Budaya Daerah
Uwang atau waang, di sebagian besar Pulau Sumatera berarti manusia. Secara bahasa kata Pu menggambarkan tempat atau landasan tumpuan. Selain itu, kata Pu juga merujuk pada tempat ketinggian, po'cok atua pucuk. Pu juga bermakna utama atau awal. Kata pu juga bentuk penyederhanaan dari p'o menjadi pu. Apabila gelar puyang muncul sewaktu berkembangnya pengaruh Hindu dan Budha, maka kemungkinan ada keterkaitan dengan bahasa sanskerta.
Masuknya pengaruh Hindu dan Budha sehingga menyerap bahasa sanskerta. Seperti kata hyang yang berarti suatu keberadaan spritual tak kasat mata yang memiliki kekuatan supranatural. Keberadaan spritual dapat bersifat ilahiah atau roh leluhur (wikipedia). Pendiri Kedatuan Sriwijaya juga menggunakan gelar puyang, Pu-hyang Dapunta Jaya Naga. Kata pu-hyang itulah bergeser menjadi puyang saja sebagaimana kita kenal sekarang.
Oleh. Joni Apero
Sy. Apero Fublic
Konsep Puyang: Dahulu dan Sekarang
Apero Fublic.- Masyarakat
Melayu Provinsi Sumatera Selatan, memiliki konsep kepuyangan dan gelar puyang.
Hampir disetiap tempat ada puyang-puyang masyarakat. Bagaimana pengertian
puyang pada masyarakat Melayu Sumatera Selatan. Kata puyang merujuk untuk
menghormati seorang manusia. Puyang juga memiliki makna tinggi dan terhormat.
Kata puyang terdiri dari dua kosa kata pu dan yang.
Kata puyang juga bentuk pengembangan dari kata Uwang atau waang.
Uwang atau waang, di sebagian besar Pulau Sumatera berarti manusia. Secara bahasa kata Pu menggambarkan tempat atau landasan tumpuan. Selain itu, kata Pu juga merujuk pada tempat ketinggian, po'cok atua pucuk. Pu juga bermakna utama atau awal. Kata pu juga bentuk penyederhanaan dari p'o menjadi pu. Apabila gelar puyang muncul sewaktu berkembangnya pengaruh Hindu dan Budha, maka kemungkinan ada keterkaitan dengan bahasa sanskerta.
Masuknya pengaruh Hindu dan Budha sehingga menyerap bahasa sanskerta. Seperti kata hyang yang berarti suatu keberadaan spritual tak kasat mata yang memiliki kekuatan supranatural. Keberadaan spritual dapat bersifat ilahiah atau roh leluhur (wikipedia). Pendiri Kedatuan Sriwijaya juga menggunakan gelar puyang, Pu-hyang Dapunta Jaya Naga. Kata pu-hyang itulah bergeser menjadi puyang saja sebagaimana kita kenal sekarang.
Sehingga, kata puyang kemudian
berkembang untuk menamai atau menggelari seorang yang dianggap memiliki
kemampuan supranatural atau memiliki kelebihan dari manusia biasa lainnya:
seperti pemimpin setempat, tokoh masyarakat, atau orang yang dianggap memiliki
kekuatan supranatural (sakti).
Konsep gelar puyang juga terdapat di luar
Provinsi Sumatera Selatan. Meliputi wilayah Pulau Sumatera Bagian Timur,
meliputi Provinsi Bengkulu, Jambi, Bangka Belitung, dan Lampung. Bentuk
pengaruh kosep kepunyangan dipengaruh legenda Si Pahit Lidah versi Jambi dan
versi Bengkulu. Berikut konsep pengertian kata puyang pada masyarakat Melayu
Sumatera Bagian Timur, studi Sumatera Selatan.
A.Konsep Puyang Masa Lalu.
1).
Puyang Dalam Artian Sebagai Pemimpin.
Puyang
diartikan sebagai gelar kehormatan pada seseorang pemimpin di suatu tempat.
Manusia yang memiliki kelebihan dalam keilmuan dan kebijaksanaan. Menguasai
ilmu hukum, adat istiadat setempat sehingga dia sebagai pelindung masyarakatnya
dan penegakan hukum.
Pengartian puyang sama, seperti di Jawa sunan.
Datuk di Minangkabau dan Malaysia. Daeng di Sulawesi, dan Teuku di Aceh. Puyang
sebagai gelar kehormatan dan pengakuan atas kepemimpinannya. Seperti Puyang
Depati di Kota Sekayu pada masa Kesultanan Palembang. Puyang Depati diangkat
menjadi pemimpin di Marga Sekayu 1733 Masehi. Gelar puyang disini adalah bentuk
gelar kehormatan kepemimpinan dari masyarakat.
2).
Puyang Dalam Artian Nenek Moyang
Kata
Puyang juga memiliki makna leluhur masyarakat setempat. Atau nenek moyang
masyarakat setempat. Hal ini, diartikan semisalnya ada ungkapan “zaman puyang
kita dulu“ atau “puyang kita orang dari.” Dari kalimat perbincangan kata puyang
merujuk ke leluhur masyarakat yang berbincang. Bersifat jamak atau banyak tidak
tertuju pada satu orang.
3).
Puyang Dalam Artian Kekeramatan
Puyang
dalam arti kekeramatan adalah dimana pengertian kata puyang merujuk pada satu
orang manusia. Gelar puyang tidak harus penduduk asli, boleh juga seorang
pendatang yang menjadi panutan, guru, atau memimpin di tempat mereka. Kalau
orang tersebut penduduk asli biasanya penduduk mengaku sebagai anak cucunya.
Tapi kalau pendatang masyarakat setempat hanya menggelari puyang dan
mengkeramatkannya.
Pada kasus ini, pemberian gelar puyang diwaktu kemudian. Setelah berlalu
beberapa generasi. Sehingga masyarakat tidak lagi mengenal secara fisik, tapi
hanya berupa cerita tutur. Biasanya ada objek yang dijadikan keramat, kadang
berupa makam, kadang hanya sebuah situs.
Dengan demikian, karena dia dianggap tua, setara dengan nenek moyang. Jadi masyarakat akan menyebutnya dengan puyang. Sekaligus sebagai tanda menghormati. Kemudian lama semakin lama, terbentuk gelar puyang untuk orang tersebut. Nama puyang diambil dengan keadaan sekeliling atau dari nama julukan, kadang juga nama asli.
Dengan demikian, karena dia dianggap tua, setara dengan nenek moyang. Jadi masyarakat akan menyebutnya dengan puyang. Sekaligus sebagai tanda menghormati. Kemudian lama semakin lama, terbentuk gelar puyang untuk orang tersebut. Nama puyang diambil dengan keadaan sekeliling atau dari nama julukan, kadang juga nama asli.
Seperti Puyang Tengah Laman di Desa Gajah Mati, Kecamatan Sungai Keruh,
Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Menurut penjaga kunci nama asli
Puyang Tengah Laman adalah Syaik Djafar Siddiq. Beliau adalah guru agama Islam
yang datang sekitar abad 15-16 Masehi ke Desa Gajah Mati.
Tempat keramatnya
berupa tanah lapang. Konon tanah lapang tersebut rumah dan tempat aktivitas,
seperti mengobati masyarakat, mengempu, dan belajar agama. Seiring waktu tempat
tinggal hancur, dan tinggal lahan tanah lapang. Kemudian muncul tanah tumbuh
(sarang rayap) dikemudian hari di tanah bekas rumah puyang. Dikeramatkan oleh
penduduk. Tanah lapang atau halaman dalam bahasa Melayu Sekayu, Tengah
Laman. Maka dijuluki, Puyang Tengah Laman.
4).
Puyang Dalam Konsep Cerita Rakyat.
Gelar
puyang dalam konsep legenda adalah berupa cerita-cerita tokoh-tokoh fiksi.
Dimana masyarakat mempercayai cerita-cerita, dongeng, atau legenda orang sakti.
Contoh Puyang Serunting Sakti atau Si Pahit Lidah. Legenda Puyang Kemiri dari
Kabupaten Empat Lawang. Kemudian legenda Puyang Burung Jauh dimana tokoh ini
sering muncul sebagai burung yang berbunyi jauh-jauh-jauh.
Sehingga
masyarakat akan pergi meninggalkan kampung halaman mereka. Sebagai tanda bahaya
dari sang puyang untuk masyarakat. Namun walau di dalam cerita rakyat tetap
gelar puyang menempatkan kedudukan pada sisi kepemimpinan, orang sakti, dan
leluhur. Cerita kepunyangan ini belum dapat diketahui kebenarannya walau
dihubungkan dengan tanda-tanda, seperti situs keramat.
5).
Puyang Dalam Tatanan Silsilah Keluarga (Adat Peraturan).
Puyang
juga menempati kedudukan dalam keturunan atau silsilah keluarga. Puyang sebagai
panggilan untuk orang tua dari kakek-nenek kita. Selain itu, panggilan puyang
juga digunakan untuk orang-orang yang kedudukannya sejajar dengan puyang kita.
Misalnya saudara bungsu dari puyang kita, atau saudara sepupu dari puyang kita.
Walau seumuran dengan orang tua kita, atau kakek nenek kita, tetap dengan
adat peraturan, memanggil dengan, puyang. Maka aturan pemanggilan puyang tidak
tergantung umur tapi posisi silsilah. Berikut uraian puyang dalam silsilah
keluarga dan konsep tujuh keturunan yang sering disebut masyarakat kita.
Sususnan silsilah ini diambil dari sistem adat Melayu Sekayu. Silakan mencocokkan
dengan nama wilayah anda.
1.
Moneng-moneng
2.
Puyang (1)
3.
Kakek-Nenek (2)
4.
Ayah dan ibu (3)
5.
Anak (kita) (4)
6.
Cucu-Cicit (5)
7.
Piut (6)
1.
Moneng-moneng (7).
Setelah piut maka silsilah kembali ke moneng-moneng
lagi. Anak dari piut akan memanggil puyang dengan
moneng-moneng. Begitupun puyang memanggil anak dari piut dengan moneng-moneng.
Dari moneng-moneng kembali membentuk garis tujuh keturunan baru. Konsep inilah
yang dikenal di Indonesia dengan istilah tujuh keturunan. Anda perna mendengar
ungkapan, harta tidak habis dimakan tujuh keturunan. Inilah
konsepnya. Setiap tujuh keturunan akan memulai tujuh keturunan baru.
B.
Konsep Puyang Masa Sekarang.
1).
Pemberian Gelar Puyang
Banyak
orang mengartikan puyang hanya untuk sebutan orang yang sudah tua. Di dalam
silsilah keluarga, walau umurnya masih muda namun apabila posisi sejajar dengan puyang
(dalam sebuah keluarga), maka piut-piutnya wajib memangginya dengan panggilan
puyang. Jadi ukuran umur tidak menentukan.
Anggapan masyarakat sekarang puyang
hanya untuk orang tua dan leluhur saja tidak benar dan keliru. Selain digunakan di
dalam silsilah dan leluhur. Konsep puyang juga gelar kehormatan untuk seseorang. Bentuk
penghargaan pada seseorang atas jasa-jasa orang tersebut. Bentuk pengakuan
sebagai seorang pemimpin di daerahnya.
Pada zaman sekarang gelar puyang
terlupakan. Hanya dipakai pada sistem silsilah dalam keluarga sekelompok masyarakat di Musi Banyuasin. Gelar
puyang menjadi hilang karena tidak ada lagi manusia yang sakti. Kemudian ketahayulan
mulai hilang dan mulai berganti kerasionalan.
Untuk menyelamatkan gelar puyang sebagai ciri khas dan warisan budaya.
Maka pada zaman sekarang pemakaian gelar puyang sangat diperlukan. Selain untuk
menyelamatkan kebudayaan sendiri sekaligus sebagai pengidentitasan masyarakat
Melayu Pulau Sumatera. Meliputi Sumatera Selatan, Lampung, bengkulu, Bangka Belitung dan Jambi. Gelar budaya puyang adalah suatu
warisan yang harus di selamatkan oleh generasi sekarang. Mengingat mulai krisis
identitas budaya sebagai ciri keberagaman Indonesia.
Konsep puyang pada zaman sekarang dapat diberikan pada seseorang tokoh
masyarakat di Pulau Sumatera di lima provinsi tersebut. Seperti gelar untuk orang
yang berjasa pada masyarakat dan negara, seperti pahlawan yang gugur semasa
perang kemerdekaan.
Tentu tidak semua yang ikut perang, semisalnya seorang
pemimpinnya. Kemudian gelar untuk seorang tokoh masyarakat, tokoh agama,
budayawan, pecinta lingkungan, pelestari kebudayaan, peneliti bidang akademisi,
seniman dan sebagainya.
Selain itu dapat juga diberikan pada pemimpin-pemimpin
sekarang, seperti seorang bupati, gubernur, presiden, DPRD (I dan II)-MPR, TNI
dan Polri. Pemberian gelar pada Kapolda, Kaporles, dan Pangdam, Panglima TNI,
menteri. Selain yang berasal dari dalam lingkup Sumatera Bagian Selatan (putra
daerah atau pernah bertugas), gelar dapat juga diberikan pada tokoh-tokoh
Nasional dan Internasional.
Sebagai contoh gelar untuk Pahlawan Nasional. Misalnya, Puyang Pahlawan
Dr. AK. Gani. Karena beliau pahlawan nasional dan gubernur pertama Sumatera
Selatan. Puyang Negeri Batang Hari Sembilan Haji Alex Noerdin. Karena
mengingatkan jasa beliau pernah menjadi gubernur Provinsi Sumatera Selatan.
Puyang Hulubalang Bayangkara Kapolri Tito Karnapian. Kenapa ditambah hulubalang
bhayangkara karena dia dari kapolisian. Hulubalang adalah jabatan perwira
prajurit Melayu masa lalu. Untuk Panglima KODAM Sriwijaya, Puyang Panglima
Sriwijaya karena sebagai pemimpin Kodam II Sriwijaya.
Puyang Wanua Melayu
Herman Deru. Penambahan wanua adalah kata tempat dalam prasasti peninggalan
Kedatuan Sriwijaya. Puyang
Nusantara Tujuh Jokowidodo, gelar nasional. Karena beliau adalah Presiden
Republik Indonesia. Penambahan kata Nusantara mewakili Indonesia, karena beliau
adalah Presiden Indonesia.
2).
Hukum dan Mekanisme Gelar Puyang.
Dalam pemberian gelar tentu harus ada mekanisme hukum dan tatacara atau payung hukum yang ditetapkan (UU). Seperti dalam menentukan kriteria atau ukuran pemberian gelar (lisensi), serta tatacara pencabutan gelar dikemudian hari (misalnya penerima gelar menjadi koruptor).
Dalam pemberian gelar tentu harus ada mekanisme hukum dan tatacara atau payung hukum yang ditetapkan (UU). Seperti dalam menentukan kriteria atau ukuran pemberian gelar (lisensi), serta tatacara pencabutan gelar dikemudian hari (misalnya penerima gelar menjadi koruptor).
Catatan: gelar puyang bukan gelar bersifat
turun temurun. Tapi gelar puyang murni diberikan pada orang biasa yang kemudian
menjadi luar biasa, bukan keturunan bangsawan. Tapi boleh juga pemberian pada
seorang bangsawan, misalnya Sultan Palembang. Gelar Puyang adalah bentuk
penghargaan, penghormatan masyarakat atas jasa-jasa seseorang. Juga sebagai
bentuk melestarikan kebudayaan Melayu dan mengembangkannya.
Bangunan
bercat hijau adalah tempat Keramat Puyang Tengah Laman di Desa Gajah Mati,
Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.
Oleh. Joni Apero
Palembang,
17 September 2019.
Sumber diolah dari berbagai sumber:
Dari pengamatan langsung, buku-buku membaca di internet, dan memahami sebagai putra
daerah Sumatera Selatan.
Via
Budaya Daerah
Post a Comment