Cerpen
Kemanakah kiranya pujangga
Kisah Cinta Yang Hilang
APERO FUBLIC.- Aku akan bercerita tentang kisah saat pertama kali aku
mengenal rasa cinta. Waktu itu aku belum mengerti apa-apa tentang cinta. Aku
belum tahu dan belum menyadari bahwa aku jatuh cinta. Kisa ini berawal dari
pertemuan yang tidak terduga dengan seseorang.
Hari itu, aku berkunjung kerumah
salah seorang kerabat di sebuah Talang (kampung), Talang Seribu Bambu namanya.
Letaknya tidak begitu jauh dari Talang ku, Talang Durian Rimba. Durian rimbah
adalah nama jenis buah-buahan. Durian rimbah varian berbeda dengan durian
biasa. Bentuk duri durian rimbah panjang-panjang lancip sekitar 10 sampai 15
cm. Cara membuka isinya juga berbeda dengan durian biasa.
Kalau durian biasa
membela memanjang, durian rimbah memotong dua pada pertengahan buah. Tetapi
rasa dan baunya, biji, warna isi tetap sama dengan durian biasa. Sekarang
durian rimbah sudah mulai punah bahkan mungkin sudah punah, semoga ada ahli
botani yang mau menyelamatkan durian rimbah. Kisa ini terjadi pada tahun 2004
silam, waktu itu aku baru berumur 13 tahun.
Di pedalaman sebuah kecamatan di Kabupaten Musi Banyuasin terdapat
kawasan yang di lalui jalan perusahaan minyak negara, pertamina. Di sepanjang
jalan itu, terbentuklah puluhan pemukiman kecil masyarakat yang mereka namai
dengan Talang. Talang sama artinya dengan kampung.
Setiap Talang dihuni 30
sampai 40 keluarga yang hidup dari bertani dan berkebun. Talang di pimpin oleh
seorang Kepala Dusun atau disebut Kadus. Rumah-rumah penduduk masih sederhana,
beratap seng, daun rumbia, dan daun nipa. Tetapi sudah banyak juga bangunan
rumah yang sudah bagus seperti ruma di desa-desa, bentuk gedung atau rumah
panggung besar.
Dalam waktu sepuluh atau dua puluh tahun kemudian,
talang-talang ini akan menjadi pedesaan juga. Hari itu, cerah dan indah. Langit
membiru dengan awan yang putih bersih. Berarak bagai iringan pawai para
dewa-dewa memantau kehidupan bumi.
Beburung terbang menikmati alam yang damai.
Seekor kucing berlari-lari mengejar tikus diantara semak-semak dipinggiran
Talang Seribu Bambu. Dinamakan Talang Seribu Bambu karena banyaknya bambu yang
tumbuh disekitar Talang. Konon orang pertama yang membuka pemukiman Talang,
pada awalnya menebang banyak rumpun bambu untuk lokasi talang.
Suatu hari, seorang gadis seumuran dengan ku, berjalan menyusuri jalan
di tengah Talang Seribu Bambu. Aku dapat melihat dengan jelas, alangkah
cantiknya pikir ku gadis ini. Berhijab syariah, kulitnya putih bersih tercermin
dari jemari tangan dan wajahnya, dan harum sekali saat ia berlalu. Ia berjalan
menuntun adiknya yang baru berumur enam tahun.
Wajahnya yang putih alami
bersemu merah terkena cahaya matahari sore. Aku tertegun melihatnya, dan ia
melihat ku sambil melempar senyuman manis. Setelah tersenyum ia kembali menole
adiknya, dan menuntunya. Aku yang mematung di pinggir jalan begitu kesal karena
tidak membalas senyumnya. hampir terlepas barang belanjaan ku.
Sampai si gadis
berlalu dan jauh, hingga tak terlihat lagi. Aku menyaksikan itu dengan penuh
harap, kalau si gadis kembali berbalik melewati di depan ku. Namun ia semakin jauh
berjalan. Tanpa menole ke belakang sedikit pun, lalu menghilang di kelok jalan.
Tinggallah burung dan angin yang berlalu, menyapa ku seakan mereka hendak
mengganti keindahan itu. Aku kembali ke rumah paman, dan memberikan belanja
kepada bibik, sembako.
Soreh itu berlalu, panen singkong paman selesai. Aku
pulang ke kampungku bersepeda dan keranjang penuh dengan singkong yang
diberikan oleh paman. Sebab aku yang sudah membantunya, kebetulan ibu juga mau
bikin keripik singkong. Bagiku singkong goreng sudah enak, kok. Waktu berlalu,
aku sudah tidak memikirkan gadis cantik yang aku lihat saat pulang dari warung
itu.
Suatu hari aku kembali ke Talang Seribu Bambu, kerumah paman. Ia
juga meminta aku membantunya untuk membetulkan geteng rumahnya. Sesunggunya paman
meminta ayah untuk datang, tetapi ayah sibuk, maka aku yang menggantikan ayah.
Dengan bersepeda aku menyusuri jalan, naik dan turun bukit.
Karena memang pola
permukaan tanah berbukit-bukit. Waktu itu pukul sepuluh pagi. Tetapi cuaca
tidak begitu bagus, suara guntur, angin dan mendung. Hal seperti ini biasa di
wilayah tropis. Setengah jam bersepeda aku sampai di Talang Seribu Bambu.
Tetapi hari tidak tahan lagi sepertinya, hujan segera turun dengan deras.
Beruntung di pinggir jalan Talang Seribu Bambu ada pos jaga warga, yang
berbentuk rumah kecil persegi empat. Beratap seng, ada bangku papan
memanjang, pos jaga berdinding setengah sehingga dapat melihat kesekeliling.
Aku menyandarkan sepeda, dan berlari masuk kedalam pos jaga warga. Ternyata di
dalam pos jaga itu ada dua orang gadis seusia dengan aku, dan seorang anak
kecil berseragam sekolah dasar.
“Assalamualaikum.
“Waalaikumsalam.
Jawab mereka.
“Alhamdullah
hujan juga, lagi. Guman ku. Aku memperhatikan dua gadis kecil itu, mereka
berdua sumuran denganku. Adik laki-laki sibuk bermain mobil-mobilnya. Aku diam
karena tidak tahu hendak berbicara apa. Aku memutar otak mencari alasan untuk
berbicara. Dengan pertanyaan sederhana sekali. Apabila di ingat sekarang
alangkah lugunya aku.
“Siapa
nama adik-nya?
“Azzam,
kak. Jawab si gadis yang aku lihat beberapa minggu lalu. Ia rapi cantik sekali
dengan hijab hitam itu, penilaian ku. Ternyata aku mata keranjang juga waktu
remaja. Sementara si gadis satunya membisu, dan sesekali ia merapikan hijabnya
berwar hijau muda. Kadang ia juga ikut menimpali dan bercanda. Kami kedinganan
juga karena suasana hujan dan angin.
“Kelas berapa?
“Baru
kelas satu SD. Si adik kecil cuma tersenyum malu, dan terus bermain
mobil-mobilnya. Ia ingin sekali bermain air hujan, tetapi kakaknya yang cantik
melarangnya. Lama berbincang, sampai aku menanyakan aktifitasnya di malam hari,
kepo juga dulu yah.
“Kalau malam, apa kegiatan
adik berdua?
“Adik, mengaji di
mushollah Al-Muhajirin, Uwa Ibrahim gurunya.
Aku
melirik si cewek satunya, ia seakan mengerti dan berkata, tepat seperti yang
aku pikirkan.
"Saya juga, selain
mengaji kami juga bantu Uwa Ibrahim mengajar iqra adik-adik yang baru belajar.
Begitulah kira-kira perbincangan sederhana yang kaku itu. Sementara
hujan terus turun bertambah lebatnya. Air hujan mengalir deras menyusuri
selokan, dan lekuk-lekuk tanah bagai sungai-sungai kecil. Cuaca dingin sekali
apalagi saat angin berhembus.
Aku banyak bertanya sekadarnya, tentang kerja,
letak rumah, berapa beradik. Mereka bilang kalau mereka itu adalah sepupuan.
Kadang kami tertawa, atau tersenyum. Sepertinya dalam waktu sebentar kami
bertiga mulai akrab, begitupun dengan adik kecil sudah mulai memanggil aku
kakak. aku juga belajar gombal loh, tetapi aku pura-pura tidak gombal.
“Oh,
alangkah elok adik, ni. Sudah cantik, pandai mengaji lagi. Beruntunglah lelaki
yang berjodoh dengan adik nanti.
“Ah,
jangalah memuji kak, biasa saja. Wanita muslim memang wajib pandai mengaji.
Sebab ia adalah madrasa pertama anak-anaknya nanti.
"Gombal,
sifat kaum lelaki tulen. jawab sepupunya.
“Kakak,
tak memuji, hanya berbicara apa adanya. Tetapi mereka tidak meladeni kelakar
aku ini. Mala balik bertanya tujuan ku.
“Kakak mau kemana?
“Kakak hendak kerumah
paman dik.
“Siapa nama paman kakak?
“Sulaiman, istrinya Hamida.
“Oh, ke tempat paman
Sulaiman.
“adik kenal?
“Iya kenal, kan talang
saya. Sesungunya, bibik Hamidah masih kerabat ibu saya juga.
“Oh. Bibik tak pernah
cerita kalau punya kerabat cantik?
"Ya, karena bibik
kakak tahu, kakak itu calon cowok gombal. Menurut saya hidup kakak akan penuh
dengan kata-kata cantik. Kemudian kami tertawa bersama.
"Tempat mengajinya di
mana dik?
Aku
bertanya lagi, lupa atau grogi yah. Atau memang aku yang tidak pandai
berkata-kata, dasar aku memang berantakan. Tetapi mereka tetap menjawab dan
menjelaskan.
"Di mushollah
Al-Muhajirin. Jawab sepupunya, dan di jelaskan oleh si cantik kata saya tadi.
“Di
ujung jalan sana, lihat dari sini, yang ada pohon kelapa di halaman depan, kak.
Menjawab sambil menunjuk.
“Iya
Dik. Jawab ku tanda mengerti, sambil tersenyum simpul. Hujan pun sudah redah,
bahkan rintik tidak ada lagi. Langit kembali biru, dan bersih. Burung kembali
beterbangan, bersuara merdu. Beberapa orang warga sudah berlalu di jalan-jalan
becek. Mungkin sekitar dua jam lamanya hujan turun.
“Kak, mohon diri dulu yah.
Hujan sudah redah. Assalamualikum.
“iya, silakan.
Waalaikumsalam.
Gadis cantik, berkerudung hitam itu melangkah setengah berlari. Ia
menggendong adiknya, di pundaknya, sebab jalan masih becek. Sepupunya mengikuti
dari belakang. Satu sesalku adalah, aku tidak menanyakan namanya. Kembali aku
menyesali kebodohan luar biasa.
Waktu kembali berlalu dengan cepat. Walau aku
sering teringat sedikit-sedikit dengan si gadis itu, tetapi aku tidak begitu
peduli dengan daya ingat itu. Suatu ketika, aku bermain dengan tiga orang
temanku ke Talang Seribu Bambu, Azhari, Muzzaki, dan Parsah. Menghadiri
sekaligus membantu persiapan acara pernikahan seorang kerabat bibik Hamidah.
Disanalah awal keakraban aku dan gadis cantik, yang sering lewat bersama
adiknya.
Gadis yang bertemu tidak sengaja saat bertedu dari hujan lebat. Hujan
memang membawa rahmat, selain memberi kehidupan di dunia, hujan juga menjadi
sebab pertemuan insan-insan. Di tempat pengantin itu, kami bercerita sambil
mengerjakan persipan resepsi, seperti melipat tissue, membuat janur kuning,
atau menata perlengkapan. Kami gembira dan bahagia sekali, lupa waktu.
Disini
tanpa berkenalan akhirnya kami saling mengenal nama, saat orang-orang yang
kenal memanggil namaku dan memanggil nama Fadiyah. Aku akui aku memang grogi
loh, tanya nama. Tapi jangan bilang sama orang-orang yah, rahasia lelaki. Dalam
percakapan sambil melipat tissue untuk resepsi. Ternyata namanya indah sekali,
Asilah Fadiyah, dipanggil Fadiyah, dan nama sepupunya Askana Havika, dipanggil
Kana.
“kenapa
tak perna bermain di bukit?. Tanyaku beberapa saat kemudian. Bukit nama tempat,
di dekat sebuah telaga terletak di tengah Talang. Di sana remaja-remaja sering
nongkrong menghabiskan waktu senggang.
“aku
sering main di bukit, tetapi hanya hari Minggu saja kak. Karena hari
minggu adik ku tidak bersekolah. Ayah dan ibu juga tidak bekerja. Dari itu
banyak waktu senggang untuk bersantai.
“oh. Jadi hari minggu, adik
dan sahabat-sahabat bermain di sana.
“iya. Kakak dan
teman-teman tinggal di mana?
“kakak dan teman-teman
kakak tinggal di Talang Durian.
Sejak keakraban itu, beberapa hari selalu bertemu dan bersama, aku
menjadi aneh. Aku selalu ingin bertemu dan bercerita dengan Fadiyah.
Teman-teman ku kesal semuanya, sebab mereka kecapean terus menemani aku bermain
di Talang Seribu Bambu. Aku selalu datang ketempat pengajiannya. Anehnya walau gelap dan malam melintasi jalan kiri-kanan hutan aku tidak takut
sedikit pun.
Dahulu, sudah memasuki magrib saja tidak berani lagi lewat jalan
yang dikiri kanan hutan seperti itu. Apalagi ada mitos hantu harimau yang
begitu menakutkan. Tetapi sekarang sudah berbalik, sepertinya hantu siluman
yang takut padaku, walau gelap hanya dengan senter batre aku lewat tidak
sekalipun diganggu hantu, aneh kan.
Tempat pengajian Fadiyah di musholla
Al-Muhajirin, jadi aku datang untuk magrib dan isyah berjamaah. Setelah itu aku
bergabung ikut mengaji. Aku selalu mengantar Fadiyah pulang, dengan membawa
obor bambu kami berjalan beriringan.
Di mata ku, sungguh cantik wajah Fadiyah
dalam balutan busana muslim Melayu itu. Ia mengenakan kain sepinggang yang
sampai menutup mata kakinya, berbaju kurung berwarna putih lengan panjang,
dengan berhijab selendang yang ia kerudungkan di kepala. Lalu di
lingkar-lingkari ke lehernya. Aku tidak mengerti mode pakaian wanita, tapi
indah dan damai aku memandangnya.
Al-Quran ia pangku di tangan kanannya. Banyak
anak-anak kecil yang berlarian di jalanan, mereka begitu senang pulang dari
mengaji. Aku mencuri kesempatan untuk berbicara dengan Fadiyah. Aku yang
pendiam selalu habis alasan dan cerita, sehingga nampak kaku dalam perbincangan
kami. Tetapi walau begitu Fadiyah merasa senang dan sabar. Ia tetap meladeni perkataan
ku, terkadang karena aku lama terdiam, ia yang memulainya.
Aku benar-benar lupa waktu dan mungkin lupa daratan juga, ya.
Mungkin lupa diri juga. Aku menjadi sering bermain ke Talang Seribu Bambu.
Paman cuma dapat memaklumi dan geleng-geleng kepala saja. Walau jaraknya sampai
lima kilo meter, dan sekedar mengantar Fadiyah pulang mengaji aku sudah bahagia
sekali. Dalam percakapan malam waktu pulang mengaji, kami berjanji akan bertemu
setiap hari minggu di bukit kecil di tengah Talang Seribu Bambu.
Di bukit kecil
ada sebatang pohon akasia yang rindang menjadi peneduh. Maka aku dan Fadiyah,
teman-teman, dan pemuda-pemudi lainnya sering bermain di sana. Tak banyak yang
kami ceritakan, hanya sebatas senda gurau dan percakapan biasa. Tiada kata-kata
cinta, kata rayuan, atau kata-kata gombal. Aku hanya tahu bahwa aku ingin
berjumpa, setelah itu berbincang, seakan akan dunia ini akan diceritakan semua.
Aku merasa aneh, karena aku selalu mengingat wajah Fadiyah saat jauh darinya.
Aku sering bermimpi bertemu Fadiyah. Entah mengapa semua terasa indah bagiku
saat aku mengenal Fadiyah. Aku belum mengerti kenapa aku begini. Yang paling
membuat aku bahagia Fadiyah selalu menepati janji, dan kami selalu satu rasa
yaitu, sama-sama ingin bertemu.
Mengapa, aku juga belum mengerti. Apa mau kami,
mau dibawa kemana hubungan kami ini, tidak tahu. Aku begitu bodoh dan belum
mengerti suatu cita-cita bersama antara laki-laki dan wanita. Aku hanya
merasakan, aku bahagia, aku ingin bertemu, aku ingat wajahnya, ia baik, ia cantik,
ia solehah. Tapi mau diapakan kalau ia begitu sempurnah bagiku. Aku bahagia
bersamanya, dan aku marah apabila ada lelaki di dekatnya.
Pernah ada seorang
pemuda berusaha mendekati Fadiyah, ia anak orang kaya dari Talang Rawa, tetapi
aku terharu sekali, sebab Fadiyah tetap ingin di dekat ku. Maka ada rasa bangga
dan sesuatu yang bertambah di dalam hati, dengan sikapnya itu. Setahun berlalu,
begitulah yang kami jalani bersama, tanpa tahu apa hubungan kami. Dengan
bertemu kami sudah cukup, dan dunia ini sudah tidak ada artinya apabila sudah
bertemu.
Suatu hari aku dan Fadiyah berjalan menyusuri tepian telaga.
Telaga yang terbentuk dari pembangunan jalan oleh Perusahaan Negara Pertaminah,
begitu jernih airnya. Banyak teratai dan ikan-ikan kecil-kecil yang kami lihat.
Sehingga muncul ide, mengajak semua teman-teman untuk membakar ikan
bersama-sama di tepian telaga.
Membawa kecap manis, cabai, garam, alat
panggang, dan lainnya. Kami berbagi tugas, Aku, Azhari, Muzzaki, dan Parsah
membuat api unggun, tentu mencari kayu bakar. Fadiyah, Askana, Sadidah,
Bahirah, Badrina, Mufida, Nadirah, dan Rukayyah, mereka mempersiapkan
bumbu-bumbu dan wadah-wadah.
Sementara teman-teman laki-laki kami lainnya
menebar jaring dan kail, Abrisam, Komar, Ramadan, Sodri, dan Mahmud. Setelah
ikan terkumpul cukup banyak, mulailah kami membakar ikan bersama-sama.
Kebersamaan dalam kesederhanaan itu begitu melekat dalam ingatan kami. Beberapa
ibu-ibu yang sedang mandi di telaga memperingatkan agar kami jangan terlalu
sore pulang.
Singkatnya, aku dan Fadiyah selalu bersama dan berdekatan. Ia
memberikan aku ikan panggangannya, dan kami makan berdua sambil bercerita.
Walau disekeliling banyak teman kami anggap mereka patung saja, sebab kami
berbincang berdua saja dan tidak membiarkan mereka masuk kedalam perbincangan
kami. Kami tetap menjaga adat dan sopan santun sebagai orang Melayu dan sebagai
Muslim.
Pergaulan kami hanya sebatas percakapan dan cerita-cerita, tidak lebih.
Angin telaga membuat hijab mereka berkibar-kibar diterpa angin. Air telaga
beriak bergelombang kecil. Memandangi telaga yang jerni itu, di mata aku dan di
mata Fadiyah berubah menjadi surga. Itulah sedikit kenangan aku bersama
Fadiyah, kenangan terindah. sudah lama sekali masa berlalu, sekarang aku sudah
selesai kulia.
Suatu hari ibu dan adik-adikku datang dari desa, dan adik perempuanku
berhenti sekolah. Kami tidak punya mata pencaharian di desa. Karena itulah kami
sampai tinggal jauh di Talang Durian. Sehingga keluarga kami morat marit
sekali. Mendengar ini, sadar pada kenyataan hidup aku menjadi sedih sekali,
beberapa waktu aku merenung. Timbul pertanyaanku, mau kemana nasip keluarga ku,
adik-adikku, apabila tidak bersekolah di zaman modern ini.
Aku juga putus
sekolah setahun yang lalu, berarti akupun tidak memiliki pendidikan yang cukup.
Pendidikan agama ku, hanya dapat dari buku tuntunan salat lengkap lima waktu,
yang aku beli di pasar minggu. Sedangkan pendidikan dalam membaca Al-Quran
hanya aku dapat dari guru-guru mengaji biasa, tajwidnya saja aku tidak faham. begitupun
pendidikan umum hanya sebatas kelas dua Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
Mengapa keadaan keluarga ku begitu buruk, apakah tidak ada jalan lagi dalam
merubah semua penderitaan dan kemalangan dalam keluarga ku. bagiku tidak
berpendidikan berarti tidak ada peluang untuk maju atau sukses, sebab aku
begitu bodoh dan terbelakang, miskin ilmu dan miskin harta. Apa yang aku
harapkan dalam kehidupan ini, apa tujuanku.
Suatu hari aku duduk dibawa sebatang pohon akasia di pinggiran Talang
Durian. Sebuah telaga terbentang di depanku, dan beberapa pohon-pohon tumbuh
subur disisi telaga. Dari sini aku dapat melihat semuanya, seisi Talang Durian,
pondok-pondok warga. Pondok ada yang beratap daun rumbia, daun nipa, dan seng.
Jalan tanah merah yang berkerikil, saat hujan lengket berlumpur.
Disini tidak
ada sekolah, sarana kesehatan, dan tempat belajar mengaji. Diseberang telaga,
tumbuh subur pepohonan akasia yang berbunga lebat. Beberapa burung beterbangan
mandi dan minum ditepian telaga. Seperti biasa, ketiga adik-adikku bermain di
pekarangan pondok kami. Aku melihat keceriaan mereka, kegembiraan mereka dalam
bermain.
Wajah-wajah polos itu, memberikan suatu pertannyaan besar dalam hidup
ku. Mereka gembira dalam bermain hari ini, tetapi mereka tidak mengerti hari esok.
Mereka masih anak-anak, pikir ku. Mereka masih anak-anak, bagaimana
mungkin mereka dapat memikirkan masa depan. Maka aku harus berbuat sesuatu
untuk keluarga ku. Akankah semua berakhir cerita keluaraga ku di Talang Durian
yang terpencil ini.
Akankah semua terbenam oleh egoku yang tidak mau pulang ke
desa karena malu aku putus sekolah. Pertanyaan itu berulang-ulang dari hatiku,
dan jiwaku. Umur ku belum cukup berpikir banyak waktu itu. seberapa bijak anak
yang baru berumur tiga belas tahun. Aku berkata dalam hatiku, bahwa aku harus
melakukan sesuatu untuk merubah keadaan keluarga ku yang tidak beruntung ini.
Biarlah akan banyak pengorbanan dan penderitaan dalam hidup ku. Aku akan
sendiri dalam kurun waktu yang lama. Sampai aku bersupah bahwa aku tidak akan
menggauli wanita sampai aku menikah. Aku ingin menjaga kesucian ku, sebab
nafsulah yang pertama mendorong pernikahan. Aku akan berpisa dengan Fadiyah,
meninggalkan kekasih hati ku. Aku akan melupakan indahnya hidup berkeluarga
dengan orang yang aku cintai itu. Aku akan memulai perjalanan panjang, dimana
adik-adik ku harus mau sekolah. Hanya satu tekadku, sekolah, sekolah, sekolah
itu kataku.
Dahulu, aku pernah di nasihati oleh seorang tua, “seorang
kakak, yang terbaik dari perilakunya adalah memberi pengaruh baik untuk
adik-adiknya, sehingga adik-adiknya akan mengikuti sipat baiknya. Tidak perlu
banyak kata atau harta, yang perlu dilakukan adalah menjaga mereka dengan
kebaikan budimu.” Perlahan air mataku menetes, dan mengalir
sedih mengenang nasip kehidupan yang buruk ini. Sejak itu aku mulai bertekad
untuk kembali ke desa dimana ada sarana pendidikan, dan kehidupan yang mantap.
Setelah memutuskan itu, aku berbicara dengan ayah dan ibu, bahwa aku
ingin pulang ke desa dan semua adik-adik harus kembali ke bangku sekolah. Di
desa aku akan hidup seadanya dan berusaha agar kehidupan keluarga lebih baik.
Aku tidak perduli dengan keadaan apapun dengan hidupku, hatiku, dan kehidupan
orang lain. Yang harus dilakukan adalah, semua harus sekolah dan belajar
dengan baik. Semua ini harus di akhiri, hanya satu jalannya adalah pendidikan.
Maka aku menunggu hari minggu, aku ingin berjumpa untuk yang terakhir kalinya
dengan Fadiyah.
Minggu sore, aku pergi ke Talang Seribu Bambu untuk
bertemu dengan Fadiyah. Satu hal yang aku inginkan katakan adalah, aku ingin
menceritakan seluruh yang aku rasakan, lalu aku ingin bertanya perasaan apakah
itu, benarkah cinta. Satu pelajaran saat mengenang ini, adalah apabila kita
mendapati perasaan seperti itu hendaklah secepatnya di ungkapkan pada orangnya.
Sebab tidak tahu kapan kita akan berpisah, kesakitan cinta yang di hianati
belum terlalu dibanding penyesalan cinta yang tak di ungkapkan.
Lama aku menunggu di bukit kecil itu, sendiri. Dengan sabar aku menanti,
kadang melempar kerikil kedalam telaga. Waktu terasa lama sekali berputar.
Berganti-ganti penduduk lewat dan menyapaku, yang aku balas dengan senyum
getir. Namun Fadiyah tidak pernah datang sampai menjelang magrib. Terasa aneh
bagiku hari ini, keadaan begitu sepi di Talang Seribu Bambu.
Aku ingin pergi
kerumah Fadiyah tetapi sungkan sebab aku takut dengan ayahnya. Orang bilang
ayah Fadiyah bengis, dan aliran keras. Maka aku hanya menunggu saja sampai
Fadiyah datang. Matahari terbenam, yang menyisakan mega merah senja. Aku
berdiri mematung menatap keujung jalan. Jalan yang tadi terang perlahan berubah
menjadi temaram. Kunang-kunang mulai beterbangan bagai lampu alam yang ajaib.
Aku menarik napas dalam dan mulai menyerah.
Aku meraih sepedaku dan mulai
memutar arah sepedah, pulang. Sekali lagi aku melihat jalanan dan memandang
sekeliling, namun tidak ada seseorang pun. Akhirnya aku mengayu sepeda tua ku,
pulang menyusuri jalan tanah yang berdebu. Temaram suasana mengiring malam yang
gelap, bagai warna hatiku yang kelabu dan pilu. Sambil mengayuh sepedah aku
meracau syair ku, yang aku luapkan dari perasaan terdalam ku.
TITIP PADA REMANG SENJA
Wahai temaram malam, gelap
Mengisi ruang nan senduh
dalam harapan
Terbuai oleh cerita yang
aneh
Memagut hati yang buta
Aku tidak mengerti dengan
ini
Mungkin kah cinta
Mungkinkah kasih asmara
Ku kayu sepeda di
perbukitan tanah
Berkali lobang melompatkan
putaran roda-roda
Sebuah kerikil terlindas
Mental bagai peluru,
hilang dibalik semak
Bagai hatiku yang terbuang
jauh
Menyisikan segala rasa
yang biru
Mengapa gerangan kau tak
datang, tanyaku?
Marahkah dirimu, atau
salahkah aku
Bukan secerita kita, dalam
hidup
Kita ingin selalu bertemu,
disana
Di bukit kecil yang ranum
Di bawa pohon akasia
Dik, aku ingin pergi, Jauh.
Jalan ku begitu berliku,
dan panjang.
Wahai engaku yang baik hati
Aku inginkau tahu, aku
cinta akan engkau
Namun, cinta ini belum
tersurat
Tetapi cinta ini untuk
dikenang
Mungkin tuhan berbaik hati
padaku
Kita tak dijumpakan di
hari janji kita
Mungkin Tuhan hindarkan aku
Melihat air matamu
Sunggu hati ini, takkan
mampu meninggalkan mu
Bilah hati mu, berkata
dengan air mata.
Maka Aku titipkan pada
remang senjah,
Pesan ku, sampaikan
Dik, Selamat tinggal.
Aku cinta kamu.
Talang Seribu Bambu, April
2004
Sejak minggu itu, sampai sekarang aku telah selesai kulia di Universitas
Islam Negeri Raden Fatah Palembang. Aku tidak pernah lagi bertemu dengan
Fadiyah. Aku pernah mendengar kabar bahwa hari minggu waktu aku menunggunya,
ternyata Fadiyah bersama keluarganya pergi ke Kota Palembang, karena adik yang
sering ia jemput dari sekolah sakit keras sehingga harus dirawat, dan dirujuk
ke Rumah Sakit Umum Mohammad Husen Palembang.
Seorang sahabat Fadiyah bertemu
aku diperjalanan ke Kota Sekayu. Ia menceritakan Fadiyah juga
selalu menunggu aku dihari minggu ditempat kami sering bertemu. Selama satu
tahun lebih Fadiyah setia menunggu. Ia sering menangis dan bersedih, menyesali
takut aku kecewa, sebab minggu itu, ia tidak dapat menemui aku. Keadaan yang
genting sebab sakitnya adiknya ia tidak sempat berkirim pesan. Ia menyalakan
dirinya, dan menyesali kejadian itu.
Mendengar itu, perlahan air mataku jatuh dengan sendirinya, baru aku
tahu beginilah kisa cinta pertama ku. Hanya aku katakan pada desa angin di
suatu malam sepih.
“Fadiyah, aku mencintaimu, sebagaimana kau mencintai aku.
Bukan hari dimana kita hidup bersama yang menjadi harapan, tetapi saat kita
saling mengenang bahwa kita saling mencintai. Seandainya kita jodoh kita akan
bertemu lagi, dan apabila kita tidak berjodoh kita akan bahagia satu sama lain.
Ingatlah bahwa kita pernah saling menyayangi. Mungkin kita ditakdirkan bertemu,
lalu menyadari bahwa cinta itu ada, dan kita akan mengerti. Fadiyah, semoga kau
bahagia, dan sebelum kita dipanggil tuhan pulang nanti, aku berharap kita dapat
berjumpa saling mengucap maaf dan bertanya kabar. Fadiyah, ingatkah waktu kita
pulang mengaji, dan aku membawa obor menerangi jalan mu, menjagamu agar tidak
jatu kedalam becekan jalan, dan aku melirik wajahmu, kulihat senyum manismu
saat itu. Terima kasih telah hadir dalam hidupku yang penuh penderitaan ini.
Setelah bus sampai di Kota Sekayu, sahabat Fadiyah meneruskan perjalanannya.
Untuk mengenang Fadiyah aku menulis syair sambil memandangi Sungai Musi.
CINTA
YANG TAK BERAKHIR
Ku dengar ceritamu, dik
Fadiyah
Kau peretas pertama tali
kasih di hatiku
Dik Fadiyah.
Terasa gugur jantung ku
Darah ku tumpah, mengalir
deras.
Seperti aliran Sungai Musi
ini.
Kemanakah kiranya pujangga
Sehingga tiada lagi,
Syair-syair.
Merapalkan kata-kata
pujangga
Kepada si molek dunia
Mengapa berlari, memburu
waktu dikalah bertemu
Kini karam oleh gelombang
waktu
Yang menyisakan kenangan
sahaja.
Masih ingat, senyum dikau
dibalik cahaya obor
Malam itu, aku jemput
engkau pulang mengaji
Berjalan berdampingan,
diriingi bayang-bayang
Tetapi bagi kita, bagai
berdua saja
Ingatkah engkau, di bukit
kecil itu
Saat berburu kupu-kupu
Aku dan dirimu teman
kepompong
Saat sayap kita tumbuh
Kita terbang ditaman yang
berbeda
Bahkan aku, tersesat
diantara belantara hidup
Tetapi, Kenangan itu terus
benyanyi
Untuk mu, adindah peri.
Yang hidup dalam hati,
Di dunia imaji, dunia
cinta ku.
Kota Sekayu, September
2006.
Awan
memang mendung waktu itu. Aliran Sungai Musi seakan berhenti. Rona-rona senyum
Fadiyah menari di mataku. Suara gemerisik perahu motor seakan berubah seperti
tawa renyah Fadiyah. Angin sungai yang berhembus kencang membelai tubuh dan
rambutku. Aku merasakan bahwa itu sentuhan hati Fadiyah yang suci.
Waktu telah
berlalu, dan jauh tertinggal oleh detik-detik jam. Satu dalam dawai hatiku, aku
memang telah mencintai. Entah kapan akan aku temukan kembali rasa ini. Jalan
takdir telah memisahkan dua hati yang saling mencintai. Kini aku, berjanji akan
mulai melupakan semua, sebab banyak hal yang harus aku selesaikan. Selamat
jalan orang yang aku kasihi. @Kisaku .
Oleh: Joni Apero
Editor. Selita.
Foto. Dadang Saputra.
Palembang, 28 Oktobor 2018.
Palembang, 28 Oktobor 2018.
Catatan: Yang
mau belajar menulis: mari belajar bersama-sama: Bagi teman-teman
yang ingin mengirim atau menyumbangkan karya tulis seperti puisi, pantun,
cerpen, cerita pengalaman hidup seperti cerita cinta, catatan mantera, biografi
diri sendiri, resep obat tradisional, quote, artikel, kata-kata mutiara
dan sebagainya.
Kirim saja ke Apero Fublic. Dengan syarat karya kirimannya
hasil tulisan sendiri, dan belum dipublikasi di media lain. Seandainya sudah
dipublikasikan diharapkan menyebut sumber. Jangan khawatir hak cipta akan
ditulis sesuai nama pengirim.
Sertakan nama lengkap, tempat menulis, tanggal
dan waktu penulisan, alamat penulis. Jumlah karya tulis tidak terbatas, bebas.
Kirimkan lewat email: fublicapero@gmail.com. idline: Apero
Fublic. Messenger. Apero fublic. Karya kiriman sepenuhnya tanggung jawab
sepenuhnya dari pengirim.
Sy. Apero Fublic
Via
Cerpen
Post a Comment