Cerpen
Sy. Apero Fublic
Belada Cinta Putri Pertama: Orang Tua dan Keluarganya
Apero
Fublic.- Beteng Kuto Besak berdiri kokoh menjadi saksi sejarah di tengah
Kota Palembang. Jembatan Ampera melintang menyatukan kedua sisi tebing Sungai
Musi. Di atas jembatan laju kendaraan bermotor bagaikan aliran air yang deras.
Ombak dan angin berpadu di tebing sungai yang sudah diperkeras dengan beton.
Kapal-kapal berlalu memeca gelombang. Tugu Ikan Belidah seakan menjadi penjaga
benteng Kuto Besak yang perkasa. Warung empek-empek terapung terombang-ambing
di tepian sungai, dipermainkan ombak. Azan berkumandang dari Masjid Agung
Palembang tanda waktu shalat ashar datang.
Tempat wisata Benteng Kuto Besak adalah tempat bersantai masyarakat Kota
Palembang. Di bibir tebing Sungai Musi berdiri dua orang insan manusia. Seorang
pemuda berpenampilan rapi. Memakai kemeja lengan panjang berwarna putih polos,
celana dasar kain berwarna coklat, berkopiah, namanya Khalid. Si
gadis memakai gamis hitam dan berhijab syairah warna merah panta, namanya
Haifah. Berdiri menghadap Sungai Musi.
Keduanya berkenalan sebagai
sahabat beberapa bulan lalu, tidak pacaran. Berjarak sekitar sepuluh meter dari
keduanya, tiga orang gadis juga berbusana islami menemani perbincangan mereka.
Banyak juga pengujung datang berlalu lalang, ada pengamen. Khalid dan Haifah,
keduanya berkomitmen untuk menikah. Di akhir perbincangan itu, Khalid berjanji
pada Haifah.
“Syarat
itu Kakak sanggupi. Kakak berjanji, “insyaa Allah akan mendukung adik berbakti
kepada kedua orang tua adik. Kakak mengerti tugas adik sebagai anak sulung.
Kedua orang tua kakak masih kuat, dan ada Kakak Hasim yang menjaga dan mengurus
mereka. Jadi Kakak tidak terlalu terbebani dalam mengurus kedua orang tua
kakak. Mungkin kita sekali-sekali datang berkunjung mengantar belanja.” Setelah
perbincangan selesai maka mereka berlima menuju Masjid Agung Palembang untuk
shalat ashar.
Waktu berlalu. Khalid dan keluarga datang melamar ke rumah Haifah di
Kelurahan Talang Betutu. Akad nikah dilaksanakan di Masjid Al-Hijrah di
Kelurahan Talang Betutu, Kota Palembang tidak jauh dari rumah Haifah.
Pernikahan yang sederhana namun istimewa. Keluarga dan undangan datang memberi
selamat. Keduanya sah menjadi suami istri. Sebagaimana janji Khalid sebelumnya,
maka mereka tinggal di rumah orang tua Haifah. Haifah tiga bersaudara, dia anak
sulung. Dua adiknya, Kahani dan Sammah sudah lebih dulu menikah di tahun lalu.
Waktu berjalan terasa cepat sekali. Tahun demi tahun, sekarang Haifah
memiliki tiga orang anak. Anak tertua laki-laki bernama Amir. Dua lagi
perempuan Zulaihak dan Kinanti. Khalid bekerja di sebuah pabrik roti, gajinya
hanya dua juta lima ratus ribu rupiah sebulan. Sehingga Haifah harus hemat
dalam mengatur keuangan keluarga. Ongkos kerja Khalid, biaya makan keluarga,
bayar listrik, air, biaya sekolah anak-anak, dan lain-lainnya. Sehingga Haifah
sangat mengatur keuangan dengan cermat.
Karena memang uang gaji suaminya
pas-pasan. Haifah sangat sibuk sekarang, semua pekerjaan rumah dia yang
menyelesaikan. Dari membersihkan halaman, membersihkan rumah, mencuci pakaian
keluaraga, pakaian anak, suami, dan kedua orang tuanya. Memasak, mencuci
piring, menghidangkan makanan, belanja. Bertambah sibuk kalau di bulan puasa,
sebab dia akan mengurus sahur dan berbuka sedangkan dia juga berpuasa.
Sepanjang waktu, pekerjaan itu dilakoni Haifah dengan sabar. Berbakti pada
suami dan berbakti pada kedua orang tua.
Satu minggu sebelum idul fitri di tahun 1435 Hijriyah. Kahani, suami dan
tiga anaknya pulang kampung. Suami Kahani seorang PNS di Kota Bandung, darah
Aceh. Kahani pulang, dia memberikan banyak hadiah pada ayah dan ibunya. Saat
itu mereka juga begitu perhatian dengan orang tua mereka.
Ketika mau kembali ke
Kota Bandung mereka memberikan uang satu juta rupiah pada sang ibu. Betapa
gembiranya ayah dan Ibu Haifah. Mereka bangga dan membanggakan Kahani pada
semua orang di Kampung mereka, Talang Betutu. Haifah mendengar itu, dia pun
merasa bahagia juga. Karena rumah mereka di Talang Betutu dekat dengan Bandara
SMB II. Maka kedua orang tua Haifah menjemput saat datang dan mengantar saat
kembali.
Dua bulan bulan kemudian, Lebaran Idul Adha juga tiba. Kali ini Sammah,
suami dan dua anaknya juga pulang. Perlakuan Sammah seperti Kahani. Banyak
memberikan hadiah, jalan-jalan di Kota Palembang. pada saat mau kembali ke
Jakarta mereka juga memberikan uang satu juta rupiah. Ayah dan Ibu Haifah
merasa bangga dan menceritakan semua itu pada tetangga dan masyarakat di
kampung mereka. Ibu Haifah membandingkan Kahani, Sammah dengan Haifah dan
suaminya. Haifah, tidak pernah membelikan mereka hadiah dan uang jutaan seperti
kedua anak mereka itu.
Tahun berlalu, kembali seperti semulah. Kali ini Sammah dan keluarganya
yang pulang kampung saat lebaran idul fitri, 1436 Hijriyah. Keluarga Kahani
juga yang pulang di lebaran idul adha, bergantian. Sama seperti pulang kampung
sebelumnya. Mereka memberikan hadiah, dan memberikan uang saat akan kembali.
Namun dibalik semua itu, Haifah juga pontang panting menanggung biayah semua
keluarga saat menjelang lebaran. Tetapi alhamdulillah Haifah dapat menutupinya.
Ayah dan Ibu Haifah tida menyadari itu.
Sekarang Ibu Haifah merasa tidak suka dengan Haifah. Dia menganggap
Haifah pelit dan tidak sebaik kedua anaknya. Menurut pemikiran ayah dan ibu
Haifah. Kedua anaknya Kahani dan Sammah begitu baik. Memanjakan mereka dan
perhatian sekali. Termakan pemikiran itu, perlahan-lahan Ibu dan Ayah Haifah
mulai tidak suka dengan Haifah, dan keluarganya. Mereka ingin salah seorang
dari Kahani atau Sammah tinggal dengan mereka. Sebab mereka baik, perhatian dan
melayani mereka dengan sangat lembut. Sangat berbeda dengan cara Haifah, yang
pendiam dan selalu bekerja.
Tibalah batas kesabaran ibu Haifah, sehingga sedikit cekcok dengan
Haifah. Waktu itu, sore hari sekitar pukul tiga sore. Permasalahannya sepelah
sekali, karena Haifah memarahi anak sulungya yang selalu bermain lupa waktu.
Suara keras Haifah membuat ibu Haifah marah. Waktu itu emosi Haifah sedang
naik. Ibu dan Ayah Haifah merasa terganggu dan tidak tenang. Waktu itu, tekanan
pekerjaan dan rasa capek membuat emosi Haifah labil. Akhir dari kata-kata Ibu
Haifah waktu itu kurang baik, entah apakah salah pengertian.
“Sudah,
cukup !!!, aku tidak tahan lagi bersama kalian.” Kata ibu Haifah marah dalam
pembicaraan sore itu. Pernyataan itu membuat hati Haifah hancur. Secara halus
kalau ibunya meminta Haifah untuk pindah. Haifah merasa kalau ibunya mengusir
mereka secara halus. Air mata Haifah mengucur deras. Saat Haifah melihat
ayahnya hanya diam.
Penilaian Haifah kalau ayahnya juga menyetujui. Yang paling
sedih lagi, ketika Haifah melihat suaminya yang tertunduk diam. Namun suaminya
tidak berkata apa-apa. Ada wajah malu dan sedih yang Haifah tangkap dari raut
wajah yang mulai tidak terawat lagi itu. Kulit tubuh suaminya sudah agak gelap
sekarang. Pulang dari pabrik sore hari, setelah magrib dia juga menjadi Driver
Gojek.
Haifah terdiam, semua diam, kemudian Ibu Haifah pergi keluar rumah entah
kemana. Haifah bangkit perlahan kekamarnya dan berbaring. Air matanya berlinang
menetes tidak mau berhenti. Ayah Haifah keluar rumah, lelaki pensiunan PNS ini
mengambil sapu dan menyapu halaman rumah. Tinggal suami Haifah yang duduk
tenang sambil minum kopi. Tak berapa lama kemudian dia masuk kamar menghampiri
Haifah.
“Sudah,
jangan bersedih hati. Mungkin ibu sedang emosi dan marah saja. Jangan diambil
hati. Jangan pulah salah mengartikan, mereka orang tua Adik.” Hibur Khalid.
“Tidak
Kak, adik sudah mengerti sekarang. Maafkan aku yang telah membuat kakak kecewa.
Aku beruntung mendapat suami yang sesabar Kakak. Aku tahu kakak berkata begitu
karena Kakak ingin menepati janji kakak dahulu. Aku menyesal mengajukan syarat
itu.
Dimana meminta kakak membantu aku menjaga ayah dan ibu sampai mereka
dipanggil Allah. Aku menyayangi mereka dan ingin berbakti. Jerih payah Kakak
tidak dihargai mereka.”
Kata Haifah sambil menangis, kemudian suaminya memeluk
Haifah. Khalid sesungguhnya sangat tersinggung. Sebagai laki-laki dia memiliki
harga diri. Tapi dia tidak mempersoalkan itu.
Tanpa mereka sadari ayah Haifah
mendengar percakapan mereka. Waktu itu sedang memungut sampah di samping kamar
Haifah. Ayah Haifah tahu alasannya mengapa suami Haifah tidak membawa Haifah
dan anak-anaknya pindah rumah. Biasanya adat orang Melayu pantang tinggal di
tempat mertua.
Orang bilang anak yang sudah menikah akan mudah tersinggung.
Berbeda ketika mereka belum menikah. Benar, begitulah Haifah juga sangat
tersinggung sekali. Haifah dihantui rasa bersalah karena tinggal di rumah orang
tuanya. Haifah merasa malu, sedih. Dia juga kecewa dengan jerih panyahnya
selama ini.
Keluarganya terasa memberatkan atau mengganggu ketenangan kedua
orang tuanya. Apalagi sekarang dia sedang hamil anak keempat mereka. Satu
minggu kemudian, Haifah, suami dan tiga anaknya pindah kesebuah kontrakan
berjarak puluhan kilometer dari rumah ibunya, Talang Jambi. Sebelum pergi
Haifah membersikan halaman dan bagian dalam rumah. Mencucikan pakaian ayah dan
ibunya. Haifah juga memasak untuk yang terakhir kalinya.
Sebagai anak sulung
dia merasa bertanggung jawab pada kedua orang tuanya, apa hendak dikata
pikirnya. Waktu berjalan cepat, bulan dan tahun berlalu. Suami Haifah dipindah
tugaskan ke Kota Sekayu. Sebuah kota kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan.
Tiga tahun berlalu, menjelang bulan ramadhan 1440 Hijriyah. Ibu Haifah
menelpon anak keduanya, Kahani. Bertanya apakah mereka pulang dilebaran tahun
ini. Kahani bilang karena sudah tiga kali lebaran pulang ke Palembang maka
lebaran ini mereka pulang ke rumah mertua, di Aceh.
Kemudia menelpon anak
bungsunya, Sammah. Sammah juga tidak pulang ke Palembang. Alasannya sama dengan
Kahani, giliran pulang ke tempat mertua. Sudah tiga kali ramadhan dan lebaran
terasa sepi bagi ayah dan ibu Haifah. Pernah diawal ramadhan Khalid datang
mengantar belanja. Di sepuluh lebaran juga datang mengantar belanja. Keadaan
sepi berlanjut di rumah Ibu Haifah, sampai idul fitri dan idul Adhah.
Suatu malam, Kahani menelpon kalau mereka sekarang telah pindah permanen
di Provinsi Aceh. Karena pengajuan pindah suaminya di setujui pemerintah. Aceh
tanah kelahiran suaminya. Suatu ketika Sammah juga menelpon. Suami Sammah juga
pindah ke Sumatera Utara dan menetap di daerah tanah kelahiran suaminya,
Kabupaten Deli Serdang. Sebagai guru PNS di sebuah Sekolah Menenga Atas. Maka
mereka akan sulit pulang ke Palembang lagi, karena jauh.
Sore itu, suasana mendung, hujan ringan turun membasahi bumi. Suara air
hujan jatuh di teratak atap terdengar riuh. Ibu Haifah duduk merenung di teras
rumah. Lamunannya tenggelam ke puluhan tahun lalu. Dia melihat halaman kotor
oleh sampa dedaunan. Sekarang Ibu Haifah tidak dapat menyapu halaman rumah tiga
kali seminggu sebagaimana Haifah.
Terasa sakit pinggangnya. Daun jambu, daun
sawo, dan daun bunga-bunga yang jatuh tiap hari. Haifah dari umur lima tahun
sudah pandai menyapu halaman rumah. Haifah kecil selalu berhijab sedari Sekolah
TK. Haifah tidak ingin ayah dan ibunya masuk neraka karena dia tidak menutup
aurat. Itulah yang diajarkan ustazah di sekolah. Beranjak remaja Haifah sudah
pandai mengurus rumah. Membersihkan perabotan, mencuci pakaian, dan memasak.
Haifah begitu sayang pada ayah dan ibunya.
Dia tumbuh menjadi wanita mandiri. Air mata Ibu Haifah menetes perlahan
di kedua belah pipinya yang keriput itu. Ayah Haifah datang membawa dua cangkir
teh, dan duduk di samping Ibu Haifah. Melihat istrinya meneteskan air mata.
Ayah Haifah mengerti tentang perasaan dan pikiran istrinya. Bukan menangis
karena halaman yang kotor dan berserakan itu. Tapi karena pada sosok anak kecil
yang suka menyapu halaman itu, Haifah. Putri sulung yang bertanggung jawab
seperti anak lelaki. Ayah Haifah menarik nafas dalam dan matanya juga
berkaca-kaca.
Ayah Haifah menceritakan dengan istrinya mengapa Haifah dan
suaminya tetap tinggal dirumah mereka setelah menikah. Tidak pindah rumah
sebagaimana pernikahan anak-anak perempuan lainnya. Karena salah satu syarat
diterimanya lamaran Khalid oleh Haifah. Khalid harus mendukung Haifah berbakti
pada kedua orang tuanya.
Ibu Haifah bertambah terharu mendengar cerita suaminya. Kakek Nenek yang
sudah berumur enampuluhan tahun itu sekarang hidup kesepian. Satu minggu
kemudian Ibu Haifah jatuh sakit. Sudah lebih satu minggu tidak bangun dari
pembaringan. Ayah Haifah menelpon putri bungsunya Sammah.
Sammah bilang kalau
dia tidak dapat pulang sebab suaminya sedang bertugas studi banding pendidikan
dari DIKNAS. Begitupun saat menelpon Kahani, dia tidak dapat pulang karena
sudah menetap di Aceh. Ongkos ke Palembang dengan pesawat terbang hampir
sama dengan gaji satu bulan suaminya. Kalau naik bus akan memakan waktu tiga
hari tiga malam.
Maka tidak mungkin pulang sekarang kalau belum penting sekali.
Ingin Ayah Haifah menelpon Haifah. Tapi dia merasa tidak enak dan merasa malu
pada anak sulung mereka itu. Dalam minggu itu, Ayah Haifah sendiri merawat ibu
Haifah. Sekarang seisi rumah tambah terbengkalai. Semua sudah tambah tidak
terurus lagi.
Khalid datang menengok keadaan mertuanya bulan ini. Membawa oleh-oleh
dari Kota Sekayu, ikan kering, pede, tempoyak,
buah duku, durian. Saat sampai di rumah mertuanya, Khalid melihat halaman
sangat kotor, sampah berserakan dimana-mana. Rumah nampak redup dan
tidak terawat. Khalid mengetuk pintu, dan mengucap salam. Tidak lama kemudian
ayah mertuanya membuka pintu. Melihat Khalid yang datang matanya langsung
berkaca-kaca. Dia melihat-lihat keluar, berharap kalau Haifah juga ikut.
Khalid
menyalimi tangan mertuanya, dan bertanya kabar keduanya. Mertua Khalid tidak
berkata-kata, dia menyembunyikan rasa terharunya. Kemudian menunjuk ke kamar,
dan melangkah masuk kamar. Khalid melihat mertua perempuanya terbaring
berselimut tebal. Badannya sudah kurus dan matanya tertutup. Khalid menjadi
khawatir dan dia duduk di pinggir pembaringan.
“Ibu,
kenapa? Apa ibu sakit? Mengapa tidak memberi kabar!!!.
Mata berkeriput itu membuka. Menatap Khalid beberapa saat, kemudian mata
rabun itu mengeluarkan air mata. Khalid menjadi sedih dan terharu. Kembali
Khalid bertanya apakah ibu mertuanya sakit. Jawaban lembut dari mertuanya.
“Tidak apa-apa, hanya demam.” Khalid ingin membawa ke bidan, tapi mertuanya
menolak. Kemudian dia bertanya bagaimaan kabar Haifah dan anak-anak Khalid.
Khalid menceritakan bahwa keadaan mereka baik dan sekarang Haifah sudah
mengajar di salah satu sekolah PAUD di Kota Sekayu. Kemudian dengan berlinang
air mata, dia berpesan pada Khalid agar menyampaikan pesan permintaan maaf pada
Haifah. Menjelang sore Khalid pulang ke Kota Sekayu dan tiba pukul delapan
malam. Khalid menceritakan keadaan ibu dan ayahnya membuat hati Haifah terpukul
dan sedih sekali. Air matanya tidak terbendung dan dia menangis meraung.
Keesokan harinya, Haifah dan empat anaknya berangkat ke Kota Palembang.
Sesampai di rumah Haifah memeluk ayah dan ibunya. Mereka semua menangis
haru dan bahagia. Anak Haifah, dan tiga adiknya bermain dan menyapu halaman
rumah. Lalu membakar sampah dan halaman menjadi bersih. Haifah juga
membersihkan rumah dan mencuci semua pakaian dan perabotan rumah. Rumah yang
beberapa tahun sepi dan beku tiba-tiba menyalah.
Suara ramai anak-anak Haifah
bermain seperti irama yang merdu di telinga kedua orang tua Khaifah. Begitupun
saat suara orang sibuk memasak dengan suara-suara alat dapur beradu. Ayah dan
Ibu Khaifah baru sadar sekarang. Di usia senja mereka bukan harta, bukan uang,
bukan sanjungan semu. Tapi kasih sayang yang hangat yang ikhlas dari anak dan
cucu-cucunya. Kebaikan bukan berupa hadiah, bukan beberapa lembar uang.
“Haifah,
seandainya ibu telah menyakiti hatimu. Ibu memohon padamu agar maafkan ibu.
Agar ibu tenang seandainya Allah memanggil ibu.” Kata Ibu Haifah memohon.
Haifah berkata dia tidak pernah merasa marah dan benci dengan ayah dan
ibunya. Dia hanya menghormati dan menghargai jerih paya suaminya. Suaminya
sudah bekerja keras dan relah mengurus ayah dan ibunya. Jarang ada menantu yang
baik dan shaleh seperti Khalid.
Ayah dan Ibu Haifah mengerti betapa sulitnya
Khalid, bekerja seharian kemudian menarik Gojek di malam hari untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Wajar saja kalau Haifah tidak pernah memberi uang jutaan
sekali waktu, sebab semua kebutuhan hidup mereka yang menanggung. Haifah selalu
memuliakan ibunya. Kemudian Haifah berkata.
“Ibu
mau makan apa? gado-gado? atau kue bolu kesukaan ibu? Nanti Haifah bikinkan.”
Tanya Haifah. Lama Ibu Haifah terdiam, kemudian dia berkata.
“Ibu
meminta, pulanglah, hantarkan masa tua kami dengan damai. Ibu beruntung sekali,
memiliki putri yang berhati mulia sepertimu, dan menantu yang baik, ibu telah
salah menilai.” Jawab Ibu Haifah dengan haru. Haifah memandang ke ayahnya yang
duduk di sisi kanan ibunya. Wajah tua yang dulu kencang sekarang sudah keriput.
Rambut yang putih dan sudah tumbuh menipis.
Terkenang puluhan tahun lalu
bagaimana sang ayah sering menggendongnya dengan kasih sayang. Haifah juga
melihat mata ayahnya berkaca-kaca pertanda dia juga terharu. Haifah tidak tega
menolak permintaan kedua orang yang sangat dia cintai itu, tangisnya pecah.
Haifah mengiyahkan tapi dia ingin bermusyawara pada Khalid terlebih dahulu.
Khalid yang shaleh dan baik itu menyetujui. Betapa bahagianya Haifah memiliki
suami yang sangat baik dan pengertian itu. Dua minggu kemudian Haifah dan
anak-anaknya datang pulang, kembali kerumah orang tuanya. Khalid untuk
sementara sendiri tetap di Kota Sekayu sampai perpindahannya di setujui
perusahaan tempat dia bekerja. Sejak saat itu, Keluarga Khaifah kembali hidup
bersama berbahagia.
Oleh.
Joni Apero.
Editor.
Desti. S.Sos.
Palembang,
27 Agustus 2019.
Via
Cerpen
Post a Comment