Sejarah Umum
Pengaruh Politik Dalam Pembangunan Masjid di Indonesia
Apero Fublic.- Politik
selalu mempengaruhi kehidupan secara luas di masyarakat yang berada dalam
lingkup kekuasaanya. Menurut Bertolt Brecht, buta politik akan berdampak patal
bagi suatu masyarakat. Sebab politik akan mempengaruhi kehidupan secara luas,
seperti biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semua bergantung
pada keputusan politik.
Politik juga berdampak pada munculnya pelacuran, anak
terlantar, perampokan. Politik juga menyebabkan korupsi, monopoli perusahaan
multi nasional, yang akan menguras kekayaan negara. Dalam pengamatan saya,
selain hal demikian, politik juga mempengaruhi kebudayaan dan sosial
kemasyarakatan.
Berikut ini, adalah sedikit pemaparan dampak politik pada
pembangunan rumah ibadah umat Islam di Indonesia. Pengaruh kuat saat itu adalah
politik Orde Baru, dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Orde Baru adalah
bentuk pemerintahan otorianisme kekuasaan dengan dukungan ABRI. Penangkalan
Islam politk dan penghilangan pengaruh Orde Lama dalam kepemimpinan Presiden
Soekarno.
Perkembangan arsitektur masjid di Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh
berbagai kebudayaan. Seperti kebudayaan lokal, Cina, Hindu, Asia Barat. Selain
budaya, sistem politik dan pemerintahan Indonesia juga sangat berpengaruh pada
pertumbuhan dan perkembangan bentuk arsitektur masjid.
Pada zaman
kesultanan-kesultanan sampai zaman penjajahan Belanda bentuk masjid di
Nusantara berbentuk atap limas bertingkat yang dibangun hampir di setiap pusat
pemerintahan kesultanan di Nusantara dari Aceh sampai Papua. Setelah Indonesia
merdeka Presiden Soekarno mengenalkan sistem konstruksi masjid berkubah dan
beton, meninggalkan konsep atap tingkat yang limas.
Pada masa Orde Lama
pengaruh masjid berkubah berkembang pesat, seperti dimulainya pembangunan
Masjid Istiqlal yang nantinya menciptakan aliran kubah Indonesia. Setelah Orde
Lama diganti oleh Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto bentuk aliran
politik berubah.
Dari demokrasi menjadi otoriter selama 32 tahun. Bentuk
bangunan masjid berganti menjadi masjid limas bertingkat lagi dengan saluran
Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Setelah Orde Baru runtuh tahun 1998
demokrasi kembali menguat, dan pembangunan masjid kembali sesuai perkembangan
zaman dan kehendak masyarakat Indonesia.
Pembangunan Masjid selalu dipengaruhi oleh faktor politik dan
pemerintahan. Karena masjid sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Islam,
baik dalam sosial masyarakat, pendidikan, kebudayaan, dan politik. Snouck
Hurgronje menilai bahwa Masjid di Indonesia lebih berfungsi daripada di
kebanyakan negara Islam lainnya. Masjid berhubungan dengan kehidupan masyarakat
Islam secara keseluruhan.[1] Suatu contoh di Minangkabau surau sangat berpengaruh saat
terbentuknya Gerakan Paderi. Sebagai contoh, Surau Tuanku Nan Tuo sebagai pusat
yang paling dikenal bagi pengajaran fikih dan tasawuf di Minangkabau.[2]
Dari sejarah-sejarah tersebut, membuat setiap pemerintahan di bumi
Nusantara (Kolonial Belanda, Republik Indonesia) selalu menjadikan masjid
sebagai perhatian utama di setiap rezim pemerintahan yang berkuasa. Masjid
bukan urusan kecil untuk suatu pemerintahan dan politik pada tempat dimana
masyarakat Islam berada. Saat tentara Belanda membakar Masjid Baiturrahman
lama, membuat marah masyarakat Islam Aceh, sehingga perang panjang terjadi
antara Belanda dan rakyat Aceh (1873 M). Bukan suatu hal yang aneh apabila
pemerintah berkuasa kemudian, akan mengontrol masjid, baik itu untuk
popularitas atau politis.[3]
Kota Palembang yang telah melalui sejarah panjang juga memiliki masjid
yang dibangun oleh suatu pemerintahan, yaitu Masjid Agung Palembang. Pada masa
pendudukan Belanda, Kota Palembang menjadi wilayah keresidenan Palembang. Salah
satu contoh bentuk campur tangan politik dan pemerintahan, yaitu Pada masa
pemerintahan Kolonial Belanda bentuk penghambatan pembangunan masjid terjadi di
Kota Palembang. Bentuk penghambatan seperti masjid-masjid yang baru dibangun
tidak diizinkan melaksanakan shalat Jumat, seperti Masjid Mahmudiyah dan Masjid
Lawang Kidul.[4] Kebijakan Belanda tersebut atas saran Snouck Hurgronje,
menyarankan untuk membatasi dan mengawasi pembangunan tempat ibadah orang Islam
memang perlu.[5]
Setelah merdeka penuh (di atas tahun 1949 M) dari penjajahan Belanda,
Bangsa Indonesia mulai membangun negara. Sepanjang sejarah Bangsa Indonesia
merdeka, sudah memasuki tiga masa sistem pemerintahan yang mempunyai pengaruh
kuat dalam kehidupan berbangsa. Rezim pemerintahan pertama adalah Orde Lama
dengan pengaruh kuat Presiden Soekarno yang mengembangkan ideologi pemerintahan
dikenal Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunisme), serta sistem Demokrasi
Terpimpin.
Kedua, rezim Orde Baru dengan sistem pemerintahan Demokrasi
Pancasila bahasa formalnya, tetapi sesungguhnya adalah bentuk
pemerintahan otoritarianisme. Dalam politik, suatu rezim
pemerintahan, dengan rezim yang lainnya akan ada bentuk pertarungan politik
yang akan menentukan kebijakan-kebijakan bersifat berlawanan atau berbeda,
untuk menghapus pengaruh rezim terdahulu.
Sebagaimana Presiden Soekarno mempunyai ide-ide pembaharuan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai seorang
insinyur bangunan, Presiden Soekarno memunculkan ide pembangunan
masjid dengan beton, dan berkubah. Presiden Soekarno menginstruksikan untuk
membangun masjid yang tahan ribuan tahun, untuk mengabadikan peradaban bangsa
Indonesia. Karena pembangunan masjid dengan kayu, genteng, kapur ketahanan
materialnya terbatas.[6]
Wujud pembaharuan itu dimulai dengan pencetusan membangun
masjid jamik untuk Indonesia yang megah di Jakarta pada tahun 1950 M. Presiden
Soekarno terpilih sebagai ketua panitia dalam sayembara desain masjid jami
tersebut, yang kemudian dinamakan Masjid Istiqlal Jakarta.[7]
Pembangunan masjid modern dengan beton berkubah diwujudkan dengan
membangun Masjid Istiqlal di Jakarta. Kemudian Masjid Agung Bandung yang
direnovasi pada tahun 1955 M, juga dijadikan bentuk masjid berkubah yang
diusulkan langsung oleh Presiden Soekarno. Begitupun dalam pembangunan Masjid
Baiturrahim di halaman Istana Negara dengan konsep modern beton berkubah.
Selain itu, di luar Jakarta masyarakat Islam Yogyakarta juga membangun Masjid
Syuhada (1952 M) dengan beton berkubah gaya Timur Tengah. Presiden Soekarno
diberi kesempatan untuk berpidato dalam acara peringatan satu windu Masjid
Syuhada. Masjid Syuhada juga mengusung ide pembaharuan dan sejalan dengan
pemikiran Presiden Soekarno pada masa itu.[8] Selain itu pembangunan masjid dengan konstruksi beton
berkubah ditahun limapuluhan adalah Masjid Al-Azhar (1958 M) di Jakarta.[9]
Pada tahun 1956 M atas permintaan Gubernur Aceh Ali Hasjmy pada Presiden
Soekarno untuk membangun dan menambah tiga kubah pada Masjid Baiturrahman di
Aceh, sehingga menjadi limah kubah.[10] Menurut Abdul Rochym pembangunan masjid berkubah
berkembang selama tahun limapuluhan keatas,[11] di abad ke- 20 M, kemudian anggapan masjid harus
berkubah mulai menghilang saat ahli agama meluruskan bahwa masjid tidak harus
berkubah.[12] Tetapi tahun-tahun menghilangnya pengaruh penggunaan
kubah pada bangunan masjid berbarengan dengan berkuasanya Orde Baru, setelah
diangkatnya Soeharto sebagai presiden Indonesia pada sidang MPRS tanggal 7-12
Maret 1967 M.[13]
Pada massa pemerintahan Orde Baru bertolak belakang dengan masa Orde
Lama, dimana Presiden Soekarno menganjurkan membangun masjid dari beton dan
berkubah. Era Orde Baru, Presiden Soeharto menganjurkan membangun masjid dengan
tipologi tradisionalitas. Program pembangunan masjid-masjid
tradisionalitas dilaksanakan dengan didirikannya Yayasan Amal Bakti
Muslim Pancasila pada tahun 1970 M.
Program Yayasan Pancasila adalah memberi
sumbangan dalam pembangunan masjid dengan tipologi tradisionalitas (atap tingkat),
juga memberi bantuan untuk merenovasi masjid-masjid tradisional (atap
tingkat-tingkat). Seperti Masjid Agung Bandung (1955-1970 M), yang sebelumnya
di bangun menggunakan kubah pada masa Presiden Soekarno, sekaligus sebagai
arsitek pembangunan masjid.
Pada masa kekuasaan Orde Baru Masjid Agung Bandung dibangun kembali
menjadi masjid atap limas bertingkat. Program lain dari Yayasan
Pancasila, yaitu membangun prototipe masjid-masjid limas bertingkat di
tiap-tiap daerah seperti di kabupaten dan kota, dengan program membangun 1000
masjid.
Walau belum tercapai, tetapi hasilnya bentuk masjid Yayasan Pancasila
tersebar di seluruh pelosok Indonesia dengan tipe atap limas bertingkat-tingkat
(masjid tradisi). Seperti di Kota Palembang banyak terdapat masjid atap limas
bertingkat dari Yayasan Pancasila, dan pengaruh dari program Yayasan Pancasila.[14]
Kelemahan masjid Yayasan Pancasila ini adalah sangat miskin arsitektur,
tidak mempunyai nilai seni dan estetika, serta tidak memiliki corak atap masjid
tipe mana yang diikuti dalam arsitektur nasional Indonesia (Mustaka, Undak,
Tajuk). Dapat di lihat dengan jelas apabila pembangunan masjid tersebut
hanyalah bentuk peniruan dari masyarakat Islam yang membangun. Mereka tidak
mengerti arsitektur masjid tradisional Indonesia. Arsitektur masjid Yayasan
Pancasila terlihat sekali sebagai arsitektur yang dipaksakan.[15]
Hampir semua masjid yang dibangun pada masa Orde Baru di
Kota Palembang (Indonesia) dari 1970 M sampai dengan 1995 M adalah masjid
dengan bentuk limas bertingkat yang di istilakan masjid tradisi. Masjid yang
sudah berdiri di Kota Palembang sampai tahun 1970 M hanya berjumlah 70 masjid.
Masjid-masjid yang dibangun di bawah tahun 1970 M arsitekturnya sebagian masih
merujuk arsitektur Masjid Agung Palembang.
Bentuk pembangunan masjid Yayasan Pancasila adalah sebagai bentuk
oposisi Orde Baru terhadap Orde Lama. Selain itu bentuk pembangunan paradigma
bahwa Islam Indonesia berbeda dari Islam Timur Tengah. Orde Baru membungkam pengaruh
faham Islam dari luar Indonesia terutama Timur Tengah, untuk mencegah munculnya
bibit Islam Politik.[16] Rezim Orde Baru membentuk corak Islam Indonesia dengan
membangun ideologi Islami yang bercorak multikultural, yakni Pancasila.
Kemudian jatuhnya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998 M membuka jalan bagi
relaksasi politik dan demokrasi di Indonesia.[18] Berakhirnya rezim Orde Baru melahirkan era
keterbukaan pada semua kelompok dan individu. Tidak ada pengaruh yang kuat,
dalam mempengaruhi kehidupan sosial, budaya, dan keagamaan di Indonesia.
Jatuhnya otoritarianisme Orde Baru telah membuka keran
demokratisasi dan keterbukaan bagi semua kelompok. Aspirasi dan ekspresi
politik yang duhulunya dikekang kini bisa disuarakan dan dikontestlasikan
secara bebas. Kembalinya atau bangkitnya Islam politik merupakan konsekwensi
logis dari era demokrasi yang baru dibangun dan dikonsolidasikan ini.[19]
Era keterbukaan (pemikiran) atau demokrasi memiliki dua sifat, pertama
era keterbukaan pada pola pemikiran orang Indonesia (Palembang) tidak terbentur
atau terpusat dalam satu mobilitas kekuatan sentral, baik karena sifat paternalistik atau
pengaruh politik pemerintahan otoriter. Kedua adalah keterbukaan
dalam komunikasi, baik komunikasi transportasi (darat, laut, udara), dan
komunikasi media massa. Dalam pembahasan ini adalah keterbukaan pemikiran.
Maka, semua orang dapat mengekspresikan aktivitas sesuai kemampuan, kemauan,
dan pengetahuannya.
Setelah berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 M, karena tuntutan
rakyat yang didukung oleh mahasiswa. Dengan demikian, seiring berakhir dan
berlalunya masa pemerintahan Orde Baru, muncul masyarakat demokrasi, yang
kemudian mengubah cara pandang masyarakat Islam Indonesia. Pada masa demokrasi
menguat dan masyarakat mulai bebas berekspresi sesuai dengan kemampuannya.
Begitu pun dengan pembangunan masjid di Indonesia di atas tahun 2000-an,
seakan-akan Presiden Soekarno muncul kembali. Masjid-masjid dengan beton
berkubah bermunculan di mana-mana di seluruh Indonesia.
Masjid Agung Bandung yang pada masa Presiden Soeharto telah dibangun
kembali dengan pola masjid tradisional (pada masa Orde Lama dibangun berkubah),
kini di zaman demokrasi kembali dibangun menjadi masjid modern beton berkubah.
Sedangkan, pada desain arsitektur menerapkan kubah besar setengah lingkaran,
yang dipasang pada titik sentral masjid, adalah bentuk kubah aliran Masjid
Istiqlal atau kubah aliran Indonesia.[20]
Begitu pun juga di Kota Palembang pembangunan masjid,
atau pembangunan ulang masjid, telah mengembangkan masjid-masjid beton berkubah
dengan tipologi kubah besar setengah lingkaran seperti Masjid Istiqlal di
Jakarta (sampel 18 masjid berkubah setengah lingkaran di Kota Palembang).
Pada masa demokrasi rakyat kehidupan masyarakat tidak lagi tertutup pola
pemikirannya. Pemerintah pusat tidak lagi memiliki kontrol sepihak pada
kehidupan masyarakat Indonesia. Setiap kota dan daerah membangun dengan
inisiatif sendiri dan keterampilan sendiri. Dalam pembangunan masjid, tidak ada
lagi bentuk campur tangan pemerintah, kecuali urusan sebatas pada
administratif.
Kadang pihak pemerintah datang menghadiri acara seremonial
peresmian masjid. Dalam memberikan bantuan dana pembangunan masjid tidak
menekankan harus membangun arsitektur tertentu pada masjid. Masyarakat yang
merencanakan dan masyarakat juga yang menentukan. Pada masa Orde Baru pemberian
dana dalam pembangunan masjid berimbas pada arsitektur atap masjid.[21]
Pada masa sekarang, pemerintah tidak lagi memberikan pengaruh seperti
zaman Orde Baru, pada pembangunan masjid. Tetapi, bentuk keterlibatan
pemerintah hanya sebatas pemberian sumbangan dana pembangunan. Keterkaitan
politik dan pemerintahan hanya terkait popularitas pemerintah atau pemimpin.
Dengan mengajukan proposal bantuan pembangunan masjid, pemerintah kemudian memberikan
bantuan dana pembangunan.[22]
Untuk mengabadikan sejarah, setelah selesai adanya acara seremonial
peresmian masjid, peristiwa di abadikan pada dinding-dinding masjid yang
diresmikan oleh pejabat sentral seperti gubernur atau wali kota di Kota
Palembang, dibuat sebuah prasasti yang dipasang menempel di dinding.[23]
Prasasti memuat tahun berdiri masjid (tahun Masehi dan
Hijriyah), nama masjid, dan nama pejabat yang meresmikan. Selain
itu, pengaruh pemerintahan daerah dalam pembangunan masjid, seperti adanya
pembangunan masjid yang berafiliasi dengan kemegahan pemerintahan daerah
Provinsi Sumatera Selatan. Masjid yang sedang dalam pembangunan dinamakan
Masjid Sriwijaya. Dalam pembangunan banyak memakan biaya melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumatra Selatan.[24]
Dari itu, wujud keterbukaan pemikiran (demokrasi), dan
politik dan pemerintahan, kemudian didukung oleh otonomi daerah[25] adalah bentuk faktor pengaruh perubahan yang mendasar
dalam pembangunan masjid, begitu pun di Kota Palembang. Seperti Konsep
pembangunan Masjid Sriwijaya yang sangat modern (saat ini).
Pembangunan dengan
meninggalkan konsep tradisionalitas ke Indonesiaan dan penggunaan kubah, adalah
bentuk pergerakan transformasi yang terus-menerus pada bangunan masjid.
Nantinya masjid megah ini (Masjid Sriwijaya) akan menjadi rujukan pembangunan
masjid pada masa selanjutnya, sama seperti Masjid Agung Palembang pada masanya,
dan Masjid Istiqlal di Jakarta saat sekarang.
Fenomena ini, menurut Abdul
Rochym, dikarenakan bentuk pertumbuhan berfikir yang berangkat dari tahapan
empiris atas pengalaman-pengalaman dan tuntutan kebutuhan akan fungsi suatu
alat.[26] Sehingga faktor-faktor masukan tersebut telah memberikan
perubahan-perubahan yang menggeser ke arah lebih sempurnanya fungsi bangunan
lokal mereka (masjid).[27]
Oleh.
Joni Apero
Palembang,
2018.
Sumber
skripsi: Kajian Sosiologis pada Transformasi Atap Masjid di Kota Palembang;
Studi atas Atap Tradisi dan Atap Kubah. Universitas Islam Negeri Raden Fatah
Palembang, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.
[1]Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, h. 206.
[2]Tuanku Nan Rence mendapat dukungan dari tiga orang haji yang baru pulang dari Mekkah pada 1803 M, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Akar Pembaharuan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 383. 386.
[3]Menurut Snouck Hurgronje, perang Aceh adalah bagian pengaruh dari jaringan ulama nusantara, seperti pengaruh karya Al-Palimbani yang menulis buku Fadha’il al-Jihad, merupakan sumber utama berbagai karya mengenai jihad dalam Perang Aceh dalam melawan Belanda. Ibid., h. 347.
[4]Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, h. 218.
[5]Ibid., h. 219.
[6]Soekarno, “Pidato dalam Peringatan Sewindu Masjid Syuhada, Yogyakarta 30 Juni 1960 M,” dalam, A. Dahlan Danuwiharja, dkk., Bung Karno dan Wacana Islam: Kenangan Seratus Tahun Bung Karno, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 242.
[7]Wiyoso Yudoseputro, Pengantar Seni Rupa Islam di Indonesia, h. 154.
[8]Soekarno, “Pidato pada Peringatan Sewindu Masjid Syuhada, Yogyakarta 30 Juni 1960,” dalam, A. Dahlan Danuwiharja, dkk., Bungkarno dan Wacana Islam: Kenangan Seratus Tahun Bung Karno, h. 242.
[9]Wiyoso Yudoseputro, Pengantar Seni Rupa Islam di Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 152.
[10]Harun Keucik Leumik, www.harian.analisadaily.com, di akses pada hari Sabtu 17 Maret 2018, pukul 17:28 WIB.
[11]Sejak tahun limapuluhan, dan enampuluhan tahun memang terbentang kemungkinan didirikannya masjid-masjid baru dengan dasar perencanaan arsitektur mutakhir di Indonesia. Masa ini adalah masa-masa pencapaian nilai-nilai baru bagi pengembangan kesenian Islam di Indonesia. Masjid ini ialah Masjid Istiqlal di Jakarta, hasil karya arsitek Silaban yang merupakan pula bangunan monumen nasional dengan nilai-nilai kesejarahan bangsa Indonesia. Pada bangunan Masjid Istiqlal ini, meninggalkan kebiasaan meminjam unsur-unsur bangunan masjid dari seni bangunan Islam dari luar mulai ditinggalkan. Citarasa yang didukung oleh hasrat membangun kebudayaan bangsa yang telah merdeka menjadi faktor kuat dalam pendirian masjid baru. Wiyoso Yudoseputro, Pengantar Seni Rupa Islam di Indonesia, h. 153-154.
[12]Abdul Rochym, Masjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, h. 79.
[13]Delia Noer, Mohammad Hatta; Biografi Politik, (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 604.
[14]Seperti Masjid di Kompleks Kantor Kapolisian Daerah Provinsi Sumatera Selatan. Masjid Kampus Universitas Muhammadiyah. Masjid kampus Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang. Hal ini Dinilai dari arsitektur atap masjidnya yang tidak sama dengan arsitektur tradisional manapun di Indonesia, serta dibangun oleh pemerintah pada masa Orde Baru.
[15]Ahmad Syafi’i Mufid (ed.), Perkembangan Faham Keagamaan Transnasional di Indonesia, (Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2011), h. 93.
[16]Kembalinya atau bangkitnya Islam politik merupakan konsekwensi logis dari era demokrasi yang baru dibangun dan dikonsolidasikan ini. Salah satu ciri bangkit nya Islam politik di masa reformasi adalah menjamurnya gerakan-gerakan Islam yang memperjuangkan syariat Islam, diantaranya adalah Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Gerakan Tarbiyah dengan PKS-nya, dan Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan Laskar Jihad-nya. Dalam konteks inilah gerakan Islam transnasional muncul bersama-sama dengan gerakan Islam lokal dengan membawa aspirasi Islam politik. Ahmad Syafi’i Mufid (ed), Perkembangan Fahan Keagamaan Transnasional di Indonesia, h. 4.
[17]Ahmad Syafi’i Mufid (ed.), Perkembangan Faham Keagamaan Transnasional di Indonesia, h. ix.
[18]Ibid., h. 21.
[19]Ibid., h. 4.
[20]Zuhrissa Putrimeidia Aswati, “Transformasi Atap Masjid Raya Bandung,” artikel pdf, Seminar Heritage IPBLI 2017 A533.
[21]Ahmad Syafi’i Mufid (ed), Perkembangan Faham Keagamaan Transnasional di Indonesia,, h. 92.
[22]Seperti pembangunan Masjid Al-Amal, yang terletak di jalan Kebun Bunga, Kilometer 9, RT. 16, RW. 05, Kelurahan Kebun Bunga, Kecamatan Sukarami, Kota Palembang. Menurut Ibu Atilah dalam pembangunannya ada sumbangan dari pihak Pemerintah Daerah. Wawancara pada hari Sabtu 28 Juli 2017, pukul 14:50 WIB.
[23]Observasi peneliti selama penelitian. Seperti pembangunan Masjid Al-Ikhlas di Jalan Syakirti, RT. 02, RW. 01, Kelurahan Karang Jaya, Kecamatan Gandus, Kota Palembang. Masjid ini diresmikan oleh Walikota Palembang Eddy Santana Putra, pada 13 Mei 2008. Prasasti tersebut terbuat dari lempengan semen dan di tempelkan pada sisi dinding masjid.
[24]Sistem pembangunan masjid adalah dengan menggunakan dana APBD Provinsi Sumatera Selatan secara berkala. Anggaran dana yang dibutukan dalam pembangunan Masjid Sriwijaya mencapai 1,4 triliun rupiah. Awan (ed), http://www.kordanews.com/index.php/2017/07/28/untuk-masjid-raya-sriwijaya-pemprov-sudah-siapkan-rp-130-miliar/, Diakses pada hari Rabu 28 Februari 2018, pukul 11:30 WIB.
[25]Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
[26]Abdul Rochym, Masjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, h. 39.
Via
Sejarah Umum
Post a Comment