Puisi
Radang
Mengangnga
berombak
ombak tawa merupa luka
Pohon
rindang tak semua berbuah
Sinar
mentari menyisakan siluet jingga
Selalu
terlihat di setiap lampu merah dan persimpangan
Tubuh
kusam juga letih serta tak tentu arah
Akankah
rasa bersalah melingkup diruang rongga
siapa?
Siapa yang berperan antagonis?
Tak
terlihat tak terjamah dibelakang muka dua
Pura-pura
tolol hidupkan segala tipu sadis
Menutup
mata dan juga hati dalam radang yang menganga
Batang
hidung anak bangsa terpaksa melanglang buana
Nelangsa
tak tentu arah di desa maupun kota
Wahai
calon generasi bangsa tutuplah radang yang menganga
Palembang,
23 Januari 2019.
Bantahan
Hati
Gelisah
tak menentu terpandang
Gemetar
tak berubah tersandang
Gemeretak
gigi mengenang
Tersadar,terpaku
menahan angan
Mengerucut
bibir, amarah ditahan
tak
sudi ditepis meremehkan
Tak
sudi,tak usah hutang
Bukan
maksud menagih hutang
Tapi
banyak yg lebih membutuhkan
Tak
terbayang hanya di read doang
Tungguh
lecutan tiada termakan
Bantah
hati, tapi angin menghilang.
Palembang,
20 Februari 2018.
Ketika
Terang Bulan Bintang
Bintang
bertebar berdekatan tanpa berkata
Menggenang
bulir hujan disudut mata
Membayang
kisah memutar memory
Seakan
bola mata beradu pandang ke angkasa
Cahaya
terang seketika membentuk asa
Aku
diam, termenung, dan berkata dalam sunyinya malam
Tak
berubah dari waktu kewaktu
Dalam
bentuk yang ambigu
Dan
selalu berdoa untuk berubah
diksi
bersatu mengetik sifat
tak
terjangkau jikalau hanya angan
Terus
berjuang karena Allah
Palembang,
4 Februari 2019.
Palembang, 2 Maret 2019.
Sumber foto. Karikatur muslimah
Sy. Apero Fublic
Nur Aisyah. e-Antologi Puisi Hujan Kemarau
Apero Fublic.- e-Antologi
Puisi Hujan Kemarau adalah suatu ungkapan tetang kehidupan kita. Yang sering
mengabaikan pesan alam, nasihat-nasihat, padahal disanalah kita dapat mendapat
hidayah. Disanalah kita dapat menyadari kebesaran tuhan. Disanalah kita dapat
memetik hati yang lembut dan damai.
Hujan kemarau adalah sebuah harapan banyak
orang. Ketika dunia kering kerontang dan panas membara. Maka dunia saat itu,
diharapkan hujan dan angin selalu berhembus. Sehingga walau dalam panas, ada
kesejukan yang datang mengobati. Saat panas sudah diambang puncaknya hujan
datang membasahi.
Kemarau diharapkan cepat berlalu dan memasuki musim hujan.
Agar bersemi bunga-bunga yang telah ditanam. Berbua semua tetumbuhan alam.
Berakhir pula semua penderitaan itu. Semua bahagia, dengan rahmat di musim
hujan. Lalu mengapa kita mengeluh saat kehujanan.
Hujan kemarau seperti hadia yang terindah dari penguasa alam. Rahmat
yang seharusnya ditanggukan sampai musim penghujan, tetapi diberikan pada waktu
yang belum waktunya. Lalu hati yang bijak akan bertanya, "apakah ini
rahmat-Nya, atau ini teguran. Ketika kita berpikir dengan semua itu, kita
perhatikan, lalu kita hayati.
Bagaimana bila hujan tak turun-turun dalam waktu
lama. Oh, tentu begitu sulit kehidupan mahluk bumi. Ketika hujan dipergilirkan,
kemudian kemarau juga diganti-ganti. Melihat itu, betapa lemah kita sebagai
manusia, masihkah kita belum sadar akan kebesarannya. Masihkan iman kita lemah,
saat melihat tanda kebesarannya.
Hanya memperhatikan hujan dan kemarau, yang
diatur dengan teratur. Agar mahluk bumi tetap hidup. Hujan kemarau, masihkah
kita belum beriman. Hujan kemarau, masihkan kita dalam kubangan dosa. Hujan
kemarau, masihkan kita mengeluh saat banjir. Sesungguhnya kitalah yang salah,
tak pandai menata alam.
(1).
Radang
menganga mengatup tak berubah
Terlihat
tak terawat batang hidung anak bangsa
Radang menganga
tertanam pasti tumbuh dari antagonis
Di
radang menganga merongga milik kita
Oleh
: Nur Aisyah.
(2).
Hati
meradang tak tenang
Pelan,
perlahan tapi tak tertahan
Hutang
tetap hutang
Penat,
sangat menunggu sanggaan
Oleh.
Nur Aisya.
(3).
Malam
yang terang akan bulan
Kudongakkan
wajah ke langit impi
Diri
ini masih sama
Mencari
jatidiri menambat ilmu
Oleh.
Nur Aisyah.
(4).
Batik
Warisan Budaya
Menari-nari
canting itu bergerak
Membentuk,
melekuk, membentuk corak
Tak
terpikir, tak terjamah,
sketsa
itupun jelas menampak
Indah,
bermakna, melegenda,
mendunia
hingga ke Irak
Alam,
manusia, hewan, menyatu berkolaborasi
Beragam,
bersemayam, mencipta ilustrasi
Ciri
khas negeri, bertradisi,
berstatus
jua berstratifikasi
Itulah
buah tangan warisan budaya,
Dari
generasi ke generasi
Kaulah
goresan batik, minat para pujangga
Merona,
berwibawa, hingga ke negeri tetangga
Kaulah
produk klasik namun Indonesia bangga
Duniapun
terpana, melirik, hingga menganga
Batik,
engkau unik dan juga mistik
Tata
kehidupan dan tradisi menjadi unsur intrinsik
Mencipta
makna,
penyuguh
warisan budaya yang klasik
Batik,
semoga tak hilang ditelan zaman,
yang
semakin pelik
Oleh.
Nur Aisyah.
Palembang,
15 oktober 2019.
(5).
Perempuan
Penyulam Sabar
Pikiran
lebat akan mimpi
Semangat
mengetuk pintu hati
Sampai
rempah egois mengais mimpi
Apakah
benar yang pikiran ini beri?
Aku
sadari aku mendung
Aku
menggebu tiada sabar
Aku
sadar, ini salah juga mengekang
Aku
harus menyulam sabar
Aku
perempuan akademik
Aku
harus yakin akan Allah
Buru-buru
itu pahit jua tak baik
Apalagi
aku ingin buah manis
Gelap
malam merambat menyelimuti malam
Cahaya
bulan tetap berpendar
Aku
perempuan perindu paham
Aku
perempuan penyulam sabar
Oleh.
Nur Aisyah
Palembang,16
september 2019
(6).
Pulau
Sunyi
Engkau
rentankan hati ini
Deru
angin mendesir menyapu wajah
Saksi
bisu raut tekuk yang menanti
Orangpun
tak lagi lalu lalang
Senja
itu sudah mengintip
Menunjukkan
mulainya gelap
Orang
besar itu lama sekali
Bosan
ini datang sekali tempo
Tapi,
pulau sunyi ini harus terlampaui
Hujan
ini harus bermanfaat
Tapi,
sabar itu perlu
Walau
pulau kapuk menanti
Oleh.
Nur Aisyah
Palembang,
2 september 2019.
Sekilas tentang penyair cantik ini. Dia lahir di Sumatra
Selatan, Kabupaten Lahat, pada tanggal 26 Maret 2000. Nama lengkapnya Nur Aisyah,
sekarang sedang menempuh studi di Universitas Islam Negeri Raden Fatah
Palembang, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Aisyah menyukai makanan yang namanya
bakso, martabak.
Makan yang paling disukai adalah masakan ibu, si malaikat tak
bersayap. Kalau warna kesukaan, menyukai warna biru, hijau dan orange. Gadis
ini, bercita-cita menjadi penulis hebat, sukses, sekaligus menjadi guru bagi
anak-anaknya kelak. Kalau motonya “sukses, bahagia, fiddunya
wal akhirot. Kalau pesanya, “jadila cahaya untuk orang
lain sesuai kemampuan diri sendiri.”
Mungkin maksudnya agar kita tidak
memaksakan diri untuk menjadi baik, sampai kita akhirnya menjadi wujud lain
dari diri kita hanya karena ingin dibilang baik. Maka, berbuatlah dengan iklas
dan jujur apa adanya, sehingga orang-orang akan terkesan pada kita.
Oleh. Nur Aisyah.
Editor. Desti. S.Sos.
Via
Puisi
Post a Comment