Sejarah Islam
Pidato Presiden Soekarno Saat Peringatan Nuzulul Qur'an Maret 1960
Dalam
setiap acara kenegaraan Presiden Soekarno selalu mendapat kesempatan untuk
berpidato di hadapan hadirin, baik itu di suatu tempat misalnya di masjid,
suatu daerah, atau di istana negara sendiri. Pidato-pidato Presiden Soekarno
banyak yang menggunakan teks sehingga dapat diterbitkan oleh sejarawan kemudian
hari. Atau pidato beliau tersimpan pada arsip-arsip negara di istana negara di
Jakarta. Pidato sangat bermanfaat untuk memgambarkan ekspresi kepemikiran
seseorang. Pidato juga sarana pengungkapan pandangan seseorang pada suatu pokok
permasalahan. Pidato termasuk dalam seni berkata-kata, untuk dapat berpidato
seseorang harus memiliki wawasan luas. Umat Islam selalu akrab dengan pidato,
karena pidano dihadirkan setiap jumat, pada shalat jumat. Berikut adalah contoh
salah satu pidato Presiden Soekarno. Pidato ini mengetengakan pokok pemikiran
Islam dalam tema, Islam, Agama Amal.
Amanat pada Peringatan Nuzulul Qur’an di Istana Negara, Jakarta,
15 Maret 1960.
Saudara-saudara sekalian,
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Alhamdulillah,
malam ini kita berkumpul di sini, pada malam Nuzulul Qur’an dan menyaksikan
penyerahan Qur’an pusaka, melewati tangan Y.M. Menteri Agama, kepada Presiden
Republik Indonesia. Isyah Allah saudara-saudara, akan saya simpan dan saya
pelihara Qur’an pusaka ini dengan sebaik-baiknya dan disinilah tempatnya pula
saya mengucapkan salam kehormatan dan terima kasih kepada semua saudara-saudara
yang telah membanting tulang, bekerja keras untuk membuat Qur’an pusaka ini,
terutama sekali kepada Haji Abubakar Aceh.
Saudara-saudara, Qur’an pusaka yang terbuat di dalam tiga bagian, yang bagian
awalnya terletak di sana, bagian kedua dan ketiga, di dalam peti itu, sebagai
saudara-saudara mengerti dan saudara-saudara mendengar sendiri dari uraian
Saudara Haji Abubakar Aceh, ini adalah sekadar tumpukan kertas-kertas dengan
tulisan-tulisan di atasnya. Tumpukan kertas-kertas di atasnya, yang malahan
saya mengucap syukur kehadirat Allah SWT., saya ikut-ikut menuliskan beberapa
huruf daripada tulisan-tulisan itu.
Tapi bagaimanapun juga saudara-saudara, ini adalah sekadar kertas dengan
aksara-aksara, tulisan-tulisan diatasnya. Tetapi sebagai saudara-saudara
mengerti, apalagi sesudah mendengarkan uraian Y.M. Menteri Agama dan Y.M.
Menteri Djojomartono; yang hebat, yang abadi, yang menguasai jiwa kita sekalian
ialah, ini, makna daripada tulisan-tulisan itu. Dan memang tulisan-tulisan yang
tertera di atas kertas itu, membawa makna. Dan makna itulah saudara-saudara,
sebagai saudara-saudara telah mengerti makna itu adalah abadi, maka itu adalah
berisikan petunjuk yang hebat sekali kepada seluruh perikemanusiaan.
Berulang-ulang saya di sini mensitir ucapan Thomas Carlyle, sebagai tadi juga
di sitir oleh Saudara Muljadi Djojomartono akan beberapa ucapan Thomas Carlyele
yang antara lain berkata, “Bahwa justru makna daripada kata-kata, aksara-aksara
yang tertulis di dalam kitab Qur’an itu, membuat padang pasir yang tadinya
sekadar pasir, meledak. Dan api ledakannya itu dilihat oleh kemanusiaan di
tujuh penjuru dunia.” Saudara Muljadi mensitir Thomas Carlyle, yang
menggambarkan bahwa oleh kekuasaan isi kata dari Qur’an ini, bangsa Arab yang
tadinya bangsa biadab, tadinya bangsa yang suka berkelahi, tadinya bangsa yang
pemabuk, tadinya bangsa yang suka mengubur hidup-hidup anak perempuan, bangsa
yang tadinya bangsa penipu, di dalam satu abad telah mendirikan satu kerajaan
yang megah antara, Andalusia dan Delhi.
Dan sekarang saudara-saudara malahan isi dari kalimat-kalimat Qur’an tersebut
di seluru muka bumi. Saya sering mensitir ucapan Thomas Carlyle yang
mengatakan, “En het zand der woestijn bleek geen zand te zijn, het bleek
kruit te zijn, het ontplofte en den ontploffing werd gehoorde door de gehele
mensheid.” Artinya, pasir daripada pasir ini, di padang pasir ini, ternyata
bukan sekadar pasir. Ternyata pasir ini adalah mesiu. Mesiu ini kena cetusan
api daripad Qur’an daripada agama Islam. mesiunya meledak dan ledakannya
didengarkan oleh seluruh perikemanusiaan.
Saudara-saudara, kita semuanya tadi mendengarkan pembacaan surat pertama
Al-Fatihah, yang malahan sering dikatakan oleh ulama-ulama Islam, bahwa di
dalam surat Al-Fatihah ini tersimpan segenap isi Al-Quran. Ber-Al-Fatihah yang
pada pokoknya bukan saja memuji kepada Allah SWT. Yang dikatakan yau middin.
Tuhan daripada hari yang kemudian, bahwa kita memohon kepada-Nya petunjuk,
mohon diberi tahu jalan yang benar. Iyya kana’budu wa iyya kanasta’in,
ih-dinash sirathal mustaqim sirathal mustaqim shirathal ladzina an’amta
alaihim, ghairil magh’dhudi alaihim, waladhalin, mohon diberi tahu jalan
yang benar, jalan yang dikaruniahi oleh Tuhan, bukan jalan yang dimurkai oleh
Tuhan.
Perhatikkan saudara-saudara, kita di dalam surat Al-Fatihah itu, dengan
mengucapkan kalimat-kalimat dari surat Al-Fatihah itu memohon petunjuk, memohon
diberi tahu oleh Allah SWT. Akan jalan yang benar, bukan jalan yang dimurkai.
Dan tuhan memberitahu jalan, Tuhan memberitahu jalan itu, antara lain seluruh
Al-Quran itu tiap-tiap surat, tiap-tiap kalimat, tiap-tiap kata daripada Qur’an
itu adalah petunjuk, ini adalah jalan yang benar, itu adalah jalan yang salah.
Sekadar petunjuk saudara-saudara. Tetapi apakah kita cukup dengan mendapatkan
petunjuk, itulah jalan yang baik? Tidak! saudara-saudara. Kita harus berjalan
di atas jalan itu, sesudah kita mendapat petunjuk dari Allah SWT. Akan jalan
yang benar. Kita tidak hanya cukup dengan hanya mendapat pahala, sekarang kita
akan mendapat kenikmatan hidup duniawi dan akhiat. Kita harus berjalan melalui
jalan yang benar itu, jangan melalui jalan yang tidak benar. Dus kita harus
berjalan, dus kita harus berbuat, dus, kita kini beramal, tidak cukup dengan
mengetahui mana jalan yang benar.
Kita memohon di dalam surat Al-Fatihah diberikan petunjuk jalan yang benar,
tetapi tidak cukup bagi kita, hanya mengetahui jalan yang benar. Kita harus
menjalani jalan yang benar itu. oleh karena itu, tepatlah beberapa perkataan
beberapa ahli agama, ulama-ulama agama, yang mengatakan bahwa agama Islam
adalah agama amal, bukan sekadar agama untuk mengetahu jalan yang benar, tetapi
agama amal, the gospel of action.
Dikatakan bahwa kitab Al-Quran itu, demikianlah perkataan seorang ahli agama
Islam dari negara asing, dari negeri asing dengan mengatakan “Islam is the
gospel of action”,”Islam is her evangelic van de daad”, Islam adalah satu agama
amal, perbuatan. Sebagaimana kita mendengar dalam surat Al-Fatihah pujian kita
kepada Allah SWT, yang disebutkan Tuhan itu arrahman arrahim tempo
hari yang sudah saya terangkan kepada saudara-saudara, perbedaan antara
perkataan rahmania dan rahimiah. Rahmania:
Tuhan memberi kenikmatan kepada kita, sekadar sebagai cinta Tuhan kepadamu
tanpa kita beramal apa-apa, demikianlah kataku tempo hari. Seorang anak
bayi procot keluar dari gua garba ibunya, sudah mendapat
rahmaniah dari Allah SWT., oleh karena dia bisa melihat, oleh karena dia bisa
menghirup udara segar, oleh karena dia bisa menetek, air tetek yang manis, oleh
karena dia dilahirkan di atas bumi yang kaya, padahal sang bayi itu
saudara-saudara, belum berbuat apa-apa, tetapi oleh karena rahmaniah Allah
SWT., saudara-saudara, demikianlah kataku tempo hari, adalah ganjaran atas
amal.
Saya berkata tempo hari, jikalau kita menanam padi, menggarap tanah kita
bekerja mati-matian untuk menanam padi, untuk membawa hasil padi, membawa hasil
beras yang bisa kita makan, yang bisa kita berikan kepada istri kita, kepada
anak kita, yang bisa kita jual supaya kita bisa mendapat uang agar kita bisa
membeli pakaian, itu adalah rahmaniah dari Allah SWT, Upah, ganjaran atas
amal-amal kita.
Oleh karena itu saudara-saudara, maka tepat sekali jikalau di dalam agama Islam
pokoknya Al-Quran, dinamakan The Gospel of Action,” “Het
evangelic van de daad” agama daripada amal. Perbuatan.
Pada malam ini kita berkumpul di Istana Negara ini saudara-saudara, untuk
memuliahkan Nuzulul Qur’an, untuk menyaksikan penyerahan Qur’an sebagai pusaka.
Pada malam ini, kita semua harus mencamkan dalam hati kita, marilah kita selalu
beramal. Hanya dengan amal kita dapat menolong diri kita sendiri, hanya dengan
amal kita bisa menolong bangsa kita sendiri. Hanya dengan amal kita bisa
menolong tanah air kita. Hanya dengan amal kita bisa menolong bangsa kita.
Hanya dengan amal kita bisa mencapai cita-cita rakyat Indonesia, yaitu untuk
negara yang merdeka dan berdaulat penuh, masyarakat yang adil dan makmur
didalmnya.
Tadi pagi ketika memberi amanat kepada
Angkatan ’45 saya katakan, tiap-tiap manusia Indonesia sekarang ini boledikatan
dengan setuju dengan Manifesto Politik. Manifesto Politik adalah
saudara-saudara, seperti satu petunjuk. Isinya jalan untuk mencapai kemakmuran.
Itu jalan untuk mencapai kebahagiaan. Itu Undang-Undang Dasar 1945. Itu
sosialisme ala Indonesia. Itu ekonomi terpimpin. Itu demokrasi terpimpin. Itu
jalan kemakmuran. Itu jalan kepribadian jalan kebudayaan Indonesia sendiri.
Tetapi tidak cukup kita sekadar mengetahui
jalan itu, tidak cukup kita mengetahui bahwa ekonomi terpimpin jalan mencapai
kemakmuran ekonomi. Tidak cukup kita hanya mengetahui bahwa demokrasi
terpimpinlah membawa kita kepada pengerahan tenaga yang sebaik-baiknya, untuk
menyelesaikan revolusi kita.
Kita harus beramal, kita harus berjalan, kita harus – di dalam istilah saya –
harus membanting tulang, mengulurkan tenaga kita, memeras keringat kita
mati-matian.
Hidup selamat duniawi, hidup selamat ukhrawi, hanyalah kita capai dengan amal,
tidak dengan cara berdiam diri sekadar “Ins. Blaue hinein” membiarkan
segala keadaan berjalan sendiri.
Sekian saudara-saudara, amanat saya, dengan
ini saya mengucapkan beribu-ribu terima kasih sekali lagi. Kepada semua pekerja
yang membuat Qur’an pusaka ini. Dan seperti saya katakan, insya Allah SWT.
Qur’an pusaka ini akan saya pelihara dan saya simpan dengan cara
sebaik-baiknya.
Terima
kasih. Soekarno.
Selain
mengajarkan tentang keislaman yang baik, dalam pidato beliau tergambar
penekanan pada politik demokrasi terpimpin dalam memimpin Indonesia. Sehingga
masa pemerintahan ini disebut masa demokrasi terpimpin.
Rewrite:
Joni Apero.
Palembang, 2018.
Sumber:
A. Dahlan Ranu Wijaya, dkk. Wacana Islam: Kenangan 100 Tahun Bung
Karno. Jakarta: Grasindo, 2001.
By. Apero Fublic
Via
Sejarah Islam
Post a Comment