Sastra Moderen
Antologi Puisi Negeri Daging
Apero Fublic.- Di dalam Takdim Mustofa Bisri menerangkan bahwa
sajak-sajaknya dia tulis dari tahun 1987 sampai dengan 2001. Beberapa puisi
juga telah dipublikasikan olehnya, baik itu di media cetak atau di arena
pembacaan puisi.
Sebagaimana segera tampak, tema tulisan saya, masih
“istiqomah” mengikuti perjalanan kehidupan makhluk Tuhan yang saya cintai:
manusia dan Indonesia. Bahkan ada beberapa yang hanya “mengedit” sajak-sajak
lama saya, seperti Reformasi.... dari Merdeka Atawa Boleh Apa Saja
(dari Oboi Kumpulan Puisi-Puisi Balsem) dan Rasanya Baru
Kemarin yang memang hampir setiap tahun beliau revisi.
Menurutnya, itu mungkin
disebabkan karena sayanya yang tidak berubah, atau manusia (dan) Indonesia
memang belum sebenarnya berubah. beliau juga berkata beliau tidak berpikir
apakah tulisannya pantas disebut sebagai puisi, dan orang lain yang
memikirkannya, tugas dirinya hanyalah menulis.
Beliau berterima kasih bagi
yang mau membacanya. Begitupun saya mengucapkan terima kasih karena beliau
telah menulis, sehingga saya dapat belajar dan menghambil pengajaran dari
antologi puisi beliau. Karena saya menyadari kebesaran sebuah bangsa bukan
dibangun dari material dan infrastuktur tetap peradaban besar selalu dibangun
diatas goresan-goresan tinta dari anak bangsanya.
Buku antologi Negeri
Daging diterbitkan oleh penerbit Bentang Budaya di Jogjakarta pada
tahun 2002. Buku terdiri dari 89 halaman, berisi 36 puisi. Sajak puisi Negeri
Daging memiliki keragaman bentuk dalam penulisan, seperti menggunakan sistem
rata tengah, rata kiri, gabungan rata tengah dengan rata kiri.
Dalam hal jumlah
baris juga ada yang berjumlah enam baris dan ada yang panjang mencapai tiga
setengah lembar. Ada puisi yang bersifat umum seperti Negeri Daging dan
bernafas keagamaan Islam, seperti berjudul Ijtihad dan
lainnya.
Penyair A. Mustofa Bisri
lahir Pada tanggal 10 Agustus 1944 di Rembang, Jawa Tengah. Beliau pernah
belajar di Pesantren Lirboyo Kediri, Krapyak Yogyakarta, Raudlatut Thalibien
Rembang, dan Universitas Al-Azhar Mesir. Kemudian menjadi pengasuh santri di
Pesantren Raudlatut Thalibien Rembang.
Dia juga sering menulis di media massa
seperti Intisari, Amanah, Panji Masyarakat, Pelita, Republika, Jawa
Post, Suara Merdeka, Wawasan, dan lain-alin.
Selain Negeri Daging, buku puisinya yang lain adalah Oboi (1991), Tadarus (19913), Pahlawan
dan Tikus (1995), Rubaiyat Angin dan Rumput (1995), Wekwekwek:
Sajak-Sajak Bumi Langit (1996), Sajak-Sajak Cinta Gandrung (2000).
Adapun karya-karyanya yang bukan puisi antara lain Ensiklopedia Ijmak (terjemahan
bersama K.H.A. Sahal Mahfudz, 1997), Nyamuk Yang Perkasa (cerita
anak-anak), Pokok-Pokok Agama (terjemahan), dan lain-lain.
Berikut adalah cuplikan puisi A.Mustofa Bisri dalam antologi puisi Negeri
Daging.
BISMILLAH
BismiLlah
Bismil lah
BismiLlahir Rahmaanir Rahiem
Yang pertama kusebut ketika bergerak
Yang pertama kusebut ketika menampak
Yang pertama kusebut ketika membaca
Yang pertama kusebut ketika menulis
Yang pertama kusebut ketika bekerja
AsmaMu, wahai Sang Mahapengasih
Wahai Sang Mahapenyayang
Semoga cahayaMu menyinari kalbuku
Cahayamu menyinari pikiranku
CahayaMu menyinari telingaku
CahayaMu menyinari mataku
CahayaMu menyinari Sekelilingku
cahayaMu memenuhi diriku
Memancarkan RahmatMu
Amin.[1]
Oleh: A. Mustofa Bisri, 2002
NEGERI DAGING
Di negeri daging
Kulihat banyak gedung
Dan orang-orang yang terus
Membangun gedung
Banyak perumahan
Dan orang-orang yang terus
Membangun perumahan
Banyak kantor
Orang-orang yang terus
Membangun kantor
Banyak hotel
Dan orang-orang yang terus
Membangun hotel
Banyak villa
Dan orang-orang yang terus
Membangun villa
Banyak restoran
Dan orang-orang yang terus
Membuka restoran
Banyak warung
Dan orang-orang yang
Terus membuka daging warung
Banyak kafe
Dan orang-orang yang
Terus membuka kafe
Banyak kelab malam
Dan orang-orang yang
Terus membangun kelab malam
Banyak pasar
Dan orang-orang yang terus
Membangun pasar
Banyak supermarket
Dan orang-orang
Yang terus membangun supermarket
Banyak mall
Dan orang-orang yang
Terus membangun mall
Banyak tempat hiburan
Dan orang-orang yang
Terus membangun tempat hiburan
Banyak tempat wisata
Dan orang-orang yang terus
Membangun tempat wisata
Banyak stasiun
Dan orang-orang yang terus
Membangun stasiun
Banyak terminal
Dan orang-orang yang terus
Membangun terminal
Banyak bandara
Dan orang-orang yang terus
Membangun bandara
Banyak masjid
Dan orang-orang yang terus
membangun masjid
banyak mushalla
dan orang-orang yang terus
membangun mushalla
banyak kakus
dan orang-orang yang terus
membangun kakus
banyak panti pijat
dan orang-orang yang terus
membangun panti pijat
banyak rumah sakit
dan orang-orang yang terus
membangun rumah sakit
banyak kuburan
dan banyak orang-orang yang terus
masuk kuburan
negeri daging
seperti tak pernah cukup
terus membangun
sambil merusak
di negeri daging
setiap hari banyak orang
asyik memperagakan daging
setiap hari banyak orang
hilir-mudik menjajakan daging
dinegeri daging
setiap hari banyak orang
mati memperebutkan daging
di negeri daging
setiap hari banyak orang
tekun menimbun daging
setiap hari banyak orang
pikun membakar daging
di negeri daging
untuk mendapatkan daging
orang-orang tidak berjalan
tapi berlarian
tidak berdekatan
tapi berdesakan
tidak bersaing
tapi saling menjatuhkan
di negeri daging
setiap hari orang sibuk dengan daging
di negeri daging
untuk mendapatkan daging
orang-orang tidak melaju
tapi merebut
tidak berbagi
tapi berebut
tidak bertegur sapa
tapi ribut
di negeri daging
untuk mendapatkan daging
orang-orang tidak menghimbau
tapi membentak
tidak bicara
tapi berteriak
tidak saling sentuh
tapi saling tabrak
di negeri daging
jagal-jagal berkeliaran
daging-daging berserakan
di negeri daging
daging dimana-mana
di negeri daging
tak ada lagi tempat
untuk jiwa.[2]
Oleh: A. Mustofa Bisri, Rembang 2 Mei 2001.
Demikian informasi tentang sastra moderen
Indonesia. Semoga berguna bagi pemerhati dan peneliti sastra Indonesia.
Mengingat sangat banyak buku-buku antologi puisi yang sudah ditulis oleh
penyair Indonesia.
Tidak banyak orang yang menyukai dunia sastra terutama dunia
persajakan. Namun bagi orang-orang yang ingin mengembangkan sumber daya
masyarakat tentu dia sangat ingin memajukan dunia sastra. Dunia perpuisian
adalah langkah terdepan dalam membangkitkan pendidikan. Sebab puisi memiliki
dua ruh, hiburan dan pendidikan.
Pesan-pesan puisi atau syair membekas di dalam
sanubari manusia yang mendengarnya. Kemudian suatu saat akan menjadi bibit
pemikiran dan dukungannya pada suatu masalah. Syair hanyalah coretan bagi jiwa
yang mati dan gersang. Namun, syair adalah harta berharga bagi jiwa yang hidup
dan subur.
Oleh: Joni Apero
Editor. Selita. S.Pd.
Foto. Dadang Saputra
Sumber dan Hak Cipta: A. Mustofa
Bisri, Negeri Daging, Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002.
[1]Mustofa Bisri, Negeri Daging,
Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002, h. 1.
[2]A. Mustofa Bisri, Negeri
Daging, Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002, h. 37-42.
Sy. Apero Fubli.
Via
Sastra Moderen
Post a Comment