Cerita Kita
Dikurung Kenangan Hujan Soreh.
Apero Fublic.- Kita
tidak pernah satu kembali. Begitulah satu untaian kata yang cocok pada
sekelompok Pemuda. Ketika takdir mulai memisahkan mereka. Ibarat perjalanan
dalam satu bus. Kemudian satu persatu turun di depan rumah masing-masing. Ada
juga jalan bercabang memisahkan mereka di sepanjang waktu.
Ketika
matahari tak lagi terbit dan terbenam diwaktu yang sama. Kemarin matahari kita
sama-sama terbitnya. Sehingga dapat berkumpul di tempat yang sama. Kita
bersama-sama membuka mata dan membuka buku. Berlari dan melangkah dengan tujuan
satu ruangan yang sama. Saat azan, kita sering berpapasan dijalan menuju
masjid. Atau saling mengingatkan tentang shalat zuhur.
Kisah
ini bukan apa-apa. Bukan novel atau film yang disutradarai. Tidak ada yang
menulis dan tidak ada yang merekam video. Tapi tersimpan di dalam memori
kenangan yang terputar setiap saat. Suatu kisah sekelompok orang didalam
gerbong kereta. Berangkat dari stasiun mimpi, menuju stasiun yang jauh. Dalam
perjalanan itu, banyak cerita yang diukir dan ditulis dengan tinta-tinta
kenangan. Tercoret di kertas-kertas harian.
Watak
yang sangat berbeda dan aneh-aneh. Membuat gerbong kereta itu riuh, gaduh
dengan bermacam tingkah. Tapi justru itulah yang membuat gerbong sempit itu
mampu berjalan bertahun-tahun lamanya. Seakan menjadi bahan bakar menggerakkan
piston dan silinder mesin kereta. Jangan ditanya dengan kisah-kisah yang
terjadi. Ada kisah duka, tangisan, kesedihan, drama, kocak, kegembiraan,
kebersamaan dan ada juga kisah cinta.
Aku
yang selalu duduk disudut gerbong. Membuka jendela kereta dan sebuah buku.
Dapat menyaksikan isi gerbong dengan baik. Aku sering membersihkan jendelah
kaca yang terpercik air hujan. Dengan ujung lengan bajuku yang kusam. Saat aku
melirik gemerlap papan tulis. Ada bayangan masa laluku yang buram. Mataku juga
merabun saat melirik masinis yang mengemudi begitu pelan. Terasa lama rasanya
disini bagiku. Ingin aku mempercepat lokomotif waktu ini.
Mengapa
demikian, sebab aku seorang yang tertinggal dari keretaku yang dahulu.
Seharusnya aku sudah lama sampai distasiun itu. Tapi ada belenggu takdir yang
bercerita lain. Ketika kakiku dirantai kemiskinan dan kebodohan zaman. Ketika
keadaan keluarga yang carut marut. Maka keretaku berlalu tanpa sempat aku
singgahi. Tapi aku masih bersyukur, sebab aku masih ada kesempatan untuk pergi
dari lembah kebodohan hidup. Lembah yang aku benci sejak aku kecil. Waktu
dimana aku berjalan seorang diri menembus hutan hanya untuk duduk di bangku
sekolah. Dunia baruku, telah hadir dan seakan terang.
Kini,
gerbong yang terasa sempit dan sesak oleh nestapa kenangan. Telah sepi dan
kosong. Seperti sebuah kotak yang tidak terawat, berdebu. Cat-catnya telah
usang dihapus air hujan. Dahulu penghuni gerbong berlombah-lombah untuk
meninggalkan gerbong itu. Tapi sekarang gerbong sempit yang dihuni orang aneh-aneh
itu. Telah menjadi harta perjalanan hidup yang tidak terlupakan. Sering ada
nyanyian rindu bahwa gerbong itu lebih indah dari dunia kita yang nyata ini.
Ada
kesan dan pesan untuk datang kegerbong tua itu. Ada wacana dan ungkapan untuk
kembali ke gerbong sempit yang dibenci itu. Namun semua hanyalah semu-semu
kebersamaan. Semua seperti hayalan dan tidak pernah terjadi. Dari lebaran
hingga akhir tahun. Hanya ada beberapa kepala yang melongok kedalam gerbong.
Itupun sebatas pesat yang digunakan dengan ujung jari.
Beberapa
masih datang dan berusaha datang, ke gerbong kereta itu. Beberapa mencoba
membersihkan kembali walau untuk satu hari, satu jam, duduk seolah dahulu lagi.
Dengan almater atau dengan blezer. Tapi tiket tak lagi cukup. Beberapa hanya
bersandar di dinding menanti pasrah. Seperti layangan-layang putus
benangnya. Berteriak memanggil-manggil. Namun dia terus menjauh bersama angin.
Sekarang
telah mulai suatu perjalanan baru. Kita mulai menanti kepergian yang lebih
panjang. Rel tampak sudah mulai retak. Dinding yang mulai lapuk dibeberapa
sisi. Ada yang mendorong kereta agar bergerak. Namun piston mesin sudah sangat
lemah. Suara terdengar dari nada-nada mesin diantara asap knalpot.
"Seperti kata lirih, perpisahan yang sebenarnya.
Minggu
21 Juli, sebuah reuni kecil. Aku bermaksud untuk sekedar mampir. Mencicipi
makanan dan sedikit berbincang-bincang. Dalam pikiranku akan segerah pulang.
Lalu mulai mengetik novel atau menulis artikel untuk weblog-ku. Aku begitu
terobsesi untuk dapat menulis dengan baik. Menulis bagian dari mimpiku selama
ini. Program Dawah Literasi telah membuat aku terus tekun belajar menulis.
Maklum nilai Bahasa Indonesaiku hanya 6,5 atau C. Dari basic pendidikan
juga sangat pas-pasan, jebolan sekolah Paket.
Begitupun
yang lain, setelah makan-makan juga segerah pulang juga, bersih-bersih.
Pertanyaannya??, "Apakah itu baik untuk sebuah pertemuan. Setelah makan
kita langsung berpisah. Jahat sekali aku hari itu berarti. Begitulah mungkin
pemikiran yang lainnya.
Hidangan
sangat banyak waktu itu. Melebihi untuk dua puluh orang. Karena harapan banyak
juga yang datang. Banyak wajah yang dirindukan. Atau menatap senyuman
masing-masing. Terpaksa aku menghabiskan dua potong daging ayam. Begitupun yang
lainnya karena waktu sudah semakin sore. Berusahalah kami untuk menghabiskan
makanan. Tapi apa daya, semuanya menyerah. Apakah mereka-mereka tahu kalau
sedang ditunggu?. Tidak, mereka sibuk semuanya. Mungkin juga telah lupa.
Seperti bunga ilalang yang tersapu angin. Tak pernah tahu lagi dimana
tangkainya dahulu. Tangkai tempat dia bersuka duka beberapa tahun.
Langit
mendung, beberapa saat kemudian turun hujan. Lama hujan tak redah-redah.
Membuat terkurung dan terpaksa berkumpul dan berbincang-bincang. Benarlah kata
orang, hujan selalu mengurung kita. Bukan karena basahnya, tapi karena
kenangaannya. Masih ada sisa tawa dahulu. Walau tidak lagi seriuh hari kemarin.
Tertawa, bercanda, berkelakar, lalu berfoto ala-ala mengingatkan dulu waktu di
kelas. Dimana suasana kacau sebab pak dosen tak datang. Mau pulang hujan
tak redah-redah.
Sehingga
banyak cerita yang diutarakan, dan kisah yang dipaparkan. Ini adalah satu
pengajaran. Ada baiknya seandanyai suatu pertemuan itu jangan disampingkan.
Tapi benar-benar luangkan waktu untuk bersama-sama. Lalu berceritalah
bersama-sama meski itu lelucon paling aneh. Karena rindu kita tak meminta
makanan. Tapi meminta waktu seperti dulu. Ingatlah, waktu kita tinggal sedikit.
Sebelum dunia kita diambil alih oleh anak-anak kita. Mungkin ada masanya kita
tidak pernah bertemu lagi.
Artikel
dan halaman bersifat pengembangan. Saran dan kritik yang membangun sangat
ditunggu. Ditunggu partisapasi semuanya.
Tim.
Apero Fublic
Palembang,
21 Juli 2019.
Catatan:
Bagi
sahabat-sahabat yang ingin berbagi kisa-kasa ringan dapat mengirimkan artikel
ke www.aperofublic.com. Cerita akan masuk dalam segmen Cerita Kita.
Cerita Kita adalah kolom Apero Fublic yang memuat berbagai kisah-kisah ringan
yang baru saja terjadi. Bersifat hiburan dan umum. Seperti kisah reuni kecil,
berwisata, belanja, kumpul sahabat, rapat terbatas, permainan, dan sebagainya. Artikel dan isi yang dikirim adalah tanggung jawab
sepenuhnya dari pengirim. Kontak: line: aperofublic. Instagram: @aperofublic.
Messenger: aperofublic. Facebook. Apero Fublic. WhatsApp: 081367739872. email redaksi. fublicapero@gmail.com
Sy. Apero Fublic
Via
Cerita Kita
Post a Comment