Cerpen
Sebuah Kebanggaan
Apero Fublic.- Pernah
anda mendengar orang-orang tua menceritakan tentang anak-anak mereka, begitu
bangga, membangga-banggakan anaknya. Padahal kita tahu bagaimana nakalnya, anak
mereka di luar sana sehingga hati kita merasa prihatin. Itulah orang tua,
selalu membanggakan anak mereka. Bagi yang belum menjadi orang tua tentu belum
mengerti dengan kebanggaan itu. Hanya mereka para orang tua yang mengerti. Maka
hargailah perasaan mereka.
Sebelum membaca cerita sederhana ini anda harus tahu dahulu, Cerita ini mengangkat kisah di tahun Sembilan puluhan, zaman-zamannya Dilan lah kira-kira. Jalan cerita di sesuaikan dengan pola-pikir masyarakat pedesaan masa itu. Masyarakat pedesaan yang hidup dengan penuh hal-hal sederhana.
Di kecamatan ku, selain sebagai petani karet, masyarakat juga bertani ladang berpindah. Pada masa itu, di Kecamatan Sungai Keruh belum maju seperti sekarang. Pada masa Orde Baru ada suatu perlombaan olah raga antar sekolah, sehingga setiap tahun sekolah-sekolah akan mengirim murid-muridnya untuk mewakili mengikuti kompetisi olah raga antar sekolah se-kecamatan.
Porseni atau Pekan Olahraga dan Seni, yang di selenggarakan di seluru Indonesia. Pada Masa itu, teknologi belum begitu maju, seperti internet yang belum begitu menyentuh pedesaan, begitu pun media hiburan seperti televisi, radio, Koran yang belum menjangkau pedesaan.
Sehingga kurangnya media hiburan. Dengan demikian, pesta olahraga anak-anak itu menjadi buah bibir masyarakat, hal yang dinanti-nantikan untuk di saksikan. Sebagai hiburan rakyat. Memang pesta-pesta rakyat (bukan resepsi pernikahan) pada masa Orde Baru dilarang, seperti pesta panen.
Sebelum membaca cerita sederhana ini anda harus tahu dahulu, Cerita ini mengangkat kisah di tahun Sembilan puluhan, zaman-zamannya Dilan lah kira-kira. Jalan cerita di sesuaikan dengan pola-pikir masyarakat pedesaan masa itu. Masyarakat pedesaan yang hidup dengan penuh hal-hal sederhana.
Di kecamatan ku, selain sebagai petani karet, masyarakat juga bertani ladang berpindah. Pada masa itu, di Kecamatan Sungai Keruh belum maju seperti sekarang. Pada masa Orde Baru ada suatu perlombaan olah raga antar sekolah, sehingga setiap tahun sekolah-sekolah akan mengirim murid-muridnya untuk mewakili mengikuti kompetisi olah raga antar sekolah se-kecamatan.
Porseni atau Pekan Olahraga dan Seni, yang di selenggarakan di seluru Indonesia. Pada Masa itu, teknologi belum begitu maju, seperti internet yang belum begitu menyentuh pedesaan, begitu pun media hiburan seperti televisi, radio, Koran yang belum menjangkau pedesaan.
Sehingga kurangnya media hiburan. Dengan demikian, pesta olahraga anak-anak itu menjadi buah bibir masyarakat, hal yang dinanti-nantikan untuk di saksikan. Sebagai hiburan rakyat. Memang pesta-pesta rakyat (bukan resepsi pernikahan) pada masa Orde Baru dilarang, seperti pesta panen.
Suatu senja di sebuah ladang milik seorang petani. Matahari bersinar
lembut keemasan. Angin sore tiada henti berhembus menggoyangkan dedaunan yang
di dilewati angin. Suara ayam jantan berkokok bersahutan, merdu bagai nyanyian
alam yang permai.
Burung layang-layang terbang bersilewaran di tengah Ladang
itu, menari-nari bagai raja di udara. Beberapa burung puyuh terbang
memburu serangga. Sebuah pondok berbentuk panggung berdiri, beratap daun
rumbia, berdinding terbuat dari kulit kayu, berlantai bila-bila bambu. Di
sekeliling pondok tumbuh subur beberapa rumpun pohon pisang, tebu, umbi-umbian,
dan beragam jenis sayur-sayuran.
Di bawa pondok ada bilik Padi yang
penuh oleh bulir-bulir padi. Memang beberapa bulan yang lalu
baru selesai panen padi. Pada umumnya, petani ladang berpindah menetap di
ladangnya. Agar bisa merawat, dan menjaganya agar tidak diganggu oleh
hama, terutama hama babi.
Di sore yang cerah itu, seorang anak laki-laki berseragam sekolah dasar
berlari-lari kecil menyusuri pematang ladang yang subur sepulang dari
sekolah. Sebuah kantong plastik hitam, berisi alat-alat tulis, dan
beberapa buku modul sekolah. Anak laki-laki berumur delapan tahun,
siswa kelas tiga sekolah dasar. Seekor belalang dia kejar-kejar
dengan bersemangat sambil melompat-lompat pada batang pohon yang tergeletak di
tengah ladang.
Pohon di tebang saat membuka
Ladang. kemudian, setelah ranting pohon yang ditebang kering,
lalu dibakar sehingga tonggak, dan batang pohon yang tersisa berwarna
hitam arang. Karena asik-nya menangkap belalang, panas
dan berkeringat. Tangannya sering menyapu wajahnya untuk mengusap
keringat sehingga wajahnya bercoreng kehitaman. Setelah lelah, haus si
anak pulang ke pondok-nya. Seorang wanita sedang sibuk memasak di dapur.
Dua anak kecil bermain dengan riang di sekeliling pondok. Seorang lelaki
berumur tiga puluhan tahun sibuk dengan kerajinan tangannya, menganyam
bubu. Bubu adalah alat penangkap ikan tradisional yang terbuat dari
anyaman bila bambu.
Si anak mengucapkan salam, kemudian bercengkrama
sambil menggoda adik bungsunya yang baru berumur tiga tahun. Si ibu memanggil,
dan mengingatkan agar segera mengganti seragam-nya. Tidak lama, si anak turun
dari pondok membawa sebilah golok, lalu menebang sebatang pohon tebu yang
ditanam di samping pondok. Dengan duduk menjelepok di tanah, tak jauh dari sang
ayah, yang sedang menganyam bubu.
Sambil duduk si anak mengupas tebu tanpa
menghiraukan sang ayah, dan adik-adiknya. Lelaki itu melirik si anak
memandang beberapa saat. Sang anak sepertinya kehausan
sekali. Lalu sang ayah kemudian memulai berbicara, sebagai bentuk
perhatian pada anak sulungnya.
“Mahmud, bagaimana lomba Porseni, apakah kau dapat juara. Tanya
sang ayah. Lama si anak terdiam, sang ayah pun lama menunggu jawab-nya sambil
terus sibuk menganyam bubu.
“Alhamdulillah ayah, tapi aku hanya
juara empat, lomba puisi-nya. Jawab si anak, singkat dan lesu sambil menolekan
wajahnya ke tempat lain. Sang ayah tersenyum lalu berkat.
“Alhamdulillah,
syukur, bapak senang sekali ternyata anak bapak hebat juga, makanya
sering-sering latihan, kamu.”Puji sang ayah. Ibunya yang di dapur
ternyata mendengar juga percakapan suaminya, dan anak
sulungnya. Si ibu keluar dan tersenyum bangga serta memberi
pujian, dukungan, dan motivasi.
Sore itu, sampai
malamnya sang ayah dan ibu Mahmud terus membicarakan soal
lomba itu. mereka terus memuji dan merasa bangga, salah satunya adalah motivasi
agar latihan, apa bilah tahun depan dia terpilih kembali menjadi perwakilan
sekolah mungkin Mahmud dapat meraih juara juga. Si ibu juga berkata kepada
dua adik kecilnya.
”Lihatlah, kakak kalian juara empat, nanti suatu saat juara
satu. nanti kalau kalian suda besar ikut lomba juga. Celoteh sang ibu.
Entah mengapa Mahmud tidak bersemangat, dia hanya diam saja. Dia
lebih banyak melamun sedangkan ayah ibunya gembira
sekali. Mahmud tidak bisa membayangkan kalau dia juara pertama, alangkah
senang kedua orang tuanya. Ada rasa bangga pada orang tuanya, namun Mahmud
tidak mengerti juga kenapa orang tua seperti. Dia diam dan terus diam
seperti memendam sesuatu. Itu hal yang sepele dalam benaknya.
Ke esokan harinya sang ayah pergi ke desa untuk menggiling
padi karena persediaan beras sudah sedikit. Sebuah keranjang besar penuh dengan
biji padi di gendong di punggung. Keranjang terbuat dari anyaman bambu
yang di perkeras dengan getah pohon. Perjalanan sang ayah satu jam baru sampai
ke desa. Bilah capek ayah Mahmud berhenti untuk istirahat
di pinggir jalan setapak, penduduk menamainya jalan agung.
Jalan
setapak selalu ramai karena menjadi jalan perlintasan warga menuju ke
ladang-ladang mereka. Penduduk pedesaan ramah dan memiliki hubungan erat satu
sama lain. Bila bertemu di jalan seperti itu mereka berhenti satu sama
lain, berbasa-basi. Ayah Mahmud selalu bercerita
tentang Porsni, dan menceritakan bahwa anaknya Mahmud juara empat
ikut lomba baca puisi.
Begitulah, setiap kali bertemu, dan
berbincang-bincangl dengan warga desanya. Begitu juga saat di penggilingan
padi. Ayah
Mahmud sambil berbincang-bincang menunggu antrian juga
bercerita tentang Porsni dan Maahmud juara empat lomba puisi dalam
porseni itu. Porsni memang obrolan menarik bagi warga, karena waktu itu
berita korupsi, kriminal, politik, entertainmen, belum sampai ke masyarakat
seperti sekarang ini.
Porseni, Pekan Olah Raga dan Seni di ikuti seluruh Sekolah Dasar yang
ada di kecamatan. Sehingga, sebuah kebanggaan bagi para orang
tua waktu itu, apabila anak ikut dan juara. Kebanggaan luar
biasa apalagi sang ayah hanya seorang petani kecil yang miskin.
Saat berbincang-bincang, datanglah seorang lelaki yang seumur dengan
dengan ayah Mahmud.
Ternyata lelaki itu penduduk desa tetangga yang sedang menggiling
padi mertuanya di desa Mahmud. Beberapa karung padi dia bawak menggunakan
sepeda angin. Ayah Mahmud dan lelaki ini pun ngobrol menunggu antrian
gilirannya. Waktu itu, di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua kaya
atau miskin semua menggiling padi. Oleh sebab itulah zaman Orde Baru negara
dapat swasembada beras, karena masyarakat pedesaan menanam padi sendiri.
Sehingga negara tidak membutuhkan infor beras. Sehingga beras sawah
hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali. Memang di desa Mahmud hanya
terdapat satu pabrik penggilingan padi. Jadi warga harus sabar mengantri. Dalam
obrolan itu, di mana ayah Mahmud bercerita bahwa dia juara Empat lomba
baca puisi.
Namun tanpa di sangka-nya sebuah kata-kata yang membuat dia
malu. “ah, anak aku yang juara empat. Jawab laki-laki
itu. Ayah Mahmud tersentak juga mendengar jawaban itu. Dia
berusaha tidak percaya, dan membelah Anak-nya. Ayah Mahmud tetap
yakin kalau anaknyalah yang juara empat itu. Namun lelaki itu juga tidak
menyerah dia mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tas-nya yang
lapuk.
“Kalau kau, tidak percaya ini lihat piagam-nya (sertifikat), baru
diberikan oleh gurunya kemarin.”Jawab lelaki
itu. Ayah Mahmud tersentak sekali wajahnya langsung merah padam bercampur
malu. Dia terdiam beberapa saat, dan tersenyum menutup malu. Semua
orang di sana mengolok-olok-nya, begitu pun menyebutkan bahwa anaknya
sudah pandai berbohong walau masih kecil. Bukan main
kecewanya ayah Mahmud saat dibohongi anak.
Ayah
Mahmud mengakui bahwa anaknya telah berbohong, walau ada rasa kesal namun
sebagai ayah yang bijak dia tetap sabar dan tidak menyebut-nyebut itu lagi.
Rasa malu ayah Mahmud sangat besar karena ceritanya sudah tersebar di tengah
masyarakat di desanya. Ayah Mahmud dan ibunya tidak marah, tetapi memberikan
teguran agar dia tidak boleh berbohong lagi.
Mahmud menyadari kesalahannya, dia sudah berbohong. Menjadi gelisah
sekali dan takut kalau ayahnya bertanya-tanya dan marah. Jau di lubuk
hati Mahmud memendam rasa penyesalan yang sangat mendalam. Maka untuk
itu Mahmud cepat-cepat tidur malam itu. Walau matanya belum mau
terpejam dia tetap pura-pura tidur. Hatinya terus gelisah dan resah, pikirannya
melayang tak tentu arah.
Mahmud merasa bersalah sekali hari
ini. Rasa berdosa dan malu menjadi satu di dalam hatinya.
Sudah agak malam suasana ladang Mahmud semakin sunyi. Tinggallah
suara jangkrik dan burung malam yang bernyanyi. Ayah Mahmud belum
juga tidur seperti biasa masih sibuk menganyam bubu.
Ibu Mahmud juga belum tidur dia membuatkan sang suaminya secangkir
kopi, beserta sepiring ubi jalar rebus. Sambil sibuk menganyam
ayah Mahmud bercakap-cakap. Di tanya Mahmud sudah
tidur apa belum. Nampaknya sudah tidur jawab istrinya.
Sesungguhnya Mahmud belum tidur, mendengarkan percakapan anaknya.
Mungkin karena perasaan bersalah, dan menyesali perbuatannya
berbohong kepada orang tuanya.
Ayah Mahmud bercerita kejadian tadi
siang. Tentang pernyataan Mahmud kalau dia juara empat itu adalah
bohong. Sang ayah berkata kalau dia merasa malu sekali. Dia juga melarang
sang istri agar tidak lagi bercerita tentang Mahmud. Di malam itu,
akhir dari sebuah kebanggaan seorang ayah, yang juga larut dalam
malam yang gelap. Serta menghilang di terbangkan angin malam
yang berlalu.
Hari demi hari berlalu. Waktu berjalan terasa begitu singkat. Semua
cerita tentang kebohongan Mahmud pun telah di lupakan. Ayah dan
ibu Mahmud juga telah lupa, begitu pun warga desa. Mahmud
sekarang naik kelas empat. Sebagaimana biasanya, di tahun ini kegiatan Porsni
kembali digelar.
Tiba waktunya, dan sekolah-sekolah mulai kembali menyeleksi
perwakilan untuk mewakili sekolah mereka. Kali ini seleksi wakil sekolah mulai
di cari kembali. Dari umur dan kecakapan, keterampilan, di seleksi dengan
ketat. Seleksi di adakan semacam pertandingan di sekolah. Yang memiliki
kemampuan lebih baik akan menjadi wakil untuk pertandingan
nantinya.
Karena semua murid harus ikut seleksi, maka Mahmud juga ikut.
Mahmud tidak begitu semangat dalam Porsni tahun ini. Setelah melewati tahap
seleksi peserta, Mahmud terpilih menjadi pemain cadangan pada cabang lomba baca
puisi. Teman sekelas, Angga Putra menjadi wakil pada cabang lomba baca puisi.
Mahmud tidak menceritakannya kepada kedua orang tuanya
seperti tahun lalu. Sekarang dia hanyalah wakil cadangan pada cabang lomba
baca puisi. Puisi yang di bawakan harus karya sendiri dan tidak boleh
menjiplak puisi orang lain. Walau begitu, diam-diam Mahmud berlatih
sungguh-sungguh. Walau wakil cadangan kata pak guru dia harus tetap
berlatih untuk bersiap-siap.
Di dalam hatinya dia ingin sekali menebus
kesalahannya pada sang ayah, ibunya. Dia ingin sekali membuat ayahnya
bangga. Setiap pulang sekolah, diam-diam Mahmud pergi ke tepian
sungai yang tak jauh dari ladangnya. Dia berlatih berpuisi seorang diri dengan
sungguh-sungguh. Di sekolah Mahmud juga ikut latihan, dan
belajar tanpa malu-malu. Mengikuti semua yang diajarkan guru-guru dan trik
berpuisi yang baik.
Anak kecil ini merasa sedih dan sering
menyendiri sejak peristiwa setahun lalu. Kadang dia di perolok oleh teman-temannya. Juara
palsu, anak ladang, tukang bohong, itulah olokan teman-temannya. Ramai di
sekolahnya terasa sepi di hati anak lugu dan pendiam
itu. Mahmud tidak banyak teman seperti yang lainya. Pada hari terahir
latihan di sekolahnya, sepulangnya mereka kehujanan di jalan.
Basa
kuyup Mahmud dan teman-teman Tem Puisi sekolahnya. Semuah
teman Mahmud punya rumah di desanya,
sedangkan Mahmud harus pulang ke ladang yang cukup
jauh dari desanya. Sekitar satu jam perjalanan. Waktu berlalu,
tibalah waktu di hari pertandingan Porseni itu. Tuan rumah Porsni
tahun ini adalah Sekolah Dasar Nomor I di
kecamatan.
Hari itu, Mahmud ikut ke kecamatan dengan bus yang disewa Sekolah
Dasarnya. Saat ibu dan ayahnya bertanya apakah dia ikut kembali menjadi wakil
sekolahnya, Mahmud menjawab tidak. Entah apa yang di pikirkan-nya. Dia
hanya bilang kalau semua murid harus menonton untuk menyemangati
teman-teman yang ikut bertanding.
Sang ayah pecaya saja. Ayah Mahmud
memiliki sepeda ontel warisan kakek-nya. Mahmud pergi lebih pagi karena
butuh waktu hampir satu jam baru sampai ke desanya. Sang ayah berkata, sambil
memompa ban sepedanya. Hati-hati di jalan, nanti ayah, ibu, dan adik mu akan ke
kecamatan. Adik mu sakit panas, jadi akan kepuskesmas berobat ke dokter.
Nanti
ayah dan ibu akan menonton juga acara pertandingan kalian. Mahmud hanya
mengiyakan saja, setelah pamitan berangkatlah Mahmud. Mahmud melangkah dengan
tergesa-gesa, sepatunya nampak sudah bolong di bagian ujung kakinya, sehingga
kaos kakinya terlihat. Sedangkan kaos atasnya dia ikat dengan karet gelang di
pergelangan betisnya.
Suasana Pekan Olah Raga Nasional (PORSENI) tingkat
sekolah dasar mulai berlangsung hari itu. Meriah dan ramainya warga
menyaksikan berbagai perlombaan dan permainan yang diselenggarakan.
Berbagai jenis pemainan seperti, Tarik tambang, Lompat jauh, Bulu tangkis,
Volly, Bolah kaki, Puisi, Melukis, lompat karung, lompat jauh, bola
kaki, dan banyak lagi.
Kegiatan Porsni ini rutin di
laksanakan setiap tahun semasa Orde Baru. Teriak dan
sorakan riuh reda di setiap arena pertandingan. Di sebuah panggung papan yang
khusus untuk perlombaan seni, seperti puisi, tarik suara, dan menari tarian
tradisional Indonesia.
Semuanya selesai, Kini saatnya perlombaan membaca puisi
karya sendiri. Mahmud yang menjadi wakil cadangan, dengan seksama
memperhatikan jalan Perlombaan baca puisi. Satu demi satu perwakilan
antar desa maju menampilkan puisi masing-masing. Waktu
berlalu, saatnya giliran Penampilan dari sekolah Mahmud.
Kemudian panitia memanggil nama peserta, Angga Putra. Mahmud dan
kawan-kawannya berharap kalau sekolahnya akan menang. Mahmud nampak
bergeser mendekat menerobos kerumunan orang yang menonton agar tegak
paling depan. Banyak penduduk yang menonton berbaur dengan siswa siswi
sekolah. Lama, nama peserta yang di panggil tidak naik ke
panggung arena perlombaan.
Mahmud pun menjadi gelisah. Kepalanya nampak celingak-celinguk
memperhatikan sekeliling mencari-cari temannya yang menjadi peserta lomba. Lama
di tunggu tidak muncul juga sehingga panitia mulai menghitung. Atas kesepakatan
juri bahwa sekolah Mahmud di tunda dahulu, sehingga memanggil nama peserta
sekolah lain dahulu. Seorang guru sekolah Mahmud naik ke panggung, dan nampak
berbisik-bisik.
Panitia dan para dewan juri itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu dia mencoret sebuah nama dan mengganti dengan nama
lain. Setelah sekolah lain selesai, tinggal sekolah Mahmud yang dipanggil.
Ternyata nama yang di panggil adalah nama Mahmud, peserta cadangan. Mahmud
kaget dia merasa gugup, dadanya berdebar, tidak menduga sama sekali. Sebuah
tanda tanya menggelayut di benaknya.
Timbul rasa khawatir dengan
temannya. Tiga kali nama Mahmud di panggil. Dengan langka
bergetar Mahmud melangka ke panggung pertunjukan.
Wajah Mahmud merah padam, dan jantungnya berdegub kencang.
Dia pandangi sekelilingnya, bertambah besar rasa gugup. Melihat
itu, seorang guru Mahmud mulai memberi semangat.
Sadar kalau sang murid terkejut, serta butuh dukungan. Di
awali tepuk tangan, diikuti semua teman-temannya, dan mereka
berteriak-teriak menyemangati Mahmud.”Ayo, Mahmud…kamu
bisa.” Mahmud kamu hebat…ayo. Pekik
semua teman-temannya. Mahmud yang sudah kehilangan percaya diri
merasa kalau dia akan kalah.
Tetapi Mahmud tetap konsentrasi, menarik
napas dalam, dan menghembuskan perlahan-lahan. Dia pejamkan
matanya sejenak. Terbayang saat-saat dia latihan di tepian
sungai. Kehujanan saat pulang sekolah, olokan-olokan teman-temannya,
terbayang saat kekecewaan sang ayah waktu dia berbohong setahun
lalu. Akibatnya Sang ayah di olok-olok orang.
Semua ini membuat
hati Mahmud bersedih, matanya berkaca-kaca, lalu emosi-nya naik
terbawa dalam nada syair puisi-nya. Membuat semua orang
terdiam, dan bergetar bahkan ada di antara nya meneteskan air mata.
Rasa bersalah, rasa penyesalan menghantui anak kecil itu. Jiwanya
ikut menghayati, dengan diikuti gerak tangan terkepal, kaki dan suara yang
terkombinasi. “Sebuah Kebanggaan,” itulah judul puisi yang terucap bersamaan
diamnya semua orang.
Sebuah Kebanggaan
Emas
atau berlian, sangat bernilai.
Namun
laut tetap berdebur, kata malam.
Walau
sepanjang hari di hempas ke pantai.
Tidak
dan tidak, membanggakan mereka.
Aku
tak mengerti kebanggaan mu.
Hanya
merekalah yang tau.
Kau
jua harapan, Kata Langit.
Merekalah
orang tua, yang berbangga.
Berbangga
di balik kenakalan ku.
Tak
usah membalas jasa Nak, Kata bulan.
Mereka
impikan sebuah prestasi.
Untuk kalian
yang merah mudah.
Bangga,
bahagia, menjadi keberhasilan mereka.
Keringat,
darah, dan dahaga itu kebahagiaan, mereka.
Semua
terbayar oleh tepuk tangan orang-orang.
Ayah, ibu, maafkan
anak mu.
Di
antara jantung kalian, berhembus napas ku.
Maaf
kan kesalahan dan kenakalan ku.
Maafkan
aku tak bisa membanggakan mu.
Bukan
salah kalian dalam mendidik ku
Sungguh,
tak kan terbalas jasa kalian pada ku.
Ayah, ibu,
bapak-ibu guru ku, inilah anakmu.
Nakal
dan selalu nakal.
Bukan
salah kalian dalam mendidik aku.
Kata
mentari, akulah yang nakal.
Akulah
yang tidak mampu mempersembahkan sesuatu.
Maafkan
aku, anak mu.
(syarce,
1996).
Puisi
sederhana itu di bawakan dengan penuh perasaan oleh Mahmud, membuat semunya
terbungkam, dan terharu mendengarnya. Mereka semua merasa hanyut dalam
napas Mahmud yang setengah menangis, namun tetap pada alur kaidah
berpuisi. Di akhir puisi tampak air mata Mahmud mengalir di
kedua pipinya. Seorang ibu guru juga mengusap air
matanya. Dia memandangi Mahmud yang mulai turun dari panggung
pertunjukan.
Sang guru merasakan ada sesuatu yang terjadi pada anak didikan-nya
itu. Ternyata di antara kerumunan orang itu ayah dan
ibu Mahmud serta dua adiknya menyaksikan juga. Tepat
saat Mahmud mulai berpuisi ayah dan ibu Mahmud ikut menyaksikan,
setelah selesai berobat di puskesmas kecamatan. Tidak heran, pada masa
itu, Porsni menjadi tontonan warga yang menarik sekali.
Ayah
dan ibunya bahagia dan terharu sekali melihat sang anak berdiri di
panggung pertunjukan. Bukan hadiah atau juara pertama, hanya sebuah
kebanggaan di dapat mereka melebihi materi. Lihatlah, itu anakku kata
mereka dengan bangganya. Setelah turun Mahmud melangkah menjauh dari
kerumunan orang-orang.
Dia berjalan menuju sebatang pohon yang tumbuh
di pinggiran lapangan perlombaan. Sebatang pohon Ensana besar tumbuh
di sudut lapangan sekolah dasar itu. Mahmud lalu duduk
menjelepok, bersandar di batang pohon itu. Dia seka air matanya
beberapa kali, matanya merah. Tiba-tiba sebuah suara lembut
menyapanya. Menyebut namanya dan membelai rambutnya.
Anak kelas empat sekolah
dasar ini melihat seorang ibu guru yang dia kenal. Ya guru itu wali kelas-nya
namanya ibu Erni. Mata polos Mahmud menunduk saat dia melihat tatapan
lembut gurunya. Sambil duduk di sisi Mahmud si ibu guru
bertanya, setelah memuji sedikit puisi Mahmud tadi. “Mahmud,
kamu kenapa nak, coba cerita sama ibu..!”.
Pada awalnya Mahmud tidak mau bercerita. Namun guru baik hati
ini terus membujuknya agar mau bercerita. Mengapa Mahmud begitu
bersedih sekali. Mahmud pun bercerita walau sepotong-sepotong, tetapi
si ibu guru mengerti maksud ceritanya.
Wajar dia masih anak-anak, di
mana pola pikirnya sangat polos sekali. Mahmud bercerita tentang
kebohongan-nya kepada kedua orang tuanya setahun lalu. Membuat
ayahnya di olok-olok orang-orang sehingga sang ayah merasa kecewa
sekali.
Dia juga berbohong lagi, hari ini karena kepergian-nya dia berpamitan
untuk menyaksikan saja sebagai penyemangat teman-teman dan bukan sebagai
peserta cadangan. Mahmud tidak mau membuat ayah dan ibunya
kecewa lagi. Sehingga rasa bersalah menghantui-nya sepanjang
hari-harinya. Mahmud juga malu, dan merasa bersalah, selain
itu dia merasa tidak akan juara puisi.
Padahal sekolahnya sudah lama tidak dapat juara dalam lomba
berpuisi, apalagi juara umum. Mahmud yang menjadi peserta
lomba merasa tidak yakin sekali. Kekalahan kedua
kali. Ibu guru tersenyum haru, dan meneteskan air matanya.
Di
perhatikannya Mahmud yang duduk sambil tertunduk sedih. Sambil
tangannya mencoret-coret tanah. Lalu si ibu berkata menghibur. “menang
kalah itu biasa, nak. Kamu jangan merasa bersalah, dan kekalahan itu
bukan karena mu. Kau sudah berusaha semampumu. Kami juga tau anak-anak kami
sudah semuanya berusaha sebaik-baiknya.
Kalau masalah kau berbohong tahun
lalu. Sudah, lupakan saja, jangan diingat lagi. Yang penting jangan kau
ulangi lagi. Kedua orang tua mu pasti sudah memaafkanmu. Mereka tau kau
bermaksud menyenangkan hati mereka. Kau anak baik, dan bertanggung jawab.
Kau masih anak-anak, tapi sepertinya kau akan
cepat tumbuh dewasa.
Sekolah dan teman-temanmu tidak akan menyalakan
mu. Hibur sang guru pada Mahmud. Ternyata ayah dan ibu Mahmud mendengar
percakapan itu. Mereka juga menyusul saat Mahmud melangkah
pergi. Bukan main haru ibu, dan ayah Mahmud mendengar pengakuan yang
tulus dari anak sekecil itu.
Mahmud meminta maaf pada ibu dan
ayahnya. Yah, Orang tua akan selalu memberi maaf pada setiap
kesalahan anak-anak mereka. Ayah Mahmud berkata, menang dan
kalah itu biasa di dalam suatu perlombaan. Yang terpenting kamu bisa
menyikapinya secara bijaksana. Menang dan kalah bukan harapan, yang
terpenting kau berusaha. Lupakan semua, kau masih anak-anak. Ayo bermainlah,
lupakan semua yang membuat mu sedih, jangan hiraukan perkataan orang. Kata
ayah Mahmud sambil menepuk bahunya.
Semua menjadi bahagia dan terharu. Kenapa tidak bilang kalau ikut lomba,
ibu kan dapat memberikan uang jajan lebih. Sahut ibunya “Saya peserta
cadangan ibu. Jawab Mahmud. Selembar uang lima ratus rupiah bergambar
orang hutan diberikan
ibunya. Mahmud mengambil uang dengan tersenyum, dan
berlari mencari jajanan bersama kedua adiknya. Satu di gendongnya di
punggung, satunya ikut berlari di tentunya.
Ibu
guru Mahmud berkata. Bapak dan ibu punya anak yang baik. Di usia
sekecil itu dia sudah mengerti sebuah kesalahan. Kelak dia akan
menjadi pemuda yang kuat. Dia merasa bersalah pada bapak dan
ibu karena kebohongan-nya. Dia takut kalau tidak juara, karena itu untuk
dipersembahkan di sekolahnya.
Dia begitu serius. Dunia anak-anak, kita tidak
boleh ikut larut dan terus mengawasi mereka. Celoteh ibu guru itu sambil
tersenyum. Ibu guru, ayah, dan ibu Mahmud berbincang-bincang hangat sambil
memperhatikan Mahmud bermain dengan adik-adiknya. Memulai untuk sebuah tanggung
jawab.
Setelah selesai perlombaan di semua cabang pertandingan.
Pada sore hari, pukul 15:00 WIB, para juri mengumumkan hasil
perlombaan. Dari seluru rangkayan pertandingan yang di selenggarakan. Untuk
menentukan juara umum Porseni dipilih sekolah yang paling banyak mendapat
kemenangan.
Dalam pengumuman kemenangan itu, sekolah Mahmud selalu imbang
dengan skor sekolah tuan rumah. Tiba saatnya imbang dan ditentukan dengan
kemenangan satu perlombaan lagi. Hanya cabang baca puisi yang menjadi penentu
dari skor imbang sekolah Mahmud dan sekolah tuan rumah. Pengumuman dimulai dari
juara tiga, juara dua, dan juara satu. Dengan perasaan was-was penuh kecemasan
semua menunggu dengan berdebar.
Memang dewan juri mengulur-ulur waktu untuk menyebutkan. Akhirnya
diumumkan bahwa lomba baca puisi dimenangkan peserta dari Sekolah Dasar Negeri
Satu Desa Meranti, yang di bawakan oleh Mahmud. Semua teman dan guru-guru
Mahmud bersorak-sorak.
Bukan main terharu-nya sore itu, ibu Mahmud meneteskan
airmata. Sudah lima tahun, tidak menjadi juara umum sekolah Mahmud, dan tahun
ini kembali menjadi juara umum. Semua bilang Mahmud pahlawan
sekolah mereka tahun ini. Senyum dan ucapan selamat berdatangan padanya.
Waktu
berlalu, Mahmud tidak lupa menjenguk temannya yang sakit, si
Angga Putra. Memberi kabar gembira bahwa sekolah mereka juara umum. Memang hari
terakhir latihan mereka kehujanan di jalan, itulah penyebab Angga sakit, dan
tidak bisa ikut pertandingan baca puisi sehingga terpaksa Mahmud sebagai
peserta cadangan yang maju.
Ayah dan ibu Mahmud bangga sekali, di luar dugaan sama
sekali. Sekarang merekah tidak
merasa ragu lagi pada kemenangan sang anak.
Karena mereka menyaksikan sendiri, Mahmud membaca puisi, menerima
piala-nya. Sejak saat itu, Mahmud menjadi buah bibir di desanya.
Orang-orang bilang mungkin suatu saat anak itu menjadi seorang penulis,
sastrawan, sejarawan yang hebat. Juara tingkat kecamatan baca puisi. sekarang
semua penduduk desa Mahmud sudah mengetahui. Kalau dahulu ayah Mahmud selalu
bercerita tentang anaknya. Tetapi sekarang orang-orang desanya yang
menceritakan, dan bertanya.
Rasa malu setahun yang lalu kini
berganti dengan kebanggaan tersendiri. Sebuah kebanggaan hadir
di jiwa para orang tua apabila sang anak memiliki prestasi. Entah apa yang
terpikirkan di benak para orang tua. Mengapa mereka begitu bangga akan
anak-anaknya. Hanya para orang tua yang tahu dan mengerti. Begitu
juga Mahmud kecil, tak pernah habis pikir di mana letak
istimewanya. Dia menganggap semua itu hal biasa saja, namun semua itu
sangat membanggakan kedua orang tuanya.
Yah, si Mahmud anak kecil dari ladang, yang setiap
hari berlari diantara bayang-bayang siang. Menuntut
ilmu dengan semua kekurangan. Namun tetap semangat menggapai masa
depan. Bercita-cita tinggi dan tidak pernah
menyerah.
Bermain dengan kecerian dalam sejuta
kepolosan. Satu hal, jangan pernah membohongi kedua orang tua
kita. Apalagi dibohongi dengan kenakalan kita. Membohongi dengan
maksud menyenangi hati mereka saja tidak baik, apalagi dengan
kenakalan-kenakalan. Ingat, satu kebohongan akan diikuti dengan
kebohongan-kebohongan lainnya.
Orang tua, mereka tidak meminta banyak
harta, uang, atau balas jasa dari sang anak. Mereka hanya ingin melihat
kesuksesan anak-anaknya. Jerih payah, membanting tulang, memerah
keringat, serta rasa letih tidak pernah hiraukan. Mereka para orang
tua, hanya ingin melihat sang
anak yang berprestasi, menjadi orang yang berguna, sukses,
bermoral baik, dan berpendidikan. Mereka itu, hanya
ingin berkata, “lihatlah, itu anakku.”
Oleh:
Joni Apero
Fakultas Adab, Palembang, 2013.
Catatan: Yang mau belajar menulis:
mari belajar bersama-sama: Bagi
teman-teman yang ingin mengirim atau menyumbangkan karya tulis seperti puisi,
pantun, cerpen, cerita pengalaman hidup seperti cerita cinta, catatan mantera,
biografi diri sendiri, resep obat tradisional, quote, artikel, kata-kata
mutiara dan sebagainya.
Kirim saja ke Apero Fublic. Dengan syarat
karya kirimannya hasil tulisan sendiri, dan belum di publikasi di media lain.
Seandainya sudah dipublikasikan diharapkan menyebut sumber. Jangan khawatir hak
cipta akan ditulis sesuai nama pengirim. Sertakan nama lengkap, tempat menulis,
tanggal dan waktu penulisan, alamat penulis.
Jumlah karya tulis tidak terbatas,
bebas. Kirimkan lewat email: joni_apero@yahoo.com. idline: Apero
Fublic. whatsApp: 081367739872. Messenger. Apero fublic. Karya
kiriman tanggung jawab sepenuhnya dari pengirim.
By. Apero Fublic
Via
Cerpen
Post a Comment