Sastra Moderen
NAFIRI. Kumpulan Sajak Kenangan.
Apero Fublic.- Nafiri
merupakan alat musik tradisional yang berasal dari provinsi Riau di Pulau
Sumatra yang bentuknya mirip dengan trompet. Tidak ada penjelasan dari penulis
kenapa buku puisi-nya diberi judul Nafiri. Nafiri adalah bentuk buku antologi
sastra yang muatan sajak-sajak Djamil Soeherman.
Penyair tahun 1950-an yang
mengakhiri keputisannya saat tekanan politik. Buku puisi ini diterbitkan oleh
Penerbit Pustaka, Perpustakaan Salman Institut Teknologi Bandung, di Bandung
pada tahun 1403 Hijriah atau 1983 Masehi, dengan desain sampul Anne Rufaidah.
Buku puisi ini diberi judul Nafiri dengan memuat 58 sajak, terdiri dari 58
halaman isi dan 10 halaman pengantar. Semua sajak-sajak ditulis oleh Djamil
Suherman. Sedangkan mukadimah ditulis langsung oleh Djamil Suherman, kemudian
kata pengantar ditulis oleh H. Mahbub Djunaidi. Buku kumpulan sajak Djamil
Soeherman juga beliau persembahkan kepada istrinya.
Dalam mukadimah Djamil Soeherman berkata: usia tua akhirnya menggelitik
rasa kerinduan terhadap sesuatu yang pernah dicintai, juga rindu pada sajak
yang pernah diciptakannya. Karenanya aku kumpulkan sajak usang ini sekedar
melepas rindu, sebagai nostalgia ketika menginjak masa surut.
Betapa nikmatnya.
Buku kecil ini berisi kumpulan sajak yang pernah kubuat di tahun 1953 dan
berakhir di tahun 1967. Setelah itu aku tidak punya gairah lagi untuk
meneruskannya. Hari-hari semakin sulit bagi kehidupan para penyajak di saat-saat
para seniman jatuh sakit oleh polusi politik negaranya. Aku insaf, masa ku
telah berlalu dan kawan-kawan seangkatan ku pada pergi, atau mengurung diri
atau lari.
Aku pikir, belum aku temui-temui ciptaan-ciptaan besar akhir kurun waktu
ini. Hanya sedikit saja sajak-sajak penentang tirani dan pengikut-pengikutnya
–yang toh akhirnya jatuh sakit pula. Aku sangat rindukan Chairil, Asrul, Jasin.
Aku rindukan Ayip, Goenawan dan Taufik. Aku rindukan Ali, Toto, Muhammad dan
Saribi.
Mereka adalah orang-orang pendiam dalam dunianya yang bergejolak, namun
santun penuh fitrah. Aku dengar falsafah hidup mereka, aku dengar
dendang-dendang-nya yang mengalun lembut ke lazuardi menemui tuhan mereka.
Untuk itu aku lagukan sajak ini kepada mereka sebagai gema persahabatan antara
yang malang. Aku ingin dengar tantangngannya, kapan kita bertarung lagi.
Djamil
Soeherman. Bandung, Juli 1981.
Dari
mukadimah ini, dapat dipahami bagaimana mereka dapat berkarya pada masa Orde
Lama. Kemudian di tahun 1967 di saat itu, adalah tahun mulai kenaikan Kekuasaan
Orde Baru mereka tidak dapat lagi bersajak dengan bentuk kebebasan kritik dan
ekspresi. Sejak masa Orde Baru sastra Indonesia boleh dikatakan mengikuti
politik Orde Baru.
Dapat kita lihat bagaimana novel-novel cerita porno yang
melakukan hubungan sex atau cerita novel menggunakan alur yang mengajak sex
bebas. Alhasil, sekarang norma-norma wanita hilang dengan pengaruh yang sangat
buruk itu. Tidak hanya itu film-film Pada Masa Orde Baru juga menyajikan adegan
mesum dalam jalan cerita film, yang membuat pengaruh birahi dalam imajinasi
generasi muda Indonesia.
Sekarang hasil dari semua sastra
rusak pada masa Orde Baru membakar nusantara ini dengan kekotoran
akhlak, yang merusak tatanan susilah asli Bangsa Indonesia. Maka dapat kita sebut
itu sebagai “Dosa-dosa Rezim.” Karya sastra Indonesia tidak memiliki
nilai-nilai keindonesiaan, hanya berbentuk contekan, jiplakan dari karya-karya
bangsa lain. Atau kita sebut sastra rusak.
Kata
Pengatar Dari Teman Lama
Saya
dan Djamil Soeherman se-angkatan tahun 50-an. Sama-sama nulis syair, misalnya
di majalah SIASAT. Sama-sama bikin cerpen, misalnya di majalah KISAH, yang
dipimpin H.B. Jasin. Salah satu vak Djamil: bikin cerpen romantik kehidupan di
pesantren. Begitu bagusnya sampai-sampai ingin rasanya saya mesantren, selain
ngaji- kepingin terlibat roman seperti dilukiskan oleh Djamil
Soeherman.
Tahun 60-an ke atas saya pindah ke lapangan. Ya jadi wartawan,
ya jadi politisi (yang “kata orang jadi orang jahat”). Saya tetap menulis,
tetapi coraknya lain. Pernah kawan baik saya Ayip Rosidi tanya: “kok tidak
nyajak-nyajak lagi? Saya jawab: Sekarang saya sudah insyaf.’ Ayip Rosidi
melotot, seperti ada setan berdiri di depannya. Dan sayapun pisah lapangan
dengan Djamil Soeherman. Tak pernah ketemu-ketemu, seperti penduduk lain benua.
Tahu-tahu saya dengar dan ketemu di PERUMTEL. Jadi orang penting di Humas.
Karena di dunia ini jarang terjadi hat tak terduga (kambing kepala dua,
nyiur bercabang dan sebagainya) saya pun tak kaget. Penyair dan penulis cerpen
jadi masinis pun bisa saja. Mungkin kera yang tidak bisa jadi
Humas.
Sekarang teman saya Djamil Soeherman ini bikin buku kumpulan
sajak-sajaknya, tanpa mengenyampingkan tugas jabatan memberitahu umum betapa
pentingnya makna “Revolusi Komunikasi” dan betapa pentingnya maksud “Telepon
Masuk Desa lewat satelit.” Bukankah manusia tidak bisa hidup melulu dengan
telpon atau telex?. Sejak Homer di zaman Yunani purba entah hingga kapan sajak
masih diperlukan orang kecuali kalau dia sudah kepingin berpisah dengan
peradaban.
Kata orang, hanya orang “gila” yang mau beli buku kumpulan sajak.
Mungkin ada betulnya. Tetapi bukankah dunia ini penuh dengan orang-orang “gila”
baik yang berterang-terangan atau sembunyi-sembunyi? Jangankan di jalanan, di
kantor-kantorpun banyak orang “gila.” Film apa yang mampu merebut 5 Academi
Awards sekaligus?. Film One
Flew Over the Cuckoo’s Nest. Itu film orang gila dengan kadar yang
berbeda-beda. Tapi pokoknya gila!.
Bandung,
16 Maret 1981.
H.
Mahbub Djunaidi.
Berikut,
Cuplikan dari sajak Djamil Duherman.
SUNYI
Yang
sunyi bersendiri
Yang
pergi tak kembali
Tapi
sunyi dan pergi lahir atas cinta
Yang
kisahnya terkubur hari ini
Mereka
lupa mulanya
Ada
kegelapan sesudah purnama.[1]
(Pena
1954)
JENDELA
TUA
Kepergiannya
tanpa saksi
Biar
dinding setua ini
Terlukis
sebuah wajah
Pucat
tanpa nama
Tanah
kering sekeliling
Daun
dan bunga berguguran
Ah
jendela setua ini
Sudah
lama tak bicara lagi.[2]
GERIMIS
MALAM
Gerimis
malam
Jangan
singgung simpul hati kerna kemuraman langitmu
Yang
sibak oleh kekuyuan tangis di seberang sana
Meratap
sendu mengalun dibawa kepak burung
Senja
laut
Mengiris
mendekatkan rasa pedih padanya
Segala
kekalahan kini telah kupendam di bawah
Dekapan
Pada
tubuh dingin atas ranjang biru
Gerimis
malam
Kenangan
berebut mimpi mata-mata yang lelah
Tiada
kepedihan setajam ingatan pada yang mati
Atas
kelembutan kata dan bahasa wajah
Kini
jauh tersalib di kelam lautan tak bertepi.[3]
(budaya
1956)
SERUAN
Ditingkap
perjuangan kini jangan seorang membuat janji
tentang
masa depan yang kabur - tertancapkan bendera di timur
saat
fajar tersingkap kulepas peluru jantanku
dan
bangun untuk semua yang mati
setiap
langkah hanya kebagian sekali
maut
dan kemerdekaan
meski
beribu tombak dipatahkan, ikutkan
walau
ke jurang paling dalam
pancangkan
seribu doa dan hapus segala kenang
setiap
tetes airmata didihkan biar bertambah garang
demi
darah anak pahlawan
Ditingkap
perjuangan kini jangan orang mencipta sajak
tentang
masa remaja yang sendu sedap jadikan bajak
saat
sungai masih mengalirkan kesuburan - kulepas hasratku
bangun
untuk semua yang terharu
setiap
jangkauan hanya kebagian sekali
maut
dan kemerdekaan
bawalah
daku ke penderitaan paling dalam
panjatkan
seribu puja dan hapus segala ingatan
dan
taungkan anggur paling garang
demi
tanah kelahiran membakar api kemerdekaan
Tombak
tombak telah ditancapkan pedang pedang bertetakan
runcingkan
segala yang tumpul asah segala yang rompeng
anak
gembala menyandang suling jadi bedil
wahai
penyair, lagukan
pertarungan
dimulai lagi.
(Budaya
1962)
oleh:
Djamil Soeherman.
PERSAHABATAN
(bagi
moesy & soge')
Kita
hakikatnya dilahirkan satu nama
penderitaan
dan kesetiaan
tapi
tarikan tali nasib
menyeretku
mengenal takdir
Karenanya
mari kita berbimbing tangan
fajar
gemilang di hadapan
kita
adalah orang-orang merdeka
tahu
betapa kebenaran ditempa
meski
dalam dada yang terluka
(Horizon
1969)
oleh:
Djamil Soeherman.
AIRMATA
Airmata
airmata airmata
mengucur
di rimba malam
mencair
basah di deraian pasir
luka
hati memendam duka
memukau
kegairahan wajah
o,
siapakah bahana malam?
cintaku
tanggal satu satu
tangan
tanpa berpangku - rintih tangis menyedu
o,
fajar bila bayu pagi bersilir
dukaku
kian melingsir
nun
lazuardi yang sunyi
antarkan
dukaku ke batas sepi
air
mata
usiaku
berangsur pergi
(Walt
Whitman
dari
Leaves of grass/
Suntingan-1954)
MALAM
DI SEBUAH PANTAI
Malam
di sebuah pantai
tercenung
anak dan bapak sansai
menanti
timbulnya gemintang timur
menggapai
sayap malam pekat
awan
bergulung ombak mengalun
hitam
sunyi merunduk lenyap di kaki langit
jupiter
merah telah lahir lembut
mengusap
malam resah
anak
berpeluk bapak
secerca
kilat memancar
sayup
tangis sedih, o anak
jangan
meratap, sayang
suruhkan
kepalamu ke jantungku
tiada
lagi kilat tiada lagi badai
jupiter
adalah punyaku
kelepak
malam terkulai resah
mendesak
fajar menggulum di timur
anak
dan bapak mengadah sayu
masa
depan membayang di wajahnya
(Walt
Whitman
dari
Leaves of grass/
Pena-1954)
Tulisan
ini menginformasikan dunia sastra Indonesia moderen setelah masa permulaan.
Penyair angkatan limapuluhan. Semoga informasi kecil ini dapat memberi gambaran
dan inspirasi untuk para pemerhati sastra Indonesia moderen.
Oleh:
Arip Muhtiar.
Editor.
Selita. S.Pd
Fotografer.
Dadang Saputra.
Palembang,
2018. Sumber dan Hak Cipta: Djamil Soeherman, Nafiri, Bandung:
Pustaka, 1983.
Sy. Apero Fublic
Via
Sastra Moderen
Post a Comment