Budaya Daerah
Menjemput Jodoh Dengan Adat Malarai
Apero Fublic.- Dalam
proses terjadinya pernikahan pada Masyarakat Melayu di Kabupaten Musi Banyuasin
ada tradisi adat untuk menuju pernikahan, yaitu adat malarai.
Sistem adat malarai ini sudah ada sejak zaman kesultanan.
Dalam penyebutan adat malarai terdiri dari beberapa sebutan.
Pertama, turun larai yang bermakna telah melakukan adat malarai seorang gadis dan perjaka. Pemasukan kata turun dirujukkan pada rumah-rumah masyarakat Melayu yang semuanya rumah panggung. Apabila penghuni rumah akan pergi, maka dia akan menuruni tangga. Kata turun juga bermakna melaksanakan langsung atau mengerjakan sendiri.
Sebagai contoh ada ungkapan kata turun “pemerintah diharapkan turun tangan dalam menyelesaikan komflik.” Begitupun kata turun dalam penyebutan turun larai memberi pesan bahwa anak mereka telah melaksanakan sendiri dalam menjemput jodohnya.
Anak gadis yang menika juga diistilahkan pergi dalam artian positif. Sedangkan kata Larai bermakna lari dalam bahasa Indonesia. Kata larai disini bukan berarti melarikan diri. Tapi bermakna mendatangi suatu tempat, yaitu rumah pemerintahan setempat. Sedangkan awalan kata Ma dalam bahasa Melayu bermakna sedang terjadi atau sedang melakukan.
Sehingga istilah malarai diartika secara harfiah adalah seorang laki-laki perjaka dan seorang perempuan gadis perawan yang sedang melakukan perjalanan, dari satu tempat ke tempat lain. Lalu mereka ingin menetap. Dalam artian ini adalah menikah atau berumah tangga.
Pada masa kesultanan, adat malarai mendatangi rumah penghulu, pesirah, atau depati. Kemudian menyatakan ingin menikah secara sah. Baru kemudian pemerintahan setempat memberitahu keluarga dan masyarakat bahwa telah dilaksanakan adat malarai.
Maka keluarga kedua belah pihak bermusyawara untuk menikahkan keduanya. Pada masa kemerdekaan ketika masuknya pengaru luar. Seperti pada zaman penjajahan Jepang masuknya sistem RT dan RW. Maka adat malarai juga kadang mendatangi rumah RT atau RW, Kepala Dusun, Kepala Desa.
Pada saat sekarang ketika administrasi pemerintahan desa telah lengkap. Maka adat malarai sering di rumah P3N (Pembantu Pegawai Pencatat Nikah), di setiap desa. Karena pernikahan berhubungan dengan hukum agama. Adat malarai terdiri dari dua kategori, yaitu adat malarai terang dan adat malarai raje.
I.Adat Malarai Raje.
Kata raje diartikan dalam bahasa Indonesia berarti raja. Raje atau raja dalam bahasa Melayu bukan hanya merujuk ke istilah raja yang memimpin sebuah kerajaan. Tapi kata raje atau raja bermakna juga dengan pemimpin. Tapi masuk dalam jalur tata pemerintahan. Misalnya Kepala Desa di sebut raje bermakna pemimpin desa.
Adat malarai raje adalah saat melaksanakan adat malarai pengantin wanita di titipkan di rumah pemerintahan setempat. Pengantin wanita belum boleh dijemput oleh pihak mempelai laki-laki sebelum ada keputusan musyawara antar keluarga. Keputusan musyawara misalnya pemberian syarat-syarat yang dipinta oleh keluarga mempelai wanita.
Seperti mahar, jojoh, dan perlengkapan adat istiadat. Kata mahar biasanya diganti dengan kata Mas Kawin. Jojoh adalah permintaan keluarga dan mempelai wanita berupa uang, emas, atau barang-barang. Sedangkan perlengkapan adat, seperti punjung, genti duduk, dan pelangkah. Punjung terdiri dua, punjung wali, dan punjung menta. Punjung wali terdiri dari masakan ayam yang tidak potong-potong (utuh).
Punjung mentah adalah ayam hidup yang dilengkapi perlengkapan masak, seperti bumbu. Punjung wali diberikan saat acara akad nikah. Sedangkan punjung mentah diberikan saat mengantar jojoh, mahar, dan pelangkah. Pelangkah diberikan seandainya si mempelai wanita mendahului kakaknya (laki-laki atau perempuan).
II.Adat Malarai Terang.
Malarai Terang adalah pembedaan saja dari adat malarai raje. Kata Terang bermakna jelas, memberitahu, tidak sembunyi-sembunyi. Adat malarai terang dalam pelaksanaannya tidak menitipkan mempelai wanita di tempat pemerintah setempat. Setelah mereka melapor dan menyatakan ingin menika, malarai.
Kemudian adminitrasi mereka diterima pemerintahan setempat. Mereka dinyatakan menjadi sepasang pengantin. Maka mempelai wanita kembali pulang kerumah orang tuanya. Baru kemudian keluarga keduabelah pihak bermusyawarah untuk melangsungkan pernikahan. Akad nikah dilakukan di rumah mempelai wanita.
Adat malarai terang hanya bentuk pengikatan agar pernikahan terjadi walaupun dalan keadaan sesederhana apapun. Malarai terang hampir sama dengan proses lamaran. Hanya saja melibatkan pemerintah setempat terlebih dahulu. Karena kedua pengantin khawatir keinginan mereka menikah dipersulit keluarga mereka.
Kebaikan adat malarai terang adalah tidak terburu-buru dalam proses pemenuhan syarat pernikahan. Kedua belah pihak akan merasa aman dan tidak merasa malu karena mempelai wanita di rumah orang tuanya. Sedangkan kerugian adat malarai raje adalah terburu-burunya dalam pemenuhan syarat-syarat yang dipinta keluarga mempelai wanita.
Sering syarat diadakan hanya separu dari yang diminta. Saat pengantin atau anak mereka masih di rumah pemerintahan setempat. Orang tua mempelai laki-laki akan panik mencari uang untuk syarat. Sehingga sering menjual cepat apa saja yang mereka miliki. Begitupun dengan keluarga mempelai wanita selain malu juga khawatir anak perempuan mereka di rumah orang (pemerintah setempat).
Adat malarai sesungguhnya hanya untuk penegasan dan pengikatan untuk menuju pernikahan. Namun dalam konsekkuensinya setelah melaksanakan adat malarai. Apabila tidak dinikahkan atau pernikahan mereka batal. Sehingga si gadis akan rusak nama baiknya di mata masyarakat.
Masyarakat dan para pemuda akan mensejajarkan si gadis dengan janda. Si gadis akan malu dan merasa rendah diri. Bahkan kadang si gadis tidak ada lagi pemuda atau bujang yang mau mendekatinya. Anggapan tidak suci atau bekas orang akan dicap pada si gadis yang batal menikah setelah melaksanakan adat malarai.
Dengan demikian, mau tidak mau, setelah melaksanakan adat malarai keluarga perempuan cenderung mengalah. Karena yang penting adalah anak mereka jadi menikah dengan pengantin laki-laki. Hal yang diharapkan dari kedua mempelai keluarga mereka tidak mempersulit jalan pernikahan mereka.
Oleh. Joni Apero
Editor. Desti. S. Sos.
Palembang, 2 Agustus 2019.
Sumber wawancara dengan tetua desa, di Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Sumber foto. Apero Fublic. Lokasi Dusun Lama Desa Gajah Mati. Rumah panggung tipe malamban.
Pertama, turun larai yang bermakna telah melakukan adat malarai seorang gadis dan perjaka. Pemasukan kata turun dirujukkan pada rumah-rumah masyarakat Melayu yang semuanya rumah panggung. Apabila penghuni rumah akan pergi, maka dia akan menuruni tangga. Kata turun juga bermakna melaksanakan langsung atau mengerjakan sendiri.
Sebagai contoh ada ungkapan kata turun “pemerintah diharapkan turun tangan dalam menyelesaikan komflik.” Begitupun kata turun dalam penyebutan turun larai memberi pesan bahwa anak mereka telah melaksanakan sendiri dalam menjemput jodohnya.
Anak gadis yang menika juga diistilahkan pergi dalam artian positif. Sedangkan kata Larai bermakna lari dalam bahasa Indonesia. Kata larai disini bukan berarti melarikan diri. Tapi bermakna mendatangi suatu tempat, yaitu rumah pemerintahan setempat. Sedangkan awalan kata Ma dalam bahasa Melayu bermakna sedang terjadi atau sedang melakukan.
Sehingga istilah malarai diartika secara harfiah adalah seorang laki-laki perjaka dan seorang perempuan gadis perawan yang sedang melakukan perjalanan, dari satu tempat ke tempat lain. Lalu mereka ingin menetap. Dalam artian ini adalah menikah atau berumah tangga.
Pada masa kesultanan, adat malarai mendatangi rumah penghulu, pesirah, atau depati. Kemudian menyatakan ingin menikah secara sah. Baru kemudian pemerintahan setempat memberitahu keluarga dan masyarakat bahwa telah dilaksanakan adat malarai.
Maka keluarga kedua belah pihak bermusyawara untuk menikahkan keduanya. Pada masa kemerdekaan ketika masuknya pengaru luar. Seperti pada zaman penjajahan Jepang masuknya sistem RT dan RW. Maka adat malarai juga kadang mendatangi rumah RT atau RW, Kepala Dusun, Kepala Desa.
Pada saat sekarang ketika administrasi pemerintahan desa telah lengkap. Maka adat malarai sering di rumah P3N (Pembantu Pegawai Pencatat Nikah), di setiap desa. Karena pernikahan berhubungan dengan hukum agama. Adat malarai terdiri dari dua kategori, yaitu adat malarai terang dan adat malarai raje.
I.Adat Malarai Raje.
Kata raje diartikan dalam bahasa Indonesia berarti raja. Raje atau raja dalam bahasa Melayu bukan hanya merujuk ke istilah raja yang memimpin sebuah kerajaan. Tapi kata raje atau raja bermakna juga dengan pemimpin. Tapi masuk dalam jalur tata pemerintahan. Misalnya Kepala Desa di sebut raje bermakna pemimpin desa.
Adat malarai raje adalah saat melaksanakan adat malarai pengantin wanita di titipkan di rumah pemerintahan setempat. Pengantin wanita belum boleh dijemput oleh pihak mempelai laki-laki sebelum ada keputusan musyawara antar keluarga. Keputusan musyawara misalnya pemberian syarat-syarat yang dipinta oleh keluarga mempelai wanita.
Seperti mahar, jojoh, dan perlengkapan adat istiadat. Kata mahar biasanya diganti dengan kata Mas Kawin. Jojoh adalah permintaan keluarga dan mempelai wanita berupa uang, emas, atau barang-barang. Sedangkan perlengkapan adat, seperti punjung, genti duduk, dan pelangkah. Punjung terdiri dua, punjung wali, dan punjung menta. Punjung wali terdiri dari masakan ayam yang tidak potong-potong (utuh).
Punjung mentah adalah ayam hidup yang dilengkapi perlengkapan masak, seperti bumbu. Punjung wali diberikan saat acara akad nikah. Sedangkan punjung mentah diberikan saat mengantar jojoh, mahar, dan pelangkah. Pelangkah diberikan seandainya si mempelai wanita mendahului kakaknya (laki-laki atau perempuan).
II.Adat Malarai Terang.
Malarai Terang adalah pembedaan saja dari adat malarai raje. Kata Terang bermakna jelas, memberitahu, tidak sembunyi-sembunyi. Adat malarai terang dalam pelaksanaannya tidak menitipkan mempelai wanita di tempat pemerintah setempat. Setelah mereka melapor dan menyatakan ingin menika, malarai.
Kemudian adminitrasi mereka diterima pemerintahan setempat. Mereka dinyatakan menjadi sepasang pengantin. Maka mempelai wanita kembali pulang kerumah orang tuanya. Baru kemudian keluarga keduabelah pihak bermusyawarah untuk melangsungkan pernikahan. Akad nikah dilakukan di rumah mempelai wanita.
Adat malarai terang hanya bentuk pengikatan agar pernikahan terjadi walaupun dalan keadaan sesederhana apapun. Malarai terang hampir sama dengan proses lamaran. Hanya saja melibatkan pemerintah setempat terlebih dahulu. Karena kedua pengantin khawatir keinginan mereka menikah dipersulit keluarga mereka.
Kebaikan adat malarai terang adalah tidak terburu-buru dalam proses pemenuhan syarat pernikahan. Kedua belah pihak akan merasa aman dan tidak merasa malu karena mempelai wanita di rumah orang tuanya. Sedangkan kerugian adat malarai raje adalah terburu-burunya dalam pemenuhan syarat-syarat yang dipinta keluarga mempelai wanita.
Sering syarat diadakan hanya separu dari yang diminta. Saat pengantin atau anak mereka masih di rumah pemerintahan setempat. Orang tua mempelai laki-laki akan panik mencari uang untuk syarat. Sehingga sering menjual cepat apa saja yang mereka miliki. Begitupun dengan keluarga mempelai wanita selain malu juga khawatir anak perempuan mereka di rumah orang (pemerintah setempat).
Adat malarai sesungguhnya hanya untuk penegasan dan pengikatan untuk menuju pernikahan. Namun dalam konsekkuensinya setelah melaksanakan adat malarai. Apabila tidak dinikahkan atau pernikahan mereka batal. Sehingga si gadis akan rusak nama baiknya di mata masyarakat.
Masyarakat dan para pemuda akan mensejajarkan si gadis dengan janda. Si gadis akan malu dan merasa rendah diri. Bahkan kadang si gadis tidak ada lagi pemuda atau bujang yang mau mendekatinya. Anggapan tidak suci atau bekas orang akan dicap pada si gadis yang batal menikah setelah melaksanakan adat malarai.
Dengan demikian, mau tidak mau, setelah melaksanakan adat malarai keluarga perempuan cenderung mengalah. Karena yang penting adalah anak mereka jadi menikah dengan pengantin laki-laki. Hal yang diharapkan dari kedua mempelai keluarga mereka tidak mempersulit jalan pernikahan mereka.
Oleh. Joni Apero
Editor. Desti. S. Sos.
Palembang, 2 Agustus 2019.
Sumber wawancara dengan tetua desa, di Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Sumber foto. Apero Fublic. Lokasi Dusun Lama Desa Gajah Mati. Rumah panggung tipe malamban.
Sy. Apero Fublic
Via
Budaya Daerah
Post a Comment