ANDAI-ANDAI: Ragata dan Tiga Suban Nama.
“Berilah nama anakmu, nanti suban nama
datang dan memberikan nama yang tidak baik pada anakmu.” Kata nenek. Kerabat
itu tidak menanggapi dengan serius. Lalu nenek bercerita andai-andai pada kami.
Sehingga dengan cepat mereka memberi nama pada anaknya yang baru lahir.
*****
Tersebutlah sebuah talang orang Melayu yang damai. Talang kecil berhuni tujuh puluh rumah. Talang tersebut bernama Talang Meranti. Penduduk menamakan Talang Meranti, karena saat membuka Talang dahulunya banyak terdapat pohon meranti. Terletak tidak jauh dari aliran Sungai Keruh.
Disuatu sore yang cerah, seorang pemuda berumur dua puluh lima tahun, sedang membelah kayu bakar di belakang rumahnya. Beberapa orang adiknya bermain di pekarangan rumah. Ibu dan adik perawannya sibuk memasak di dapur. Sedangkan sang ayah sedang sibuk mengolah bambu untuk dijadikan bubu, di serambi dapur. Seekor elang terbang berputar-putar di angkasa. Dan ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Angin berhembus menggoyangkan dedaunan kelapa yang tumbuh subur di samping rumah. Seekor tupai berlompatan di dahan-dahan pohon duku, dan pepohonan buah lainnya.
“Crakkk. Caraakk.” Suara kayu bakar
terbelah.
Suara kapak beradu memecah kayu bakar. Keringat membasahi tubuh, menetes dikeningnya. Telah banyak mendapat kayu bakar. Menjelang sore dia istirahat melepas lelah. Di jalanan talang ramai orang pulang dari ladang, dan perempuan pulang pergi mandi di sungai.
Malampun mulai merayap, suasana gelap gulita di Talang Meranti. Hanya lampu-lampu lentera yang menerangi. Jauh di dalam hutan terdengar suara harimau mengaum. Setelah makan malam, keluarga si pemuda bercengkrama berkumpul di ruang tengah rumah panggung basepat.
Lama percakapan, dan senda gurau di antara adik dan kakak. Sang ayah menikmati minuman madu hangat, dan ubi rebus. Di sela-sela percakapan itu, si anak mudah itu berkata pada ayahnya.
“Bak, Aku hendak pergi berpetualang barang
beberapa waktu. Tak pantas anak jantan hanya berlaku macam anak perawan, di
rumah saja. Aku hendak menjelajah wilayah Pedatuan kita ini. Seberapa luas dan
seberapa banyak penduduknya. Aku hendak mencari pengalaman baru walau hanya
menjelajah daerah sendiri. Sebagai anak muda tidak pernah berbuat sesuatu yang
berkesan. Hanya bekerja di ladang dan mengambil kayu bakar. Hidup hanya sekali,
masa muda tidak akan berulang. Aku ingin menguji kemampuanku, keberanian, dan
ketangguhan ilmu silatku. Aku meminta izin, Umak, dan Bak.” Kata si pemuda.
“Anakku, Aku orang tuamu tidak
keberatan dengan keinginanmu. Hanya saja apakah tekadmu sudah bulat, dan kau
merasa sanggup, siap menanggung semua akibatnya. Karena kau akan menghadapi
banyak tantangan. Bertemu dengan orang jahat, binatang buas, suban, kelaparan dijalan, atau tersesat.
Memang seorang pemuda harus berpetualang agar membuka mata hati dan menambah
pengetahuan hidup.” Kata ayahnya.
“Bak, Aku berharap apabila Aku sudah ditempa oleh pengalaman dan
pengetahuan kelak apabila ada pemilihan prajurit, Aku dapat mengikuti. Bukan hanya
mengadalkan ilmu bela diri tetapi pengetahuan yang luas juga.” Katanya. Lalu matanya
memandang ibunya dan berkata. “Bagaimana
menurut umak.” Tanyanya.
“Kalau seorang ibu tidak akan relah
anaknya pergi jauh darinya. Khawatir sesuatu hal buruk menimpa. Tetapi apabila
itu sudah menjadi keputusanmu, dan tekadmu. Ragata anakku, Aku mengizinkan
kepergianmu. Umak mengerti seorang pemuda mempunyai jiwa berpetualang. Anak
laki-laki tak dapat dikurung. Kapan engkau hendak berangkat, nak.” Kata ibunya.
“Lusa pagi Mak, besok Aku hendak bersiap dan berpamitan dengan keluarga, dan melapor ke Datu.” Jelas Ragata.
Setelah berpamitan dengan keluarga besarnya dan melapor ke datu, Ragata pergi memulai petualangannya menjelajahi Pedatuan Bukit Pandape. Membawa buntalan pakaian, panah, pibang kidau dan pibang kanan. Pibang adalah senjata adat di Pedatuan Dataran Negeri Bukit Pendape. Pibang bukan hanya menjadi senjata yang di bawa kemana-mana, tetapi juga menjadi syarat dalam adat pernikahan. Yaitu adat genti duduk namanya. Genti duduk bermakna sebagai pengganti keberadaan si anak perempuan yang sudah menikah.
Ragata memulai petualangannya dengan berakit kehilir Sungai Keruh. Menuju muara di Sungai Musi. Sampai di muara, Ragata mengayuh ke hulu dengan perlahan. Satang dia dorong perlahan dan mengamati sepanjang tebing sungai. Banyak hewan liar yang dia temui, buaya, ular besar, ikan besar, bermacam-macam burung. Semunya dia amati dengan seksama. Pepohon rengas besar dan tinggi tumbuh subur di tebing Sungai Musi. Banyak lebah bersarang di dahan yang tinggi. Burung elang bersarang.
“Plungggg.” Buah rengas berjatuhan ke dalam air.
Menurut Ragata, seandainya di setiap tebing sungai terdapat banyak pohon rengas yang tumbuh maka tebing sungai akan kuat dan terhindar dari longsor. Banyak ikan bersarang pada akarnya yang bergambut dan hewan-hewan lain bersarang di dahannya. Setelah puas berakit beberapa hari menyusuri Sungai Musi. Sekarang Ragata naik ke darat. Dia melihat arah matahari, dan memastikan arah yang dia ambil nanti tepat menuju Bukit Pendape. Dia ingin mengelilingi Pedatuan Bukit Pendape.
Menembus hutan, menyeberangi rawa-rawa, dan sungai-sungai. Kadang dia melewati ladang dan talang-talang orang. Di mampir dan bertanya arah. Para penduduk yang baik menawarkan makan dan minum. Suatu hari dia dihadang beberapa pemuda.
“Hai kau, mengapa lewat di sini.?”
Bentak seorang pemuda garang.
“Aku hanya numpang lewat kawan, tidak ada maksud lain.” Jawab ragata
ramah. Tapi pemuda-pemuda seumuran dengannya itu tidak mau
memberi jalan. Lalu mereka bertarung dan mengeluarkan kemampuan silat
masing-masing. Ragata mampu mengalahkan mereka, dan dia segerah pergi. Dia pun
selalu melapor ke Datu talang yang dia lalui.
“Auuummmm.” Seekor harimau jantan
menerkam Ragata, untung dia dapat mengelak dan pertarungan terjadi. Ragata
mencabut pibang kiri dan pibang kanan. Beberapa saat kemudian dia
dapat mengalahkan harimau itu. Teringat perkataan ayahnya, kalau berpetualang
itu banyak tantangannya.
“Benar sekali
kata, Bak.” Kata hati Ragata.
*****
Seorang kakek-kakek tua yang sudah
bongkok, rambut putih dan janggut pun sudah putih. Dia sibuk membakar ayam
hutan di sisi jalan setapak. Keringat mengucur karena panas bara api. Ada
bumbung bambu wadah air yang dia panaskan di atas api. Tidak jauh dari situ,
mengalir sungai Rawas.
“Kakek, boleh bertanya kiranya.” Kata Ragata.
Si kakek tersenyum, dia tidak langsung menjawab. Kemudian berdiri dan menghadap
Ragata. Tercium oleh Ragata harumnya ayam panggang. Perutnya
yang lapar dan haus membuat air liurnya menetes.
“Bujang, baiknya duduk dahulu,
sepertinya kau datang dari jauh.” Kata si Kakek dan mengajak Ragata duduk pada
potongan kayu besar tidak jauh dari api. Karena lelah akhirnya Ragata setuju
dan kakek membagi dua ayam bakar lalu diberikan pada Ragata. Keduanya
berbincang sambil makan dan banyak yang Ragata tanyakan.
“Bujang mau ke mana, apa tujuanmu?.
Tanya si Kakek. Ragata berkata kalau dia ingin menjelajahi Pedatuan Bukit
Pendape, mencari pengalaman. Sekarang dia ingin menuju Bukit Pendape. Kakek itu
manggut-manggut dan banyak memberi nasihat. Beberapa saat kemudian Ragata
mengantuk dan dia tertidur. Dalam tidurnya dia bermimpi kakek itu memberinya
sesuatu.
“Bujang, ini tulang bertua namanya, di balut kulit harimau kumbang, di ikat abuk sakti. Orang memilikinya
dapat mendengar dan melihat bangsa suban.” Kata si kakek, lalu dia pergi entah
kemana. Ragata terbangun, dia melihat benda itu ada di tangannya. Api sudah
padam, tampak bumbung bambu berisi air minum sudah terletak didekatnya. Kakek
itu sudah tidak ada lagi, sunyi dan sepi sekeliling.
“Cuittt.
Cuuiittt.” Hanya suara burung-burung terdengar.
*****
Dua bulan telah berlalu. Ragata sangat kelelahan karena mendaki dan menuruni Bukit Pendape. Sebentar lagi hari akan gelap. Menurut keterangan dari warga Talang Kulim, dalam satu setengah hari perjalanan dia baru tiba di talang warga lagi, Talang Rengas namanya. Itu berarti dia terpaksa bermalam di tengah hutan malan ini.
Ragata memutuskan bersiap bermalam. Dia mengumpulkan ranting kering dan mencari tempat baik menurutnya. Dia beristirahat di bawa pohon marabungan. Pohon itu, rindang dan banyak dahan-dahan yang dapat dia jadikan tempat tidur. Di atas pohon akan aman dari harimau dan ular. Dia membuat api dan membakar ubi bano yang dia temukan di sekitar itu. Setelah minum, dan perutnya kenyang dia naik ke pohon marabungan. Badannya dia ikat dengan akar pohon yang dia siapkan. Agar saat tidur dia tidak jatuh kebawah.
“Apinya sudah padam, kita bisa
berbincang-bincang lagi.” Bunyi suara orang berbincang-bincang. Mendengar itu,
mata Ragata terbuka lebar melihat ke sekeliling. Ragata gemetar,
berusaha melawan rasa takut.
“Dia tidur di rumah kita. Terpaksa kita
mencari tempat lain untuk tidur malam ini.” Kata suara satunya lagi. Ragata
berpikir pastilah yang berbincang-bincang itu suban hutan itu. Dia memegang
benda pemberian kakek beberapa bulan lalu dan teringat kalau dia akan dapat
melihat suban dan mendengar suara mereka. Ragata tidak takut lagi, sebab suban
hanyalah mahluk halus yang berupa bayang-bayang saja.
“Grrusuk. Grusak. Grusaak.” Terdengar
suara seakan-akan orang berjalan disemak-semak.
“Hei, istri Datu Talang Rengas baru
saja melahirkan dua hari yang lalu. Anaknya kembar semua laki-laki. Anak itu belum diberi nama.” Kata suara ketiga yang baru
datang sepertinya.
“Yah, di sebelah hulu Talang Rengas ada
juga wanita melahirkan. Anaknya juga laki-laki, belum diberi nama juga.” Kata suara pertama tadi.
“Ayo kita kasih nama anak-anak itu.”
Kata suara kedua tadi.
“Anak Datu Talang Rengas yang kembar
akan Aku namakan, Mangsa Buaya.” Kata suara ketiga.
“Kalau anak perempuan di hulu Talang
Rengas aku namakan, Datu Kemenangan.” Kata suara pertama.
“Kalau anak Datu Talang Rengas yang
satunya Aku namakan, Makanan Buaya.” Kata suara kedua ikut menyahut.
“Ayo kita pergi, sebelum terlambat.
Nanti sudah diberi nama oleh orang tuanya.” Kata suara ketiga, kembali
terdengar orang berjalan di antara semak-semak. Ragata mendengar
dengan jelas semua itu. Beberapa saat dia pun tertidur dan bangun saat matahari
menyinari tubuhnya.
*****
Talang Rengas tampak damai dan tenang,
ibu-ibu menumbuk padi, orang tua mengayam keranjang dan bubu di serambi rumah.
Anak bermain-main di lapangan berumput, banyak juga yang pulang dari ladang dan
menggendong kayu bakar.
“Mamak, dimana rumah Datu Talang Rengas.” Tanya seorang pemuda pengembara.
“Rumah datu tidak jauh dari sini,
lurus. Apabila menemukan rumah besar dan halaman luas, itulah rumahnya.” Jawab
laki-laki itu sambil menunjuk arah. Ragata mengucap terimakasih dan
pergi. Dia tersenyum ramah saat berpapasan dengan penduduk. “Sepertinya seorang pengembara.” Kata penduduk
saat melihat Ragata.
Ragata masuk halaman rumah, dia menemui
seorang laki-laki berumur empat puluhan tahun yang sedang membuat perahu
bidar. Di sisi
rumah seorang ibu-ibu tua sedang menjemur padi. Di dalam rumah terdengar tangisan
dua bayi.
“Apakah Uwa Datu Talang Rengas.” Tanya Ragata
sesampai di depan rumah.
“Benar. Bujang sendiri siapa, dari mana
dan hendak ke mana.” Jawabnya, dia bangkit dan menemui Ragata.
“Aku Ragata, dari Talang Meranti Puyang.” Jawab Ragata. Datu menawarkan untuk
mampir. Ragata menolak dengan halus, karena dia akan segerah menemui sebuah keluarga di hulu
talang. Ragata menceritakan peristiwa di hutan semalam. Tiga siluman nama berbincang-bincang tentang penamaan
anak datu yang baru dilahirkan, dan belum diberi nama. Datu terkejut,
dia mengakui sampai hari itu belum dapat nama untuk kedua anaknya.
“Apa nama
diberikan suban nama itu.” Tanya Datu.
“Mangsa Buaya
dan Manan Buaya.” Jawab Ragata, membuat Datu Talang Rengas terkejut dan takut.
“Baiklah Puyang, saya mohon diri.” Kata Ragata. Dia
pergi ke arah hulu talang. Beberapa kali dia bertanya pada beberapa warga yang
dia jumpai. Dimana rumah orang yang baru melahirkan anak. Ragata menemukan
sebuah rumah yang sederhana. Beratap daun serdang, dan berdinding bambu. Terdengar suara
bayi menangis.
“Bujang, ada apa kiranya kau mampir ke
rumah kami yang buruk ini?.”
“Koyong, boleh saya bicara sebentar.”
Ujar Ragata. Laki-laki itu mengangguk. Kemudian ragata menceritakan kejadian di
hutan semalam. Dia menyampaikan kalau suban menakan anaknya, Datu Kemenangan.
Dia bilang hanya mau menyampaikan berita gembira itu saja. Mendengar itu,
lelaki itu menjadi tertarik. Dia meminta agar Ragata mampir sebentar. Ragata tidak
menolak dan masuklah kedalam rumah.
“Ayo cicipi nira panas, ubi rebusnya.”
Ragata dihidangkan minuman dan makan. Mereka berbincang ringan dan saling
memperkenalkan diri. Nama orang itu, Batang Kilu.
“Benar, Aku belum memberi nama anak kami. Entah
mengapa saya rasa namanya tidak ada yang cocok.” Cerita Batang Kilu. Setelah itu, Ragata pamit untuk pulang. Dia sudah
lelah berpetualang berbulan-bulan.
“Pakailah rakit saya di tepian.” Kata
Batang Kilu. Betapa berterimakasih Ragata sebab dia tidak lagi perlu membuat
rakit. Batang Kilu di ikuti istri yang menggendong anaknya mengantar Ragata ke
tepian mereka di Sungai Keruh.
“Dik, ini bekalmu diperjalanan. Kau
akan berakit selama seminggu baru tiba di Talang Meranti.” Kata istri Batang
Kilu seraya memberikan keranjang kecil berisi makanan. Sebuah pancing juga di berikan Batang Kilu.
“Terimakasi Kopek, Koyong maaf telah
merepotkan. Kalau sedang ke hilir, mampirlah ke Talang Meranti.” Kata Ragata.
Dia mulai mengayunkan satang mendorong rakit menghilir Sungai Keruh. Batang
Kilu dan istrinya memperhatikan Ragata yang terus menjauh di tengah sungai,
kemudian menghilang dari pandangan di kelokan sungai.
“Dia bujang yang hebat. Kita namakan
anak kita sama seperti namanya, Ragata. Agar kelak dia mengenali kalau
seandainya anak kita memang menjadi seorang datu.
*****
Setelah cerita Ragata itu, Datu Talang Rengas mengumumkan akan memburu semua buaya di Sungai Keruh. Warga Talang Rengas semuanya membantu. Begitupun Depati Pedatuan dan datu-datu talang lainnya membawa pasukan membantu memburu buaya-buaya di Sungai Keruh. Mereka membuat jebakan di Sungai Keruh. Saat buaya melintas pasti tertangkap. Mereka berburu sepanjang waktu, bertahun-tahun sehingga habislah seluruh buaya Sungai Keruh. Sehingga sampai sekarang tidak ada lagi buaya di Sungai Keruh.
Tapi, ada seekor buaya besar yang sulit sekali ditangkap. Buaya ini gesit dan sangat lincah, tidak mudaah terkecoh jebakan. Datu Talang Rengas tidak putus asa. Dia membuat pagar dengan bambu-bambu panjang melintasi badan sungai. Di tengahnya dibuat muara dengan pintu di buat menggantung di atas. Tali penggagung cukup sekali potong maka pagar sungai akan tertutup rapat. Sehari, sebulan, dua bulan, dan bulan yang ketiga, si buaya yang cerdik itu juga terkecoh, lalu terkurung dalam jebakan.
Musim kemarau tiba, air sungai surut sekali. Sehingga buaya yang terkurung dapat ditangkap Datu Talang Rengas. Buaya ditombak beberapa kali sehingga tewas. Badan buaya dibawa ke halaman rumah datu yang luas. Datu begitu gembira, dia yakin sekarang kalau dia telah menghilangkan ancaman pada dua anak laki-lakinya. Penamaan suban pada anaknya dengan nama “mangsa buaya” tidak akan terjadi. Diadakan perjamuan makan untuk semua warga dan mengundang para datu talang lain juga depati. Banyak sapi dan kambing yang di potong dan makanan yang di siapkan.
Anak datu yang kembar bermain-main di dekat buaya yang sudah mati itu. Kemudian keduanya bermain di dekat bangkai buaya. Tanpa sengaja kaki mereka tersandung dan terjatuh. Kaki dan tangan keduanya tergores oleh kuku buaya. Tampak luka kecil dan berdarah, membuat keduanya menangis.
Hari demi hari berlalu. Luka goresan terus membengkak dan bernanah. Semua obat telah di coba oleh Datu Talang Rengas dan keluarganya. Ternyata luka itu trus melebar dan bengkak. Akhirnya ke dua anak kembar sang datu meninggal dunia.
*****
Dua puluh lima tahun kemudian anak yang dinamakan Datu Kemenangan oleh suban nama, benar-benar menjadi datu di Talang Rengas. Dia menggantikan datu pemburu buaya yang sudah tua. Dia tidak ada pewaris karena dua anaknya meninggal karena terluka goresan kuku buaya.
Kisah bermulah saat Pedatuan Bukit Pendape di serang perompak. Serangan pasukan perompak yang banyak dan tiba-tiba. Membuat Depati terpaksa mundur dan menyusun kekuatan di Talang Rengas. Kemudian diadakan pemilihan hulubalang-hulubalang untuk memimpin perang. Datu Kemenangan terpilih menjadi seorang hulubalang.
Saat Datu Talang Rengas meninggal
dunia. Dia tidak ada pewarisnya, maka diadakan pemilihan Datu baru oleh warga Talang Rengas. Hulubalang Ragata ikut pemilihan Datu. Karena memang dia orang yang baik dan
hebat maka rakyat memilihnya. Depati kemudian menobatkannya menjadi Datu Talang
Rengas dan digelari Puyang Ragata Datu Kemenangan.
*****
Suatu ketika, Pedatuan Bukit Pendape diserang suku
liar dari hutan. Yang dikenal dengan suku Kubu. Karena dianggap memiliki
kemampuan perang Depati menunjuk Datu Kemenangan menjadi Panglima Perang.
Peperangan terjadi selama satu bulan, dan mereka berhasil memenangkan perang.
Setelah perang usai seorang datu tua menghampiri Datu Kemenangan.
“Apakah kau anak Paman Batang Kilu.”
Tanya seorang Datu tua dari Talang Meranti.
“Benar paman, tapi ayah saya telah
meninggal dunia.” Jawab Datu Kemenangan.
“Siapa nama mamak datu.” Tanya Puyang Ragata Datu Kemenangan.
“Ragata.” Jawab Datu tua itu.
“Oh, mamak datu yang diceritakan Bak duluh.” Jawab Datu Kemenangan.
Ragata menjadi datu Talang Meranti, sebab datu dan pewarisnya sebelumnya mati sewaktu perang melawan perompak. Mendengar itu, Datu Kemenangan terkejut dan berbahagia. Dia sekarang berjumpa dengan orang yang diceritakan oleh ayahnya dua puluh lima tahun lalu.
Editor. Desti. S. Sos.
Palembang, 23 Juli 2018.
Pengertian kata: 1. Bumbung: potongan ruas bambu. 2. Bak: Ayah. 3. Umak: Ibu. 4. Talang: Kampung. Nama suatu pemukiman penduduk dimana penduduknya masih sedikit. 5. Datu: kepala desa. Pemimpin. 6. Suban: Siluman. 7. Pibang: nama senjata tradisional masyarakat Kecamatan Sungai Keruh.
8. Dataran Negeri Bukit Pendape adalah nama wilayah Marga Sungai Keruh dahulunya. Datarannya terbentang luas dari perbukitan Bukit Pendape sampai ke Tebing Sungai Musi, di Kabupaten Musi Banyuasin. 9. Bujang: anak muda, perjaka. Lelaki yang belum pernah menikah.
10. Pedatuan adalah suatu kawasan wilayah, terdiri dari daerah datu (Talang) yang bersatu membentuk pemerintahan di bawa otoritas Kedatuan Sriwijaya. Sama dengan kecamatan atau kabupaten zaman sekarang. 11. Depati. Gelar pemimpin Pedatuan.
Kirim saja ke Apero Fublic. Dengan syarat karya kirimannya hasil tulisan sendiri, dan belum di publikasi di media lain. Seandainya sudah dipublikasikan diharapkan menyebut sumber. Jangan khawatir hak cipta akan ditulis sesuai nama pengirim.
Sertakan nama lengkap, tempat menulis, tanggal dan waktu penulisan, alamat penulis. Jumlah karya tulis tidak terbatas, bebas. Kirimkan lewat email: fublicapero@gmail.com atau duniasastra@gmail.com. idline: Apero Fublic. Messenger. Apero fublic. Karya kiriman tanggung jawab sepenuhnya dari pengirim.
Post a Comment