Sejarah Umum
Manipulasi Isu dan Paradigma Swasembada Beras Zaman Orde Baru
Apero Fublic.- Banyak
orang berkata kalau pada masa Pemerintahan Otoriter Orde Baru Indonesia pernah
mencapai swasembada beras. Sehingga Indonesia dianggap sangat makmur.
Pemerintahan Orde Baru dianggap berhasil membangun ekonomi negara. Kesalahan
persepsi dari orang asing, dan kesalahan anggapan dari orang Indonesia sendiri.
Orang-orang tersebut tidak memiliki pengetahuan tentang negara Indonesia secara
mendalam. Mereka orang-orang asing membaca dari luar, dan melihat kulit yang
diperlihatkan Orde Baru. Sedangkan orang Indonesia masa itu dilingkupi kebutaan
dan tidak mengenal bangsa sendiri. Banyaknya beras atau gabah kering hasil
petani di Pulau Jawa di anggap bentuk keberhasilan Pemerintahan Otoriter Orde
Baru dalam membangun ekonomi.
Pada kenyataanya semua itu adalah berupa omong kosong mereka semua.
Orang-orang yang tidak berpengetahuan berbicara tanpa mengerti apa-apa. Mereka
berpikir pendek melihat gudang bulog yang penuh oleh beras yang tidak laku di
tengah masyarakat Indonesia.
Dunia juga yang tertipu dengan keadaan tersebut,
ketika sumbangan beras di PBB untuk Afrika. Sehingga Soeharto mendapat
kesempatan berpidato pada peringatan FAO (Food and Agriculture Organization,
di Italia 14 November 1985. Berikut ini, tiga faktor yang menyebabkan paradigma
swasembada beras muncul dari orang-orang tidak bijak.
Faktor
Populasi Penduduk.
Penduduk Indonesia pada masa Orde Baru belum sebanyak sekarang (2019).
Di tahun 1985 jumlah penduduk Indonesia berjumlah 165 juta jiwa. Dari total
jumlah penduduk diperkirakan 50% ada di pulau Jawa, Bali, dan Madura. Sehingga
penduduk di luar Pulau Jawa sangat jarang, terutama di Papua dan Kalimantan.
Jumlah penduduk yang sedikit tentu juga menyebabkan kebutuhan ekonomi juga
sedikit. Hutan-hutan yang luas dan penduduk masih jarang. Alam yang kaya raya
memberi makan manusia Indonesia di pedalaman. Mobilitas kehidupan juga tidak
seperti zaman diatas tahun 2000.
Faktor
Produksi Masyarakat Petani.
Pada masa itu, dibawah tahun 1995, masyarakat petani di Pulau Sumatera,
Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Papua dan pulau-pulau lainnya masih
memiliki cukup lahan untuk bertani. Mereka menanam padi ladang, hasl panen
biasanya cukup satu tahun dalam satu kali panen. Menanam umbi-umbian, singkong,
keladi, ubi jalar dan lainnya. Di daerah Maluku dan Papua masyarakat
mengkonsumsi sagu yang banyak tumbuh subur di sana.
Ada juga kelompok
masyarakat yang mengkonsumsi ubi. Selain itu, lingkungan sungai, alam masih
terjaga sehingga masyarakat dapat menangkap hewan buruan dan menangkap ikan
yang berlimpah di laut, sungai dan danau. Kehidupan penduduk masih semi
tradisional. Masyarakat juga masih memiliki banyak hewan peliharaan, seperti
ayam, sapi, kambing, kerbau, sehingga penduduk memiliki cukup dalam memenuhi
kebutuhan daging.
Aku masih ingat sewaktu aku masih umur lima tahunnan. Dimana kehidupan
di desaku, penduduk berladang, menanam padi dan sayur mayur. Kemudian hampir
setiap keluarga besar memiliki ternak sapi, kambing atau kerbau. Membuat gula
dari tebu dan gula aren. Kopi memproduksi sendiri dari kebun-kebun di belakang
rumah mereka.
Membuat minyak sayur dengan kelapa, dan sebaginya. Selain itu ada
juga masyarakat di luar Pulau Jawa yang bersawa. Sehingga masyarakat di luar
Pulau Jawa tidak bergantung dengan beras dari Pulau Jawa. Maka Orde Baru bilang
kalau Indonesia swasembada beras. Bentuk keberhasilan pemerintah dalam bidang
perekonomian. Padahal itu adalah kelebihan produksi di Pulau Jawa sendiri.
Kemudian seiring waktu, keadaan sosial masyarakat berubah. Ketika
tanah-tanah warga berganti dengan kebun karet, kebun sawit atau sebagainya.
Masyarakat tidak lagi memproduksi kebutuhan pokok mereka. Maka masyarakat
menggantungkan pada hasil luar daerah, atau pembelian di tokoh atau pasar.
Begitupun saat lahan penggembalaan ternak berkurang akibat perkebunan
masyarakat. Menjadikan penduduk tidak lagi mau memelihara ternak sapi, kerbau
dan kambing mereka.
Sering mereka mendapat masalah saat ternak-ternak tersebut
masuk ke dalam kebun warga. Ayam kampung yang biasanya mudah berkembang. Namun
kemudian secara masal diserang oleh sejenis penyakit, di kenal dengan flu
burung. Saya berharap pemerintah menyelidiki tentang virus tersebut. Karena
dikhawatirkan ada oknum yang bermain dalam menyebarkan penyakit tersebut.
Maka
sejak virus itu menyerang di Indonesia ternak ayam kampung warga habis karena
mati mendadak secara masal. Sehingga sekarang kebutuhan daging ayam di suplai
dengan ayam ternak pedaging. Pada sektor perikanan di atas tahun 2000
terjadinya peracunan sungai, danau, sehingga ikan air tawar berkurang.
Faktor
Sosial Ekonomi.
Sebagaimana diketahui makanan pokok orang Indonesia berbeda-beda.
Terutama di Indonesia wilayah timur. Banyak penduduk Indonesia di berbagai
wilayah belum menggantungkan makanan pokok pada beras. Seperti di Maluku,
Papua, Madura, Sulawesi.
Penduduk-penduduk tersebut masih mengkonsumsi makanan
pokok seperti jagung, ubi, sagu, dan jenis umbian lainnya. Memang sudah ada
beberapa bagian yang mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok mereka. Sehingga
ketergantungan dengan beras belum begitu tinggi. Sedangkan sentra beras
dibangun secara luas di jawa. Tanpa mengukur jumlah konsumsi masyarakat kala
itu.
Di pulau Jawa sebagai sentra penghasil beras tidak begitu berarti bagi
wilayah di luar jawa. Masyarakat belum membeli dengan sepenuhnya beras dari
Jawa. Sehingga membuat produksi beras hanya berkumpul di Pulau Jawa. Untuk
mengatasi hal tersebut, Pemerintahan Otoriter Soeharto akhirnya
membeli beras petani tersebut.
Maka beras dan gabah kering hasil petani di Jawa
memenuhi gudang-gudang bulog pada masa itu. Sehingga Pemerintahan Otoriter Orde
Baru pernah mengirimkan bantuan seratus ton beras ke Afrika (Ethiopia). Membuat
anggapan dunia dan pengakuan Orde Baru bahwa Indonesia swasembada beras.
Untuk
menghabiskan beras-beras tersebut juga memaksa Aparatur Negara mengkonsumsi
beras berkualitas buruk itu, yang tertimbun dari gudang-gudang bulog dengan
alasan, beras jatah dari negara. Baru pada masa revormasi jatah beras diganti
dengan uang. Sehingga mereka dapat membeli sendiri beras yang berkualitas baik.
Dampak
Kecerobohan Tersebut.
Di
zaman sekarang ketika penduduk Pulau Jawa meningkat dua kali lipat lebih. Entah
bagaimana itu dapat terjadi sebab apa yang di lakukan Orde Baru. Sawa banyak di
timbun untuk pembangunan. Masyarakat di luar pulau Jawa tidak lagi memproduksi
kebutuhan mereka sendiri. Sehingga kebutuhan beras akhirnya perlahan-lahan
meledak dan terpaksa negara membeli keluar negeri (infor).
Penduduk di
Indonesia Timur mulai mengkonsumsi beras. Meninggalkan makanan pokok mereka
karena masa Orde Baru dirusak dengan beras. Seharusnya di dukung agar tidak
membengkak keperluan beras dalam jangka panjang. Beras di Jawa perlahan hanya
cukup memenuhi kebutuhan di Pulau Jawa tidak lagi seperti dulu sebab
bertambahnya jumlah penduduk di Pulau Jawa.
Maka, bom waktu terjadi ekonomi
Indonesia bergantung dari luar. Masihkan kita terjebak subjetivitas sejarah.
Dengan bodoh percaya ada swasembada beras di zaman Pemerintahan Otoriter Orde
Baru. Tidak, itu ketimpangan dan kecerobohan, arogansi dalam membangun ekonomi
bangsa, dari paham sukuisme Soeharto. Kemudian menjadi bom waktu bagi
perekonomian bangsa Indonesia.
Oleh.
Joni Apero.
Editor. Selita. S.Pd.
Palembang,
12 September 2019.
Sumber
foto. Anoname.
Sy. Apero Fublic
Via
Sejarah Umum
Post a Comment