Sastra Moderen
Rendra. Ballada Orang-Orang Tercinta
Apero
Fublic.- Buku antologi puisi Ballada Orang-Orang Tercinta ini
pertama kali diterbitkan pada tahun 1957, di Jakarta. Cetakan kedua pada tahun
1971 yang diterbitkan oleh PD. Pustaka Jaya di Jakarta. Kemudian diterbitkan
terus sampai cetakan yang kedelapan pada tahun 1999.
Buku antologi ini memuat
19 sajak, dengan jumlah halaman 52 halaman. Pada latar sampul menyajikan
pemandangan dengan langit biru, awan, tanah gersang membentang yang di lihat
dari pinggir dimana terdapat pepohonan.
Antologi puisi Ballada
Orang-Orang Tercinta ini merupakan buku pertama kumpulan sajak-sajak
Rendra. Sajak Rendra ini tidak berbentuk lirik seperti kebanyakan sajak
sezamannya, tetapi berbentuk epika. Rendra pada tahun 1957 mendapat
hadiah Sastra Nasional dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN),
sebagai penyair terbaik tahun-tahun 1955-1957.
Rendra berasal dari Solo, Jawa Tengah,
ia dilahirkan pada tanggal 7 November 1935. Ia anak seorang guru Bahasa
Indonesia dan Bahasa Jawa. Selain menulis sajak beliau juga menulis cerita
pendek, dan terjun di bidang teater. Berikut ini kutipan sajak Rendra
dari antologi puisi Ballada Orang-Orang Tercinta.
Ballada
Lelaki-Lelaki Tanah Kapur
Para
Lelaki telah keluar di jalanan
Dengan
kilatan-kilatan ujung baja
Dan
kuda-kuda para penyamun
Telah
tampak di perbukitan kuning
Bahasa
kini adalah darah.
Di
belakang pintu berpalang
Tangis
kanak-kanak, doa perempuan.
Tanpa
menang tiada kata pulang
Pelari
akan terbujur di halaman
Ditolaki
bini dan pintu berkunci.
Mendatang
derap kuda
Dan
angin bernyanyi :
-
‘Kan kusadap dara lelaki
Terbuka
guci-guci dada baja
Bagai
pedagang anggur dermawan
Lelaki
rebah di jalanan
Lambung
terbuka dengan geram serigala!
O,
bulu dada yang riap!
Kebun
anggur yang sedap!
Setengah
keliling memagar
Mendekat
derap kuda
Lalu
terdengar teriak peperangan
Dan
lelaki hidup dari belati
Berlelehan
air amis
Mulut
berbusa dan debu pada luka.
Pada
kokok ayam ke tiga
Dan
jingga langit pertama
Para
lelaki melangkah ke desa
Menegak
dan berbungah luka-luka
Percik-percik
merah, dada-dada terbuka.
Berlumur
keringat diketuk pintu.
-Siapa
itu?
-Lelakimu
pulang, perempuan budiman!
Perempuan-perempuan
menghambur dari pintu
Menjilati
luka-luka mereka
Dara-dara
menembang dan berjengukan
Dari
jendela.
Lurah
Kudo Seto
Bagai
trembesi bergetah
Dengan
tenang menapak
Seluruh
tubuhnya merah.
Sampai
di teratak
Istri
rebah bergantungan pada kaki
Dan
pada anak lelakinya ia berkata:
-Anak
lanang yang tunggal!
Kubawakan
belati kepala penyamun bagimu
Ini,
tersimpan di daging dada kanan.[1]
Oleh:
Rendra.
Ballada
Lelaki Yang Terluka
Lelaki
yang luka
Biarkan
ia pergi, Mama!
Akan
disatukan dirinya
Dengan
angin gunung.
Sempoyongan
tubuh kerbau
Menyobek
perut sepi.
Dan
wajah para bunda
Bagai
bulan redup putih.
Ajal!
Ajal!
Betapa
pulas tidurnya
Direlung
pengap dalam!
Siapa
akan diserunya?
Siapa
leluhurnya?
Lelaki
yang luka
Melekat
di punggung kuda.
Tiada
sumur bagai lukanya.
Tiada
dalam bagai pedihnya.
Dan
asap belerang
Menyapu
kedua mata.
Betapa
kan dikenalnya bulan?
Betapa
kan bisa menyusu dari awan?
Lelaki
yang luka
Tiada
tahu kata dan bungah.
Pergilah
lelaki yang luka
Tiada
berarah, anak dari angin.
Tiada
tahu siapa dirinya
Didaki
segala gunung tua.
Siapa
kan beri akhir padanya?
Menapak
kaki-kaki kuda
Menapak
atas dada-dada bunda.
Lelaki
yang luka
Biarkan
ia pergi, Mama!
Meratap
di tempat-tempat sepi.
Dan
di dada:
Betapa
parahnya.[2]
Oleh.
Rendra.
Gerilya
Tubuh
biru
Tatapan
mata biru
Lelaki
terguling di jalan.
Angin
tergantung
Terkecap
pahitnya tembakau
Bendungan
kelu dan bencana.
Tubuh
biru
Tatapan
mata biru
Lelaki
tergulung di jalan.
Dengan
tujuh lubang pelor
Diketuk
gerbang langit
Dan
menyala mentari muda
Melepas
kasumatnya.
Gadis
berjalan di subuh merah
Dengan
sayur-mayur di punggung
Melihatnya
pertama.
Ia
beri jeritan manis
Dan
duka daun wortel.
Tubuh
biru
Tatapan
mata biru
Lelaki
terguling di jalan.
Orang-orang
kampung mengenalnya
Anak
janda berambut ombak
Ditimba
air bergantang-gantang
Disiram
atas tubuhnya.
Tubuh
biru
Tatapan
mata biru
Lelaki
terguling di jalan.
Lewat
gardu Belanda dengan berani
Berlindung
warna malam
Sendiri
masuk kota
Ingin
ikut ngubur ibunya.[3]
Oleh:
Rendra
Anak
Yang Angkuh
Betapa
dinginnya air sungai.
Dinginnya!
Dinginnya!
Betapa
dinginya daging luka
Yang
membaluti tulang-tulangku.
Hai,
anak!
Jangan
bersandar juga di pohon.
Masuklah,
anak!
Di
luar betapa dinginya!
(Di
luar angin menari putar-putar.
Si
anak meraba punggung dan pantatnya.
Pukulan
si bapak menimbulkan dendam).
Masih
terlalu kecil ia
Digemukkannya
dadanya kecil.
Amboi!
Si jagoan kecil
Menyusuri
sungai darah.
Hai,
anak!
Bara
di matamu dihembusi angin.
Masuklah,
anak!
Di
luar betapa dinginnya!
(Daun-daun
kecil pada gugur
Dan
jatuh atas rambutnya.
Si
anak jalanan tolak pinggang.
Si
jantan kecil dan angku).
Amboi,
ingusnya masih juga!
Mengapa
lelaki harus angkuh
Minum
dari puji dan rasa tinggi
Dihangati
darah yang kotor?
Hai,
anak!
Darah
ayah adalah di ototmu
Senyumlah
dan ayahmu akan lunak
Di
dada ini tak jagoan selain kau.
Dan
satu senyum tak akan mengkhianati kata darah,
Masuklah,
anak!
Di
luar betapa dinginya!
(Dengan
langit sutra hitam
Dan
reranting patah di kakinya
Si
anak membusung tolak pinggang
Kepala
tegak dan betapa angkunya!).[4]
Oleh:
Rendra
Di
Meja Makan
Ia
makan hati dan isi hati
Pada
mulut terkunya duka
Tatapan
matanya pada lain sisi meja
Lelaki
muda yang dirasa
Tidak
lagi dimilikinya.
Ruang
diributi jerit dada
Sambal
tomat pada mata
Melele
air racun dosa.
Dipeluknya
duka erat-erat
Dikurung
pada bisu mulut
Dan
mata pijar warna kesumba.
Lelaki
depannya mengisar hati
-
Sudah lama.
Terungkap
rahasia diperam rasa
Terkunci
pintu hati, hilang kuncinya
-
Sudah lama.
Ia
makan nasi dan isi hati
Pada
mulut terkunya duka
Memisah
sudah sebagian nyawanya
Di
hati ia duduk atas keranda.
Lalu
ditutup matanya gabak
Gambaran
yang digenggam olehnya:
Lelaki
itu terhantar di lantai kamar
Pisau
tertancap pada punggungnya.[5]
Oleh:
Rendra
Perempuan
Sila
Ia
terbaring di taman tua
Pestol
di tangan dan lubang di jidatnya.
Mereka
menemuinya tanpa dukacita
Dan
angin bau karat tembaga.
Mulutnya
menggigit berahi layu
Bunga
biru dan berbau.
Matanya
juga tidak pejam
Lain
mimpi, lain digenggam.
Ah,
tubunya! Ah, rambutnya!
Tempat
tidur tersia suami tua.
Bunga
bagai dia diasuh angin
Oleh
nasib jatuh ke riba lelaki tua dingin.
Nizar
yang menopangnya dari kelayuan
Perempuan
bagai bungah, lelaki bagai dahan.
Lelaki
muda itu bertolak tinggalkan dia
Tersisa
jantung dan hati dari timah.
Ia
terbaring di taman tua
Pestol
di tangan dan lubang di jidadnya.
Suaminya
yang tua berkata
-Farida,
engkau ini perempuan sial![6]
Oleh:
Rendra
Demikian
informasi sastra untuk kategori sastra moderen Indonesia. Rendra termasuk
sastrawan kelas atas di Indonesia. Semoga info ini bermanfaat bagi yang
mencintai sastra Indonesia, para pemerhati sastra, dan peneliti sastra. Kurang
dan lebihnya mohon maaf. Saya sendiri sedang belajar menulis dan merangkum
buku. Saran dan kritik yang membangun ditunggu.
Oleh:
Joni Apero
Editor. Desti. S.Sos
Foto. Dadang Saputra.
Palembang,
2018.
Sumber
dan Hak Cipta: Rendra. Ballada Orang-Orang Tercinta. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1999.
[1]Rendra, Ballada Orang-Orang Tercinta, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1999), h. 11-13.
[2]Rendra, Ballada Orang-Orang Tercinta,
h. 16-17.
[3]Rendra, Ballada Orang-Orang Tercinta,
h. 20-21.
[4]Rendra, Ballada Orang-Orang Tercinta,
h. 35-36.
[5]Rendra, Ballada Orang-Orang Tercinta, h. 39-40.
[6]Rendra, Ballada Orang-Orang Tercinta, h. 45-46.
Sy. Apero Fublic
Via
Sastra Moderen
Post a Comment