Islam dan Budaya
Hilangnya Arsitektur Asli Atap Masjid Sumatera Selatan.
Apero Fublic.- Arsitektur
Masjid Agung Palembang Adalah Induk Dari Atap Masjid-Masjid Ttradisional di
Sumatra Selatan. Mengapa demikian, semua atap masjid dahulu semuanya sama
mengikuti bentuk atap Masjid Agung Palembang. Yang tersebar di seluruh Sumatera
Selatan dan Provinsi Bangka Belitung. Sehingga dinamakan atap masjid tipologi
Mustaka Sumatera Selatan.
Kota
Palembang lahir dari dua peradaban besar, yaitu Kerajaan Sriwijaya dan
Kesultanan Palembang Darussalam. Sudah lazim, apabila setiap peradaban selalu
mewarisi peninggalan-peninggalan sejarah, baik peninggalan berbentuk material
dan peninggalan berbentuk non material. Peninggalan Kerajaan Sriwijaya bentuk
material, seperti prasasti-prasasti yang banyak ditemukan di dalam wilayah Kota
Palembang, diantaranya Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Bukit
Siguntang.
Kota Palembang dinobatkan sebagai Kota Tertua di
Indonesia, dihitung dari 17 Juni 682 (683) Masehi, berdasarkan tahun yang
tertera pada prasasti Kedukan Bukit. Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam
juga meninggalkan jejak, seperti peninggalan sejarah berupa material bangunan,
seperti Benteng Kuto Besak, Kompleks Makam Kawah Tekurep, dan Masjid Agung
Palembang.
Peninggalan yang paling fenomenal adalah Masjid Agung Palembang.
Sebelumnya Masjid Agung Palembang bernama Masjid Sulton, kemudian pada masa
Pemerintahan Kolonial Belanda (Keresidenan Palembang), dirubah penyebutan-nya,
menjadi Masjid Agung. Kemudian dalam perkembangannya bahasa penyebutan, menjadi
Masjid Agung Palembang.
Masjid Agung Palembang dibangun pada masa Pemerintahan Sultan Mahmud
Badaruddin I, tepatnya pada tahun 1738 Masehi. Sedangkan peresmiannya pada hari
Senin 28 Jumadil Awal 1151 Hijriyah, atau 26 Mei 1748 Masehi. Pada zamannya,
Masjid Agung Palembang menjadi masjid terindah dan terbesar di Nusantara.
Sketsa Masjid Agung Palembang pernah menjadi sampul sebuah majalah di
Eropa, Le Moniteur des Indes-Orientales (Djohan Hanafia:
1988:9). Arsitektur Masjid Agung Palembang adalah bentuk perpaduan budaya,
Melayu, Jawa, Cina, dan Eropa. Tetapi khusus untuk arsitektur atap, Masjid
Agung Palembang memiliki corak tersendiri, yaitu perpaduan budaya Melayu dan
budaya Cina.
Menurut bapak Prof. Dr. H. Baderel Munir, M.A, dalam pembangunan
Masjid Agung Palembang, yaitu kepala tukang atau arsiteknya adalah seorang Cina
Muslim yang mengabdi pada Sultan Mahmud Badaruddin I. Sehingga, terjadinya
bentuk perpaduan antara arsitektur Melayu dan Cina tidak dapat dihindari.
Sesungguhnya arsitektur masjid tradisional, bukan hanya tipologi
arsitektur Masjid Agung Palembang yang ada di Indonesia. Di
Indonesia terdapat tiga tipologi umum atap masjid tradisional, yaitu
tipologi atap mustaka, atap tajuk, dan atap
undak (tumpang). Kata mustaka berarti kepala dalam bahasa Indonesia.
Sedangkan tipologi atap mustaka berciri, bidang miring atap sedang, dengan
kemiringan sampai 40 atau 50 derajat.
Kemudian pada tingkatan kedua berleher
dan atap ketiga membentuk ruang bujur sangkar. Sehingga atap masjid ter-atas
seolah-olah terpisah oleh leher dan membahu. Kedua, tipologi atap Tajuk, dalam
bahasa Indonesia tajuk berarti tinggi atau tampak tinggi. Atap tajuk berciri,
bidang miring mencapai 70 sampai 80 derajat. Dengan sayap atap ter-struktur,
membentuk kerucut ke atas sehingga tampak bentuk segi tiga.
Pada atap ter-atas
tidak tampak berleher. Atap tajuk banyak terdapat di wilayah bagian barat Pulau
Sumatra, seperti Bengkulu, Jambi, Riau, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Ketiga, adalah tipologi atap undak, yang juga sering disebut atap tumpang.
Undak berarti bersusun-susun, bertingkat-tingkat.
Atap undak wilayah
pesebarannya meliputi wilayah Indonesia Timur, seperti Jawa Timur, Lombok,
Maluku. Tipologi undak menyebar ke Kalimantan, seperti atap Masjid Sultan
Adurrahman, Pontianak. Ciri-ciri atap undak atau tumpang bidang miring atapnya
landai, dengan 30 sampai 40 derajat. Tingkatan atap seimbang, sayap atap
ter-struktur memanjangnya, sehingga tampak bersusun, atau berundak-undak. Pada
atap ketiga tidak tampak berleher. Berikut sketsa tipologi atap masjid
tradisional Indonesia.
Gambar A.
Tipologi Atap Tradisional Masjid Indonesia. 1. Atap Tipe Mustaka. 2. Atap Tipe Undak atau Tumpang. 3. Atap Tipe Tajuk. Diolah Dari Berbagai Sumber. Sketsa: Joni Apero.
Tipologi Atap Tradisional Masjid Indonesia. 1. Atap Tipe Mustaka. 2. Atap Tipe Undak atau Tumpang. 3. Atap Tipe Tajuk. Diolah Dari Berbagai Sumber. Sketsa: Joni Apero.
Gambar. B.
Sketsa
Tipelogi Atap Mustaka: 1.
Atap Mustaka Sumatra Selatan. 2. Atap Mustaka Kalimantan. 3.
Atap Mustaka Jawa. Sumber:
Diolah Dari Berbagai Sumbe. Sketsa:
Medikal Rohim.
Keterangan:
gambar A adalah sketsa bentuk-bentuk umum dari tipologi atap Tradisional
Indonesia, . Gambar sketsa No. 1 dari gambar A adalah bentuk tipologi atap
Mustaka. Sketsa No. 2 Gambar A, adalah bentuk tipologi atap Undak atau Tumpang.
Sketsa No. 3 dari gambar A adalah bentuk tipologi atap Tajuk.
Dari ketiga jenis
tipologi umum atap masjid tradisional Indonesia tersebut, yang memiliki jenis
kedaerahan adalah atap mustaka. Ada tiga corak aliran pada tipologi atap
mustaka. Tiga aliran tipologi atap mustaka tersebut, yaitu tipologi atap
mustaka Sumatra Selatan, tipologi atap mustaka Pulau Jawa, dan Tipologi atap
mustaka Kalimantan.
Perhatikan sketsa pada gambar B. Sketsa no. 1 dari gambar B, adalah
tipologi atap mustaka asli Sumatra Selatan. Sketsa No. 2, dari gambar B, adalah
tipologi atap mustaka Kalimantan. Sketsa No. 3 dari gambar B, adalah tipologi
atap mustaka Pulau Jawa.
Tipologi atap Mustaka Sumatra Selatan, bercirikan pada
leher atap terdapat ukiran-ukiran, dan penutup kolong atap Berbidang miring. Di
atas atap mustakanya, terdapat banyak hiasan duri-duri (tanduk kambing),
sedangkan bentuk limas atap teratas tidak terlalu rendah atau tegak. Untuk ciri-ciri
atap mustaka Pulau Jawa pada bagian leher atap lurus, dan lebih pendek.
Kadang
leher atap tidak tampak, atau berhimpit. Seandainya leher atap tampak, tetapi
leher atapnya lurus atau tegak, dan tidak diukir. Sedangkan atap mustaka
Kalimantan bercirikan atap tegak tinggi meruncing ke atas. Leher atap lebih
panjang dari leher atap mustaka Sumatra Selatan dan atap leher mustaka Pulau
Jawa.
Semua masjid-masjid tradisional Indonesia tersebut adalah bentuk
peninggalan kerajaan Islam di Nusantara, yang tersebar dari Aceh, dan
keseluruhan Nusantara. Masjid tradisional atap limas bertingkat-tingkat tertua
di Indonesia adalah Masjid Baiturrahman lama di Aceh.
Tidak mengherankan,
karena memang Aceh lebih dahulu masuk Islam dibanding wilayah lain di Nusantara.
Pada zaman sekarang, arsitektur masjid tradisional mulai punah. Disebabkan
beberapa faktor, seperti habisnya sumber daya alam, berkembangnya teknologi,
kuatnya pengaruh kebudayaan lain, seperti penggunaan kubah pada desain baru
masjid-masjid di Indonesia.
Sehingga terjadilah pergeseran dalam arsitektur
masjid tradisional Indonesia. Ada anggapan bahwa kubah sebagai simbol masjid
juga menggerus nilai-nilai budaya pada bangunan masjid di Indonesia, begitu pun
di Sumatra Selatan. Sekarang di tengah masyarakat Sumatra Selatan (Indonesia)
sedang terjadi transformasi dalam pembangunan arsitektur masjid, dari
tradisionalitas ke modernitas.
Bentuk transformasi bangunan atap masjid tentu menggerus arsitektur asli
masjid Sumatra Selatan. Tidak mengherankan, karena material masjid yang terbuat
dari kayu, tentu memiliki ketahanan yang terbatas. Dengan demikian, saat
material tersebut tidak layak pakai terpaksa diganti.
Kemudian pengetahuan
masyarakat yang sangat minim tentang kebudayaan lokal Sumatra Selatan, membuat
masyarakat tidak peduli dengan warisan budaya sendiri. Atap mustaka Sumatra
Selatan berinduk pada Masjid Agung Palembang. Kemudian diikuti oleh
masjid-masjid lainnya, seperti Masjid Jami Sungai Lumpur, Masjid Kiai Muara
Ogan, Masjid Mahmudiyah, Masjid Lawang Kidul.
Berlanjut kemudian berkembang ke
seluruh Sumatra Selatan dan Bangka Belitung. Karena memang sebelumnya Provinsi
Bangka Belitung bagian dari Kesultanan Palembang Darussalam, dan bagian dari
Provinsi Sumatra Selatan. Itu dibuktikan dengan adanya Masjid Jami Muntok (1883
M), Bangka Belitung. Di lihat dari sisa-sisa arsitektur atap masjidnya.
Hal yang disayangkan adalah ketika masyarakat merenovasi atau membangun
ulang tidak mengikuti bentuk asli dari masjid tradisional, sehingga hilang
nilai-nilai budaya, seperti seni arsitektur, budaya yang terkandung di
dalamnya.
Kejadian seperti itu, bukan hanya pada Masjid Jami Muntok, tetapi
beberapa masjid-masjid tradisional di Sumatra Selatan sendiri. Seperti, Masjid
Sulaimaniyah Pangkalan Balai, Banyuasin. Karena terbakar pada tanggal 7 Agustus
2009, pembangunan ulang masjid tidak mengikuti rekonstruksi arsitektur asli
masjid, yaitu atap mustaka Sumatra Selatan. Nasib sama dialami oleh Masjid
Arahman Petaling, Musi Banyuasin.
Masjid peninggalan Kemas. H. Abdurrahman atau
Kiai Delamat ini, sekarang sudah berganti bentuk masjid atap tradisi (Yudhy
Syarifie: 2011: 63:64). Istilah atap tradisi adalah jenis atap masjid yang
hanya berbentuk limas bertingkat-tingkat tetapi tidak ada nilai-nilai budaya,
hanya mentradisi pada bentuk saja. Diistilahkan dengan, meniru tanpa seni.
Sekarang arsitektur asli atap masjid Sumatra Selatan hampir hilang atau
punah. Masjid-masjid dengan arsitektur atap mustaka Sumatra Selatan yang masih
berdiri mulai terbarukan oleh renovasi. Sebut saja Masjid Masjid Al-Khoiriah
terletak di RT. I. Desa Gunung Raja, Kecamatan Lubai, Kabupaten Muara Enim.
Masjid yang kemungkinan dibangun tahun 1938 Masehi, karena pada leher atap
masjid terdapat angka tahun 1938. Masjid ini sekarang sudah mengalami renovasi,
dan sudah kehilangan setengah bangunan aslinya. Selain itu Masjid Jami Sira
Pulau Padang, Kecamatan Kayu Agung, Ogan Komering Ilir, juga sebagai arsip
visual dari arsitektur asli atap masjid mustaka Sumatra Selatan.
Di Kota
Palembang sendiri masih terdapat beberapa masjid atap mustaka Sumatra Selatan
yang belum terekspos, seperti masjid Jami 3-4 Ulu, atau Masjid Jami Darussalam,
di Kelurahan 3-4 Ulu, Seberang Ulu I, Kota Palembang, yang dibangun tahun 1909
M. Masjid atap mustaka Sumatra Selatan yang baru ditemukan adalah Masjid
Al-Akhyar di Kelurahan Talang Betutu, Kecamatan Sukarami, Kota Palembang, yang
dibangun di tahun 1953 M. Sehingga tahun-tahun mendatang kemungkinan juga akan
diperbaharui dan dikhawatirkan akan merubah arsitektur aslinya.
Setelah tahun 1953 M, tidak lagi ditemukan pembangunan masjid dengan
atap mustaka Sumatra Selatan. Pembangunan masjid cenderung bebas dan mulai
mengarah ke tipologi baru, yaitu masjid berkubah. Pada masa pemerintahan Orde
Baru, pembangunan masjid tidak mengindahkan arsitektur masjid. Walau
pembangunan dengan atap bertingkat-tingkat namun tidak merujuk jenis atap
tradisional mana pun. Hanya bentuk atap saja yang bertingkat, namun dari
fungsi, dan arsitektur tidak ada sama sekali mencerminkan atap masjid
tradisional.
Sejak tahun 1953 M atap masjid tradisional tipologi Mustaka Sumatra
Selatan tidak di bangun lagi oleh masyarakat Islam Sumatra Selatan. Berbagai
pihak tidak peduli dengan nilai-nilai warisan budaya asli ini, baik kalangan
seniman, budayawan atau pemerintah. Suatu hal yang menjadi pertanyaan kita
bersama, mengapa kita tidak dapat merenovasi, menjaga, merawat, atau membangun
prototipe disetiap kecamatan satu bentuk masjid dengan arsitektur asli Sumatra
Selatan?.
Kenapa kita dapat menggali peninggalan zaman purbakala, peninggalan
Hindu dan Buddha?. Tetapi kita tidak dapat menjaga warisan budaya yang sangat
berharga (arsitektur asli masjid Sumatra Selatan), bahkan masih banyak berdiri?
Walaupun material dari alam seperti kayu sudah tidak ada lagi, tetapi semua itu
sudah dapat diganti dengan material dari industri.
Sesungguhnya pemerintah bertanggung jawab dengan nilai-nilai budaya
tersebut, sedangkan para akademisi bertanggung jawab menjelaskannya. Hak
masyarakat untuk tahu apa yang mereka miliki, dan mereka berhak
menerima, mewarisi kembali milik mereka. Kebudayaan adalah bentuk kekayaan
intelektual masyarakat yang tentu harus dihargai setinggi-tingginya.
Selain
menjaga warisan budaya, harus juga diiringi dengan pendidikan pada bidang kebudayaan,
terutama pengenalan kebudayaan lokal. Dengan demikian, untuk merawat, menjaga,
melestarikan, nilai-nilai budaya, baik kebudayaan material dan non material
yang ada, sebaiknya Pemerintah Daerah Provinsi Sumatra Selatan mulai menyusun
mata Pelajaran Kebudayaan Lokal Sumatra Selatan dari tingkat Sekolah Dasar
sampai Perguruan Tinggi yang ada di Sumatra Selatan.
Selama dalam penelitian skripsi saya ini, melalui pengamatan saya tidak
menemukan masjid baru yang mengikuti bentuk utuh dari pola arsitektur
masjid-masjid tua di seluru Sumatera Selatan. Pembangunan arsitektur atap
masjid lebih pada sistem atap limas biasa atau atap limas bertingkat pengaruh
masjid yayasan Pancasila.
Kemudian pergeseran dari atap tradisonal dan
neo-tradisional menjadi bentuk atap kubah. Atap kuba menjadi tren baru dari
sistem atap masjid di Sumatera Selatan. Masa pergeseran arsitektur asli menjadi
arsitektur atap lengkung (Kubah). Yang didukung oleh teknologi, industri kuba,
dan paham bahwa kubah sebagai simbol masjid.
Oleh:
Joni Apero
Palembang,
2018.
Mahasiswa
Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Raden Fatah
Palembang. Nim. 13420034.
Sumber:
disarikan dari skripsi berjudul: Kajian Sosiologis pada Transformasi Atap
Masjid di Kota Palembang (Studi atas Atap Tradisi dan Atap Kubah). Pembimbing
I. Dr. Nor Huda Ali, M.Ag. M.A. Pembimbing.II. Dra. Retno Purwanti., M. Hum.
Foto
Masjid Agung: Yudhy Syarofie.
Pierre-Yves
Manguin, “Demografi dan Tata Perkotaan di Aceh Pada Abad 16 data Baru Menurut
Sebuah Buku Pedoman Portugis Tahun 1584,” dalam, Hendri Chambert-Loir dan Hasan
Muarif Ambari, (ed.), Panggung Sejarah, Terj. Ida Sundari Husen
& HCL, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 244.
Uka
Candra Sasmita, Penelitian Arkeologi Islam di Indonesia dari Masa ke
Masa, (Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 36.
Muhlis
PaEni, Sejarah Kebudayaan Indonesia; Arsitektur, h. 249. Masjid
Baiturrahman dibangun pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Johan Mahmud Syah
I (1267-1309 M). Uka Tjandrasasmita (ed.), Ziara Masjid dan Makam,
(t.tp., Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, T.th). h. 27.
By. Apero Fublic
Via
Islam dan Budaya
Post a Comment