Cerpen
Perjuangan Yang Terlupakan
APERO FUBLIC.- Dunia aku ingin mengadu tentang
suatu rasa. Rasa yang tak biasa, tetapi begitu luar biasa. Seperti langit yang
menghampar biru, atau seperti ombak yang selalu bergoyang. Kalian tahu, kalau
saat kita bersama, banyak hal yang terjadi diantara kita. Mulai dari
bertengkar, kita kesal dan saling memarahi, saling menasihati, saling mengajak
kebaikan, dan sebagainya.
Ketahuilah saat itu, tali kasih sedang mengikat kita
satu sama lain. Selain itu, kita memiliki watak yang berbeda-beda, dan watak itu
saling beradu. Sehingga menimbulkan perbedaan yang sangat terbuka dan keras.
Saat itulah, kita sedang saling mengenal sesungguhnya. Kemudian kita beradu
yang memercikkan api dan membakar hangus. Lama kita tidak saling menyukai, lama
kita tidak saling peduli.
Saat itu, sesunggunya tali persaudaraan kita sedang
merapat. Bersamaan angin yang berhembus, bekas bara mulai padam, lalu menjadi
abu, yang berterbangan jauh. Perlahan bekas-bekas api itu ditumbuhi rerumputan
hijau, pohon berbunga, lalu berdatanganlah kupu-kupu, kumbang, serangga,
burung-burung pun menghampiri.
Tapi sayang kita tidak lagi di sana, untuk
menyaksikan semua keindahan itu. Perlahan-lahan kita sadar, bahwa kita sedang
ditipu oleh tali cinta kasih di antara kita. Dimana hati kita selalu diundang
hadir kembali di mana waktu-waktu itu. Oleh karena itulah, satu rasa yang
muncul di hati kita, yaitu rindu.
Perjuangan
Yang Terlupakan
Di
sebuah kampung tarbiyah, di bumi dua kebaikan yang banyak aturan. Kau dan aku
pernah disini, menuai hari-hari yang beragam cerita. Aku tak tau mengapa kita
bisa berteman dekat, padahal kau tau aku adalah santriati yang begitu bobrok
dan berantakan di sekolah ini. Di tengah gempuran aturan yang bagiku mengekang
dan membuat kewalahan, kau mengulurkan tanganmu, membantuku, mengajakku berubah
perlahan demi perlahan.
Kau menyuruhku mengganti pakaian yang menyerupai laki-laki dengan
pakaian yang lebih anggun. Saat ada acara yang mewajibkan kita memakai jilbab
segi empat, aku mengaduh tak karuan, lebih mending aku tak ikut acara ini,
sebab aku tak punya, tak bisa dan tak suka. Tapi kau malah meminjamkan jilbab,
bros dan jarum padaku lantas mengajariku memakainya. Jelas saja aku malu dan
merasa risih memakai pakaian seperti itu, “wah, kamu cantik sekali pakai jilbab
seperti ini,” katamu waktu itu untuk membesarkan hatiku.
Ketika kau menyetrika pakaianmu, kau selalu menawarkan agar kau
menyetrika pakaianku demi agar aku bisa tampil rapi, bahkan kau selalu
membantuku bagaimana memadukan jilbab, baju dan rok agar terlihat indah, rapi
dan tidak menor. Seperti nasihatmu “Allah itu indah dan suka dengan yang
indah-indah”.
Tidak cukup sampai disitu, kau juga mengurusi kasurku.
Membangunkanku di tengah malam untuk bermunajat kepada-Nya tak peduli seberapa
sering aku menendangmu (gak sadar lo ya, lagi mimpi latihan karate soalnya).
Kau mengingatkanku membereskan tempat tidur, rak buku, lemari dan menjemur
kasur sesekali. Tentang PR, tentang hafalan, muraja’ah, shalat jama’ah, shalat
sunnah semuanya kau urusi, bahkan hingga perasaanku, “Ney, suka itu wajar tapi
sebaiknya tak perlu di umbar” begitu katamu. Kau juga memberiku buku-buku
motivasi tentang bagaimana mengelola hidup termasuk rasa yang bergejolak di
usia kita ini.
Aku memang begitu rempong. Bukannya tidak pernah di urusi oleh ustadzah,
bahkan mereka begitu perhatian, mengontrol semuanya dari ujung kaki hingga
ujung rambut dan dari bangun tidur higga kembali. Hanya saja aku sering melawan
arus, mencari-cari celah kebebasan.
Sering kali, aku merasa kau begitu
berlebihan kawan, aku ingin mengatakan padamu, biarkan aku dengan duniaku dan
menjadi diriku sendiri. Bahkan sebenarnya usahamu merubahku akan berujung pada
sia-sia. Bukankah kau lihat aku sering tidak peduli, merasa terpaksa dan
mengulangi kebiasaan burukku?
Seiring waktu, satu persatu mulai kulihat buah perjuanganmu dan
perjuangan guru-guru kita pada diriku. Aku memberanikan diri merubah penampilan
pelan-pelan. Tapi aku tak kuat kawan. Banyak orang yang menghujatku, kata
“tumben” “sok alim” begitu menggoyangkanku. Aku masih ingat, di malam itu kita
bercerita. Saling curhat perihal kita yang dibilang sakit karena memakai kaos
kaki di kampung.
Dibilang seperti ibu-ibu karena memakai jilbab langsungan yang
menutup dada, dibilang kuper karena tidak berbaur dengan laki-laki dan terlebih
banyak keluarga yang kurang suka dengan penampilan ini. Di malam itu, kau
menguatkanku, menasihatiku dan bilang “kita harus istiqamah, dan pelan-pelan
kita memberitahu mereka dan mengajak mereka untuk berubah juga”
Sayang sekali, itu adalah saat saat terakhir kita disana. Bertahun
penempahan itu, kini baru terlihat buahnya yang masih kecil di ujung waktu. Aku
takut, kelak sudah pisah aku kembali pada kebebasan yang pernah kuidam-idamkan,
pada cita-cita lama yang pernah kau larang. Di ujung waktu itu kau berkata
“Kita saling mengingatkan ya, walaupun sudah pisah” dengan mantap aku menjawab
“Iya kawan”.
Setahun
lebih telah berlalu, apa kabar kita kawan?
Maafkan aku yang dahulu membuatmu lelah, sekarang aku ingin
berterimakasih, kau telah mengajariku bagaimana menjadi wanita shalihah.
Sekarang lihatlah kawan, aku menyukai tempahanmu dulu dan aku nyaman dengannya.
dimana kau kini, aku ingin berterima kasih. Tapi alangkah sedihnya saat aku
menemukanmu kawan, kau berubah.
Foto-foto di sosmedmu memamerkan auratmu, kau
lebih menyukai jilbab yang pendek tak menutup dada. Rok dan baju yang anggun
itu berganti menjadi celana dan baju yang ketat, bahkan kau dengan nyamannya
bergandengan dengan lelaki yang jelas belum halal untukmu. Kaos kaki, jilbab
gede, manset semuanya hilang. Apa yang terjadi? Mengapa begitu jauh kau
berubah?. Duhai, maafkan aku.
Aku menyayangkan diriku yang lalai, sahabatmu yang egois meninggalkanmu
berjuang sendiri. Dimana aku saat kau membutuhkan dukungan di tengah
lingkunganmu yang baru, dimana aku saat kau berusaha istiqamah dengan hijab dan
akhlak baikmu, dimana aku saat kau menyukai seseorang, mulai tergoda dan sulit
mengontrol diri. Dimana aku saat kau tunggang langgang disana, berusaha
bertahan di dunia yang sangat berbeda, dimana aku? Perlahan kau kehilangan
dirimu, kau membutuhkan siapapun untuk menguatkan hidupmu.
Ternyata diisana
banyak orang yang peduli padamu, lalu mengajakmu ke dunia mereka yang baru,
dunia yang dulu pernah kuidamkan. Sayang kau terlampau terwarnai, wahai, dimana
aku saat satu persatu hiasan muslimah tanggal dari dirimu?.
Aku lalai, terlalu nyaman dengan duniaku tanpa peduli keadaanmu
disana. Kawan, maafkan aku bila tak sesabar dan setelaten kau dulu. Izinkan aku
menggandengmu kembali, berjuang bersama seperti nasihatmu dulu, seperti
cita-cita kita dulu dan seperti harapan guru-guru kita. Oh ya, bukan maksudku
aku sudah sangat baik, tapi perlahan aku ingin berubah menjadi lebih baik lagi,
aku tau hatiku, akhlakku masih jauh dari kata sempurna, tapi seperti nasihat
guru-guru kita dan nasihatmu dulu “tak perlu menunggu hati baik baru kita
berhijab, seiring waktu kita akan diingatkan oleh hijab kita sendiri.
Kawan, bagaimanapun aku kini dan bagaimanapun kau kini, aku ingin kita akrab seperti dulu. Kita manusia yang tidak lepas dari salah dan dosa dengan iman yang naik turun dan godaan di mana-mana. Kita berhak memilih jalan hidup kita karena memang tak ada paksaan dalam hal ini. Tapi, disini aku masih sangat membutuhkanmu untuk berjuang bersama-sama, aku merindukanmu yang dulu. Kawan, masih ingatkah kau nasyid ini “jadikan rabithah pengikatnya, jadikan do’a ekspresi rindu, semoga kita bersua di syurga.”
Kawan, bagaimanapun aku kini dan bagaimanapun kau kini, aku ingin kita akrab seperti dulu. Kita manusia yang tidak lepas dari salah dan dosa dengan iman yang naik turun dan godaan di mana-mana. Kita berhak memilih jalan hidup kita karena memang tak ada paksaan dalam hal ini. Tapi, disini aku masih sangat membutuhkanmu untuk berjuang bersama-sama, aku merindukanmu yang dulu. Kawan, masih ingatkah kau nasyid ini “jadikan rabithah pengikatnya, jadikan do’a ekspresi rindu, semoga kita bersua di syurga.”
(Foto
kenangan Nelly Khairani Nasution bersama sahabat-sahabatnya sewaktu dibangku
sekolah).
Oleh.
Nelly Khairani Nasutioan.
Editor.
Desti. S.Sos.
Yogyakarta,
30 September 2018.
Sumber
Foto. Nelly Khairani Nasutioan.Catatan.
Kata kawan bersifat majemuk. Artikel juga di publikasi
di facebook. Nelly
Khairani Nasution
Sy. Apero Fublic
Via
Cerpen
Post a Comment