Budaya Daerah
Pengertian Istilah-Istilah Adat Syarat Pernikahan Masyarakat Melayu Sekayu
Apero Fublic.- Dalam
budaya pernikahan pada masyarakat Melayu di Provinsi Sumatera Selatan memiliki
beberapa istilah-istilah adat dalam proses pernikahan. Adat istiadat tersebut
telah berlaku turun temurun menjadi tradisi. Praktek adat istiadat ini diikuti
oleh semua penduduk dengan sendirinya. Tidak ada hukum tertulis, namun sudah di
hafal di luar kepala oleh masyarakat. Tulisan ini disesuaikan dengan adat
istiadat pernikahan masyarakat Melayu Islam Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera
Selatan.
1.
Mahar.
Mahar
bukan adat tapi hukum wajib dalam Islam. Dimana seorang lelaki wajib membayar
mahar pada wanita yang dia nikahi. Di Indonesia mahar lebih sering di sebut Mas
Kawin. Mahar boleh sedikit dan boleh juga banyak.
Tergantung permintaan dari
pengantin wanita. Rasulullah SAW berkata kalau wanita yang paling baik adalah
wanita yang mahar atau mas kawin yang paling sedikit. Karena Mahar atau Mas
Kawin adalah bentuk dari nilai keihklasan dan keridhaan si wanita menjadi istri
si lelaki.
Mahar atau Mas Kawin yang besar biasanya menyimpan hal yang kurang baik
dalam pernikahan. Terkesan materialistis dan adanya maksud tertentu. Misalnya
pernikahan seorang gadis muda dengan kakek-kakek, duda, atau lainnya. Atau
pernikahan janda dengan seseorang laki-laki dimana dia meminta Mas Kawin yang
banyak.
Walau mahar berhutang tidak mengapa. Karena si janda ingin mengikat si
lelaki. Sebab kalau si lelaki mau menceraikannya harus membayar mas kawin atau
mahar yang dahulu berhutang. Mengapa mahar pada pernikahan yang kurang sehat
tersebut sering tidak berimbang, banyak, dan berlebihan.
Karena hukum mahar
adalah milik wanita (istri) di luar harta gono-gini. Kita pernah dihebohkan
dengan seorang gadis menikah dengan mahar puluhan sukuk emas, uang ratusan juta
rupiah, dan lainnya. Karena memang si gadis atau si wanita ingin mendapatkan
emas atau materi dari orang yang menikahinya.
Sebab mahar akan menjadi milik
pribadi bagi si wanita. Apabila bercerai dia bawak pergi dan tidak dapat
dituntut suami. Itulah sebabnya, di dalam Islam wanita yang paling baik adalah
yang maharnya paling sedikit. Bukan berarti tidak boleh banyak, asalkan tidak
memberatkan dan tidak ada niat lain, boleh.
2.
Jojoh.
Jojoh adalah
permintaan adat istiadat untuk kebutuhan saat acara pernikahan. Seperti biayah
saat yasinan, syukuran (sedekah) atau resepsi pernikahan di rumah
mempelai perempuan. Jojoh berupa uang, emas, beras dan lainnya
menurut kesepakatan.
Bentuk uang dengan permintaan tertentu dan diadakan sesuai
kemampuan si lelaki. Seandainya uang jojoh ada lebihnya
setelah acara pernikahan di tempat mempelai wanita. Maka uang akan dikembalikan
dengan barang-barang kebutuhan rumah tangga. Seperti kasur, periuk, kompor,
lemari, dan sebagainya.
Atau di istilahkan dengan babah. Kalau pernikahan di
tempat wanita biasanya uang jojoh juga digunakan untuk biaya
surat menyurat. Sesungguhnya jojoh yang banyak itu
hanyalah bentuk seremonial belaka dalam pernikahan. Tidak juga untuk dinikmati
pribadi oleh pihak mempelai wanita. Seandainya tidak adapun sama saja.
Karena jojoh inilah juga banyak para pemuda menunda
pernikahan. Kalau menikah mereka juga kadang menjual harta benda atau
berhutang. Kadang bertahun-tahun setelah menikah mereka masih membayar hutang
pernikahan mereka. Kalau sekarang istilah jojoh sering disebut
hantaran-hantaran.
Padahal yang dinamakan hantaran itu, saat orang memberikan
atau mengantar jojoh kerumah mempelai perempuan. Karena
istilah jojoh itu bermakna semua yang diminta dan yang
diberikan atau dihantarkan pada pihak mempelai perempuan kecuali mahar.
3.
Genti Duduk
Kata genti dalam
bahasa Indonesia berarti ganti. Sedangkan duduk bermakna keberadaan sesuatu
pada tempatnya. Genti Duduk adalah pemberian adat dari
mempelai laki-laki pada keluarga perempuan (wali). Genti Duduk dimaksudkan
untuk mengganti posisi si anak yang menikah dan akan pergi ikut suaminya. Genti
Duduk ibarat suatu pengingat atau penanda keberadaan anak perempuannya
di rumah.
Saat ibu, ayah, kakak, adiknya yang sedang rindu padanya. Mereka akan
melihat genti duduk untuk mengenang yang sudah menikah. Genti Duduk berupa
benda adat seperti senjata tradisional atau baju adat. Genti Duduk tidak
boleh barang yang dapat diperjual belikan dengan baik, seperti emas. Genti
Duduk adalah barang pusaka keluarga jadi sangat tidak layak kalau
sampai hilang atau dijual.
4.
Punjung
Punjung adalah
persyaratan adat penting dalam adat pernikahan masyarakat Melayu Sumatera
Selatan, khususnya di Kabupaten Musi Banyuasin. Punjung berupa
pemberian pada sanak keluarga mempelai perempuan. Punjung di daerah
Kabupaten Musi Banyuasin berupa ayam. Ada dua punjung, punjung
mentah dan punjung masak. Dalam pembagiannya terdiri tiga
jenis, Punjung Wali, Punjung Tue (Tua), dan Punjung
Sanak.
Punjung Wali selalu punjung masak, sedangkan punjung
sanak kadang punjung masak dan lebih sering punjung
mentah. Fhiloshofi punjung adalah bentuk silahtuhrahmi pertama dalam
memulai ikatan keluarga. Seseorang yang datang sangat cocok kalau dijamu dengan
baik. Agar tercipta kehangatan dan kekeluargaan.
a.
Punjung Wali
Punjung
Wali adalah punjung khusus untuk wali mempelai perempuan. Terutama
untuk yang bertanggung jawab atas mempelai wanita. Seperti ayah, kakak kandung,
kakek-nenek, kakak kandung ayah dimana dia juga sebagai salah satu wali
mempelai perempuan. Seandainya keluarganya tidak ada lagi.
Maka siapa yang
mengurus si mempelai perempuan atau keluarga terdekatnya yang diberikan punjung
wali. Punjung Wali adalah berupa ayam yang dimasak tanpa
dipotong. Lengkap dengan pengiringnya seperti gulai, nasi, dan sebagainya untuk
di hidangkan pada wali si perempuan setelah akad nikah. Apabila rumah mempelai
laki-laki dekat biasanya saat makan kedua mempelai dipanggil untuk ikut makan.
b.
Punjung Tue (Tua)
Punjung
Tue adalah punjung masak yang diberikan pada keluarag dekat
mempelai perempuan. Punjung Tue sama saja dengan punjung
wali namun diberikan pada keluarga tertua yang dihormati keluarga
mempelai wanita.
Seperti kakak kandung dari ayah atau Ibunya (Uwa). Kakak
kandung tertua mempelai wanita tapi sudah menikah. Kakak kandung dari kakek
atau nenek. Paman saudara kandung dari ayah atau ibu, yang tertua. Pemberian
juga seimbang agar tidak ada kecemburuan keluarga. Misalnya dari pihak ayah dua
Punjung Tue. Pada keluarga pihak ibu dua Punjung Tue.
Punjung Tue juga
diberikan pada orang yang dianggap ada hutang budi. Misalnya si mempelai
perempuan pernah sakit keras kemudian diobati orang tersebut, sembuh. Punjung
Tue tidak begitu banyak biasanya hanya sebatas dua, tiga, empat. Namun
jumlah tidak ada batasan selagi dalam kesepakatan keluarga kedua pihak.
c.
Punjung Sanak (Keluarga Besar)
Punjung
Sanak adalah punjung yang diberikan pada sanak
keluarga perempuan (keluarga besar), sesuai kesepakatan. Punjung Sanak berupa
ayam hidup dengan ukuran sedang. Diikuti dengan beberapa syarat adat,
diantaranya beras dua kilogram dan bumbu masak ayam tersebut.
Pemberian itu,
untuk penghormatan dan tanda ikatan persaudaraan dari mempelai laki-laki pada
keluarga mempelai perempuan. Pemberian punjung sanak bebas
siapa yang bersyarat boleh diberikan. Tapi penerima punjung sanak juga
harus sudah menikah.
Pemberian punjung sanak misalnya pada seorang pamannya,
sepupu, bibik, dan lainnya. Ayam punjung sanak yang diberikan,
kemudian dimasak dan dimakan bersama sambil mengundang kedua mempelai kerumah
mereka. Sehingga sejak saat itu terjalin kekeluargaan dengan keluarga besar
mempelai perempuan dengan mempelai laki-laki.
Semacam silaturahmi dan
perkenalan pada keluarga baru. Punjung Sanak juga berbalas
dari yang diberikan. Misalnya Punjung Sanak diberikan pada
paman mempelai wanita. Paman yang diberikan Punjung nanti
memberikan hadia pernikahan sesuai kemampuan mereka. Tapi tidak wajib
tergantung keikhlasan keluarga tersebut.
5.
Pelangkah
Pelangkah adalah
pemberian penghormatan pada kakak mempelai perempuan baik kakak laki-laki atau
kakak perempuan. Dengan syarat sang kakak belum menikah atau belum pernah
menikah. Pelangkah bisanya berupa pakaian, emas, sejumlah
uang, senjata tradisional atau pakaian tradisional. Pelangkah dimaksudkan
untuk menghormati sekaligus untuk menghibur sang kakak yang belum mendapat
jodoh.
Dimana seharusnya yang lebih tua menikah lebih dahulu. Tapi kemudian dia
didahului adiknya menyambut jodoh. Pemberian pelangkah ini
adalah hukum adat yang tidak tertulis. Tapi juga tidak mewajibkan. Namun
menjadi persyaatan sebagaimana persyaratan adat istiadat lainnya. Pelanggan
yang diberikan mutlak milik pribadi sang kakak.
Semuanya
adalah bentuk adat istiadat. Bentuk kekayaan budaya bangsa tidak benda.
Seharusnya dilestarikan dengan cara mengajarkan pada generasi muda, dan membuat
kitab tertulis untuk masyarakat. Zaman sekarang masyarakat Melayu Sumatera
Selatan mulai meninggalkan adat istiadat tersebut.
Sedikit demi sedikit
ditinggalkan oleh masyarakat dan generasi sekarang tidak perduli. Sehingga adat
istiadat tenggelam oleh zaman. Mungkin ini memang semacam seremonial adat saja.
Namun, mengapa zaman dahulu angka perceraian sangat sedikit.
Apakah peran adat
istiadat memberikan pengaruh. Karena ada bentuk keseganan dan penghormatan
terhadap keluarga dan tradisi. Kita tidak tahu, hanyalah Allah yang tahu. Ada
baiknya kita mulai menengok ke masa lalu bangsa kita untuk memulai mengambil
pembelajaran.
Oleh.
Joni Apero
Editor. Desti. S.Sos.
Palembang,
29 Oktober 2019.
Sumber.
Keterangan tetua desa di Desa Gajah Mati dan Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten
Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Sy. Apero Fublic
Via
Budaya Daerah
Post a Comment