Biruisme
Neofeodalisme Pada Dunia Pendidikan dan Akademisi di Indonesia
Apero Fublic.- Sejarah
dunia tidak bisa lepas dari paham feodalisme. Feodalisme sesunggunya bukan
lahir dari monarki atau pemerintahan absolut. Feodalisme lahir dari kekerdilan
jiwa-jiwa yang merasa mulia dan terhormat, rakus dan serakah. Hadir disebabkan
oleh orang bodoh yang pandai menjilat.
Kemudian melahirkan sipat diam atau menutup kebenaran. Lalu mematikan motivasi paham-paham baru yang dihidayakan untuk dia memimpin pada generasinya. Hancurkan sifat neofeodalisme, dan salam revolusi biru.
Oleh. Joni Apero.
Editor. Selita. S.Pd.
Palembang, 18 Desember 2018.
Hanya saja feodalisme menunggangi
monarki dan masuk kedalam jiwa manusia yang kerdil tersebut. Sesunggunya,
banyak juga raja-raja yang baik dan adil. Feodalisme yang runtuh di awal abad
ke-20 adalah bentuk feodalisme dalam tata pemerintahan dan politik. Sedangkan
paham feodalisme berurat berakar didalam jiwa manusia. Feodalisme masih dianut
oleh masyarakat luas di zaman sekarang.
Sifat
feodalisme dapat kita lacak dari cerita-cerita, sejarah. Di mana kaum bangsawan dan raja-raja merasa selalu benar. Hukum sesuai
perkataannya dan sesuka hatinya. Penentang akan dipancung atau akan dikalahkan.
Dihancurkan dengan kejam. Apabila ada hal-hal yang menyinggung dirinya yang
mulia itu.
Maka orang itu akan di habisi. Apalagi kalau orang tersebut hanyalah
orang kecil atau rakyat jelata yang bodoh. Atau istilah yang paling lazim
disebut sewenang-wenang. Berbuat sesuai dengan kebutuhan ego dirinya sendiri.
Apabila sudah begini, mau tidak mau pengikutnya, manusia di sekitarnya akan
menjadi penjilat untuk bertahan.
Tidak ada katah bangkangan atau tidak ada yang
lebih hebat dan berkuasa selain mereka (kaum bangsawan). Mereka bilang, "mau
lebih hebat dari aku??? katanya A tetap A, tidak akan berubah B. Seperti
itulah kiranya sifat kaum feodalisme dahulu.
Di zaman sekarang feodalisme hadir kembali ke dalam jiwa
individu-individu. Yang saya istilahkan dengan neo-feodalime atau feodalisme
wujud baru. Neofeodalisme hadir pada manusia-manusia kerdil yang berjiwa
rendah. Merasa dirinya lebih hebat, merasa berkuasa, merasa terhormat, merasa
martabatnya tinggi.
Apabila diistilahkan bahasa Melayu Sekayu “mentang-mentang.”
Mereka sangat tersinggung kalau dirinya tidak dihormati orang. Dia juga marah
kalau orang yang berurusan dengannya agak mendesak. Mengganggu waktu dia santai
seperti ngobrol, bermain handpone, atau dia sedang tidur.
Atau juga
orang berkata yang tidak sesuai kehendaknya, berlawanan pendapat dia tidak
menyukainya. Dia sangat suka apabila melihat orang mengemis dan merendah di
hadapnnya. Kedudukannya, jabatan, pangkat dijadikan sebagai bentuk
keangkuhan dan alasan mempersulit orang. DIa merasa lebih terhormat,
bermartabat, dari seseorang.
Kemudian dia sangat suka apabila diperlakukan
dengan istimewa dan di sanjung. Semua perkataannya dibenarkan. Orang penganut
neofeodalisme ini akan baik pada orang yang menyenangkannya saja. Apabila dia
laki-laki, dia akan baik dengan perempuan cantik. Kurang peduli dengan
laki-laki dalam berurusan dengannya.
Paham neofeodalisme biasanya muncul, seumpama awalnya dia orang biasa,
kemudian dia menjadi seseorang berkedudukan. Lalu sifatnya berubah, tidak lagi
mau makan di tempat murah, sok bersih, pilih-pilih. Dahulunya suka makan
singkong, sekarang tidak mau lagi. Kalau dia seorang dosen strata dua (s2)
sifatnya biasa, ketika dia sudah strata tiga (s3) merasa sangat hebat ilmunya.
Dia meremehkan jenjang pendidikan yang di bawanya. Sifat neofeodalisme hadir di
setiap tempat, dipemerintahan atau swasta. Yang jelas lawannya adalah individu
yang di bawah posisinya. Misalnya, atasan dengan bawahan, guru terhadap murid,
dosen terhadap mahasiswa, aparat dengan rakyat, pejabat dengan rakyat dan
bawahannya, bos dan anak buah, majikan dengan pembantu, laki-laki terhadap
wanita.
Yang jelas adanya pihak yang merasa di atas angin. Kemudian ada yang
mentang-mentang lalu memperlakukan semena-mena. Saya akan menggambarkan bagaimana neofeodalisme dalam dunia
pendidikan dan dunia akademisi. Berikut dua narasi perumpamaan untuk
perbandingan:
"Suatu hari, aku pernah antri di ATM disekitar kampus. Ada dua orang
mahasiswi yang berada di depanku, antri. Setelah pengguna keluar, yang paling
depan masuk. Saat aku dan mahasiswi itu antri, datang seorang dosen, dia sudah
tua seumuran dengan kakekku. Kami berdua menyalimi tangan profesor itu. Dengan
sedikit basa-basi. Setelah pengguna tadi keluar maka kami mempersilakan bapak
profesor itu. Tetapi sambil tersenyum ia mempersilakan mahasiswi di depanku.
Kemudian si mahasiswi masuk ATM dan melakukan aktivitasnya. Setelah keluar,
maka itu giliranku.
Karena aku dengan alasan menghargai yang tua, dan sekaligus
dosen saya, maka saya mempersilakan bapak profesor untuk masuk lebih dahulu.
Tetapi profesor kembali menolak. Dia hanya bilang memang antriannya saya yang
lebih dahulu, maka itu hak saya, dan ia tidak mau mengambil hak orang. Beberapa
kali aku merasa tidak enak, maka dia tetap pada pendiriannya. Kalau orang antri,
siapa pun dia maka ia harus antri juga. Bukan karena umur, bukan jabatan, bukan
seberapa banyak gelar, bukan kedudukan, bukan pangkat, laki atau perempuan,
anak dan dewasa."
"Beberapa hari kemudian, aku kembali ke ATM, sebab aku tidak pernah
banyak mengantongi uang. Dengan teori seratus ribu sekali tarik, dan diusahakan
cukup selama-lamanya. Maklum itu kantong mahasiswa, kalau tidak hemat akan ada
musibah kelaparan. Kembali antri, saat aku antri sama seperti biasa. Di ATM
akan ada banyak pengantri. Saat kami antri ada juga datang seorang dosen
laki-laki yang datang. Kami semua tahu kalau itu dosen, dari cara
penampilannya, seorang mahasiswi juga kenal.
Seperti biasa dalam barisan
antri. Mahasiswi yang paling depan seperti biasa perlakuannya, ya perasaan
menghormati. Mahasiswi itu mempersilakan si dosen untuk masuk ATM lebih dulu.
Saat di persilakan si dosen senang, dan dia tersenyum lebar. Tanpa ada rasa
bersalah, merasa itu hal biasa saja. Ia tidak memperhatikan beberapa mahasiswa,
seorang ibu hamil, dan aku yang sudah dari tadi antri. Mungkin si mahasiswi
yang kenal, paling depan ikhlas, belum tentu yang lainnya, seperti si ibu hamil
tua."
Pembahasan dari dua narasi tersebut, adalah bentuk penggambaran sifat
neofeodalisme. Apabila dicermati, sunggu berbeda antara dua sikap dosen
tersebut. kejadian itu, dari dua sifat yang bertentangan. Sifat dosen yang
kedua adalah bentuk sifat neofeodalisme tulen.
Dia menggunakan pengaruh,
kedudukan, umur, kuat sebagai laki-laki, untuk merampas hak orang lain. Hal
yang seharusnya terjadi, dia ganti dengan kepentingannya. Dia menunda hajat
orang, demi menunaikan hajat dirinya, padahal itu posisi hak orang. Dia tanpa
merasa bersalah, dan tanpa berdosa apalagi malu, memanfaatkan hal yang dia
miliki tersebut.
Bagaimana kalu hal tersebut sedikit lebih serius, atau
bagaimana apabila dia merasa direndahkan oleh sikap orang lain sama halnya
seperti yang dia lakukan. Orang berfaham neofeodalisme akan tersinggung, dan
marah besar apabila haknya dirampas orang lain. Bagaimana apabila dia diposisi
antri lalu orang lain menyerobot, maka dia akan mengumpat dan mencaci maki.
Ketika seseorang dosen sudah menyandang sifat neofeodalisme, maka
sifatnya akan terlihat dalam aktivitas akademisinya. Dosen seperti itu, apabila
dia merasa ada hal yang kritis, adanya pendapat yang berbeda, beberapa kali si
mahasiswa memberikan pertentangan pemikiran, dan dia terpojok, maka dia tidak
akan mau pengertian. Sebab dia merasa dirinya sudah cukup tahu dan lebih
pintar.
Kenapa, karena dia merasa malu, marah, emosi, dia tidak terima kalah
dari mahasiswa yang baru belajar. Dimana dia merasa, gelar yang sudah
strata dua atau tiga, umurnya lebih tua, dan kedudukan sebagai dosen
akan tercoreng. Muncul keangkuhannya yang begitu tinggi sehingga berdampak pada
perlakuaannya, dan pelayanannya. Dia mersa tersinggung sebab merasa tidak
dihargai atau diremehkan.
Padahal sebagai seorang dosen, bukan dia sebagai super power dalam
kebenaran keilmuan. Karena kebenaran itu dimiliki oleh setiap pemikiran, dalam
artian keilmuan. Bahkan kebenaran dapat ditemukan di tempat pelacuran
sekalipun. Bagaiman ada kebenaran disana? karena lebih mulia pelacur ketimbang
para koruptor yang bertopeng dalam kehormatan. Karena diantara pelacur itu, ada
juga yang memberi makan anak atau keluarnya. Dan yang mendatangi mereka adalah
orang-orang rendahan sesungguhnya.
Coba kita pikirkan sebuah filsafat yang
menyatakan di ruang kosong tidaklah kosong. Mengapa, karena di
dalam sebuah ruang kemungkinan ada semut atau nyamuk. Dan seandainya sudah
dibersihakan semua, masih ada atom-atom udara yang memenuhi ruang kosong
tersebut. Maka lihatlah kebenaran dengan kebijakan. Bukan merasa hebat dengan
gelar, umur, kedudukan, dan emosional.
Intinya cari kebenaran itu, dengan
pengertian bukan sesuai dengan hanya mengadalkan pemahaman kita. Al-Quran saja
kalau kita mencari kesalahannya, maka kesalahan itu dimana-mana (orientalisme).
Tetapi apabila kita mencari kebenaran, maka kebesaran Allah kita temui. Sebab
pemaham kita sejalur dengan yang kita kuasai saja, dimana orang-orang tidak
hadir di alam pikiran kita yang kita renungkan.
Kalangan akademisi sesunggunya bukan mendoktrin pemahaman mereka sendiri
atau memaksa kebenaran satu pihak. Setiap orang memiliki jalan pemahaman dan
pemikiran yang dia telusuri. Tugas dosen membangun pemahaman dan pemikiran itu
agar menginjak kebenaran. Kadang, pemahaman generasi baru akan berbeda dengan
pemahaman generasi sebelumnya.
Walau pemahamannya salah, nanti saat dia
menginjak pematangan keilmuan, dia akan menyadarinya sendiri, kebijakan seorang
guru. Jadi para pengajar atau dosen tidak perlu repot menjelaskan, menekan,
bahwa dia benar, dan hebat. Dampak dari itu, membuat pertentangan dalam
emosional pribadinya, sehingga berdampak pada layanan dan perlakuannya pada si
murid atau mahasiswa. Dengan demikian akhirnya dia sebagai pendidik gugur, dan
hanya menjadi seorang pekerja di dunia pendidikan.
Bahkan, ada juga usaha-usaha menyingkirkan posisi, atau mengurangi
nilai. Mahasiswa yang sedang dalam tahap pembelajaran, dimana pola-pikir mereka
baru tumbuh. Memerlukan ruang untuk mereka mengungkap cara membuka pemikiran.
Tetapi akhirnya tumbang oleh neofeodalisme para dosen atau tenaga pengajar.
Faham neofeodalisme juga yang mengalirkan sifat mahasiswa yang menurut
saja atau cari aman, apa kata dosen pengajar mereka,
pembimbing atau penguji. Mereka tidak berani memberikan pemahaman yang beda,
frontal, apalagi mengkritik sikap dosen yang kurang tepat. Karena sifat
neofeodalisme dari sang dosen akan menyulitkan mereka.
Sifat mereka berubah
ketus, keras, mempersulit, dan seakan tidak ada kompromi. Tanpa sadar mereka
telah mencampur adukkan emosi pribadi kedalam tugas sebagai pendidik. Mengapa
demikian, karena para pendidik akan menemukan watak-watak murid yang sangat
berbeda-beda. Maka tugas pendidik melunakkan watak-watak itu. Bukan bertempur,
bukan mengalakan, bukan meremehkan, dan merasa si dosen (guru) yang paling jago.
Berikut ini, aku menguraikan sifat neofeodalisme dari seorang guru
Sekolah Dasar saya dahulu. Suatu hari kami belajar matematika. Si guru bilang
pelajaran itu, berupa bentuk lingkaran, itu adalah kurva kata si guru. Dia
menjelaskan kurva ada yang tertutup ada yang terbuka. Kemudian seorang temanku
bilang itu adalah elips.
Si guru yang merasa guru, sudah mengajar puluhan
tahun, rambut sudah putih, dibantah oleh anak sekolah dasar berumur sebelas
tahun. Dia sangat marah sekali. Bantahan teman saya sesuai, karena dia memiliki
buku matematika yang menjelaskan demikian. Si guru, beberapa kali menyerang
dengan kata-kata kasar dan memojokkan si murid.
Padahal si guru seharusnya tidak perlu marah, cukup bilang khilaf
atau lupa, saja sudah cukup. Dia bole memberikan pujian bahwa dia sudah
mengingatkan. Ketika pendidik tidak tahan dengan hal demikian, maka dia sudah
kalah yang sesungguhnya. Dia sudah gagal menjadi pendidik. Akibat dari
kemarahan tersebut, meyebabkan kami tidak mau lagi memberikan masukan, dan
mengiyakan saja apa kata si guru.
Begitupun di kalangan mahasiswa, saat akan
sidang mereka akan bersikap kompromi, lalu mengiyakan dan mengikuti saja. Agar
tidak dipersulit, tidak dikurang nilai. Padahal mahasiswa memiliki hak,
mempertahankan skripsinya. Penilaian bukan dari bertentangnya, tetapi dari
kebenaran dan nilai positif pemikirannya. Adanya usaha perjuangan yang sesuai
kemampuannya, jangan di samaratakan dengan kemampuan seorang strata tiga.
Karena ada dosen yang tidak mau ditentang pendapatnya.
Disebabkan sifat neofeodalisme yang sudah berurat berakar pada jiwanya,
sebagai orang pintar. Maka neofeodalisme akan menyebabkan tidak adanya sifat
kritis baginya. Harus ada pengimbangan pola pikir dan pengertian. Nanti hasil
dari didikan orang-orang neofeodalisme ini, akan melahirkan sarjanah-sarjanah
lemah.
Mereka akan menjadi penutup kebenaran walau mereka mengetahui kebenaran
tersebut. Maka dari itu, timbul istilah di kalangan masyarakat kita “cari
aman” lalu cari muka” dan jadi penjilat” agar
mereka aman dan lancar. Sebagaimana waktu mereka kulia dahulu.
Karena apabila
ada cekcok sedikit, tidak sepaham, banyak membantah, membuat dia tersinggung,
maka akan berdampak pada kesulitan dalam berhubungan dengannya. Ada pepatah
mengatakan, "pedang akan tahu tajam atau tidaknya, kalau sudah
menggores tangan tuanya. Begitupun mahasiswa, apakah ia berhasil dalam
belajarnya ketika lidanya mulai dapat berbicara dan otaknya sudah berpikir.
Perna
anda tersingkir oleh faham neofeodalime???
"Baru-baru
ini ada pemberitaan tentang seorang mahasiswi strata tiga (s3) di sebuah
Universitas di Riau melaporkan rektornya, sebab si rektor melempar lembaran
disertasi setebal 250 halaman dan mengenai tangannya. Si rektor ini sering
sekali mempersulit mahasiswa, yang berurusan dengannya. Ini adalah bagian
dari bentuk neofeodalisme di dunia akademisi, dia tuan dan mahasiwa bawahan,
benarkah adab seorang pendidik demikian??? (dikutip dari Detiknews.
Jumat 14 Desember 2018."
“Yang
perlu di antisipasi adalah neofeodalisme yang mengara pada pelecehan seksual
oleh oknum pendidik atau dosen. Sebab mereka menggunakan pengaruh mereka untuk
perbuatan buruk tersebut. Kalau di kampus biasanya itu menjadi rahasia umum.”
Faham neofeodalisme bukan hanya tentang sifat pertentangan saja,
tetapi juga pada sifat neofeodalisme kompromi. Faham neofeodalisme kompromi
adalah sifat yang memberikan kemudahan supaya nama pengajar atau dosen tetap
aman dalam survei, atau pada pengawasan kampus (sekolah).
Neofeodalime
ini juga tidak kala buruk dengan faham neofeodalime pertentangan. Disini mereka
memberikan kemudahan yang akan memicu penyimpangan metode belajar, tidak aktif
dalam mengajar, asal selesai. Atau neofeodalisme kompromi ini, berdampak pada
perlakuan istimewa pada seseorang, pada orang-orang yang dapat di perlakukan
yang tidak sesuai dengan norma pendidikan.
Neofeodalisme kompromi adalah bentuk
bibit dari sifat korupsi, sifat balas jasa, karena disini ada sifat imbal balik
yang didapat, antara mahasiswa dan dosen. Imabal balik apa saja, tergantung
kompromi mereka walau tidak bersepakat seperti jual beli. Misalkan, dosen
jarang masuk kemudian semua mahasiswa dapat A.
Kesimpulan.
Mahasiswa adalah calon pemikir-pemikir bangsa yang akan memimpin generasinya. Jangan sampai lahir neofeodalisme baru, lalu faham neofeodalisme ber-regenerasi terus. Jangan sampai neofeodalisme menutup keberanian berpikir mereka-mereka.
Neofeodalisme adalah musuh demokrasi dan hak azazi manusia yang bersembunyi dalam jiwa mereka-mereka berkedudukan, kaya, atau kuat. Dalam dunia pendidikan, imbas neofeodalisme menyebabkan budaya cari aman di tengah masyarakat.
Mahasiswa adalah calon pemikir-pemikir bangsa yang akan memimpin generasinya. Jangan sampai lahir neofeodalisme baru, lalu faham neofeodalisme ber-regenerasi terus. Jangan sampai neofeodalisme menutup keberanian berpikir mereka-mereka.
Neofeodalisme adalah musuh demokrasi dan hak azazi manusia yang bersembunyi dalam jiwa mereka-mereka berkedudukan, kaya, atau kuat. Dalam dunia pendidikan, imbas neofeodalisme menyebabkan budaya cari aman di tengah masyarakat.
Kemudian melahirkan sipat diam atau menutup kebenaran. Lalu mematikan motivasi paham-paham baru yang dihidayakan untuk dia memimpin pada generasinya. Hancurkan sifat neofeodalisme, dan salam revolusi biru.
Oleh. Joni Apero.
Editor. Selita. S.Pd.
Palembang, 18 Desember 2018.
Sy. Apero Fublic
Via
Biruisme
Bagaimana kiat-kiat agar terhindar dari sifat neofeodalisme?
ReplyDelete