Budaya Daerah
Oleh. Joni Apero.
Sy. Apero Fublic
Songket. Tenunan Warisan Kerajaan Sriwijaya
Apero Fublic.- Songket
adalah nama kain tradisional dari daerah Sumatera Selatan. Kain songket
diproduksi masyarakat dengan cara di tenun. Warnah khas dari songket adalah
merah hati dan kuning emas. Warna kuning emas juga menyimbolkan kemelayuan.
Dalam pelacakan motif-motif ragam hias tenun songket dilakukan oleh tim balai
arkeologi Sumatera Selatan pada arca-arca peninggalan Kerajaan Sriwijaya.
Di Sumatera Selatan salah satu
wilayah dimana masyarakatnya aktif dalam menenun songket adalah wilayah Ogan
Ilir, seperti di Kecamatan Tanjung Batu, Kecamatan Rantau Panjang, dan
sekitarnya. Penenun songket biasanya dilakukan oleh kaum wanita. Bukan karena
dianggap sebagai pekerjaan wanita, tetapi karena menenun dibutuhkan kesabaran,
ketelatenan, dan tenaga yang lembut.
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap arca-arca di situs Bumiayu,
Sumatera Selatan dapat di ketahui , bahwa songket sudah dikenakan oleh
masyarakat Sumatera Selatan sejak abad ke-9 Masehi, ketika Sriwijaya berpusat
di Palembang. Itu berarti kemunculan tenun songket sudah ada jauh sebelum abad
ke-9 Masehi.
Tenun songket yang sudah menjadi budaya di tengah masyarakat luas,
sehingga tetap bertahan walau runtuhnya Kerajaan Sriwijaya. Pada masa Palembang
di bawah kekuasaan Kerajaan Palembang sampai dengan masa Kesultanan Palembang
tenun songket menjadi model pakaian yang mewah. Terutama dikalangan bangsawan
yang menyukai tenun songket dengan sulam benang emas.
Kain songket dikenakan
dengan cara melingkar di pinggang alah Melayu. Dijadikan tajak, selendang,
rompi dan baju. Kemudian songket juga dijadikan suatu pakaian resmi di
acara-acara seremonial seperti pakaian penganti, dan sebagai hadia perkawinan.
Kebiasaan tersebut terus bertahan sampai sekarang di Sumatera Selatan.
Walau
sudah mulai berubah dan bergeser. Hadia pernikahan tersebut di istilahkan
dengan adat genti duduk. Genti duduk dimaksudkan
sebagai ganti keberadaan dari si anak wanita yang sudah menikah dan ikut suami.
Apabila pernikahan itu tinggal berjarak jauh, genti duduk akan
menjadi pengobat rindu ibu, ayah, dan keluarganya.
Dalam perkembangannya sistem tenun songket Sriwijaya menyebar ke seluru
Nusantara dan Asia Tenggara. Di Nusantara atau Indonesia disetiap wilayah
berkembang corak kedaerahan yang menjadi identitas kedaerahan. Begitupun nama
kain hasil tenun yang berbeda sesuai dengan bahasa daerah masing-masing.
Sehingga pada masa sekarang nama songket menjadi identitas umum dari hasil
tenun tersebut. Bukan hanya untuk identitas di Indonesia tapi juga untuk
identitas dunia. Songket juga diharapkan terdaftar di UNESCO sebagai warisan
budaya dunia.
Lembut dimaksud bukan berati lemah. Maka
kaum wanitalah yang memiliki kemampuan yang baik itu. Dalam tenun songket ada
tiga jenis songket, yaitu limar, rakam, dan lepus. Songket lepus
dalam pembuatannya hanya menggunakan dua macam benang, yaitu benang kristal dan
benang sutra. Bercorak merah dan kuning emas, atau bentuk songket asli.
Sedangkan jenis songket limar juga menggunakan dua benang
tersebut, tetapi dari tata motip berupa kembang-kembang yang berbeda. Untuk
jenis tenun jenis rakam selain menggunakan dua benang tersebut, juga
menggunakan benang tambahan lain. Kemudian pembuatan jenis songket rakam juga
lebih rumit. Banyak motif dan ragam hias, juga warnanya.
Foto
atas adalah foto hasil tenun kain songket tradisional Sumatera Selatan. Tampak
kain songket jenis limar, lepus,
nyino hampir selesai. Lama pengerjaan satu kain songket dua minggu
atau lebih tergantung dari aktifnya penenun dalam mengerjakan tenunannya. Foto
bagian bawah kain songket jenis lepus sudah jadi.
Oleh. Joni Apero.
Editor. Desti. S. Sos.
Palembang,
5 Januari 2019.
Seumber:
Jurnal Arkeologi Siddhayatra. Dalam, Retno Purwanti dan Sondang M. Siregar, Sejarah Sonket
Berdasarkan Data Arkeologi. Balai Arkeologi Sumatera Selatan. 2016.
Sumber
foto dan wawancara. Ulandari.
Kecamatan
Rantau Panjang, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia.
Via
Budaya Daerah
Post a Comment