Sastra Moderen
Surat-Surat Chairil Anwar Kepada H.B. Jassin
Apero Fublic.- Saat proses melahirkan sajak-sajak-nya,
Chairil Anwar tidak mendapatkan ilham langsung muncul begitu saja. Dalam proses
pemunculan sajak-sajak-nya, ada proses berpikir dan pengalam yang bermain.
Chairil berusaha dengan sekuat tenaga melahirkan sajak-nya. Sehingga Chairil
begitu keras berpikir dan mengolah imajinasi-nya. Dia berharap agar muncul
sajak yang berkualitas.
Mungkin sebagian orang menulis sajak hanya perlu
memainkan kata-kata saja. Namun tidak demikian dengan Chairil, keseriusan-nya
itu tergambar dalam surat-surat-nya dengan sastrawan H.B. Jassin. Seperti
perenunangan, kadang berkata perlu di renungkan lagi, dan sebagainya.
Dalam surat tersebut ada
juga tergambar bahwa Chairil menyatakan bahwa dirinya seorang seniman. Ia lebih
suka menjadi seorang seni rupa dan sandiwara (mungkin teater) dari pada
penulis. Dari suratnya tergambar, bahwa Chairil rupanya juga seorang kutu buku.
Chairil berteman dekat dengan H.B. Jassin.
Sajak yang dia kirim kadang sajak
yang belum begitu lengkap, sehingga ada sajak-sajak yang ia kirimkan kepada
H.B. Jassin masih berupa rangkaian kata-kata yang belum sepenuhnya menjadi
sajak-sajak, dan perlu untuk di renungkan kembali. Apabilah melihat tahun-tahun
surat-surat tersebut, dia hidup dalam pergolakan besar republik kita.
Chairil
juga melalui kehidupan sulit bersama para pejuangan kemerdekaan lainnya, dia
melalui masa penjajahan Jepang, melalui masa-masa perang dengan Belanda.
Sehingga Chairil menjadi saksi-saksi dari banyak peristiwa penting yang terjadi
pada masa hidupnya. Berikut adalah surat-surat Chairil Anwar.
15
Maret 1943
Jassin,
Tadi
datang. Rumah Kosong. Ada menunggun kira-kira sejam. Sementara itu ta’ dapat
melepaskan tangan dari lemari buku. Kubawa
1) H.R. Hoist, De nieuwe Getroste
2) H.R.
Hoist, Keur uit de Gedichten
3) Huizinga, In de schaduw van Morgen
4) Huizinga, Cultuur Historische
Verkenningen.
Maksud datang tentu dapat Jassin menerka.
Minta terima kasih 1001 kali,
Kalau sempat besok datang ke Balai Pustaka.
Jassin,
Aku tak bertukar. Masih seperti dulu juga
lagi. Tapi kalau 10 hari lagi dihukum tentu lemah dan jinak.
Relaas perkaraku akan membuktikan aku ta’
bersalah.
Apa?! Disumpahi Eros.
Kuminta
padamu sekali lagi 1001 terima kasih.
Aku
Katakan: You are well.[1]
Ch. Anwar
********
(Kartu
pos, 8 Maret 1944)
d/a R.M. Djojosepoetro
Paron
Jawa
Timur
Jassin,
Dalam kalangan kita sipat
setengah-setengah bersimaharajalela benar. Kau tentu tahu ini. Aku memasuki
kesenian dengan sepenuh hati. Tapi hingga kini lahir aku hanya
bisa mencampuri dunia kesenian setengah-setengah pula. Tapi untung bathin
seluruh hasrat dan minatku sedari umur 15 tahun tertuju ke titik satu saja,
kesenian.
Dalam perjalanan ini
kedengar sudah bisa berkirim uang Sumatra-Jawa. Ini besar artinya bagiku,
jiwaku tidak perlu kungkungan mengalami kantor setiap
hari-hari seperti kebanyakan di antara kita sekarang.[2]
Sekian
Ch.
Anwar, dalam perjalanan
Di
Jawa Timur
******
(Kartu
Pos, 8 Maret 1944)
d/a R.M. Djojosepoetro
Paron
Jassin,
Tidak
Jassin aku tidak akan kembali ke prosa seperti dalam pidato di depan “Angkatan
Baru” dulu! Prosa seperti itu sebenarnya membumbung, mengawang tinggi saja,
karena keintensiteitan menulis serasa aku mendera jadinya, tetapi tiliklah
setelitinya sekali lagi, dengan prosa seperti itu aku tidak sampai ke perhitungan
(afrekening). Sedangkan maksudnya aku akan bikin perhitungan habis-habisan
dengan begitu banyak di sekelilingku.
Dan
garis-garisku sudah kudapat, harga sebagi manusia (menselijke
waardigheid) dengan kepribadian. Lapanganku bergerak sudah kutahu
pula, sebenarnya di mana-mana saja, tetapi jika di khusukan di lapangan
kesusastraan, seni rupa dan sandiwaralah.
Prosaku,
puisiku juga, dalam tiap kata akan kugali-korek sedalamnya,
hingga ke kernwoord, ke kernbeeld. (sudah kumulai dengan sajak-sajak
penghabisan, “Di Depan Kaca”,
Sampai
sini,[3]
(tanda tangan Dhairil Anwar)
*******
(Kartu
pos, 11 Maret 1944)
d/a R.M. Djojosepoetro
Paron
Jassin,
Begini keadaan jiwaku
sekarang, untuk menulis sajak keperwiraan seperti “Diponegoro” tidak lagi.
Menurut oom ku, sajak itu pun tidak baik!
Lagi pula dengan keritik
yang agak tajam sedikit, hanya beberapa sajak saja yang bisa melewati
timbangan.
Tapi tahu kau, apa yang
kuketemui dalam meneropong jiwa sendiri? Bahwa dari sajak-sajak bermula hingga
penghabisan belum ada garis nyata lagi yang bisa dipegang.
Jassin! Aku mulai dengan
10-15 sajak-sajak yang penghabisan di antara ada juga yang tidak bisa diterima
sebagai sajak!!
Kita ketemu lagi,[4]
(tanda tangan Chairil Anwar)
*********
(Kartu
pos, 11 Maret 1944)
d/a R.M. Djojosepoetro
Paron
pagi
Jassin,
Kubaca
sajak-sajakku semua. Kesal aku, sekesalnya...,
Jiwaku
tiap menit bertukar warna, sehingga tak tahu aku ap aku sebenarnya
sore
terasa kesanggupanku untuk
menulis studi-studi tentang kesusastraan.
Mesti ada yang sudah ditulisnya
tentang kesusastraan, orang pujangga baru” kebanyakan epigones dari ’80....,
epigones yang tak tentu tuju pulu lagi.
Ch. Anwar, dalam perjalanan
Di Jawa Timur.[5]
**********
10
April 1944
Jassin,
Yang
kuserakan padamu – yang kunamakan sajak-sajak!
- Itu
hanya percobaan kiasan-kiasan baru.
Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa
“tingkat percobaan”
Musti di lalui dulu, baru terhasilkan
sajak-sajak sebenarnya.[6]
Ch.
Anwar
**********
Surat 10 April ini adalah bentuk kutipan
dari buku H.B. Jassin, berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan
Esai II, oleh editor Antologi Puisi Chairil Anwar Aku ini Binatang Jalang.
Editor sampai saat ia menulis buku ini tidak menemukan surat asli. Demikian
tulisan ini sebagai informasi dunia sastra Indonesia. Semoga bermanfaat bagi
para pemerhati dan peneliti sastra Indonesia.
Oleh: Ahmad Reni Efita
Editor. Selita. S.Pd.
Fotografer. Dadang Saputra
Sumber dan Hak Cipta: Pamusuk Eneste,
(ed)., Aku ini Binatang Jalang, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2012.
[1]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
ini Binatang Jalang, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 113.
[2]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
ini Binatang Jalang, h. 114.
[3]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
ini Binatang Jalang, h. 115.
[4]Pamusuk Eneste, (ed)., Aku
ini Binatang Jalang, h. 116.
[5]Pamusuk Eneste,
(ed)., Aku ini Binatang Jalang, h. 117.
[6]Pamusuk Eneste,
(ed)., Aku ini Binatang Jalang, h. 188.
Sy.
Apero Fublic.
Via
Sastra Moderen
Post a Comment