut
pilu,
berujuk kembali dengan tujuan biru.
Di tubuhku ada luka sekarang,
Bertambah lebar juga, mengeluar darah,
Di bekas dulu kau cium napsu dan garang;
Lagi aku pun sangat lemah serta menyerah.
Hidup berlangsung antara buritan dan
kemudi.
Pembatasan Cuma tambah menyatukan kenang.
Dan tawa gila pada whisky tercermin
tenang.
Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan
memuji,
Atau di antara mereka juga terdampar,
Burung mati pagi hari di sisi sangkar?
Chairil Anwar, 1946.[11]
MALAM DI GUNUNG
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin
dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab
kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan
bayangan!
Chairil Anwar, 1947.[12]
PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita
bikin janji
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu,
Dipanggang atas apimu, digarami oleh
lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di
sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita
berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita
bertolak & berlabu
Chairil Anwar, 1948.[13]
KEPADA PEMINTA-MINTA
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercecar semua di muka
Nanah meleleh dari luka
Sambil berjalan kau usap juga.
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah.
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku.
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Chairil Anwar, Juni 1943.[14]
SURAT-SURAT
CHAIRIL ANWAR DENGAN H.B. JASSIN
15
Maret 1943
Jassin,
Tadi
datang. Rumah kosong. Ada menunggu kira-kira sejam. Sementara itu tentu
ta’dapat melepaskan tangan dari lemari buku. kubawa
1. H.R. Hoist, De nieuwer Getroste
2. H.R. Hoist, Keur uit de Gedichten
3. Huizinga, In de schaduw van Morgen
4. Huizinga, Cultuur
Historische Verkenningen.
Maksud datang tentu dapat Jassin menerka.
Minta terima kasih 1001 kali.
Kalau sempat besok datang ke Balai
Pustaka. Jassin,
Aku tak bertukar. Masih seperti dulu juga
lagi. tapi kalau 10 hari lagi di hukum tentu lemah dan jinak.
Releaas perkaraku akan membuktikan aku ta’
bersalah.
Apa?! Disumpahi Eros.
Kuminta
padamu sekali lagi 1001 terimah kasih
Aku
katakan: You are well.
Ch.
Anwar[15]
Surat kedua.
10 April 1944
Jassin,
Yang
kuserahkan padamu – yang kunamakan sajak-sajak!
- Itu
hanya percobaan kiasan-kiasan baru.
Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa
“tingkat percobaan”
Musti di lalui dulu, baru terhasilkan
sajak-sajak sebenarnya.
Ch.
Anwar[16]
Di dalam
buku Aku Binatang Jalang ini terdapat enam surat Chairil Anwar
yang dikirim ke H.B. Jassin. Surat pertama memberitahukan bahwa Chairil Anwar
suka membaca buku. Surat kedua dalam tulisan ini menunjukkan bahwa Chairil
Anwar benar-benar menghayati sajak-sajak yang ia buat.
Bahwa Chairil Anwar
benar-benar serius dalam sastra kepenyairan. Dalam surat yang lain ke H.B.
Jassin juga mengenai kesastraan. Dalam buku ini, dimuat biografi singkat
Chairil Anwar beserta fotonya. Sedangkan ulasan dari beberapa sajak diberikan oleh
Sapardi Djoko Damono, seperti mengulas puisi Aku, Derai-Derai Cemara,
Persetujuan Dengan Bung Karno, yang ditulis di Depok pada akhir tahun 1985.
Sedangkan kata pembuka dalam buku ini baru ditulis tahun 2011 di Jakarta oleh
Nirwan Dewanto. Buku terdiri dari 131 halaman, yang memuat 82 puisi dan enam
surat-surat Chairil Anwar kepada H.B. Jassin. Editor buku oleh Pamusuk Eneste,
diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, di Jakarta tahun 2012. Buka sudah
diterbitkan sejak tahun 1986 dan sampai cetakan terakhir yang di ulas ini
cetakan tahun 2012.
Antologi
Puisi
DERU
CAMPUR DEBU
Chairil
Anwar
Buku
Antologi Puisi Deru Campur Debu diterbitkan oleh Dian rakyat,
Jakarta: 2000. Buku 47 halaman dengan 40 puisi, hampir semua sajak diberikan
gambar ilustrasi menjelaskan maksud dan makna syair. Dibawa ini adalah cuplikan
puisi Chairil Anwar dalam Antologi puisi Deru Campur Debu.
Salah
satu sajak yang sama adalah sajak berjudul Aku, tetapi tidak
dijelaskan versi mana. Dalam antologi puisi ini tidak banyak keterangan selain
bentuk kumpulan puisi saja. Tidak ada biografi, juga pandangan dan tanggapan
dari parah ahli sastra Indonesia dan sebagainya.
AKU
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih dan tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.[17]
HAMPA
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas –renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.[18]
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal perahu tiada
berlarut
Menghembus diri dalam mempercaya mau
berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga
kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari
berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak
bergerak
Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. aku sendiri. Berjalan
Menyisir semenanjung, masing pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekali selamat
jalan
Dari pandai ke empat, seduh penghabisan
bisa terdekap.[19]
Oleh. Chairil Anwar. 1946.
Oleh: Ramadhani. S.Hum.
Editor. Desti. S.Sos.
Sumber dan Hak Cipta: New Life Oftions. Deru Campur Debu. Jakarta: Dian rakyat,
2000.
Pamusuk Eneste, (ed). Aku
Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012.
Foto Chairil: Pamusuk Eneste, (ed). Aku
Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012.
[1]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
Ini Binatang Jalang, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 5.
[2]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
Ini Binatang Jalang, h. 10.
[3]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
Ini Binatang Jalang, h. 14.
[4]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
Ini Binatang Jalang, h. 17.
[5]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
Ini Binatang Jalang, h. 18.
[6]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
Ini Binatang Jalang, h. 24.
[7]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
Ini Binatang Jalang, h. 39.
[8]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
Ini Binatang Jalang, h. 50.
[9]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
Ini Binatang Jalang, h. 57.
[10]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
Ini Binatang Jalang,h. 64.
[11]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
Ini Binatang Jalang, h. 70.
[12]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
Ini Binatang Jalang, h. 85.
[13]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
Ini Binatang Jalang, h. 89.
[14]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
Ini Binatang Jalang, h. 107.
[15]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
Ini Binatang Jalang, h. 113.
[16]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
Ini Binatang Jalang, h. 118.
[17]New Life Oftions, Deru
Campur Debu, Dian rakyat, Jakarta: 2000, h. 7.
[18]New Life Oftions, Deru
Campur Debu, Dian rakyat, Jakarta: 2000, h. 8.
[19]New Life Oftions, Deru
Campur Debu, Dian rakyat, Jakarta: 2000, h. 39.
Sy. Apero Fublic
Via
Sastra Moderen
Post a Comment