Legenda Asal Mula Bukit Pendape. Musi Banyuasin.
“Kami menyerakan nama pedatuan sesuai
yang Puyang ketahui. Sebab puyang yang memimpin pedatuan. Semua pun
sepakat, kalau nama negeri biarlah Datu Puyang Penguaso Bukit yang menamai.
*****
Suatu sore yang cerah, pergilah Datu Puyang Penguaso Bukit berjalan-jalan di negerinya. Mendatangi talang-talang rakyatnya,
naik bukit turun bukit, kadang dia menyeberangi sungai. Dia mencari ilham nama
pedatuan. Tibalah beliau di sekitar bekas ladang, yang mulai menjadi hutan
belukar. Jalanan setapak mulai sepi, hanya beberapa penduduk berlalu.
“Puyang mau kemana kiranya, sampai jauh ke sini.” Tanya seorang warga yang berlalu, dia menggendong bunang padi besar.
Istri dan tiga orang anaknya mengiring dari belakang.
“Tak ada, Dinda. Hanya berkeliling-keliling saja.” Jawab Datu Puyang Penguaso Bukit. Warga itu berlalu dan tinggallah puyang sendiri.
Di kiri kanan jalan terdapat banyak rumput putri malu. Berbunga indah, yang didatangi banyak lebah madu, kupu-kupu dan kumbang. Tanpa sengaja Puyang terinjak daun-daun rumput putri malu, itu.
Saat beliau melihat daun rumput putri malu tampak mengkerut seperti menjadi layu. Berpikirlah dia akan perbedaan daun rumput putri malu, dengan daun tetumbuhan yang lainnya. Kalau daun lain tersentu hanya bergoyang. Tapi daun rumput putri malu malah mengkerut seperti layu. Terpikirlah terus menerus akan daun rumput tersebut.
“Daun yang malu seperti wanita yang
pemalu. Hidup memang harus ada malu. Daun itu juga seperti melayu saat disentu.
Aku juga sudah tidak sopan menginjak daun-daunnya. Manusia harus menghormati semua mahluk hidup.
Walaupun itu hanya rumput yang lemah berdahan rendah.” Pikir puyang.
“Kita sebagai manusia haruslah memiliki
malu. Malu sudah tua berbuat tidak sesuai. Wanita juga perlu malu agar menjadi
wanita terhormat. Jadi pemimpin yang tidak adil, haruslah malu. Hidup memang perlu memiliki rasa
malu.” Di sepanjang perjalan pemikiran puyang terus bergolak.
“Daun rumput itu me-layu, dahannya menjadi rendah. Manusia haruslah merendah, rendah hati. Tumbuh di permukaan tanah, haruslah manusia ingat asalnya dan kemana dia akan berakhir.” Kata hati puyang yang sudah berjalan pulang.
Itulah pikir Puyang Penguaso Bukit. Bagaimana kalau dia namakan negeri dengan Putri Malu. Tapi tidak sesuai sebab negeri bukan hanya untuk wanita. Daun rumput yang seperti layu terus berputar di benaknya. Maka dia namakan negerinya itu dengan nama Pedatuan Melayu. Lalu diumumkan pada semua rakyat nama pedatuan mereka. Dengan demikian, puyang Datu Penguaso Bukit juga dikenal dengan Datu Melayu.
*****
Datu Puyang Penguaso Bukit memiliki ilmu sakti, bernama rajo bumi. Ilmu itu bersifat turun temurun. Tapi hanya dapat diwariskan pada satu orang keturunan saja. Karena sudah tua, dia ingin segerah mewariskan ilmunya pada salah satu anak laki-lakinya, Pendape dan Marajo.
Barang siapa mewarisi ilmu itu, dia dapat menguasai kekuatan bumi. Pemiliknya tidak dapat dikalahkan. Sebab, kalau dia terluka lalu tubuhnya tersentuh tanah. Lukanya akan sembuh secara ajaib. Yang dapat mewarisi ilmu rajo bumi adalah orang yang benar-benar berhati baik dan bersih.
“Kalian duduk bersilah di hadapanku. Pejamkan mata dan kosongkan pikiran. Buang semua sifat iri dengki di hati dan ketamakan hidup. Hanya orang berhati bersih dan penuh ketulusan yang akan di pilih ilmu keluarga kita.” Kata Puyang Penguaso Bukit.
Kemudian Puyang memejamkan matanya. Di dalam hatinya dia membaca mantra kesaktiannya. Sementara Pendape dan Marajo duduk bersilah dengan konsentrasi. Dalam waktu setengah jam kemudian. Tiba-tiba angin berhembus kencang. Awan hitam datang dan hujan turun lebat, petir menyambar dan kilat bersabung. Setelah keadaan cuaca tenang, muncul sebuah benda kecil terbang bercahaya dari mulut Puyang Datu. Mirip kunang-kunang lalu terbang mengitari Pendape dan Marajo.
Tenyata ilmu Rajo Bumi memilih Pendape sebagai tuannya. Maka masuklah kedalam tubuh Pendape. Sehingga pendape-lah yang mewarisi ilmu sakti Rajo Bumi.
*****
Marajo sangat tidak menyukai akan itu.
Dia sebagai kakak merasa kalah dari adiknya. Memang Marajo orangnya keras kepala dan sombong. Dari itu Marajo diam-diam menyimpan rasa kecewa mendalam pada Pendape. Teringat juga, lima tahun lalu
saat
Pendape menikahi gadis yang dia sukai. Putri Daun Pandan anak dari Puyang
Lasemah.
Putri Daun Pandan memang menjadi pujaan bujang-bujang di Pedatuan Melayu. Hati Marajo terasa diris-iris dan marah. Karena Pendape selalu mendapatkan apa yang sangat dia inginkan. Suatu hari anak Pendape bertengkar dengan anak Marajo.
Marajo sangat marah sekali dan dia datang melampiaskan kekesalannya pada Pendape dengan alasan itu. Dua hari dua malam mereka berkelahi. Pendape hanya mengimbangi saja kakaknya. Dia tidak bermaksud berkelahi dengan kakaknya. Maka datanglah Puyang Penguaso Bukit melerai. Namun telah banyak batu hancur dan alam binasa. Karena keganasan ilmu-ilmu kesaktian mereka.
*****
Pendape menangkap isyarat tidak baik. Dia
berpendapat kalau kakaknya membencinya dan tidak
menyukainya. Pendape menyimpan hal itu di dalam hatinya.
“Pendape, bersabarlah menghadapi kakakmu. Bagaimanapun dia, darah di dalam tubuhnya sama seperti darah yang mengalir di dalam tubuhmu.” Kata Datu Puyang Penguaso Bukit atau Puyang Melayu. Kemudian beliau menghembuskan nafas terakhir. Pendape menjerit menangis sedih atas kepergian ayahnya. Jazadnya dimakamkan di dalam tempayan batu di sebuah bukit.
Dimasukkan bekal kubur seperti: manik-manik, kapak, beling, cincin, pisau dan parang. Begitulah cara-cara orang Melayu zaman megalitikum menguburkan orang mati. Sedekahan juga diletakkan dibarisan menhir. Kemenyan dan dupa di bakar, setikung makanan berupa punjung ayam dibakar utuh, dan lauknya. Sebagai penghormatan pada roh Datu Puyang Penguaso Bukit.
Pedatuan Melayu kehilangan pemimpin. Sehingga dilakukan pemilihan Datu untuk memimpin. Para jurai tue datang berkumpul, panglima, hulubalang dan puyang-puyang di pedatuan. Mereka bermusyawarah untuk memilih pemimpin antara Pendape dan Marajo.
Pendape ingin ikut pemilihan menjadi Datu Pedatuan Melayu. Tapi dia urungkan dan menolak tawaran para jurai tue. Menurutnya, kakanya Marajo berhak mewarisi kepemimpinan. Tidak perlu melakukan pemilihan lagi. Maka Marajo di lantik menjadi Datu Pedatuan Melayu. Semua mengerti mengapa Pendape mengalah. Tapi mereka juga ingin persetujuan Pendape. Agar tidak menjadi permasalahan di kemudian hari.
Marajo diberi gelar Datu Puyang Rajo Batu. Sesuai keahliannya mengendalikan batu-batu. Tapi sayang sifat asli Marajo tidak berubah bahkan bertambah angkuh. Menjadi pemimpin membuat Marajo lupa diri.
*****
Bertahun-tahun
berlalu sudah. Tapi Marajo
selalu curiga pada Pendape. Dia khawatir natin kalau tiba-tiba
Pendape merebut tahtanya. Marajo sadar kalau Pendape sangat dicintai rakyat
Pedatuan Melayu.
Marajo selalu mengawasi gerak gerik Pendape. Pendape pun tidak tenang, sehingga dirinya banyak
melamun. Entah bagaimana dia meyakinkan kakaknya tentang kesetiaanya dan rasa
sayangnya pada sang kakak. Datanglah dia pada mertuanya, Puyang Lasemah.
“Anakku, kalau demikian keputusanmu,
laksanakanlah. Tidak ada yang lebih berharga di dunia ini selain keluarga kita. Marajo memang
tidak berubah walau umur terus bertambah.” Kata Puyang Lasema sedih. Ibu mertuanya meneteskan air
mata. Besar akan kasihnya pada menantunya yang baik hati dan lembut jiwanya.
“Rahasiakan dahulu kepergian kalian, agar tidak menjadi gaduh.” Kata ibu
mertuanya menasihati. Seorang adik ipar Pendape bernama Puyang Rawas mendengar semua percakapan dari
dalam kamarnya. Sepulangnya Pendape, Rawas juga meminta izin untuk menemani
kakaknya pergi mencari negeri baru. Tentu ibu dan ayanya setuju agar anak
perempuan mereka Putri Daun Pandan tidak terlalu sedih apabila ada
adiknya yang ikut.
Akhirnya, untuk menghindari perseteruan dan perang saudara. Pendape memutuskan pergi dari Pedatuan Melayu. Dia membawa anak istrinya. Rawas adik iparnya juga menyertai bersama keluarganya. Seorang kemenakannya yang sudah yatim piatu bernama Serunting juga ikut pergi. Ada juga sepuluh orang sahabat dan tetangga Pendape yang ikut pergi. Mereka bertekad untuk membangun pedatuan baru.
Rombongan kecil terdiri dari tiga puluh keluarga itu pergi menembus hutan rimba. Perjalanan dimuali saat pagi menjelang subuh. Tidak ada penduduk yang melihat kepergian rombongan mereka. Hanya orang tue mereka menghantar dalam kegelapan malam. Oleh pengikut Pendape dia diangkat menjadi pemimpin.
Dia pun diberi gelar Puyang Pendape Pancari Negeri. Bukan tampa alasan penduduk-penduduk yang ikut pergi. Karena mereka merasa tidak suka dengan kepemimpinan Datu Puyang Rajo Batu atau Marajo yang semena-mena. Mereka merasa tenang dan aman bersama Puyang Pendape yang berbudi luhur.
Pada awalnya Puyang Pendape dan pengikutnya hidup berpindah-pindah. Banyak bertemu dengan kelompok-kelompok suku yang juga masih hidup nomaden. Nomaden berarti hidup berpindah-pindah atau mengembara tidak menetap.
Ada yang berkelompok kecil dan berkelompok cukup besar. Puyang Pendape mendekati mereka dengan baik. Lalu dia ajak bersama mereka. Orang liar itu mengikuti, karena di ajari banyak pengetahuan hidup. Sehingga menjadi banyak pengikut Puyang Pendape. Tidak berhenti disitu, penduduk Pedatuan Melayu yang telah kecewa dengan kepemimpinan Puyang Marajo juga banyak pergi diam-diam di malam hari menyusul Puyang Pendape.
*****
Sepuluh bulan dalam pengembaraan mereka. Akhirnya Puyang Pendape bersama pengikutnya membuka hutan belantara yang bertanah subur. Rawas adik ipar juga sahabat setia Pendape. Mereka akan memulai hidup baru. Bermacam jenis pohon besar-besar mereka tebang. Seperti pohon belian, pohon meranti, pohon merbau, pohon manggeris, leban dan lainnya. Karena hutan yang mereka buka banyak terdapat pohon meranti. Maka mereka namakan Talang Meranti.
Anak sulung Puyang Pendape juga giat membantu sang ayah dan warganya bekerja. Walau dia anak pemimpin tapi dia tidak sombong dan tidak berpangku tangan. Sehingga bertambah cintalah pengikut Puyang Pendape pada keluarag mereka.
Berbulan-bulan kemudian, rumah-rumah berdiri dan lahan pertanian terbuka. Beberapa talang telah di dirikan. Kemudian talang baru juga dibangun untuk pendatang baru. Baik yang dari Pedatuan Melayu atau dari orang suku pengembara. Setelah itu, mereka membangun balai pedatuan. Mengangkat hulubalang, jurai tue, hulubati, prajurit dan datu-datu pemimpin talang.
Pemerintahan di tata dengan baik dan terorganisasi. Oleh pengikutnya, Puyang Pendape diangkat menjadi pemimpin tertinggi mereka. Maka dia diberi gelar baru, Depati. Dengan gelar Depati Puyang Pendape. Terbentuklah pedatuan baru yang berbeda dari Pedatuan Melayu. Di sana pemimpin hanya satu orang Datu, Datu Puyang Marajo. Talang-talang mereka hanya dipimpin oleh seorang jurai tue saja.
*****
Tahun berlalu,
tersiar kabar tentang Pedatuan Pendape yang makmur. Di pimpin seorang pemimpin bijaksana
bergelar Depati. Depati memimpin banyak datu-datu di pedatuannya. Kabar itu
sampai ke telinga Datu Puyang Marajo. Dia menjadi kalap dan marah besar atas
berita itu.
“Bagaimana bisa
dia menjadi pemimpin dari datu-datu. Itu berarti dia menandingi Aku. Dia tahu
Aku adalah Datu Pedatuan Melayu. Aku adalah datu di Pedatuan Melayu yang jauh
lebih besar dari pedatuan mereka. Dia mengubah gelarnya menjadi Depati. Lalu
mempersamakan Aku dengan bawahannya pemimpin talang-talang.” Kata Datu Puyang
Marajo.
“Puyang, itu
hanya struktur pemerintahan mereka. Kalau mau, puyang dapat mengganti gelar
puyang dari datu menjadi depati. Kemudian jurai tue pemimpin talang-talang
kita, puyang angkat menjadi Datu.” Kata Hulubalang, dan panglima mendukung
memberi saran pada Puyang Marajo.
“Aku tidak mau
memakai gelar baru itu, sama saja Aku merendahkan diriku. Ini adalah politik
Pendape untuk menyaingi Aku. Dia juga menghasut banyak rakyat pindah ke
pedatuan mereka yang jelek itu. Aku akan menghukum mereka atas penghinaan ini.”
Kata Datu Puyang Marajo berapi-api dan amarah meluap-luap. Kemudian Datu Puyang
Marajo memerintahkan hulubalang memanggil semua pembesar pedatuan untuk
bermusyawarah di Balai Pedatuan Melayu.
*****
Semua pembesar
pedatuan telah tiba. Mereka berkumpul di ruangan tengah balai pedatuan. Duduk
beralas tikar daun pandan hutan. Dalam akhir musyawarah itu.
“Aku mengumpulkan kalian semua untuk
menyerang Pedatuan Pendape. Dia telah merendahkan Aku
dengan mengubah gelarnya dan menjadi pemimpin datu-datu. Kemudian menghasut penduduk untuk pindah.
Sehingga hampir setengah rakyat kita pergi pindah ke sana. Kalau kita tidak bertindak, Pedatuan Melayu akan runtuh. Pedatuan
Pendape adalah pemberontak, sedangkan orang pindah kesana adalah penghianat. Maka, jaga perbatasan tangkap yang akan
pergi. Kalau melawan hukum mati.” Tegas Datu Puyang
Marajo.
“Puyang, apakah tidak salah apa yang
puyang katakan. Karena kita akan menyerang sanak saudara kita sendiri.
Sedangkan Puyang Pendape adalah adik kandung Puyang. Sebaiknya dipikirkan ulang
sebab kita satu asal, bersaudara, berkeluarga, kita juga semua sama-sama yaitu
orang Pedatuan Malayu.” Kata Puyang Lahat Sakti. Dia seorang jurai tue dai Talang Enim. Enim berarti air yang
tenang dan jernih.
“Wahai kemenakanku Datu Puyang
Marajo, ada baiknya
kita bermusyawara saja dengan Puyang Pendape. Seandainya ada rakyat kita yang
pinda tanpa izin maka hendaklah dia mengembalikan. Kalau masalah
gelar kepemimpinan, puyang dapat mengubah mulai dari sekarang.” Saran Puyang Lasema.
“Puyang Lasema. Apakah lantaran dia menantumu, sehingga engkau tidak mau menyerang pedatuan yang jelas-jelas hendak meruntuhkan pedatuan kita. Kau ternyata bukanlah orang yang bijak, mencampur aduk urusan pemerintahan dengan urusan pribadi. Lalu apa hakku sebagai pemimpin yang telah diangkat kalian. Apakah kalian hendak menjilat ludah, atau hendak menjadi pemberontak juga. Membangkang lalu menjadi penghianat pedatuan.” Puyang Marajo marah-marah, dia tersinggung karena terlalu banyak saran dan pertentangan.
Dia tidak suka dibantah dan dinasihati. Karena dia merasa dirinya sangat pintar dan benar. Maka semua hadirin diam, para hulubalang, jurai tue, dan para puyang, akhirnya mematuhi perintah Datu Puyang Marajo.
Puyang Lasema, Puyang Mahat dan lainnya tidak habis pikir mengapa Datu Puyang Marajo selalu membenci Puyang Pendape. Padahal saudara kandungnya sendiri. Puyang Lasema dan Puyang Mahat sudah tua bijaksana dan memiliki pandangan berbeda dalam menyelesaikan masalah. Tapi mereka tetap patu perintah pemimpinnya. Mereka bukan orang yang mementingkan urusan pribadi. Maka berangkatlah sepuluh ribu laskar Pedatuan Melayu menuju Pedatuan Pendape.
*****
Kabar akan adanya serangan sampai ke telinga Depati Puyang Pendape. Dia tidak habis pikir mengapa kakaknya tega menyerang pedatuannya. Padahal dia adalah adik kandungnya sendiri. Sedangkan rakyatnya juga rakyat dari Pedatuan Melayu. Istrinya, Rawas dan pemebesar pedatuan memberi nasihat agar dia bersabar. Dalam sedihnya, pergilah Puyang Pendape bertapa di sebuah bukit kecil di sisi Talang Meranti. Di atas bukit kecil itu ada sebuah gua kecil.
Entah apa yang dia dapatkan dalam pertapaannya itu. Namun semua rakyatnya tidak mengerti mengapa tidak ada persiapan perang. Semua sudah berkumpul di halaman balai pedatuan dengan senjata di tangan. Depati Puyang Pendape tampak tidak bersemangat, dia menyayangi semua rakyatnya dan rakyat saudaranya. Akan banyak janda dan anak-anak yang terlantar, pikirnya.
“Rakyatku semuanya, Aku mencintai kalian dan Aku tidak ingin kita berperang dengan
saudara kita sendiri. Aku tidak meragukan kesetiaan kalian juga
keberanian kalian.
Tapi apa yang kita dapat dari perang saudara ini, selain kesedihan. Tangisan anak
kehilangan ayah, dan tangisan istri kehilangan suami.” Kata Depati Puyang Pendape di hadapan rakyatnya. Semuanya terdiam dan membenarkan kata-kata Puyang
Pendape.
“Aku memerintahkan kalaian semua,
termasuk istri dan anakku untuk mempersiapkan perbekalan untuk pergi jauh lagi. Buatlah
kelompok-kelompok kalian, lalu bangunlah talang-talang yang baru di mana saja di bumi pedatuan. Bawalah bibit-bibit tanaman, ternak
dan perabotan rumah tangga kalian. Gunakan senjata untuk berburu atau
melindungi diri dari bahaya. Hanya itu perintahku, yang harus kalian taati
semuanya. Pergilah dan berkemaslah.” Kata Depati Puyang Pendape.
“Puyang. Puyang. Depati.
Depati.” Beberapa
orang Datu seperti ingin menentang keputusan itu.
“Cepat kemas barang-barang, perbekalan
dan ajak keluargamu pergi. Sebelum
terlambat,
Mengertiiiiii.” Depati Puyang Pendape marah, semua tidak dapat berbicara lagi. Depati Puyang Pendape meminta Rawas pergi
membawa anak dan istrinya pergi secepatnya.
“Rawas jagalah kakakmu, dan kemenakanmu
pergilah secepatnya, sejauh-jauhnya.” Ujar depati Puyang Pendape. Betapa sedih istri dan
anak-anaknya, tapi mereka harus segerah pergi dengan cepat meninggalkan
pedatuan yang baru mereka bangun.
*****
Laskar Pedatuan Melayu sudah memasuki perbatasan Pedatuan Pendape. Gapura yang terbuat dari kayu beratap daun serdang tampak kosong. Tidak satupun penjaga di sana. Pasukan perintis Pedatuan Melayu membakar gapura. Meraka terus masuk untuk mengintai. Bersikap waspada kalau-kalau ada jebakan atau musuh bersembunyi.
Seorang prajurit di utus menemui Datu Puyang Marajo di tendanya, melaporkan situasi. Tampak para hulubalang dan para pembesar pedatuan mendampingi sambil mempelajari situasi. Datu Puyang Marajo memerintahkan agar tetap berhati-hati. Sebab dalam perang, yang berperan adalah setrategi bukan jumlah. Perang adalah tipuan, bukan yang tampak. Perintah mengepung Pedatuan Pendape di jalankan.
“Hulubalang Pibang Suban, lakukan ronda dan periksa bukit di sisi pemukiman penduduk sesuai laporan pasukan pengintai.” Perintah Datu Puyang Marajo pada seorang hulubalangnya.
Pasukan Datu Puyang Marajo terus masuk tanpa halangan, mulai ada satuan-satuan pasukan menemukan pemukiman. Saat mereka masuk, talang telah kosong. Rumah terbuka dan kosong tidak ada perabotan. Mereka kemudian menyadari kalau talang-talang telah ditinggalkan penduduknya. Saat tiba di balai pedatuan, mereka juga menemukan dalam keadaan kosong. Pintu gapura yang terbuat dari kayu belian tampak terbuka lebar.
*****
Pasukan Pedatuan Melayu
paling banyak menyerbu ke Talang Meranti. Karena dikenal kediaman Puyang
Pendape dan terdapat Balai Depati. Namun mereka hanya menemukan dua orang nenek-nenek
menumbuk padi. Sebuah keluarga dimana terdapat ibunya sakit para. Satu keluarga
ayahnya sakit parah juga. Dua keluarga istrinya hamil besar, dan ada dua
keluarga istrinya baru saja melahirkan. Sekitar sepuluh keluarga yang masih
tinggal dan tidak bisa perdi dalam waktu dekat. Pasukan Pedatuan Melayu mengajak
mereka perang dan mengadu keahlian silat.
“Kau hendak berperang dengan kami. Apa
kau tidak melihat kalau kami orang biasa, bukan laskar, orang tua
juga. Tidak tahu malu menjadi prajurit. Aku kenal dengan bapak kalian cukup melihat
wajah kalian saja. Kau ini pasti anak saudarah sepupuku, Laman Itam. Apa kau begitu kurang ajar
menodongkan senjata padaku. Aku ini masih uwa kau, mengerti. Kalau kau ada
anak perempuan, Aku boleh jadi wali nikahnya.” Kata lelaki tua berumur lima puluh tujuh
tahun. Semua prajurit
terkejut dan terdiam dan sadar kalau mereka memerangi keluarga sendiri.
“Pakkkk.” Kakek
itu menempeleng kepala prajurit itu. Dia hanya diam saja dan meminta maaf.
“Ayo, ayo tusuk
Aku.” Kata Uwa itu lagi. Akhirnya mereka pergi semua mengalah.
“Kau juga, Uwa
sendiri diajak perang.” Kata temannya.
“Mana Aku tahu
kalau dia saudara ayahku dari garis laki-laki.” Jawab prajurit yang di
tempeleng uwanya sambil cemberut.
“Pantaslah semuanya pergi, bukan karena mereka takut. Tapi menyadari kalau kita adalah saudara
mereka. Kitalah yang penakut, menyerang saudara sendiri.” Kata prajurit
yang lain.
Ada juga dua orang prajurit tertarik pada anak gadis mereka, lalu diam-diam
menikah dan menetap di Talang Meranti.
*****
Sementara itu, Hulubalang Pibang Suban melakukan pengintaian di bukit. Dua ratus
orang pasukannya mengikuti. Tiba di atas bukit mereka hanya menemukan seorang laki-laki duduk
tenang dengan mata terpejam pada sebongka batu. Mereka mengepung lelaki itu, yang
tampak tenang-tenang saja.
“Dinda Hulubalang Pibang Suban, benarkah kau akan menyerang dan
membunuhku.” Kata Puyang Pendape dia membuka matanya.
“Tentu tidak, kanda. Hanya mematuhi perintah pemimpin, Datu Pedatuan Melayu. Tentu kanda
mengerti dengan tugas prajurit.” Katanya.
“Kau prajurit yang baik dan bertanggung
jawab. Aku mengerti, biarlah urusan ini Aku selesaikan dengan Kanda Marajo. Ini
sebenarnya urusan keluarga bukan urusan negara. Katakan padanya temui Aku di sini.” Kata Depati Puyang Pendape.
*****
Datu Puyang Marajo diiringi Hulubalang
Pibang Suban, Puyang Lasema, Puyang Mahat, dan beberapa prajurit menuju puncak
bukit. Dengan
amarah meluap dan kemaran Datu Puyang Marajo bergegas
melangka.
“Kau ingin menantang Aku. Sungguh
kurang ajar dirimu. Kemana laskar dan rakyatmu pergi. Mereka melarikan diri karena takut.
Memaluhkan sekali, menyesal Aku datang kemari ternyata pedatuanmu
hanyalah kumpulan para pengecut.” Kata Datu Puyang Marajo sambil bertolak
pinggang. Tanjak bersulam benang emas mengikat rambutnya yang panajng.
“Mengapa kakanda selalu membuat masalah. Aku sudah pergi jauh dan tidak
mengusik kehidupanmu. Kapan kakanda dewasa dan berpikiran
jernih. Harta dan kedudukan hanyalah titipan sang hiyang. Penguasa alam semesta
yang tunggal.”
Jawab Puyang Pendape.
“Aku dapat
membaca pikiran licikmu. Kau bermaksud menjatuhkan Aku secara halus. Aku
mengerti saat kau
menghasut rakyat Pedatuan Melayu pindah ke pedatuan buruk ini. Kau melawan Aku dengan diam-diam. Kau pemberontak
pedatuan sendiri. Kau mengangkat pemimpin talang dengan gelar datu.
Lalu kau naikkan derajadmu dengan mengubah gelar, menjadi Dapati. Depati
diartikan pemimpin para datu-datu. Kau merendahkan Aku, karena Aku seorang Datu.
Sehingga rakyat berkata kalau Aku bawahanmu. Pedatuan Melayu taklukannmu dalam kekuasaanmu.” Ujar Datu
Puyang Marajo. Dia merasa kesal sekali dan marah besar. Tapi dia salah mengerti
tentang gelar Datu dan Depati.
“Kanda itu
hanya gelar yang berlaku di Pedatuan kami. Tidak ada sangkut pautnya dengan
Pedatuan melayu.” Jelas Puyang Pendape.
“Kau dari
dahulu sangat pandai bersilat lidah. Aku sudah bosan sekali dengan
akal-akalanmu, Pendape. Ini urusan pedatuan, bukan urusan keluarga.” Setelah itu Datu Puyang Marajo menyerang Puyang Pendape dengan semua kesaktiannya.
*****
Terjadilah pertarungan hebat antara Datu Puyang Marajo dan Puyang Pendape. Pertarungan sudah selama tiga hari tiga malam. Sampai akhirnya Puyang Lasema dan Puyang Mahat datang menghentikan. Kemudian muncul juga Rawas untuk menjemput Puyang Pendape atas permintaan Istinya, Putri Daun Pandan. Dia meminta agar Puyang Pendape dan Puyang Marajo berhenti bertarung.
Namun Datu Puyang Marajo begitu keras kepala. Sudah berkali-kali terjatuh dan muntah darah. Namun dia tidak mau menyerah dan menghentikan pertarungan. Puyang Pendape juga sering terluka, namun saat tubuhnya tersentuh tanah kembali sembuh seperti semulah. Datu Puyang Marajo yang memiliki kemampuan mengendalikan batu-batu terus menyerang dengan batu-batu besar. Banyak batu-batu berterbangan dan tersebar di atas bukit itu. Batu-batu yang berserakan itu masih dapat dilihat sampai sekarang di atas Bukit Pendape. Pendape berpikir kalau kakanya tidak akan berhenti kalau dia belum mati. Maka dia mengalah dan berkata.
“Kanda apabilah engaku hendak
mengalahkan Aku. Hanya dengan ditusuk menggunakan buluh perindu. Di sisi bukit ada buluh
perindu, ambillah.” Kata Puyang Pendape seraya mengelak serangan-serangan
berupa batu-batu besar yang dilemparkan Marajo. Marajo kemudian dengan cepat
memotong buluh perindu dan ujungnya runcing seukuran tombak. Lalu melompat dan melemparkan ke tubuh
Puyang Pendape. Tanpa ampun buluh perindu itu menancap menembus dada Puyang
Pendape.
“Wussss. Aaaahhhh.” Jerit Puyang
Pendape. Semau yang menyaksikan terkejut dan bersedih sekali. Datu Puyang Marajo merasa puas dan tertawa
keras melihat bambu menancap di tubuh Puyang Pendape adiknya
sendiri.
Rawas melompat memangku tubuh yang roboh berlumuran darah. Terdengar pekik
tangisnya, saat melihat kakak iparnya terluka parah.
“Kakkkkkk.” Jeritannya membahana.
Puyang Lasemah dan Puyang Mahat menghampiri dan berlutut di sisi Puyang Pendape. Dari wajah mereka sangat menyesalkan
kejadian itu. Terlihat duka mendalam dan kesedihan dari wajah
mereka.
Rawas ingin mencabut potongan bambu
menancap di dada Puyang Pendape. Tapi Puyang Pendape tidak mengizinkan, sebab
dia akan sembuh dan hidup lagi karena kesaktian ilmu Rajo Bumi. Dia tidak
ingin berseteru lagi dengan sang kakak. Dia ingin menjadi peringatan untuk orang-orang
Melayu agar jangan berseteru dalam keluarga dan perang saudara, orang Melayu
haruslah bersatu katanya sebab satu asal nenek moyang mereka
dari atas bukit-bukit.
“Bak, Aku kembalikan Putri Daun
Pandan pada Bak.” Kata Pendape.
“Rawas, tolong jaga kemenakan kau dan
kakakmu. Berikan pibang pusaka ini pada Padukara." Seraya tangan memegang sarung
pibang terselip di panggangnya. "Bilang, jadilah orang baik.” Kata Puyang
Pendape dengan terbata-bata dan mulutnya mengeluarkan darah segar. Puyang Mahat
tampak bersedih sekali. Sebab dulu Puyang Pendape muridnya dalam belajar kuntau. Puyang Pendape kembali berkata.
“Kebumikan jasadku di atas bukit ini. Dibawah rumpun bambu yang sering Aku buat
anyaman
bubu.” Rawas tidak menanggapi. Dia sudah dikendalikan perasaannya, air matanya
tidak tebendung lagi. Puyang Pendape berkata agar dia jangan bersedih. Sebab
jalan hidup sudah ditakdirkan oleh sang pencipta. Tugas manusia adalah
berbuat baik. Karena sang pencipta ingin mengetahui hamba-hambanya yang baik
dan yang buruk. Mata Puyang Pendape mulai kabur, tangan Puyang Pendape
terasa dingin dan menggenggam tangan Puyang Lasemah dan Puyang Mahat. Kembali dia berkata
untuk terakhir kalinya.
“Kelak suatu masa di Pedatuan Pendape
akan berdiri sebuah kota yang besar dan sejahterah, terkenal di seluruh dunia.
Saat itu, penduduknya telah mendapat cahaya. Cahaya itu dibawa oleh seorang
anak yatim piatu yang jujur. Nanti, anak keturunan rakyatku yang pergi akan
kembali ke sini membangun kota itu. Banyak juga orang asing yang akan
datang. Pada saatu saat nanti, di Pedatuan
Pendape akan
lahir seorang pemimpin yang akan memulai peradaban baru. Dia anak yang suka membaca, suka belajar dan menulis.
Sebab, dunia hanya akan terang oleh pengetahuan.” Kata Puyang Pendape, dan
kemudian tubuhnya lunglai pertanda dia pergi untuk selamanya. Sesuai wasiatnya
jenazah dikubur di atas bukit itu.
*****
“Bak, Aku akan membangun Talang baru. Untuk
mewujudkan cita-cita Kakanda Pendape. Untuk meluaskan Pedatuan Melayu. Sehingga
Negeri Melayu bukan hanya di bukit-bukit dan kaki gunung saja. Tapi juga
disemua dataran sampai ke lautan.” Ujar Rawas. Rawas pergi membawa pibang sakti milik
Puyang Pendape.
Dia kemudian membangun Talang di sisi sungai besar. Kelak dikemudian hari sungai itu dinamakan anak
cucunya dengan namanya,
Sungai Rawas.
*****
Puyang Lasemah dan Puyang Mahat kembali
pulang ke Pedatuan Melayu. Kemudian meminta anak-anak atau siapa saja untuk
turun pindah ke dataran rendah. Lalu membangun talang-talang baru. Banyak
penduduk yang mengikuti saran itu. Sehingga tersebarlah penduduk Pedatuan
Melayu. Mereka bermukim di pinggiran sungai-sungai dan menamakan sungai sesuai
nama hal yang mereka temui atau nama pemimpin mereka. Akhirnya mereka lebih
suka tinggal di dataran rendah, membuat Pedatuan Melayu ditinggalkan yang hanya
menyisakan batu-batu berukir.
******
Satu tahun kemudian setelah peristiwa itu. Kemenakan
Puyang Pendape si Serunting
pulang ke Pedatuan Pendape. Dia suka berkelana kemana-mana untuk mencari ilmu
kesaktian. Sekarang dia sudah menjadi orang sakti dengan julukan si Pahit Lidah. Apa yang dia
katakan akan terwujud. Serunting tidak sabar ingin berjumpa dengan pamannya,
Puyang Pendape.
Dia sudah menjadi pemuda yang gagah perkasa. Betapa bahagia dia saat mendekati
Pedatuan. Masakan bibinya sama rasanya dengan masakan ibunya.
Tentu juga, saudara
sepupunya pasti sudah besar pikirnya. Akan dia ajak berburu rusa di
hutan, kata hatinya.
Saat dia sampai di Pedatuan Pendape dia merasa sangat heran sekali. Talang-talang yang dia lalui sepi dan bangunan rumah sudah rusak karena tidak teurus. Bahkan sudah ada yang roboh dan dimakan rayap. Halaman-halaman rumah juga tidak terawat, rumput telah tumbuh menjalar tinggi. Dia datangi setiap talang di pedatuan.
Sampailah dia di Talang Meranti yang masih ada beberapa rumah yang di huni. Dengan demikian dia dapat mencari informasi apa yang sudah terjadi. Dia bertamu kerumah seorang warga. Mereka menceritakan kalau pedatuan diserang Datu Puyang Marajo dari Pedatuan Melayu. Keputusan Puyang Pendape adalah semua rakyat harus pergi dan menghindari perang.
“Begitulah ceritanya, cucuku Puyang Serunting.” Kata kakek itu, dialah
kakek berani yang menampar prajurit ternyata masih kemenakannya. Serunting sedih, dan dia merasa sangat
menyesal pergi merantau terlalu lama.
“Bagaimana paman Pendape.” Tanya
Serunting. Semua pada awalnya diam saja tidak mau menjawab. Tapi
karena Serunting mendesak terus terpaksa mereka ceritan kejadian setahun lalu
di tas bukit.
“Puyang Pendape telah pergi untuk selamanya, dia
mengorbankan dirinya agar kita tidak perang saudara. Semua orang
menangis dan bersedih.”
Jelas kakek itu, dia pun menangis bersama istrinya. Serunting pergi, dia juga
mengis sedih mengenang pamannya.
“Aiii nasippp. Bak dan Umak telah pergi, sekarang paman juga telah pergi.” Kata serunting sambil menangis. Setelah itu, dia pergi ke bukit di sisi Talang Meranti di mana terdapat kuburan Puyang Pendape. Di jalan mendaki bukit kecil itu, dia tidak sabar ingin cepat sampai di kuburan sang paman. Karena itu, dia merasa kalau bukit itu tinggi.
“Baru sepuluh tahun Aku merantau mencari ilmu, bukit ini sudah tinggi sekali. Bagaimana kalau dua puluh tahun lagi, tiga puluh tahun lagi, seratus tahun lagi. Pasti bukit ini semakin tinggi dan tinggi.” Kata Serunting.
Serunting atau si Pahit Lidah memiliki kesaktian dimana apa yang dia katakan akan terwujud. Kalau manusia dia sumpahi menjadi batu, maka akan menjadi batu. Begitu juga dengan bukit itu nantinya. Akan meninggi dan meninggi sesuai kata-kata Serunting. Tiba di kuburan Puyang Pendape dia meratap sedih.
“Aku akan menghukum Paman Datu Puyang Marajo. Dia harus
dihentikan, kalau tidak akan banyak kerusakan yang dia perbuat di muka bumi ini.” Kata Serunting.
*****
Tidak begitu
lama, Serunting pun telah tiba di Pedatuan Melayu. Banyak penduduk yang masih
mengenalinya. Serunting tiba di halaman balai datu Pedatuan Melayu.
“Hai Datu jahat, keluarlah temui Aku. Aku akan memberi hukuman padamu yang sudah tidak punya hati. Tega membunuh adik kandung sendiri. Demi tahtah dan kedudukan negeri. Juka tukang buat kerusakan di muka bumi.” Teriak Serunting.
Datu Puyang Marajo marah mendengar ada orang berani menantangnya. Dia bangkit dari berbaring dan melangkah ke luar balai datu. Para prajurit tidak ada yang berani pada Serunting. Mereka membiarkan paman dan kemenakan itu menyelesaikan urusan keluarga mereka.
“Hei Serunting,
kau sekarang sudah besar tapi kau bertambah kurang ajar. Aku ini pamanmu,
saudara kandung ayahmu. Bicara
semabrangan saja.”
Jawab Datu Puyang Marajo.
“Paman telah
membunuh paman Pendape hanya karena masalah kecil. Dia sudah pergi mengalah dan
jauh dari kehidupanmu. Kau memang saudara tidak tahu diri. Aku akan menghukum
paman, agar keadilan ditegakkan.” Kata Serunting. Mereka bertengkar dan
bertengkar. Satu sama lain tidak ada yang mau mengalah. Maka pertarunganlah
yang menjadi jalan terakhir.
“Heeeaaaaa.
Heaaaaa.” Teriak keduanya.
Begitulah teriakan pertarungan mereka membahana. Berhari-hari mengadu kesaktian dan
diakhir pertarungan mereka mulai melepas ilmu andalan. Batu-batu sebesar gajah
beterbangan menghantam Serunting. Membuat Serunting kewalahan tapi dapat
mengimbangi serangan itu. Serunting tahu kelemahan ilmu
pamannya itu. Dari semula telah dia siapkan. Bambu runcing bagian ujungnya
diolesi tujuh jenis getah tumbuhan.
“Heaaa.”
Wussss. Croottt.” Sebatan bambu runcing dilempar serunting dan mengenai dada Datu Puyang Marajo. Tanpa ampun dia jatuh tersungkur dan tewas seketika. Selesai sudah tugas Serunting dan dia pun pergi entah kemana.
Saat mereka sedang bertarung hebat tadi, ada seorang laki-laki muda yang duduk membelakangi mereka. Tampaknya dia tidak melihat pertarungan itu. Namun, siapa sangka di balik rambutnya yang terurai ternyata ada dua mata yang melihat pertarungan Serunting dengan Datu Puyang Marajo. Dialah Puyang si Mata Empat.
*****
Sementara itu, bukit dimana kuburan Puyang Pendape yang disebut Serunting
selalu meninggi dan meninggi. Terjadi hal aneh. Bukit kecil itu benar-benar meninggi dan meninggi.
Sehingga menjadi bukit yang tinggi sebagaimana sekarang ini. Orang bilang bukit
itu meninggi sebab kata serunting yang tidak sabar ingin cepat sampai. Ada juga
yang bilang meninggi karena kesaktian Puyang Pendape. Penduduk pun menamakan
bukit itu dengan, Bukit Pendape.
Editor. Desti. S. Sos.
Palembang, 15 Oktober 2019.
Daftar Kata:
Puyang: yang berarti pemimpin. Bak: Ayah. Buluh: Bambu. Datu: Pimpinan Kampung. Pibang: Senjata tradisional Negeri Dataran Bukit Pendape atau Masyarakat Sungai Keruh. Nomaden: Kehidupan yang berpindah-pindah tidak menetap di suatu tempat. Memang zaman dahulu orang Melayu hidup nomaden baru kemudian berangsur-ansur menetap.
Sumber dari mane, terkesan gunahan dari beberapr cerito... Dan bertentangan dengan yang beredar di masyarakat....
ReplyDeleteName bukit itu Banape bukan pendape, itu yang diyakini masyarakat, ingat penggalian dan penulisan cerita ralyat harus ade etika penggalian minimalemperhatike yang beredar di masyarakat... Bukan asal bagus dan jadi
ReplyDeleteNo........?
ReplyDeleteSumber dari mana?? Tolong dong?
ReplyDeleteCerita rakyat. Sama seperti yg diceritakan oleh kakek Ku.. Izin share Ya..
ReplyDelete