Ladang Ajaib Lamkaka: Cerita Rakyat Sungai Keruh
Hanya anak mereka yang menjadi
semangat, dan harapan hidup mereka. Anak Bidang seorang gadis cantik dan baik
ahlaknya, namanya Rumani, yang selalu nyaman di rumah. Dia membersihkan rumah, memasak,
mencuci, mengerjakan semua pekerjaan rumah. Sedangkan anak si Balu seorang
laki-laki, bernama Lamkaka. Lamkaka juga anak yang baik dan berbakti pada orang
tuanya. Dia selalu membantu sang ayah menggembala ternak di lereng Bukit
Pandape.
*****
Di daerah beriklim tropis melalui dua musim dalam setahun. Musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau antara bulan Juni dan September. Namun untuk tahun ini kemarau berbeda, kemarau panjang. Sudah lebih setahun, tidak turun hujan. Membuat sumber air kering dan rerumptan mati. Terpaksa masyarakat menggali sumur di dasar-dasar sungai. Sekedar untuk air bersih untuk minum.
Bidang dan Balu selalu bertandang satusama lain. Malam itu, Balu dan anaknya Lamkaka bertandang ke rumah Bidang. Mereka duduk di bangku bambu, di depan rumah Bidang. Bercerita mengenang masa lalu keduanya. Tentang saat-saat gembira ketika mereka masih muda dahuluh.
“Apakah kau masih ingat, saat musim kemarau ketika kita masih bujangan dulu Balu. Kita menghabiskan waktu menangkap ikan di Sungai Keruh. Menjerat kancil dan berburu ayam hutan." Ujar Bidang sambil menatap cahayah bulan terang malam itu.
Balu mengangguk sambil menarik nafas dalam. Sementara Lamkaka diam mendengarkan dua sahabat itu bercerita. Balu dan Bidang ingat hari-hari bahagia masa muda mereka. Kadang mereka berdua berharap waktu kembali berputar. Yang berkesan, saat mereka bertemu dengan dua orang gadis dan menikahi mereka. Apabilah keduanya mengingat istri mereka. Selalu keduanya meneteskan air mata. Mereka sangat mencintai istrinya masing-masing.
Itulah mengapa keduanya tidak menikah lagi sampai sekarang. Padahal sewaktu istri keduanya meninggal, mereka masih muda. Rumani datang membawa napan berisi air tebu panas, dan dua piring keladi rebus. Sambil tersenyum ramah dia mempersilahkan Balu dan Lamkaka untuk mencicipi hidangan kecil itu. Dada Lamkaka berdebar saat melihat Rumani yang cantik jelita. Matanya agak membesar dan menjadi gugup. Kemudian Rumani kembali masuk kedalam rumah. Dari balik celah dinding dia mengintip Lamkaka. Tampan dan perkasa pikir Rumani, dan dia merasa ada rasa suka.
“Bidang, menurutmu apakah musim kemarau
akan terus berkepanjangan seperti ini. Betapa buruk kemarau tahun ini. Hewan
ternakku, selain kurus juga akan segerah mati semua. Karena tidak ada lagi
rumput yang tumbuh untuk dimakan. Selain itu, selalu diterkam oleh harimau
lapar.” Kata Balu, lalu dia berkta lagi.
"Bidang, apa bila keadaan ini tidak berubah
dalam waktu tiga sampai empat bulan lagi. Aku dan Lamkaka akan mati kelaparan.
Aku benar-benar khawatir, akan hal ini. Semoga hujan segerah datang."
Keluh Balu seraya menarik nafas dalam-dalam. Menjelang tengah malam Balu dan Lamkaka
pulang. Bidang hatinya menjadi sedih dan prihatin akan sahabatnya itu.
*****
Waktu berlalu, dalam waktu tiga bulan berikutnya musim kemarau tidak juga berlalu. Seharusnya di bulan januai sampai Juni musim hujan. Tapi nyatanya masih kemarau. Bukan hujan tapi semakin panas. Sekarang, jangankan rerumputan, pohon-pohonpun sudah tidak ada daunnya lagi. Maka satu demi satu ternak Balu mati kelaparan. Selain itu, harimau yang kelaparan terus memburu dan merampas kambing dan sapi Balu. Keadaan ini membuat Balu tidak berdaya sedikit pun.
Pedatuan Bukit Pandape diliputi kering-kerontang. Telah banyak penduduk yang sakit dan pergi mengungsi kenegeri jauh. Balu menyelamatkan sisa ternaknya ke dalam kandang. Agar tidak diterkam harimau. Tetapi itu tidak dapat menyelamatkan ternaknya. Karena percuma, tidak ada makanan. Balu pasrah, kembali dia dan anaknya pergi mengunjungi sahabat karibnya lagi. Balu ingin meminta maaf apabilah ada salah, dan mengucap salam perpisahan. Matinya ternaknya tentu diikuti kematian dia dan anaknya.
"Apa, yang harus saya
lakukan, Bidang?.” Tanya Balu dengan nada sedih. "Sekarang hewan
ternakku hanya tinggal satu. Mungkin sebentar lagi juga segerah mati. Kemudian
Aku dan Lamkaka juga menyusul mati.” Ujar Balu terdengar piluh.
“Kami tidak tahu lagi, apa yang
harus diusahakan lagi Paman.” Ujar Lamkaka dengan nada tidak kalah sedih.
"Aku pikir, ada baiknya, Aku dan Lamkaka meminta maaf atas kesalahan, dan khilaf, yang tidak kami sadari. Kami juga mengucapkan selamat tinggal, padamu dan anakmu, Dang. Musim kemarau panjang ini adalah hari-hari terakhir kita bertemu. Aku juga senang seandainya kami segerah mati. Berarti Aku cepat bertemu dengan istriku. Lamkaka akan bertemu dengan ibunya." Kata Balu sambil berurai air mata.
Bidang adalah orang yang shaleh, baik, dan murah hati. Mendengar kata-kata sahabatnya, membuat hati Bidang terenyuh. Baginya Balu bukan hanya sebatas sahabat. Tetapi sudah dia anggap saudara kandung sendiri. Balu memutuskan untuk membantu sahabat karibnya.
"Kita hidup bersahabat sejak
kecil. Kau bagiku adalah saudara, Balu. Susah senang kita hadapi bersama-sama. Mari kita berbagi padiku.” Kata Bidang.
"Jangan Dang, padi itu cukup untuk
kau dan anakmu. Semoga musim kemarau segerah berakhir. Kalau kau memberikan
setengahnya pada kami. Maka persediaanmu akan sedikit. Beruntung kalau kemarau
segerah berakhir. Kalau tidak, kita berempat akan mati semua.” Kata Balu menjelaskan.
"Benar paman, kasihan Rumani.” Kata Lamkaka.
"Kalau kita mati bersama-sama.
Kita akan berkumpul lagi. Aku juga akan bertemu istriku, dan Rumani bertemu ibunya.” Jawab Bidang, membuat
Balu dan anaknya tak dapat menjawab lagi. Lalu bidang berkata lagi.
“Aku tahu kalau kau tidak menginginkan
bantuanku dan tidak akan meminta bantuanku. Tapi, sebaiknya kau terima karena
persahabatan kita. Apa gunanya sahabat kalau kita tidak berbagi dan saling
membantu, percuma.” Ujar Bidang lagi.
*****
Kemudian Bidang mengambil
setengah dari persediaan padinya di dalam bilik padi, hasil panen setahun
lalu. Bidang juga membagi setengah dari tabungannya. Semua dia berikan dengan
ikhlas pada Balu sahabatnya.
“Dengan cara hidup hemat. Kita akan
dapat melalui musim kemarau panjang ini. Aku tidak memiliki keluarga lagi,
hanya kalian berdua keluargaku. Ada baiknya susah senang kita saling membatu,
satu sama lain." Kata Bidang dengan lembut. Balu tidak dapat berkata-kata
karena matanya mulai berkaca-kaca dan terharu.
"Karena ternakmu sudah mati semua. Aku ingin membagi tanah ladangku untukmu. Agar kau dan anakmu dapat mulai bertani. Jangan dipikirkan lagi ternak-ternakmu. Ladangku di sebelah timur untukmu. Di sebelah barat adalah ladangku. Mari kita bekerja di ladang dan menanam apa yang dapat dimakan. Buatlah rumah di dekat rumahku. Sehingga kita tidak perlu lagi saling berkunjung. Pergi ke ladang bersama-sama. Pulang pun bersama-sama.” Kata Bidang sambil tersenyum lembut. Kemudian dia mempersilahkan minum air tebu hangat dan makan ubi jalar rebus. Berbahagilah kembali kedua sahabat itu.
Balu, sesungguhnya dia datang tidak meminta bantuan. Dia hanya ingin pamit saja dengan sahabatnya. Sungguh tidak mengharapkan kebaikan apa pun. Tidak ada yang dapat dia lakukan selain mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Dari hari itu dan hari-hari selanjutnya. Balu menjadi seorang petani ladang dan bercocok tanam. Pekerjaan yang sulit mereka saling membantu. Lamkaka juga ikut membantu setiap hari pekerjaan Balu dan kadang membantu pekerjaan Bidang. Beberapa bulan kemudian musim hujan akhirnya datang menyirami bumi. Kembali subur kawasan Pedatuan Bukit Pendape.
*****
Tidak berapa lama padi dan umbi-umbian
tumbuh. Dalam waktu cepat, Balu menjadi petani yang
ulung. Balu banyak belajar dari Bidang. Tahun demi tahun berlalu,
dan mereka hidup rukun bertetangga.
"Bidang, mari kita keladang. Sudah
agak siang hari.” Balu memanggil bidang dari samping rumah. Rumani menengok dari jendela.
"Paman, Ayah tidak enak badan. Dia ingin istirahat hari ini." Balu bertanya apakah Bidang sakit. Murani menjelaskan kalau Bidang hanya masuk angin saja. Jadi tidak perlu khawatir. Balu pergi sendirian ke ladang pagi itu. Sedangkan Lamkaka membereskan rumah dan memasak terlebih dahulu. Baru menjelang siang dia menyusul membawa makanan.
Pagi itu Balu menanam pohon pisang. Sehingga lubang agak besar dan lebih dalam menggali tanah. Supaya menguatkan pokok pisang. Tapi tidak boleh terlalu dalam, karena membuat pernafasan bibit terganggu dan tidak tumbuh.
“Tokkk. Tokkk. Krincingggg.” Bunyi
suara benda keras terbentur mata penggalinya. Bunyi suara dari dalam tanah, benda keras sepertinya. Rasa penasaran memenuhi pikiran Balu. Padahal
tanah di daerah itu, tidak mengandung bebatuan alam, besar atau kecil. Balu
terus menggali lebih dalam mengelilingi benda itu. Ternyata benda itu
sebuah guci besar. Balu mengenali bentuk guci seperti itu banyak dijual di
pasar. Biasanya digunakan untuk wadah penyimpanan air. Mengapa guci
terdapat di dalam tanah?. Pikir Balu. Balu membuka tutup guci yang terbuat
dari lempengan kuningan. Saat dibuka, ada bendah kuning
berkilau. Balu mengambil satu keping, lalu memperhatikan. Matanya melotot dan
membesar seakan tidak percaya.
“Uang emassss.” Kata Balu bergetar.
Kemudian dia buru-buru menutup lobang dan bergegas pulang. Dia langsung menemui
Bidang yang duduk istirahat di serambi rumah.
"Aku menemukan guci berisi banyak uang emas. Apakah itu uangmu yang kau simpan, Dang." Tanya Balu.
Bidang menjawab tidak dan berkata dari mana pula dia dapat memiliki uang emas seguci besar begitu, jawab Bidang dengan santai. Dia tidak menunjukkan sikap gembira seakan tidak perlu uang.
"Jadi itu uang emas siapa.” Tanya Balu.
“Kau yang menemukan, berati itu uang kamu, Balu. Mengapa kau
kesusahan begitu. Orang di mana-mana menemukan harta karun
gembira, kau sebaliknya.” Kata Bidang.
“Sebelumnya itu tanah milikmu Bidang. Berarti uang itu milik kau.”
Kata Balu.
“Tidak begitu, tanah itu sudah jadi
milik kamu Balu. Berarti semua yang ada di ladang itu milik kamu.” Jawab Bidang lagi tidak mau
kalah. Keduanya
terus bertengkar tidak mau mengakui kepemilikan uang emas itu. Karena belum
menemukan kesepakatan, keduanya memutuskan untuk mengambil uang dalam guci itu
terlebih dahulu, disimpan.
*****
Di jalan mereka berunding mau
diletakkan di mana guci uang itu. Bidang bilang di rumah Balu. Balu kemudian bilang di rumah Bidang saja. Keduanya menjadi
bingung. Untuk beberapa saat mereka bolak-balik memikul guci itu antara rumah
Balu dan Bidang. Karena capek dan pegal dari tadi bolak-balik memikul guci
berat. Akhirnya guci diletakkan di tanah lapang antara rumah Balu dan
Bidang. Rumani dan Lamkaka tampak memperhatikan tingkah dua sahabat
itu, dengan penuh tanda tanya.
“Balu, Aku perhatikan akhir-akhir ini anak kita
saling mencintai. Baiknya kita jodohkan mereka. Lalu uang ini kita hadiahkan
pada pernikahan mereka.” Kata Bidang deselah-selah nafas tuanya yang
ngos-ngosan memikul guci berat itu.
“Baiklah, itu adalah saran yang sangat
baik.” Kata Balu.
*****
Beberapa hari kemudian mereka
menikahkan Lamkaka dan Rumani. Keduanya tidak menolak bahkan sangat
bahagia, sebab keduanya memang sudah saling mencintai sejak lama. Pernikahan mereka dirayakan dengan
meriah. Banyak mengundang tamu dari kota dan seluruh Pedatuan Bukit Pendape.
Keesokan harinya setelah semua tamu pulang. Maka berkumpullah mereka diruangan
rumah Bidang.
“Rumani, Lamkaka anak kami, kalian sekarang menjadi orang kaya di
Pedatuan kita ini. Sebagai hadiah pernikahan kalian kami memberikan uang emas
satu guci ini.” Kata Bidang. Balu berharap kedua anak mereka menerimanya dan
hidup mereka menjadi semakin bahagia.
“Ayah, dan ayah mertua, bukan saya
menolak hadiah kalian yang banyak ini. Tapi kami sudah cukup dan kaya akan
cinta kami berdua dan cinta ayah pada kami. Jadi uang itu, untuk ayah berdua
saja. Dengan itu, kalian tidak perlu bekerja keras lagi. Istirahat di
masa tua.”
Jawab Rumani.
“Benar ayah, simpanlah dengan baik uang itu. Aku akan bekerja keras untuk mendapatkan nafkah.” Kata Lamkaka.
Balu dan Bidang tidak dapat berkata apa-apa lagi. Ada rasa kesal pada anak-anak mereka. Biasanya anak-anak manusia selalu berebut harta orang tuanya. Tapi anak mereka justru sebaliknya. Tapi apa hendak dikata itu keputsan mereka. Keduanya hampir bertengkar lagi, karena saling memberikan uang emas itu.
Mereka bertetengkar karena keduanya adalah orang-orang yang sangat baik. Bukan orang serakah, dan bukan orang menganggap uang hal paling berharga. Keesokan harinya, mereka kembali berunding bagaimana harusnya uang itu. Maka diputuskan untuk bertanya pada datu pemimpin mereka, Datu Talang Belimbing.
*****
Datu menerima mereka dengan ramah
sekali. Setelah berbincang-bincang basah basih, berceritalah Balu pada Datu.
Diawali penemuan guci besar yang penuh uang emas. Menurutnya uang itu milik
Bidang. Tapi kata bidang itu milik Balu. Mereka memberikan pada kedua anaknya,
tapi mereka juga tidak mau. Sehingga mereka tidak tahu bagaimana. Maka meminta
keputusan dari Datu bagaimanakah uang itu. Setelah selesai mendengar cerita
mereka, Datu manggut-manggut tanda dia mengerti. Kemudian Datu menanyai mereka bergiliran.
“Balu, uang emas itu, apakah kau punya
rencana untuk memanfaatkananya?. Tanya Datu sambil membelai janggutnya yang
panjang berwarna putih.
“Puyang, Datu Talang Belimbing, menurutku uang emas itu diserahkan ke Depati di Kota Pedatuan. Karena dialah yang berkuasa di Pedatuan kita ini. Dia akan menggunakan uang emas itu untuk kepentingan pedatuan.” Jawab Balu.
Mendengar jawaban Balu, Datu geleng-geleng kepala. Tanda dia kurang setuju. Kemudian Datu bertanya pada Bidang. Bagaimana dengan engkau, Bidang.”
"Datu yang bijaksana. Menurutku
ada baiknya uang itu diberikan pada hakim Kedatuan di Bukit
Seguntang.
Karena di sanalah keputusan dibuat dan masalah di selesaikan.” Kata Bidang.
Kembali sang Datu menggeleng-gelengkan kepalanya tanda kurang setuju. Kemudian
Puyang bertanya kepada anak Bidang, Rumani.
“Wahai cucuku Rumani, apa saranmu?.”
Tanya Datu.
"Menurut saya uang itu kembali
dikubur di dalam tanah, dan jangan sampai ada orang yang tahu. Maka semua
masalah uang itu akan selesai.” Kata Murani. Mendengar itu, Datu menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskan perlahan-lahan. Menurut pemikirannya ketiga cara
itu belum memuaskan. Sambil berpikir Datu kemudian bertanya pada Lamkaka.
"Lamkaka, bagaimana menurutmu
dengan uang emas itu, apakah kau ada usul.?” Tanya Datu.
"Bagai mana kalau saya akan menggunakan uang emas itu untuk membeli banyak lahan perkebunan, untuk ditanami pohon buah-buahan. Membuat sawa-sawa yang luas. Membangun bendungan air lebih besar. Agar saat kemarau tidak lagi kekurangan air di Pedatuan kita ini, Datu. Selain itu, membeli bibit ternak untuk dibagikan pada penduduk. Sebab selama kemarau panjang itu. Semua ternak di Pedatuan Bukit Pendape mati. Apabila nanti kebun berbuah. Masyarakat akan memetik buah-buahan sesuka hatinya. Masyarakat dapat menikmati buah-buahan tak harus membeli. Yang tidak ada beras akan menuai padi di sawah, dan mengambil air dengan bebas di bendungan.” Jawab Lamkaka, dia teringat bagaimana keadaan mereka beberapa tahun lalu.
Datu manggut-manggut dan tersenyum puas, dia setuju. Segera lakukan semua yang kau katakan Lamkaka. Begitulah seharunya kekayaan dipergunakan. Pergilah ke pasar di Kota Kedatuan untuk membeli bibit tanaman, bibit hewan ternak, bibit buah-buahan dan benih padi.” Kata Datu Talang Belimbing yang bijak sana itu.
*****
Lamkaka pergi ke Kota Kedatuan di hilir Sungai Musi. Menyusuri Sungai Keruh, terus ke Sungai Musi dan menuju Bukit Seguntang. Di Kota Kedatuan, banyak pedagang berbagai macam bibit ternak dan bibit tanaman. Perjalanan selama beberapa minggu dengan beberapa perahu bidar. Perahu kajang besar untuk membawa barang dan perbekalan, perahu bidar untuk para pekerja.
Kota Kedatuan sudah sangat padat, rumah-rumah panggung warga berada di sisi tebing sungai-sungai. Kemana-mana orang berperahu atau berakit. Banyak prajurit berlalu lalang menjaga keamanan. Lamkaka melihat balai kedatuan dikelilingi tembok kayu belian yang tinggi. Di sungai-sungai banyak rumah rakit, perahu kajang, perahu bidar, perahu biduk dan rakit-rakit. Di alun-alun kerajaan banyak prajurit berlatih perang dan ilmu bela diri. Di pelabuhan juga banyak kapal-kapal pedagang dari manca negara yang berlabu. Setelah puas berkeliling Lamkaka pergi ke pasar bersama orang yang dia pekerjakan.
“Uwa, dimana pedagang ternak dan bibit tanaman.” Tanya Lamkaka pada pedagang sayur.
Pedagang laki-laki itu menunjuk jauh kesebelah kiri. Lamkaka mengangguk dan
berjalan lurus sesuai petunjuk pedagang itu. Agak jauh tempatnya, dia
memperhatikan kiri kanan dimana dia berlalu.
“Akkkk. Akkkk. Akkkk.” Terdengar banyak
burung di dalam kurungan. Bermacam-macam burung ada di tokoh orang itu. Betapa
kasihan para burung itu, dimasukkan kedalam kurungan dalam jumlah banyak.
Sehingga sulit bergerak dan bernafas. Berung-burung berbuluh indah sekali, tapi
mulai sakit-sakitan.
“Burung, kalau kalian tidak laku hari
ini. Aku akan menyembelih kalian semua dan Aku makan. Rugi Aku membeli kalian mahal-mahal. Aku pikir
kalian akan menguntungkan, tapi Aku malah rugi biayah perawatan kalian.”
Sumpah si pedagang burung. Orang itu tampak kesal, semakin seramlah wajahnya.
“Alangkah banyaknya, burung-burung yang kau jual paman. Mengapa tidak
paman perlakukan dengan baik, kasihan sekali burung kuaw ini.” Kata Lamkaka, saat dia
melihat sangkar besar dipenuhi burung berbuluh indah.
“Sudahlah jangan
banyak bicara. Kalau kau tidak mau membeli, pergilah. Lagian harga burung kuaw
ini mahal. Kau juga tidak akan mampu membeli walau satu ekor. Aku rugi menjual burung-burung kuaw ini, tidak satupun yang laku. Habis biayah
perawatan saja keuntunganku beberapa bulan ini.” Kata pedagang burung itu kesal.
“Berapa harga semua burung-burung yang
ada di toko paman ini.” Tanya Lamkaka.
“Hai anak muda yang miskin, jangan
bergurau keterlaluan. Harga burung ini sangat mahal. Kau tidak akan bisa
membeli satu burung saja. Apalagi semua burung di toko ku ini.” Kata
si pedagang yang tinggi besar, juga berewokan. Tampak sekali kalau dia kejam
dan sombong. Dia melihat lamkaka yang berbaju sederhana. Dalam pandangannya
Lamkaka hanyalah anak muda miskin. Lamkaka menunjukkan uang emas di dalam
gendongannya. Mata pedagang itu terbuka lebar melihat uang emas yang sangat
banyak itu.
“Bagaimana, apakah semua uang emas ini
cukup membeli tokoh dan burung-burung paman semuanya.” Kata Lamkaka.
“Sangat cukup sekali, Puyang Muda.”
Kata si pedagang, dia mengira Lamkaka bangsawan muda kaya yang menyamar. Sehingga dia
panggil puyang.
“Bagaiaman puyang membawa burung ini pulang.” Tanya pedagang jahat itu sambil mengemasi barang dan uangnya.
Dia siap pergi dari tokonya dan tidak lagi menjual atau menangkap
burung-burung.
“Burung-burung ini akan pulang sendiri,
karena mereka juga punya rumah masing-masing.” Jawab Lamkaka.
Kemudian Lamkaka dibantu pekerjanya membuka semua sangkar burung-burung
itu, dan melepaskan semua. Ribuan burung-burung lepas dan terbang bebas kembali
ke alam. Tempat penjualan itu Lamkaka berikan pada sebuah keluarga
gelandangan di sudut pasar. Surat keterangan pembelian juga dia berikan. Bukan
main bahagianya keluarga gelandangan itu.
"Paman, tinggalah di tokoh ini.
Mulai sekarang menjadi milik paman. Syaratnya jangan dijadikan lagi tempat
menjual burung atau tempat maksiat lainnya.” Kata Lamkaka.
“Baik Puyang,
terimakasi banyak.” Ujar kepala keluarga itu.
*****
Lamkaka pulang bersama pekerjanya. Dia memberikan bayaran lebih pada mereka walau tidak membawa apa
pun pulang. Lamkaka hanya membawa buah-buahan segar dan beberapa kue untuk
istri dan kedua orang tuanya. Semua uang telah dia habiskan membeli
burung-burung yang kemudian dia lepaskan. Setiba di rumah, Lamkaka bercerita jujur pada
istri dan kedua ayahnya. Dia sudah siap dimarahi mereka, tapi anehnya semuanya
biasa saja. Hanya Lamkaka diminta ayahnya untuk memberi tahu datu, kalau dia
tidak jadi membeli bibit ternak dan bibit tanaman.
“Datu, semua uang emas itu sudah Aku belikan
burung-burung yang banyak sekali. Lalu semuanya Aku lepaskan dan tidak dapat
membeli bibit ternak dan bibit tanaman.” Kata Lamkaka, dia juga bersiap
dimarahi oleh datu sebab pekerjaannya sepertinya sia-sia.
“Oh, bagus sekali cucuku. Kau
menggunakan uang dengan baik dan benar. Kau tahu, buah kebaikan itu juga
kebaikan.” Kata Datu biasa saja. Begitulah kalau kumpulan orang baik dan tidak
seraka, uang hanyalah hal biasa.
*****
Karena kelelahan Lamkaka tertidur
nyenyak siang itu. Saat tertidur dia bermimpi. Di dalam
mimpinya Lamkaka melihat ribuan burung-burung yang dia lepaskan di pasar
Kota Kedatuan, mendatanginya. Burung-burung itu mengucapkan banyak terima
kasih. Karena telah membebaskan mereka dari pedagang kejam.
"Kami tidak
dapat mengembalikan uang emasmu, Lamkaka. Tetapi Aku dan rakyat burungku akan membantu
engkau membangun bendungan yang kau cita-citakan. Membuat sawah-sawah dan
menanam buah-buahan. Pada tanah yang kau beli itu. Nanti akan ada yang
mengantar bibit ternak untuk dibagikan pada penduduk.” Kata burung aneh di
dalam mimpinya. Beberapa saat kemudian Lamkaka terbangun.
“Hanya mimpi.” Guman Lamkaka.
Memperhatikan sekeliling kamarnya. Dia melihat istrinya juga tertidur di sampingnya. Dia melihat wajah istrinya yang cantik jelita. Tampak perutnya sudah membesar tanda kehamilan sudah di atas lima bulan. Sebentar lagi Aku jadi ayah, pikir Lamkaka bahagia. Sambil tersenyum Lamkaka tegak dan melihat ke luar jendela kamarnya. Dia menggeliat-geliat menghilangkan pegal. Sinar matahari sore menerobos jendela kamar. Sedikit mengecil matanya karena silau. Saat matanya terbuka lebar Lamkaka melihat pemandangan aneh.
Ternyata apa yang terjadi di dalam mimpinya. Benar-benar terjadi di alam nyata. Lamkaka melihat burung-burung yang dia beli di kota. Burung-burung yang banyak itu mengolah tanah. Dengan menggunakan cakar mereka, paru, dan kipasan sayap. Burung-burung itu menggali lubang dan memasukkan semua jenis bibit buah-buahan dan bibit bunga-bungaan.
Bibit ditimbun dengan tanah seperti ayam berkais. Ajaib, bibit tumbuh cepat dan membesar dalam hitungan menit. Lamkaka membangunkan istrinya, memberi tahu kedua ayahnya untuk melihat kejadian aneh itu. Ribuan burung dengan cakar besar mengangkut batu-batu dan terbentuklah bendungan. Air mengalir membentuk sawah, dan padi tumbuh menghijau, beberapa waktu kemudian padi masak, menguning. Warga Pedatuan Bukit Pendape juga keheranan mereka mendapat ternak datang sendiri kerumah-rumah mereka.
"Apa yang kalian lakukan.” Tanya Lamkaka heran
dari jendela. Rumani tampak mengucak-ucak matanya. Kedua masih belum percaya.
"Lamkaka kemarin kau membantu
kami. Kami adalah rakyat Dewi Burung. Maka sekarang
giliran kami untuk membantumu.” Kata seekor burung.
“Curuttt. Cruttt.” Biji-biji disiram dengan air oleh burung-burung lainnya. Setelah disiram, ajaib sekali. Tunas hijau muda yang bergoyang-goyang diterpa angin. Dalam waktu singkat pohon-pohon itu tumbuh besar, cabang bermunculan, daun lebat menyeruak. Mulai berbunga, lalu berputik dan buahnya pun masak. Tubuh puluhan pohon manggis yang berbuah emas. Memang semuanya sulit dipercaya.
Setelah semua tumbuh, lahan luas yang penuh tanaman itu di pagar dengan kayu ulin yang tinggi oleh para burung rakyat Dewi Burung. Dengan pintu gerbang yang terkunci ajaib. Yang dapat masuk dan menikmati hasil ladang ajaib hanyalah orang-orang miskin dan yang membutuhkan. Kalau ada orang mencuri atau merampas buah manggis emas dia akan terkena musibah bahaya. Sejak saat itu, penduduk Pedatuan Bukit Pendape hidup sejahtera dan bahagia. Kebun ajaib Lamkaka telah memberikan mereka makan dengan cukup.
*****
Tidak seberapa lama berita kebun ajaib Lamkaka terkenal keseluru Negeri Kedatuan. Banyak orang berkunjung untuk melihat atau meminta buah-buahan dari pedatuan lain.
Ternyata pedagang burung yang memiliki banyak emas semakin kaya. Sekarang dia telah memiliki pasukan bayaran. Mendengar adanya ladang ajaib itu. Dimana ada pohon manggis berbuah emas. Penjual burung serakah itu datang membawa pasukan bayarannya hendak merampas kebun ajaib itu. Dengan membawa seribu pasukan, seratus gajah terlati untuk merobohkan pagar kebun.
“Serahkan kebun dan pohon manggis emas
itu padaku. Kalian akan selamat dan Aku tidak akan mengganggu kalian.” Kata
pedagang burung yang jahat dan seraka itu.
“Ambillah dan berbuatlah sesuka hatimu. Aku tidak akan
menghalangi kamu wahai pedagang burung.” Kata Lamkaka. Dia tidak peduli dan tidak gila harta
sebagaimana pedagang itu. Mendengar itu, Pedagang Burung bersama pasukannya
menuju Kebun Ajaib. Mereka mulai berusaha masuk. Ada yang menggunakan tangga
menaiki pagar tinggi itu. Ada juga yang menggerakkan gajah untuk merobohkan
pagar.
“Dummmmm.” Pagar roboh dan pedagang Burung
dan pasukan bayarannya
masuk untuk menjarah isi kebun ajaib. Ada yang mengambil buah yang banyak. Namun ada yang aneh terjadi setelah
itu. Setelah memetik buah, tubuh mereka terasa panas lalu roboh. Beberapa saat
kemudian tubuh mereka berubah menjadi burung yang terbang tinggi. Sementara
itu, Pedagang Burung memanjat pohon manggis emas. Dia memetik banyak buah
manggis emas.
“Aku kaya, Aku semakin kaya di bumi
pedatuan.
Aku akan dapat menjadi Datu di Kedatuan ini nantinya.” Kata Pedagang Burung seraka itu, sambil
tertawa-tawa.
Dia ternyata ingin menjadi raja juga nantinya. Tiba-tiba angin bertiup kencang dan awan
hitam menutupi langit. Ada kilat dan suara guntur, kemudian petir berbunyi
keras berkali-kali.
“Duuaarrrr. Duuaarrr.” Petir menyambar
tubuh Pedagang Burung, tubuhnya hangus dan jatuh ketanah, mati. Dengan ajaib
tubuh Pedagang Burung itu berubah menjadi seekor tikus kecil atau tikus curut. Dengan ajaib, kebun Lamkaka kembali
seperti semulah. Masyarakat pun datang kembali seperti biasa mengambil buah-buahan, padi dan buah
manggis emas.
Kehidupan Lamkaka dan keluarga bahagia dan sejahtera.
Kirim saja ke Apero Fublic. Dengan syarat karya kirimannya hasil tulisan sendiri, dan belum di publikasi di media lain. Seandainya sudah dipublikasikan diharapkan menyebut sumber. Jangan khawatir hak cipta akan ditulis sesuai nama pengirim.
Sertakan nama lengkap, tempat menulis, tanggal dan waktu penulisan, alamat penulis. Jumlah karya tulis tidak terbatas, bebas. Kirimkan lewat email: fublicapero@gmail.com atau duniasastra54@gmail.com. idline: Apero Fubli. Messenger. Apero fublic. Karya kiriman tanggung jawab sepenuhnya dari pengirim.
Post a Comment