Sastra Moderen
Setiap Hari Sebuah Puisi. Sastra Moderen Indonesia
Apero Fublic.- Buku
ini menjelaskan tentang kebaikan berpuisi, juga di hadirkan berbagai macam
puisi dari penulis yang berbeda. Dapat dikatakan sebagai antologi puisi yang
dipadukan dengan opini dari penulis. Puisi-puisi dijadikan contoh dan gambaran
dari maksud pesan yang disampaikan penulis. Buku Setiap Hari Sebuah
Puisi adalah sebuah buku mengajak untuk berpuisi, dan membuat puisi.
Sebagai bentuk mengenalkan puisi ke dunia anak-anak. Buku ini untuk bacaan anak-anak, juga banyak memuat puisi-puisi dari majalah bobo, tabloid Yunior, koran kompas dan sebagainya. Bukan hanya menghadirkan puisi modern tahun 90-an, juga mengetengahkan puisi-puisi dari penyair angkatan pujangga baru seperti Y.E. Tatengkeng.
Selain mengajak berpuisi dan membuat puisi juga menjelaskan kemenarikan puisi, dan manfaat puisi. Dalam ungkapan penulis buku, bahwa apabila direnungkan, dunia ini sebenarnya penuh dengan puisi. Alam semesta ini adalah puisi, karena banyak mengandung keindahan, panorama yang elok mempesona.
Hidup ini pun puisi karena merupakan anugerah teramat indah dari Allah, Tuhan Yang Maha Indah. Puisi adalah karya yang indah, mengandung unsur keindahan. Bukankah alam semesta, berbagai peristiwa dan fenomena kehidupan, bahkan hidup dan kehidupan itu sendiri, penuh dengan unsur keindahan.
Sebagai bentuk mengenalkan puisi ke dunia anak-anak. Buku ini untuk bacaan anak-anak, juga banyak memuat puisi-puisi dari majalah bobo, tabloid Yunior, koran kompas dan sebagainya. Bukan hanya menghadirkan puisi modern tahun 90-an, juga mengetengahkan puisi-puisi dari penyair angkatan pujangga baru seperti Y.E. Tatengkeng.
Selain mengajak berpuisi dan membuat puisi juga menjelaskan kemenarikan puisi, dan manfaat puisi. Dalam ungkapan penulis buku, bahwa apabila direnungkan, dunia ini sebenarnya penuh dengan puisi. Alam semesta ini adalah puisi, karena banyak mengandung keindahan, panorama yang elok mempesona.
Hidup ini pun puisi karena merupakan anugerah teramat indah dari Allah, Tuhan Yang Maha Indah. Puisi adalah karya yang indah, mengandung unsur keindahan. Bukankah alam semesta, berbagai peristiwa dan fenomena kehidupan, bahkan hidup dan kehidupan itu sendiri, penuh dengan unsur keindahan.
Puisi juga sangat dekat dengan kehidupan manusia, menyatu dengan, atau
malah sama dengan keindahan, kelembutan, kejujuran, kedamaian, sikap hidup yang
humanis dan religius. Mengutip perkataan Y.E. Tatengkeng mendepenisikan puisi
sebagai nyanyian sukma yang menjelma indah kata. Buku Setiap Hari
Sebuah Puisi memuat 39 puisi dari berbagai penyair, baik dari penyair
angkatan 45 seperti Chairil Anwar, penyair angkatan 80-an, dan seterusnya.
Penulis buku Setiap Hari Sebuah Puisi, Yant Mujianto dilahirkan di Jepara,
20 Mei 1954, pendidikan dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas di
Jepara. Melanjutkan sekolah di FKSS IKIP Semarang (sekarang UNNES). Pekerjaan
mengajar di SMP, SMA, PTS, kemudian menjadi dosen di PBS FKIP dan mahasiswa
Pascasarjanah PBI Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Telah banyak menulis
seperti cerpen, esai, puisi, buku pegangan kuliah di kampus, buku ilmiah
populer. Diantara bukunya, Nasihat-Nasihat Kecil Sang Guru, Cendera
Mata From ABG to ABG. Untuk Kita Renung Hayati, Mozaik
Perjalanan dari seri 1-5, Silen is Gold atawa Diam itu Emas, Sayang, Seikat
Fatwa Pujangga, dan antologi puisi bersama penyair lain.
Seperti Wajah-Wajah, Kicau
Podang 3, Jentera Terkasa, Setengah Abad Indonesia
Merdeka, Kali Progo, Soliloku Sketsa Nurani. Kampung
Akhirat/Estetika Zikrullah, Rumah Reformasi, Hapuslah
Air Mata Dunia, Laksana Bintang Berkilau, Eksotika Rasa
Anugerah Pencerahan, Sajak-Sajak Inner Beauty Merajut Bening Hati. Dunia
Sekitar Dalam Puisi dan 234 Pantun Gaul untuk ABG Indonesia.
PAGAR BAMBU.
Rumah kami sangat sederhana.
Pagar bambu di sekelilingnya.
Kata ayah, pagar itu untuk keamanan.
Juga berguna sebagai hiasan.
Pagar bambu, kuning dan kukuh.
Bambu disebut juga buluh.
Bambu tumbuh di dalam kebunku.
Bambu melindungi rumahku.
Dari pintu kulihat rumpun bambu.
Rimbun daun meneduhkan halamanku.
Rebung atau bambu muda disayur ibuku.
Bambu, terima kasih kepadamu.
Pagar bambu, engkau mulia.
Menjaga rumah dan isinya.
Pagar bambu, kau terkena hujan dan angin.
Tetapi kau tak merasa dingin.
(Karya Khiria Oktariani, kelas V SDN Kowangan I Temanggungan. Dari bobo, tahun ke XXIII, 2I Maret 1996, halam 17).[1]
WARNA
Karena dirimu dunia jadi indah.
Karena dirimu alam jadi cerah.
Karena dirimu semua jadi mega.
Tanpamu tak tahu apa jadinya.
Mata melihat seperti buta.
Semua jadi gelap-gulita.
Semua terasa hampa.
Warna, kau sungguh mempesona.
Kau hiasi seluruh dunia.
Pelangi tanpamu apa jadinya.
Pasti terasa tak indah.
Warna, teruslah kau menyala.
Menghiasi alam raya pada.[2]
(Karya Amilin Pekalongan dari Kompas, Minggu 13 Maret 2005, halama 30).
SENYUM PELANGI
Kala hujan datang dengan derasnya.
Sempat aku merasa kecewa.
Namun, saat mentari kembali bersinar.
Menggantikan hujan menyinari bumi.
Kulihat pula
Lengkung senyum bahagia di angkasa
Hari ini.......
Kulihat senyummu, wahai pelangi
Senyum selama ini kunanti.
Ku berharap.
Kau kan datang kembali.
Selalu di sampingku, seiring berjalannya waktu.[3]
(Karya Mukti Anggorowati, kelas V SDN 5 Jalan Kaswari 5 Kebumen dari Yunior, edisi 296, tahun ke-6, Minggu, 11 Desember 2005, halam 11).
WAKTU MENCATAT
Waktu mencatat
Pada pertemuan kita
Tawa kita
Lara kita
Waktu mencatat
Tiap langkah kita
Desah kita
Rayu kita
Waktu mencatat
Catatan kecil langkah kita
Gemuruh kecil jiwa kita
Waktu mencatat
Amat teliti
Jeli sekali
Waktu mencatat
Teka-teki diri
Sejujur-jujurnya
Sepolos-polosnya.[4]
(Karya Muslima, Ponpes Pasarean Putri Kajen, Margoyoso, Pati dari Kaki Langit Horison, November 2000, halaman 21).
ALAM MENANGIS
Betapa banyak alam yang telah musnah.
Betapa banyak lingkungan yang kehilangan fungsinya.
Tidakkah kita perhatikan sabda alam.
Alam yang kita cintai diambang kemusnahan.
Manusia hanya berpikir apa yang diambil.
Tetapi tidak berpikir akibat dari semua itu.
Tidakkah kita perhatikan sabda alam.
Alam melihat kita setiap hari.
Gerak-gerik kita diperhatikan.
Tingkah laku manusia semakin ganas terhadap alam.
Tidakkah kita perhatikan sabda alam.
Alam mulai sedih melihat tingkah laku manusia.
Alam menitikkan air mata yang tidak pernah kering.
Alam menangis melihat kita tidak lagi.
Mencintai alam.[5]
(Karya Amrul Wajidi Na’imi, MAN 2 (Model) Banjarmasin dari Kaki Langit Horison, Januari 2005, halaman 19).
Oleh: Alvin Are Tunang.
Editor. Selita. S.Pd.
Foto. Melly Diana.
Sumber dan Hak Cipta: Yant Mujiyanto, Setiap Hari Sebuah Puisi, Surakarta: Mediatama, 2007.
PAGAR BAMBU.
Rumah kami sangat sederhana.
Pagar bambu di sekelilingnya.
Kata ayah, pagar itu untuk keamanan.
Juga berguna sebagai hiasan.
Pagar bambu, kuning dan kukuh.
Bambu disebut juga buluh.
Bambu tumbuh di dalam kebunku.
Bambu melindungi rumahku.
Dari pintu kulihat rumpun bambu.
Rimbun daun meneduhkan halamanku.
Rebung atau bambu muda disayur ibuku.
Bambu, terima kasih kepadamu.
Pagar bambu, engkau mulia.
Menjaga rumah dan isinya.
Pagar bambu, kau terkena hujan dan angin.
Tetapi kau tak merasa dingin.
(Karya Khiria Oktariani, kelas V SDN Kowangan I Temanggungan. Dari bobo, tahun ke XXIII, 2I Maret 1996, halam 17).[1]
WARNA
Karena dirimu dunia jadi indah.
Karena dirimu alam jadi cerah.
Karena dirimu semua jadi mega.
Tanpamu tak tahu apa jadinya.
Mata melihat seperti buta.
Semua jadi gelap-gulita.
Semua terasa hampa.
Warna, kau sungguh mempesona.
Kau hiasi seluruh dunia.
Pelangi tanpamu apa jadinya.
Pasti terasa tak indah.
Warna, teruslah kau menyala.
Menghiasi alam raya pada.[2]
(Karya Amilin Pekalongan dari Kompas, Minggu 13 Maret 2005, halama 30).
SENYUM PELANGI
Kala hujan datang dengan derasnya.
Sempat aku merasa kecewa.
Namun, saat mentari kembali bersinar.
Menggantikan hujan menyinari bumi.
Kulihat pula
Lengkung senyum bahagia di angkasa
Hari ini.......
Kulihat senyummu, wahai pelangi
Senyum selama ini kunanti.
Ku berharap.
Kau kan datang kembali.
Selalu di sampingku, seiring berjalannya waktu.[3]
(Karya Mukti Anggorowati, kelas V SDN 5 Jalan Kaswari 5 Kebumen dari Yunior, edisi 296, tahun ke-6, Minggu, 11 Desember 2005, halam 11).
WAKTU MENCATAT
Waktu mencatat
Pada pertemuan kita
Tawa kita
Lara kita
Waktu mencatat
Tiap langkah kita
Desah kita
Rayu kita
Waktu mencatat
Catatan kecil langkah kita
Gemuruh kecil jiwa kita
Waktu mencatat
Amat teliti
Jeli sekali
Waktu mencatat
Teka-teki diri
Sejujur-jujurnya
Sepolos-polosnya.[4]
(Karya Muslima, Ponpes Pasarean Putri Kajen, Margoyoso, Pati dari Kaki Langit Horison, November 2000, halaman 21).
ALAM MENANGIS
Betapa banyak alam yang telah musnah.
Betapa banyak lingkungan yang kehilangan fungsinya.
Tidakkah kita perhatikan sabda alam.
Alam yang kita cintai diambang kemusnahan.
Manusia hanya berpikir apa yang diambil.
Tetapi tidak berpikir akibat dari semua itu.
Tidakkah kita perhatikan sabda alam.
Alam melihat kita setiap hari.
Gerak-gerik kita diperhatikan.
Tingkah laku manusia semakin ganas terhadap alam.
Tidakkah kita perhatikan sabda alam.
Alam mulai sedih melihat tingkah laku manusia.
Alam menitikkan air mata yang tidak pernah kering.
Alam menangis melihat kita tidak lagi.
Mencintai alam.[5]
(Karya Amrul Wajidi Na’imi, MAN 2 (Model) Banjarmasin dari Kaki Langit Horison, Januari 2005, halaman 19).
Oleh: Alvin Are Tunang.
Editor. Selita. S.Pd.
Foto. Melly Diana.
Sumber dan Hak Cipta: Yant Mujiyanto, Setiap Hari Sebuah Puisi, Surakarta: Mediatama, 2007.
[1]Yant Mujiyanto, Setiap Hari Sebuah Puisi,
Surakarta: Mediatama, 2007, h. 5.
[2]Yant Mujiyanto, Setiap Hari Sebuah Puisi, h. 9.
[3]Yant Mujiyanto, Setiap Hari Sebuah Puisi, h. 18.
[4]Yant Mujiyanto, Setiap Hari Sebuah Puisi, h. 36-37.
[5]Yant Mujiyanto, Setiap Hari Sebuah Puisi, h. 43.
Sy. Apero Fublic
Via
Sastra Moderen
Post a Comment