Pantun
e-Antologi Pantun Daerah Klasik
Apero
Fublic.- Pantun adalah jenis karya sastra klasik masyarakat di Nusantara.
Pantun juga disebut sebagai bentuk puisi lama. Setiap wilayah di daerah
Nusantara memiliki pantun-pantun dalam bahasa daerah mereka. Pantun daerah
adalah jenis pantun yang berasal dari suatu masyarakat di daerah tertentu.
Menggunakan bahasa, dialek, dan logat kedaerahan. Di masa sekarang pantun daerah semakin hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia. Orang-orang tua kurang memiliki kesadaran untuk mewarisikan sastra asli warisan budaya bangsa tersebut. Selain itu, anak-anak muda generasi sekarang juga merasa enggan mempelajari kebudayaan asli mereka.
Sebutan kuno, ketinggalan zaman akan di ujarkan untuk pantun daerah mereka sendiri. Maka dari itu, apero fublic membuat halaman khusu untuk pantun daerah. Diharapkan pada masyarakat di suatu tempat dapat menyumbangkan pantun daerahnya untuk di publikasi di apero fublic.
1. Pantun dari Sastra Sumatera Barat.
Asam kandih asam galugua.
Katigo asam si riang-riang.
Managih maik di dalam kubur
Manganang nasib indak sambayang.
Asam kandis asam galugur.
Ketiga asam si riang-riang.
Menangis mayat di dalam kubur.
Mengenang nasib tidak sembahyang.
(Bakar. 1981:49).
2. Pantun dari Sastra Makasar.
Assambayangko nutammbung.
Pakajai amalaknu.
nanujarreki.
Kananna anggrong gurunnu.
Bersembahyang dan berserahdirihlah.
Serta perbanyaklah amalmu
dan teguhkanlah.
ajarannya gurumu.
(Gani. 1988:47-48).
3. Pantun Sastra Melayu.
Pisang emas bawa berlayar.
Masak sebiji di atas peti
Utang emas bole dibayar.
Utang budi dibawa mati.
Kulit lembu celupkan samak.
Mari dibuat tapak kasut.
Harta di dunia janganlah tamak.
Kalau mati tidak megikut.
(Supardo, Nursinah. 1960:21).
4. Pantun dari Sastra Minangkabau.
Urang Kayo
Dusun Barubah Manjadi Koto
Tiok suku ado pangulunyo
Martabat katigo di urang kayo.
Mamaliharo nagari usah binaso
Dusun berubah menjadi kota.
Tiap suku ada penghulunya
Martabat ketiga pada orang kaya
Memelihara negeri usah binasa.
(Bakar, 1997/1998: 57).
5. Pantun dari Sastra Totoli. Sulawesi Utara
I sadang ilaeng bona.
Bobo poguru ponanga.
Dunia kode sandona.
Akhirat tolotona.
Demi daun bona.
Dek belajar dan bertanyalah.
Dunia hanya pinjaman.
Akhirat jua yang sesungguhnya.
I sadang ilaeng malisa.
Mou geiga tumadika
Baga lube pandita.
Mai mangajari kita.
Demi daun lombok
Biar bukan orang bangsawan
Asalkan pintar mengaji
Datanglah memberi pengajaran kepada kami.
I sadang ilaeng agu
Apadaan pokonutu
Ana geiga tutuu.
Kutulan dei nuu.
Demi kayu agu.
Perkataan haruslah benar.
Kalau salah.
Saya tunjuk mukamu.
I sadang ilaeng tabako.
Mau inako-inako.
Jagai dalam dako.
Dalan mopido lalako.
Demi daun tembakau
Biar kemana-mana
Ini jalan yang lurus
Jalan yang bagus di lalui
Gaukan dei buntuna
Mapido kalakuana
Mau namoga bukuna.
Kalamboti sarang lipuna.
Raja di buntuna
Bagus kelakuannya
Biar sisa tulangnya
Tapi ingat rakyatnya.
(Kangiden, 1994:59-60).
6. Pantun dari Sastra Melayu Riau.
Buah redan setangkai lebat
Sesudah masak manis rasanya
Bertualah badan pandai berhemat
Berlaku cermat banyak untungnya.
Elok pandan daunya lebat.
Dibuat tikar elok rupanya.
Elok badan suka berhemat.
Sampai tua elok nasibnya.
Kalau pandai mencelup pukat
Pukat dicelup berwarna merah
Kalau pandai berhemat cermat
Seumur hidup tidakkan susah.
Kalau lebat buanya lada
Tanda subur tempat tumbuhnya
Hemat dan cermat selagi muda.
Hidup makmur di hari tua.
Pandai memukat ikanpun dapat.
Naik kerumah dibuat lauk.
Pandai berhemat hidup selamat.
Bekerja cermat hasilnya elok.
(Effendy, 1994:276-277).
7. Pantun dari Sastra Bugis, Makasar.
Law wettue
Sitinajai ripakkeguna wettue
Au temmappakegunae wettu
Ia naritu tau kuttu.
Kutue teppauno.
Poleana kuttue temmapakbinasa.
Ia kiai pasussai napasessa.
Kuae topa mappan rasa-rasa.
Pada saat sekarang ini.
Sepatutnya waktu itu dimanfaatkan.
Orang yang tak menggunakan waktu.
Orang seperti itu pemalas.
Kemalasan memang tak membunuh.
Hasil kemalasan tidak membinasakan.
Tapi menyulitkan dan menyiksa.
Serta membuat sengsara.
(Sikki, 1998:39).
8. Pantun dari Sastra Melayu, Belitung.
Neq Mong dari Melake
Tumpa minyaq dalam tempurung
Jangan sombong sidak sekate
Same-same anak belitung
Nenek mong dari Malaka
Tumpah minyak dalam tempurung.
Jangan sombong tidak sekata
Sama-sama anak belitung.
(Aliana, 1992:13).
Pantun
Halaman dalam pengembangan.
Oleh. Tim Apero Fublic.
Editor. Desti. S.Sos
Fotografer. Dadang Saputra.
Palembang, 11 Januari 2019.
Sumber foto sunset. Nur Aisyah.
Menggunakan bahasa, dialek, dan logat kedaerahan. Di masa sekarang pantun daerah semakin hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia. Orang-orang tua kurang memiliki kesadaran untuk mewarisikan sastra asli warisan budaya bangsa tersebut. Selain itu, anak-anak muda generasi sekarang juga merasa enggan mempelajari kebudayaan asli mereka.
Sebutan kuno, ketinggalan zaman akan di ujarkan untuk pantun daerah mereka sendiri. Maka dari itu, apero fublic membuat halaman khusu untuk pantun daerah. Diharapkan pada masyarakat di suatu tempat dapat menyumbangkan pantun daerahnya untuk di publikasi di apero fublic.
1. Pantun dari Sastra Sumatera Barat.
Asam kandih asam galugua.
Katigo asam si riang-riang.
Managih maik di dalam kubur
Manganang nasib indak sambayang.
Asam kandis asam galugur.
Ketiga asam si riang-riang.
Menangis mayat di dalam kubur.
Mengenang nasib tidak sembahyang.
(Bakar. 1981:49).
2. Pantun dari Sastra Makasar.
Assambayangko nutammbung.
Pakajai amalaknu.
nanujarreki.
Kananna anggrong gurunnu.
Bersembahyang dan berserahdirihlah.
Serta perbanyaklah amalmu
dan teguhkanlah.
ajarannya gurumu.
(Gani. 1988:47-48).
3. Pantun Sastra Melayu.
Pisang emas bawa berlayar.
Masak sebiji di atas peti
Utang emas bole dibayar.
Utang budi dibawa mati.
Kulit lembu celupkan samak.
Mari dibuat tapak kasut.
Harta di dunia janganlah tamak.
Kalau mati tidak megikut.
(Supardo, Nursinah. 1960:21).
4. Pantun dari Sastra Minangkabau.
Urang Kayo
Dusun Barubah Manjadi Koto
Tiok suku ado pangulunyo
Martabat katigo di urang kayo.
Mamaliharo nagari usah binaso
Dusun berubah menjadi kota.
Tiap suku ada penghulunya
Martabat ketiga pada orang kaya
Memelihara negeri usah binasa.
(Bakar, 1997/1998: 57).
5. Pantun dari Sastra Totoli. Sulawesi Utara
I sadang ilaeng bona.
Bobo poguru ponanga.
Dunia kode sandona.
Akhirat tolotona.
Demi daun bona.
Dek belajar dan bertanyalah.
Dunia hanya pinjaman.
Akhirat jua yang sesungguhnya.
I sadang ilaeng malisa.
Mou geiga tumadika
Baga lube pandita.
Mai mangajari kita.
Demi daun lombok
Biar bukan orang bangsawan
Asalkan pintar mengaji
Datanglah memberi pengajaran kepada kami.
I sadang ilaeng agu
Apadaan pokonutu
Ana geiga tutuu.
Kutulan dei nuu.
Demi kayu agu.
Perkataan haruslah benar.
Kalau salah.
Saya tunjuk mukamu.
I sadang ilaeng tabako.
Mau inako-inako.
Jagai dalam dako.
Dalan mopido lalako.
Demi daun tembakau
Biar kemana-mana
Ini jalan yang lurus
Jalan yang bagus di lalui
Gaukan dei buntuna
Mapido kalakuana
Mau namoga bukuna.
Kalamboti sarang lipuna.
Raja di buntuna
Bagus kelakuannya
Biar sisa tulangnya
Tapi ingat rakyatnya.
(Kangiden, 1994:59-60).
6. Pantun dari Sastra Melayu Riau.
Buah redan setangkai lebat
Sesudah masak manis rasanya
Bertualah badan pandai berhemat
Berlaku cermat banyak untungnya.
Elok pandan daunya lebat.
Dibuat tikar elok rupanya.
Elok badan suka berhemat.
Sampai tua elok nasibnya.
Kalau pandai mencelup pukat
Pukat dicelup berwarna merah
Kalau pandai berhemat cermat
Seumur hidup tidakkan susah.
Kalau lebat buanya lada
Tanda subur tempat tumbuhnya
Hemat dan cermat selagi muda.
Hidup makmur di hari tua.
Pandai memukat ikanpun dapat.
Naik kerumah dibuat lauk.
Pandai berhemat hidup selamat.
Bekerja cermat hasilnya elok.
(Effendy, 1994:276-277).
7. Pantun dari Sastra Bugis, Makasar.
Law wettue
Sitinajai ripakkeguna wettue
Au temmappakegunae wettu
Ia naritu tau kuttu.
Kutue teppauno.
Poleana kuttue temmapakbinasa.
Ia kiai pasussai napasessa.
Kuae topa mappan rasa-rasa.
Pada saat sekarang ini.
Sepatutnya waktu itu dimanfaatkan.
Orang yang tak menggunakan waktu.
Orang seperti itu pemalas.
Kemalasan memang tak membunuh.
Hasil kemalasan tidak membinasakan.
Tapi menyulitkan dan menyiksa.
Serta membuat sengsara.
(Sikki, 1998:39).
8. Pantun dari Sastra Melayu, Belitung.
Neq Mong dari Melake
Tumpa minyaq dalam tempurung
Jangan sombong sidak sekate
Same-same anak belitung
Nenek mong dari Malaka
Tumpah minyak dalam tempurung.
Jangan sombong tidak sekata
Sama-sama anak belitung.
(Aliana, 1992:13).
Pantun
Halaman dalam pengembangan.
Oleh. Tim Apero Fublic.
Editor. Desti. S.Sos
Fotografer. Dadang Saputra.
Palembang, 11 Januari 2019.
Sumber foto sunset. Nur Aisyah.
Catatan: Yang
mau belajar menulis: mari belajar bersama-sama: Bagi teman-teman yang
ingin mengirim atau menyumbangkan karya tulis seperti puisi, pantun, cerpen,
cerita pengalaman hidup seperti cerita cinta, catatan mantera, biografi diri
sendiri, resep obat tradisional, quote, artikel, kata-kata mutiara dan
sebagainya.
Kirim saja ke Apero Fublic. Dengan syarat karya kirimannya
hasil tulisan sendiri, dan belum di publikasi di media lain. Seandainya sudah
dipublikasikan diharapkan menyebut sumber. Jangan khawatir hak cipta akan
ditulis sesuai nama pengirim.
Sertakan nama lengkap, tempat menulis, tanggal
dan waktu penulisan, alamat penulis. Jumlah karya tulis tidak terbatas, bebas.
Kirimkan lewat email: fublicapero@gmail.com. idline: Apero
Fublic. Messenger. Apero fublic. Karya kiriman tanggung jawab sepenuhnya
dari pengirim.
Sy. Apero Fublic
Via
Pantun
Post a Comment