Cerpen
Hikmah Berbagi. Tak Padam di Makan Waktu
APERO FUBLIC.- alang
adalah nama pemukiman kedua penduduk di daerahku, Sekayu, Sumatera Selatan.
Biasanya, nama Talang diambil dari nama-nama yang mewakili tempat itu. Seperti
nama sungai, nama buah-buahan, atau nama orang pertama yang membuka
Talang.
Penduduk membuat Talang karena daya jangkau perjalanan yang sudah jauh dari desa. Tempat tinggal utama mereka. Sehingga masyarakat membangun pemukiman kedua, untuk memudahkan berkebun atau berladang. Talang berupa sekelompok pondok-pondok sederhana, di kelilingi kebun-kebun atau ladang.
Pondok dalam bahasa Melayu daerahku adalah nama bangun tempat tinggal yang sederhana. Kata pondok menjelaskan bentuk lain yang berbeda dari rumah. Rumah berarti sudah dibangun dengan teknologi cukup dan bahan yang berkualitas. Kadang ada juga Talang yang berkembang menjadi desa dikemudian hari, sebab banyak penduduk yang menetap. Atau karena terletak di pinggir jalan raya.
Penduduk membuat Talang karena daya jangkau perjalanan yang sudah jauh dari desa. Tempat tinggal utama mereka. Sehingga masyarakat membangun pemukiman kedua, untuk memudahkan berkebun atau berladang. Talang berupa sekelompok pondok-pondok sederhana, di kelilingi kebun-kebun atau ladang.
Pondok dalam bahasa Melayu daerahku adalah nama bangun tempat tinggal yang sederhana. Kata pondok menjelaskan bentuk lain yang berbeda dari rumah. Rumah berarti sudah dibangun dengan teknologi cukup dan bahan yang berkualitas. Kadang ada juga Talang yang berkembang menjadi desa dikemudian hari, sebab banyak penduduk yang menetap. Atau karena terletak di pinggir jalan raya.
Aku seorang pemuda lajang. Umurku sudah sembilanbelas tahun.
Pendidikanku sebatas Sekolah Menengah Pertama (SMP). Aku tidak memiliki
pergaulan luas, kehidupanku habis di dalam kebun, hutan, atau mencari ikan di
sungai.
Pemikiranku tidak mampu menjangkau hal-hal yang tinggi, tidak logis.
Aku ingin menjadi orang hebat. Namun aku tidak memiliki keterampilan apa-apa.
Begitulah aku, potret pemuda desa yang sederhana. Aku tidak pernah merantau
atau berjalan-jalan ke kota. Dari kecil sampai usia sekarang.
Bacaanku hanyalah
Al-Quran biasa yang sudah lapuk. Kehidupan desa yang terpencil, dan kungkungan
budaya feodalisme. Membuat semua kemajuan dunia, aku tidak tahu. Suatu hari aku
berpikir tentang kehidupan ini. Apalah arti dengan hidup yang begini-begini
saja.
Jiwaku bertanya-tanya dan memberontak. Tetapi apa daya. Daya
pikirku yang kolot, tahayul, bodoh, keras kepala, dan pola pikir yang
pendek. Membuat aku tidak dapat berpikir luas dan logis. Satu hal yang terpikir
adalah, aku ingin pergi dari rumah. Tentu kepergianku bukan ke kota. Aku pamit
pada ayah dan ibu, pergi ke sebuah Talang yang jauh.
Mungkin lebih dari 100
kilometer dari desaku. Menjadi buru kebun karet warga di sana. Masyarakat kami
menerapkan sistem bagi hasil antara pekerja dan pemilik kebun. Rencanaku
mengumpulkan uang untuk modal usaha kecil-kecilan. Di desaku, kami tidak
memiliki kebun atau tanah untuk digarap. Ayah bekerja sebagai buruh tani
disebuah perusahaan perkebunan.
Talang Pedare, terdapat limabelas pondok sederhana berbentuk panggung.
Pola pemukiman Talang tidak beraturan. Jarak antara satu pondok dengan pondok
yang lain, sekitar 30 atau 40 meter. Atap-atap pondok terbuat dari seng, daun
rumbia, Ada dari daun ilalang, dan juga dari bambu.
Berkerangka kayu
bulat, berlantai papan, ada dari bila bambu. Sedangkan dinding ada dari papan,
kulit kayu, dan bambu. Terletak di atas sebuah bukit kecil. Di kiri kanan
Talang ada lembah menurun sedang, tidak curam. Di lembah terdapat sungai kecil
sebagai tempat mandi dan sumber air bersih.
Pemukiman Talang Pedare seluas dua
hektar. Pondok tersebar di bawa pohon-pohon buah-buahan. Buah yang paling
banyak adalah pohon buah pedare (kelengkeng). Karena itulah
Talang ini dinamakan warga, Talang Pedare. Sudah dua bulan aku tinggal di
Talang Pedare.
Aku membangun sebuah pondok panggung sederhana berukuran luas
dua meter, panjang tiga meter, dan satu meter dapur. Tinggi tiang sekitar dua
meter. Pondok kecil tidak berserambi. Bertangga langsung di muara pintu depan.
Lantai dibuat dari sisa-sisa kulit kayu pembuatan papan.
Sedangkan dinding
dibuat dari kulit pohon. Atap dibuat dari daun rumbia. Waktu itu musim
penghujan pada puncaknya. Yaitu antara bulan Januari sampai April. Bulan-bulan
itu adalah waktu yang sulit bagi petani karet. Sebab hujan turun terus, siang
atau malam. Kadang banjir, dan kadang hujan berhari-hari.
Pertengahan
bulan Maret, cuaca tidak kunjung membaik. Dalam seminggu ini curah hujan
benar-benar tinggi. Suatu malam cuaca seperti biasa. Angin berhembus kencang
disertai hujan deras. Suaranya menjadi menderu-deru karena menerpa dedaunan
pohon. Sering ada pohon yang jatuh tumbang. Terutama pohon yang sudah tua.
Petir dan kilat bersabung di antara guyuran air hujan.
Suasana sepi dan sunyi.
Aku terlelap dalam tidur yang nyenyak. Keesokan paginya, sekitar pukul tujuh
pagi. Aku merasa heran melihat kerumunan warga di sebua pondok yang paling
ujung, pondok si Rozi. Tidak biasa, pasti terjadi sesuatu pikirku. Aku
mendatangi, untuk mencari tahu.
Saat melangkah kesana, seekor tupai melompat di
dahan-dahan pohon buah pedare yang membuat dahanya bergoyang. Lalu
berjatuhanlah talutuh. Talutuh dalam bahasa Melayu
daerahku, berarti air sisa hujan yang menempel di dedaunan pepohonan.
Saat talutuh membasahi tubuh, terasa dingin menusuk. Membuat
bulu romaku berdiri. Sampailah aku di sana.
Dua bulan sudah cukup untuk mengenal semua warga Talang. Saat aku datang
istri Rozi, tampak menangis sedih. Dia menggendong anaknya yang selalu rewel
menangis, sakit katanya. Ternyata semalam disekitar pondok Rozi ada pohon besar
tumbang. Menimpah sebatang pohon lain sebesar ember air.
Pohon ini robohnya
menimpah dapur pondok Rozi. Kejadiannya sekitar pukul tiga pagi, ceritanya. Aku
juga mulai membantu warga membersihkan dahan-dahan pohon yang menimpa dapur
pondok Rozi. Rozi nampak lesu melihat pondoknya reot, dan nyawa mereka hampir
saja melayang. Tetapi Allah masih melindungi mereka.
Karena beban berat dahan
pohon. Ada tiang dapur lepas membuat dapur pondok perlahan jatu ke tanah.
Sembako Rozi tidak dapat diselamatkan. Terutama beras yang terpenting. Berasnya
tumpa dan berhamburan di tanah. Ayam-ayam warga berebutan memakan beras Rozi.
Melihat itu, warga terpaksa memutus dapur pondok Rozi. Agar bangunan utama
pondok tidak ikut rusak. Sehingga pondok menjadi tidak berdapur lagi. Ibu-ibu
membantu memungut peralatan dapur, kuali, belanga, periuk, yang agak
penyok-penyok. Uwa Azan, seorang wanita berumur empat puluhan tahun
menyemangati Rozi dan istrinya.
Azan nama anak tertuanya. Karena adat kami
tidak boleh menyebut nama orang yang lebih tua dari orang tua kita. Maka
dipanggil Uwa Azan. Begitupun aku dan warga memberi dukungan yang menguatkan
keluarga kecil itu. Namun hal yang paling sulit adalah sembako. Warga semuanya
dalam kesulitan. Jangankan membagi, untuk keluarga mereka entah cukup entah
tidak.
Kami semua menunggu cuaca baik untuk menyadap karet. Keadaan kami di
Talang Pedare sama, baik keuangan dan persediaan sembako. Sangat bergantung
dari hasil menyadap karet. Kalau keadaan cuaca begini,
siapapun akan kesulitan. Menjelang siang pondok Rozi sudah bersih, dan kuat
lagi. Ada tiang yang diganti dan di pasang penyangga.
Sehingga istri dan anak
Rozi dapat beristirahat. Warga juga sulit menampung mereka. Karena pondok
mereka juga kecil, dengan beberapa anak-anak. Hanya aku yang bujangan di Talang
Pedare. Aku menawarkan pada Rozi untuk istirahat di pondokku. Agar punya teman
berbincang-bincang. Sementara langit kembali mendung, dan hujan pun kembali.
Warga yang berangkat ke kebun beberapa jam lalu pulang dengan tubuh basah.
Semuanya mengeluh, sebab keadaan sulit sekali. Bisa-bisa kelaparan gerutu
mereka. Di pondokku Rozi menumpahkan kesedihannya. Aku mendengarkan dengan
baik, agar kesedihan Rozi agak berkurang. Aku bilang itu cobaan agar dia
bersabar. Kami menceritakan keadaan kami semua. Mengerti kalau dalam kesulitan.
Rozi begitu murung dan sedih sekali. Tapi untung hanya bagian dapur
pondok yang ditimpa pohon. Sehingga nyawa dia, istri dan anaknya selamat. Hanya
sembako, seperti beras tertumpah bersamaan robohnya dapur pondoknya, kata Rozi.
Rozi duduk bersandar di dinding pondokku. Dia menjabak rabutnya yang gondrong
berkali kali, karena berpikir keras. Aku menghidangkan kopi panas. Minum kopi
sambil bercerita. Rozi mengadukan keluh kesahnya. Dia khawatir pada anaknya
yang demam panas. Rozi ingin membawa anaknya ke bidan atau puskesmas.
Namun
tidak ada uang sepeserpun. Air mata Rozi menetes sendiri akhirnya. Dia merasa
bersalah karena telah mengajak anak dan istrinya tinggal di Talang Terpencil
ini. Niat Rozi menyadap karet di sini untuk melunasi hutan acara pernikahan
mereka setahun lalu.
Memang begitulah kebiasaan masyarakat kami. Menikah menghabiskan uang
puluhan juta demi kemeriahan acara pernikahan. Tidak perduli harus berhutang
atau menjual harta benda. Sehingga dalam waktu tiga atau empat tahun habis
digunakan untuk membayar hutang pernikahan.
Betapa malunya menjadi ayah dan
suami, kembali keluh Rozi. Sehingga dia merasa menyesal telah menikah. Aku
bilang agar Rozi jangan berkata begitu, semua ada hikmanya. Sambil menghirup
kopi dan memperhatikan rintik hujan. Rozi berharap cuaca segerah baik.
Sehingga
dia dapat menyadap karet. Tetapi itupun membutuhkan waktu dua
hari paling tidak. Sebab karet juga harus dibawa ke desa terdekat untuk dijual
ke pengepul (toke). Maka makin pusinglah Rozi, sedangkan anaknya harus
segerah diobati.
Aku merasa kasihan juga mendengar keluhan Rozi. Begini pikirku kalau
sudah menjadi ayah. Selain itu, aku berpikir keras di dalam otakku. Melawan
rasa takut dengan rezeki dikemudian hari. Takut kekurangan, takut kelaparan,
dan takut rugi.
Sesungguhnya aku memiliki sedikit uang, dan ada lima kilo
beras. Peperangan terjadi di dalam jiwaku. Pertengkaran batin dengan hebat
waktu itu. Untuk membantu Rozi dalam kesulitan. Bagaimana kalau cuaca buruk
terus, kata hatiku?. Aku akan kelaparan!.
Alangkah kejamnya aku, kalau tidak
membantu Rozi, kata hatiku lagi. Akhirnya aku bilang pada Rozi, kalau dia mau,
aku akan meminjamkan uangku. Sesungguhnya aku memberikan saja uangku. Tetapi
untuk menghormati Rozi jadi aku bilang meminjamkan. Aku juga sangat berat
melepas uangku yang sedikit itu.
Sebab aku juga tidak punya tabungan lain. Mungkin
kalau hari tidak membaik, dalam waktu seminggu ini kemungkinan aku juga
kelaparan. Tapi aku merasa iba melihat keadaan Rozi. Apalagi anaknya yang
berumur beberapa bulan itu sakit. Akan berbahaya kalau tidak segerah diobati.
Aku bangkit dari dudukku. Membuka sebuah kardus yang terletak di sudut
pondok. Aku mengambil sebuah toples bekas permen. Di dalam toples terdapat uang
pecahan dan logam. Dari ribuan, lima ribu, sepuluh ribu, dan dua lembar uang
dua puluh ribu rupiah.
Aku menghitung uang logam, menunpuk-numpuk sesuai
nominalnya. Selesai, jumlah uang 122.800 rupiah. Aku mengambil plastik kecil
bekas tempat gula pasir ukuran setengah kilo. Dan kantong plastik hitam yang
cukup besar. Uang aku masukkan kedalam kantong plastik gula.
Kemudian
memasukkan beras enam canting kedalam kantong plastik hitam.
Ukuran enam canting kaleng susu enak sama
dengan satu setengah kilo beras. Canting (kaleng susu) menjadi
ukuran beras dalam memasak atau menakar beras di daerahku. Sekarang persediaan
berasku tinggal tiga setengah kilo lagi. Cukup untuk satu minggu makan seorang
diri.
Rozi begitu bahagia karena besok dia dapat mengobati anak kesayangannya.
Rozi tidak menyangka kalau aku ada tabungan di toples begitu. Dia tidak peduli
dengan apapun asal anaknya sembuh, apalagi cuma sekedar uang rece.
Berkali-kali dia mengucapkan terimakasih. Satu setengah kilo beras cukup untuk
Rozi dan istrinya, dalam tiga kali memasak.
Memasak makan siang hari ini, makan
sore nanti, dan makan besok pagi. Keesokan paginya Rozi bersiap berangkat ke
desanya. Perjalanan itu memakan waktu tiga jam lebih. Pakaian keluarganya dia
bawa semua dengan keranjang rotan. Ternyata Rozi berencana tidak kembali lagi
ke Talang Pedare. Pulang kedesanya dan akan mencari penghidupan lain.
Rozi
datang kepondokku untuk pamit. Lalu dia memberikan padaku sebuah Al-Quran kecil
selebar telapak tangan orang dewasa. Untuk kenang-kenangan mungkin. Aku
menerima Al-Quran itu biasa saja. Karena dalam pikiranku, aku memiliki Al-Quran
besar yang sering aku baca. Tapi aku menerimah dengan baik, agar tidak
menyinggung Rozi.
Waktu berlalu, keesokan harinya, cuaca cukup baik. Namun hari lusa dan
sampai tiga hari setelah itu hujan terus turun dan cuaca tidak membaik. Berasku
sudah menipis sekali. Belum satu keping gatah karet aku dapatkan untuk dijual.
Baru satu hari aku menyadap karet. Untuk mendapatkan satu
keping karet memerlukan waktu dua atau tiga hari.
Keping adalah bentuk olahan
latek karet yang dibekukan pada sebuah wadah. Biasanya berbentuk persegi
panjang. Aku duduk di muara pintu pondokku. Memandangi tetes hujan yang jatu
dari celah-celah dedaunan pohon. Beberapa warga talang juga tampak duduk di
serambi pondok sambil bercengkrama dengan keluarganya.
Maksud aku ke Talang
Pedare untuk mencari uang untuk modal usaha. Tapi sayang sepertinya itu akan
sia-sia, pikirku. Mengingat beras, aku juga mengingat Rozi. Ada setitik rasa
sesal di dalam hatiku. Mengapa aku memberikan semua uang tabungan itu. Kenapa
tidak setengah saja. Muncul juga pikiran mengapa harus memberi beras juga.
Seharusnya cukup uang saja. Persediaan beras tinggal untuk besok. Aku sok baik
kata suara hatiku. Kesal, sedih, bingung, dan keimananku bergoyang. Sekarang
siapa yang menolong aku?. Siapa yang akan peduli?. Akhirnya aku pasrah saja,
dan mengikuti apa jadinya. Mengingat itu semua, aku ingat juga dengan Al-Quran
pemberian Rozi.
Kemudian aku mebuka Al-Quran itu. Ternyata ada terjemahannya. Karena
tidak ada pekerjaan, dari pada memandangi air hujan. Maka aku membaca Al-Quran
terjemaha itu. Dari terjemahan surat Al-Fatihah dan seterusnya. Dari kecil saat
mulai belajar mengaji, sampai hari itu. Aku selalu membaca Al-Quran.
Tetapi aku
belum pernah membaca Al-Quran yang ada terjemahannya. Al-Quran yang tidak ada
terjemahannhya, sunggu tidak memberi pencerahan pada pikiranku. Lain dengan
yang ada terjemahannya. Aku mengerti maknanya dan maksudnya. Sehingga aku lupa
cuaca buruk. Lupa beras yang hampir habis, dan uang tak sepeserpun ada.
Sejak
ada Al-Quran terjemahan itu, seakan aku memiliki guru, teman belajar, teman
berpikir, pandangan hidup, belajar sejarah, hukum Islam, semuanya ada di dalam
Al-Quran. Ketika sampai pada firman Allah, yang menyatakan bahwa Allah tidak
akan merubah nasib suatu kaum kalau dia tidak mau berubah. Aku berpikir, kalau
aku tidak mau merubah hidupku, maka aku tidak akan berubah juga. Ada denyut
pemikiran segar dalam jiwaku.
Pada surat Al-Mujahidah ayat sebelas, kalau Allah
akan menaikkan derajad orang berilmu beberapa derajad. Sehingga membaca
Al-Quran terjemahan itu, membuat aku menjadi kuat, menjadi matap keimananku.
Aku merasa sama dengan manusia-manusia yang lainnya. Awal biasa saja, sekarang
menjadi bersyukur mendapat Al-Quran itu.
Keesokan pagi, hujan baru selesai sekitar pukul enam pagi. Sehingga
tidak dapat menyadap karet pagi-pagi. Menunggu agak siang, setelah matahari
terbit. Seorang lelaki muda berumur tiga puluhan tahun, mampir di pondok Uwa
Azan. Sepertinya mereka sudah kenal. Uwa Azan menunjuk ke arah pondokku. Mereka
sama-sama penduduk daerah sini. wajar saling mengenal. Kalau aku pendatang.
Lelaki muda itu, mengenakan baju kaos sebuah partai, dan bercelana hitam
sebatas betis. Berkulit kuning langsat, rambut gondrong, tinggi sekitar 166 cm.
Ada kecepek menggantung di punggungnya. Kecepek nama
senjata api tradisional warga untuk menjaga kebun dari hama babi. Keranjangnya
berisi sayuran hasil kebun. Seperti daun singkong, terong, cabai, jagung dan
entah apalagi. Dia tersenyum kearahku, dan melangkah santai.
Tapak sepatu bootnya nampak membenam di tanah yang lembek karena basah
hujan semalaman. Aku heran melihat orang ini, aku tidak mengenalnya. Sesampai
di depan pondok, dia memanggil aku. Entah dari mana dia tahu namaku. Dia
tersenyum melihat aku keheranan. Aku mengajak naik ke dalam pondok. Kemudian
dia menceritakan siapa dirinya.
Ternyata dia anak kerabat dari kakekku. Ibunya
saudara sepupu kakek. Yang tinggal menetap di sebuah Talang yang berjarak
sekitar tiga kilo meter dari Talang Pedare. Dia mengetahui aku di sini, karena
sebulan lalu dia bersama ibunya pergi kedesaku. Melayat, ada seorang keluarga
yang meninggal. Saat itulah, mereka bertemu dengan ibuku, dan menceritakan
kalau aku tinggal di Talang Pedare.
Hari ini dia datang menjalin silatuhrahmi,
keluarga. Aku baru mengerti dan gembira ternyata tidak jauh dari sini ada
keluarga. Bagi kami orang desa hubungan keluarga walau sudah jauh masih sangat
berharga. Ada dua kilo beras, dan dua kilo beras ketan diberikan padaku. Mereka
baru selesai panen padi. Maka memberikan itu padaku untuk mencicip beras anyar.
Beras anyar berarti beras baru dipanen, dan digiling. Rasa
beras anyar sangat enak dan harum. Jauh berbeda dari beras
komersil di toko-toko. Selain itu, semua isi keranjang juga diberikan padaku.
Dia mengundangku untuk bertandang. Boleh memanen sayur yang aku suka di ladang
mereka. Aku memanggilnya paman Zainal.
Waktu berlalu cepat, karena tidak ada hiburan di Talang Pedare maka aku
selalu membaca Al-Quran dan terjemahan pemberian Rozi. Sampai dua kali
khatam. Jiwaku benar-benar merasa kuat setelah membaca Al-Quran dan terjemahan
berulang-ulang. Yang paling aku banggakan aku menjadi orang yang suka membaca.
Membaca apa saja. Kelak aku suka membaca tulisan cendekiawan muslim yang banyak
mengutip ayat-ayat Al-Quran. Sehingga bertambah-tambah pemahamanku nanti. Aku
sekarang mengerti ajaran Islam, dan hukum-hukum Islam. Aku tidak lagi rendah
diri, walau tetap rendah hati. Aku pernah mendengar ceramah di radio bahwa ayat
pertma yang turun adalah surat Iqra atau Al-qalam.
Yang bermakna membaca. Ilmu
pengatahuan dalam pemahamanku tentang ayat itu. Rasulullah belum diperintahkan
dakwah, shalat, hijrah, haji, puasa dan sebagainya. Tetapi yang diperintahkan
Allah adalah membaca. Sedangkan Rasulullah buta hurup. Berarti sangat penting
membaca itu pikirku, sampai orang buta hurup diperintakan membaca.
Menjelang bulan April, berlanjut ke bulan Mei, Juni, Juli, adalah waktu
baik menyadap karet. Hujan mulai berkurang sebab mulai
memasuki musim pancaroba. Dari musim hujan ke musim kemarau. Aku mengumpulkan
karet dengan giat. Di awal Agustus menjual semua hasil karet. Kemudian kembali
pulang ke desaku. Aku berusaha kecil-kecilan dengan membuka konter pulsa.
Kemudian aku mencari sekolah Paket C ke Kota Sekayu, setara SMA. Selama tiga
tahun sekolah Paket C aku menabung. Tabungan cukup, dan aku berangkat ke Kota
Palembang. Alhamdulillah lulur tes SNMPTN, dan menjadi mahasiswa di Perguruan
Tinggi Islam, Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, tahun 2013. Sejak
itu Aku terus belajar, dan belajar sampai sekarang.
Membaca dan membaca. Satu
hal yang membuat aku begitu tekad melepas kebodohan adalah karena aku
mengetahui ajaran Islam itu adalah bagian dari Ilmu pengetahuan. Aku mendapat
nikmat ilmu, dan berkah ilmu, juga hidayah ilmu. Menurutku, hidup tergantung
siapa yang mau berusaha dan bercita-cita. Semua orang memiliki kesempatan untuk
maju dan hebat.
Satu hal, semua itu berawal dari Al-Quran terjemahan kecil yang lapuk
pemberian Rozi. Andai aku tidak diberikan Al-Quran terjemahan itu oleh Rozi.
Mungkin aku masih dalam kebodohan dan kebutaan beragama. Orang desa tidak
mengenal Al-Quran terjemahan. Mungkin memang disengaja oleh pemerintahan
terdahulu.
Karena di pasar-pasar Al-Quran yang dijual hanyalah Al-Quran yang
tidak ada terjemahannya. Aku dulu juga percaya tahayul-tahayul. Setelah tahu
kalau tahayul itu syirik, dosa besar, maka aku meninggalkannya. Aku sering
duduk merenung disetiap waktu. Mengenang kehidupn desaku dan Talang Pedare.
Maka aku menyadari kebesaran Allah. Uang dan beras itu tidak ada artinya
sedikitpun apabila dibandingkan dengan keadaan aku sekarang.
Al-Quran itu
sumber hidayahku untuk bangkit dan berpikir luas. Mendobrak kebodohan dan
mentalku. Menjadikan aku seorang militan kehidupan. Memang aku belum menjadi
kaya, juga belum terkenal. Tetapi aku sudah kaya oleh pengetahuan, walau aku
belum pintar. Sekarang aku beribadah karena iman bukan karena dogma. Aku
sungguh sangat bersyukur dengan nikmat ilmu ini.
Sekarang aku telah selesai menyelesaikan kulia di Universitas Islam
Negeri Raden Fatah Palembang. Walau aku terlambat dalam menuntut ilmu, namun
aku bersukur karena masih mendapatkan kesempatan. Satu yang menjadi motivasi
aku sampai saat ini. Sekarang aku membawa Al-Quran terjemah kemana aku pergi di
dalam tas atau ranselku.
Aku namakan dengan Al-Quran sahabat. Sering apabila
mendapat rezeki, memberikan hadia pada teman, berupa Al-Quran yang ada
terjemahannya. Dari itu, janganlah takut berbagi, berzakat, infaq ataupun
sodaqoh. Sekali berbagi ibarat kita menanam sebatang pohon yang akan berbuah.
Kalau sering berbagi ibarat kita menanam banyak memiliki pohon berbuah.
Nantinya kita akan memetik hasil dari semua tanaman itu.
Berbagi, janganlah berpikir dibalas dengan materi. Tapi hitunglah dengan
hati. Allah membalas kebaikan itu, bukan uang di balas uang. Tapi akan banyak
balasan yang akan diberikannya. Entah itu bentuk rezeki, hidayah, jodoh,
keselamatan, kebahagiaan dan lainnya. Aku menghitung dengan hati, dimana aku
mendapatkan hidayah belajar yang kuat.
Sehingga aku mampu bangkit dari
keterpurukan hidup. Kalau aku menilai, masuk akal kalau bangsa Arab yang
jahiliyah itu dapat berubah cepat menjadi bangsa besar. Sebab Al-Quran telah
menuntun mereka. Dalam bahasa mereka sehingga mereka tidak perlu terjemahan.
Sebagai buktinya adalah diriku beberapa tahun lalu. Salah satu contoh kecil
lagi dari hikma berbagi itu, yaitu tulisan kecil ini. Juga buah hikmah dari
berbagi waktu itu. Entah apa yang akan ditelurkan lagi nanti, entalah. Hanya
Allah yang tahu.
Bentuk kebenaran apa yang Allah firmankan. Dimana orang yang berbagi
dengan iklas, diumpamakan denga sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir,
kemudian pada tiap-tiap bulir ada seratus biji. Sehingga itu menjadi
berlipat-lipat. Lalu apabila kita berbagi dengan harta yang kita miliki, secara
baik dan ikhlas, tidak mengungkit-ungkitnya, maka pahalahnya juga untuk kita
sendiri.
Berbagi sesungguhnya bukan memberikan sesuatu pada orang lain. Tetapi
seumpama kita menitipkan sepasang ternak, kemudian mereka mengembalakannya.
Setelah beranak pinak ternak-ternak itu kembali kepada kita satu demi satu
dikemudian hari tanpa kita minta, tanpa kita ketahui. Mengapa demikian?, sebab
rezeki tidak pernah kita ketahui kapan hadirnya, apa bentuknya, dan
bagaimana prosesnya.
Tanpa dapat disangkah-sangkah. Sama seperti jodoh dan
maut. Namun, dalam berbagi, berzakat, infaq, atau pun sodaqoh yang baik
janganlah menghitung dan berharap balasan dari Allah. Tetapi ada baiknya ikhlas
dan lupakan. Aku menceritakan ini, hanya untuk motivasi.
Foto
sewaktu masih kuliah pada smester lima, di sebuah studio foto bersama
teman-teman kelas. Mengenakan seragam kelas untuk foto kenang-kenangan bersama
satu kelas. Wassalam.
Oleh.
Joni Apero.
Editor. Desti. S.Sos.
Palembang,
3 April 2019.
Sumber
foto. Koleksi pribadi.
Sumber
foto pondak Talang. Hafif.
Catatan: Yang mau belajar menulis: mari belajar bersama-sama: Bagi
teman-teman yang ingin mengirim atau menyumbangkan karya tulis seperti puisi,
pantun, cerpen, cerita pengalaman hidup seperti cerita cinta, catatan mantera,
biografi diri sendiri, resep obat tradisional, quote, artikel, kata-kata
mutiara dan sebagainya.
Kirim saja ke Apero Fublic. Dengan syarat
karya kirimannya hasil tulisan sendiri, dan belum di publikasi di media lain.
Seandainya sudah dipublikasikan diharapkan menyebut sumber. Jangan khawatir hak
cipta akan ditulis sesuai nama pengirim.
Sertakan nama lengkap, tempat menulis,
tanggal dan waktu penulisan, alamat penulis. Jumlah karya tulis tidak terbatas,
bebas. Kirimkan lewat email: joni_apero@yahoo.com. idline: Apero
Fublic. Messenger. Apero fublic. Karya
kiriman tanggung jawab sepenuhnya dari pengirim.
Sy. Apero Fublic
Via
Cerpen
Post a Comment