Budaya Daerah
Adat Peraturan dan Istilah Tujuh Keturunan
Apero Fublic.- Pada
masyarakat Melayu ada sistem adat tatacara memanggil seseorang. Orang yang
tidak mengikuti adat peraturan dalam memanggil orang di sebut tidak sopan atau
lebih tepatnya “kurang ajar” di istilahkan masyarakat. Oleh masyarakat adat ini
dinamakan Adat
Peraturan.
Tulisan ini disandarkan dengan tata cara panggilan dari daerah Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Mengikut sistem budaya setempat terutama di Kecamatan Sungai Keruh. Metode pengumpulan data adalah dengan wawancara, observasi sosial. Istilah-istilah juga sudah di Indonesiakan.
I. Adat Peraturan Umum.
Di maksud dengan adat peraturan umum adalah untuk adat peraturan memanggil atau menyapa orang yang tidak lagi terkait dengan istilah kekeluargaan lagi. Adat peraturan umum berlaku untuk semua masyarakat. Adat peraturan ini di ukur dengan umur. Batasan umur diambil dari ukuran umur dirinya (individu) dan umur orang tua.
Seperti, misalnya si A dalam pergaulan sehari-hari ditengah masyarakat. Si A berumur 25 tahun, dia bertemu seseorang di jalan. Misalnya orang yang dia temui lebih mudah darinya. Maka dia memanggil dengan adik. Seandainya jauh lebih mudah lagi dia akan memanggil dengan keponakan. Kalau orang yang dia temui itu berumur sedikit lebih tua darinya. Maka dia akan memanggil kakak.
Atau orang itu lebih tuah darinya dan lebih muda dari kedua orang tuanya. Maka dia memanggil dengan Paman atau Bibik. Kalau orang tersebut lebih tua dari kedua orang tuanya tapi lebih mudah dari kakek dan neneknya. Maka dia memanggil dengan panggilan Uwa. Kalau orang yang dia temui seumuran dengan kakek dan Neneknya dia juga memanggil dengan panggilan kakek atau nenek.
Adat peraturan umum ini juga disandarkan dengan status pernikahan. Misalnya orang tersebut belum menikah walau umurnya jauh lebih tua. Tapi tetap di panggil dengan kakak atau paman. Sebab orang yang belum menikah sepenuhnya belum dianggap dewasa oleh masyarakat. Adat peraturan umum dipergunakan untuk bermasyarakat secara luas.
II. Adat Peraturan Menurut Silsilah.
Di namakan adat peraturan silsilah karena saat orang tua mengajarkan anak atau cucunya memanggil keluarga atau sanak keluarganya sambil menjelaskan dari mana alasan dia memanggil seseorang. Misalnya seseorang itu dia panggil paman. Padahal orang itu bukan saudara kandung ibu atau ayahnya.
Maka dijelaskan kaitan silsilah orang tersebut. Misalnya, karena orang tersebut anak dari saudara kakeknya. Sehingga saat pemberitahuan itu seperti pengajaran silsilah keluarga. Adat peraturan menurut silsilah ini menggunakan dua kombinasi batasan.
Pertama, batasan umur dan kedua batasan keluarga yang di tuakan. Yang menggunakan batasa umur sama halnya seperti adat peraturan umum. Kakak dan Adik baik kandung atau sepupu dengan mengukur umur.
Kedua, adat peraturan menurut silsilah yang tidak mengukur umur. Di maksud tidak mengukur umur adalah saat seseorang berada di baris yang dituakan. Barisan yang dituakan seperti Kakek dan Nenek, Paman atau Bibik, Kakak dan Adik. Semisalnya si A punya adik perempuan menikah dengan seorang laki-laki yang umurnya lebih tua dari si A.
Maka suami adik si A memanggil si A dengan kakak Ipar. Semisalnya si A punya seorang paman atau bibi adik dari pihak ayahnya atau pihak ibu. Tapi umurnya lebih mudah dari si A. Si A tetap memanggil mereka dengan panggilan Paman atau Bibik. Begitupun dengan suami atau istri dari paman dan bibiknya.
Si A tetap memanggil dengan paman dan bibik juga. Seumpama lagi, misalnya ada orang lebih mudah dari kedua orang tuanya. Tapi dia adalah saudara kandung atau sepupu dari kekek atau neneknya. Maka si A tetap memanggil dia kakek atau nenek walaupun dia baru lahir kedunia (barisan keluarga yang dituakan).
Adat peraturan silsilah tidak hanya disandarkan pada silsilah keluarga saja. Tapi juga disandarkan pada kekerabatan, kekeluargaan, dan kedekatan. Misalnya seorang bertetangga: si A dan Si B bertetangga. Si A lebih tua dari si B. Maka si B memanggil si A dengan kakak.
Si A memanggil si B dengan Adik. Maka nantinya anak cucu si B akan mengikut peraturan tersebut. Anak si B akan memanggil si A dengan Uwa. Cucu si B memanggil si A dengan kakek, dan seterusnya. Begitupun sebaliknya dengan si A. Anak keturunan si A akan memanggil si B dengan paman. Cucu si A akan memanggil si B dengan panggilan Uwa, seterusnya.
Di zaman sekarang (2019) adat peraturan sudah mulai terkikis. Adat peraturan mulai silsilah mulai menyempit sebatas keluarga dekat saja. Adat peraturan juga tidak melihat dari jalur yang semestinya. Masyarakat cenderung bebas dan tidak lagi menggunakan adat peraturan. Hal yang memicu adalah karena sudah banyaknya penduduk. Silsilah tidak lagi terbaca.
Masyarakat kurang peduli dengan budaya, adat peraturan. Begitupun dengan generasi muda tidak mengenal lagi karena tidak ada pembelajaran dari orang tua. Kalau di kota bahkan lebih kacau lagi. Saya sering dipanggil nenek-nenek seumuran nenek saya saat belanja dengan panggilan Om. Atau ibu-ibu seumuran dengan ibu saya dengan panggilan Om. Geli rasanya dengan panggilan tersebut. Padahal aku seumuran dengan cucu dan anak-anaknya.
III. Panggilan Dalam Tujuh Keturunan
Tulisan ini disandarkan dengan tata cara panggilan dari daerah Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Mengikut sistem budaya setempat terutama di Kecamatan Sungai Keruh. Metode pengumpulan data adalah dengan wawancara, observasi sosial. Istilah-istilah juga sudah di Indonesiakan.
I. Adat Peraturan Umum.
Di maksud dengan adat peraturan umum adalah untuk adat peraturan memanggil atau menyapa orang yang tidak lagi terkait dengan istilah kekeluargaan lagi. Adat peraturan umum berlaku untuk semua masyarakat. Adat peraturan ini di ukur dengan umur. Batasan umur diambil dari ukuran umur dirinya (individu) dan umur orang tua.
Seperti, misalnya si A dalam pergaulan sehari-hari ditengah masyarakat. Si A berumur 25 tahun, dia bertemu seseorang di jalan. Misalnya orang yang dia temui lebih mudah darinya. Maka dia memanggil dengan adik. Seandainya jauh lebih mudah lagi dia akan memanggil dengan keponakan. Kalau orang yang dia temui itu berumur sedikit lebih tua darinya. Maka dia akan memanggil kakak.
Atau orang itu lebih tuah darinya dan lebih muda dari kedua orang tuanya. Maka dia memanggil dengan Paman atau Bibik. Kalau orang tersebut lebih tua dari kedua orang tuanya tapi lebih mudah dari kakek dan neneknya. Maka dia memanggil dengan panggilan Uwa. Kalau orang yang dia temui seumuran dengan kakek dan Neneknya dia juga memanggil dengan panggilan kakek atau nenek.
Adat peraturan umum ini juga disandarkan dengan status pernikahan. Misalnya orang tersebut belum menikah walau umurnya jauh lebih tua. Tapi tetap di panggil dengan kakak atau paman. Sebab orang yang belum menikah sepenuhnya belum dianggap dewasa oleh masyarakat. Adat peraturan umum dipergunakan untuk bermasyarakat secara luas.
II. Adat Peraturan Menurut Silsilah.
Di namakan adat peraturan silsilah karena saat orang tua mengajarkan anak atau cucunya memanggil keluarga atau sanak keluarganya sambil menjelaskan dari mana alasan dia memanggil seseorang. Misalnya seseorang itu dia panggil paman. Padahal orang itu bukan saudara kandung ibu atau ayahnya.
Maka dijelaskan kaitan silsilah orang tersebut. Misalnya, karena orang tersebut anak dari saudara kakeknya. Sehingga saat pemberitahuan itu seperti pengajaran silsilah keluarga. Adat peraturan menurut silsilah ini menggunakan dua kombinasi batasan.
Pertama, batasan umur dan kedua batasan keluarga yang di tuakan. Yang menggunakan batasa umur sama halnya seperti adat peraturan umum. Kakak dan Adik baik kandung atau sepupu dengan mengukur umur.
Kedua, adat peraturan menurut silsilah yang tidak mengukur umur. Di maksud tidak mengukur umur adalah saat seseorang berada di baris yang dituakan. Barisan yang dituakan seperti Kakek dan Nenek, Paman atau Bibik, Kakak dan Adik. Semisalnya si A punya adik perempuan menikah dengan seorang laki-laki yang umurnya lebih tua dari si A.
Maka suami adik si A memanggil si A dengan kakak Ipar. Semisalnya si A punya seorang paman atau bibi adik dari pihak ayahnya atau pihak ibu. Tapi umurnya lebih mudah dari si A. Si A tetap memanggil mereka dengan panggilan Paman atau Bibik. Begitupun dengan suami atau istri dari paman dan bibiknya.
Si A tetap memanggil dengan paman dan bibik juga. Seumpama lagi, misalnya ada orang lebih mudah dari kedua orang tuanya. Tapi dia adalah saudara kandung atau sepupu dari kekek atau neneknya. Maka si A tetap memanggil dia kakek atau nenek walaupun dia baru lahir kedunia (barisan keluarga yang dituakan).
Adat peraturan silsilah tidak hanya disandarkan pada silsilah keluarga saja. Tapi juga disandarkan pada kekerabatan, kekeluargaan, dan kedekatan. Misalnya seorang bertetangga: si A dan Si B bertetangga. Si A lebih tua dari si B. Maka si B memanggil si A dengan kakak.
Si A memanggil si B dengan Adik. Maka nantinya anak cucu si B akan mengikut peraturan tersebut. Anak si B akan memanggil si A dengan Uwa. Cucu si B memanggil si A dengan kakek, dan seterusnya. Begitupun sebaliknya dengan si A. Anak keturunan si A akan memanggil si B dengan paman. Cucu si A akan memanggil si B dengan panggilan Uwa, seterusnya.
Di zaman sekarang (2019) adat peraturan sudah mulai terkikis. Adat peraturan mulai silsilah mulai menyempit sebatas keluarga dekat saja. Adat peraturan juga tidak melihat dari jalur yang semestinya. Masyarakat cenderung bebas dan tidak lagi menggunakan adat peraturan. Hal yang memicu adalah karena sudah banyaknya penduduk. Silsilah tidak lagi terbaca.
Masyarakat kurang peduli dengan budaya, adat peraturan. Begitupun dengan generasi muda tidak mengenal lagi karena tidak ada pembelajaran dari orang tua. Kalau di kota bahkan lebih kacau lagi. Saya sering dipanggil nenek-nenek seumuran nenek saya saat belanja dengan panggilan Om. Atau ibu-ibu seumuran dengan ibu saya dengan panggilan Om. Geli rasanya dengan panggilan tersebut. Padahal aku seumuran dengan cucu dan anak-anaknya.
III. Panggilan Dalam Tujuh Keturunan
Mungkin
anda sering mendengar kata tujuh keturunan. Dari mana orang mengukur untuk
membuat istilah tujuh turunan. Susunan panggilan dalam sebutan tujuh keturunan
menurut adat Melayu. Sususnan ini diambil dari tengah keatas dan kebawa.
Susunan panggilan inilah yang sering di sebut dengan tujuh keturunan. Untuk susunan teratas adalah moneng-moneng. Moneng-moneng juga terletak di bawa cicit. Setelah cicit akan kembali menjadi moneng-moneng. Karena akan memulai tujuh keturunan baru. Maka kembali ke satu lagi. Berikut susunan tujuh keturunan.
1. Moneng-moneng.
2. Puyang.3. Kakek.
4. Ayah dan Ibu.
5. Anak.
6. Cucu.
7. Piyot (cicit).
1. Moneng-moneng.
IV. Pengertian Istilah Panggilan.
1. Moneng-Moneng adalah panggilan untuk puyang (kakek buyut) dari orang tua kita atau orang yang disejajarkan dengannya. Kemudian moneng-moneng juga diistilahkan untuk penyebutan anak dari cicit kita. Panggilan moneng-moneng memiliki dua fungsi teratas dan paling bawah dari hitungan tujuh keturunan.
2. Puyang adalah panggilan untuk kakek dari orang tua kita atau orang yang sejajar dengannya. 3. Kakek dan Nenek adalah panggilan untuk orang tua dari ibu bapak kita. Atau yang sejajar dengan kedudukannya. 4. Ayah dan Ibu panggilan untuk orang tua kita. 5. Uwa panggilan untuk orang yang lebih tua dari kedua orang tua kita tapi lebih muda dari kakek atau nenek kita.
6. Paman atau Bibik panggilan untuk orang yang lebih tua dari kita tapi lebih mudah dari kedua orang tua kita. 7. Kakak panggilan pada orang yang lebih tua dari kita. Pada masyarakat Melayu Sekayu panggilan kakak biasanya untuk panggilan kakak ipar laki-laki. 8. Adik panggilan untuk orang yang lebih muda dari kita. 9. Keponakan panggilan untuk anak dari saudara kita atau orang yang sejajar dengan generasinya.
10. Ayuk panggilan untuk kakak perempuan. Pada masyarakat Melayu Sekayu biasanya digunakan untuk panggilan kakak ipar wanita. 11. Cucu anak dari anak kita. 12. Cicit anak dari cucu kita. 13. Moneng-moneng anak dari cicit kita.
Oleh. Joni Apero.
Editor. Selita. S. Pd.
Palembang, 2 Agustus 2019.
Sember foto. Apero Fublic. Foto rumah panggung tipe basepat atau dikenal dengan sebutan rumah limas. Terletak di Desa Gajah Mati, Kecamatan Sungai Keruh Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Sember data: wawancara dengan warga masyarakat.
Susunan panggilan inilah yang sering di sebut dengan tujuh keturunan. Untuk susunan teratas adalah moneng-moneng. Moneng-moneng juga terletak di bawa cicit. Setelah cicit akan kembali menjadi moneng-moneng. Karena akan memulai tujuh keturunan baru. Maka kembali ke satu lagi. Berikut susunan tujuh keturunan.
1. Moneng-moneng.
2. Puyang.3. Kakek.
4. Ayah dan Ibu.
5. Anak.
6. Cucu.
7. Piyot (cicit).
1. Moneng-moneng.
IV. Pengertian Istilah Panggilan.
1. Moneng-Moneng adalah panggilan untuk puyang (kakek buyut) dari orang tua kita atau orang yang disejajarkan dengannya. Kemudian moneng-moneng juga diistilahkan untuk penyebutan anak dari cicit kita. Panggilan moneng-moneng memiliki dua fungsi teratas dan paling bawah dari hitungan tujuh keturunan.
2. Puyang adalah panggilan untuk kakek dari orang tua kita atau orang yang sejajar dengannya. 3. Kakek dan Nenek adalah panggilan untuk orang tua dari ibu bapak kita. Atau yang sejajar dengan kedudukannya. 4. Ayah dan Ibu panggilan untuk orang tua kita. 5. Uwa panggilan untuk orang yang lebih tua dari kedua orang tua kita tapi lebih muda dari kakek atau nenek kita.
6. Paman atau Bibik panggilan untuk orang yang lebih tua dari kita tapi lebih mudah dari kedua orang tua kita. 7. Kakak panggilan pada orang yang lebih tua dari kita. Pada masyarakat Melayu Sekayu panggilan kakak biasanya untuk panggilan kakak ipar laki-laki. 8. Adik panggilan untuk orang yang lebih muda dari kita. 9. Keponakan panggilan untuk anak dari saudara kita atau orang yang sejajar dengan generasinya.
10. Ayuk panggilan untuk kakak perempuan. Pada masyarakat Melayu Sekayu biasanya digunakan untuk panggilan kakak ipar wanita. 11. Cucu anak dari anak kita. 12. Cicit anak dari cucu kita. 13. Moneng-moneng anak dari cicit kita.
Oleh. Joni Apero.
Editor. Selita. S. Pd.
Palembang, 2 Agustus 2019.
Sember foto. Apero Fublic. Foto rumah panggung tipe basepat atau dikenal dengan sebutan rumah limas. Terletak di Desa Gajah Mati, Kecamatan Sungai Keruh Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Sember data: wawancara dengan warga masyarakat.
Sy. Apero Fublic
Via
Budaya Daerah
Post a Comment