Asal Mulah Sungai Keruh dan Kutukan Puyang Dulu
*****
Tersebutlah sebuah daerah yang sudah di diami oleh sekelompok manusia. Pemukiman mereka namakan dengan Talang. Setiap talang terdiri dari kelompok-kelompok keluarga besar yang dinamakan Tumang. Talang tersebut terletak di sebuah kaki bukit. Sering penduduk talang yang tidak bernama itu memandang ke puncak bukit dari rumah mereka.
Lalu mereka berkata, “lihat hari mau
hujan. Mendung tampak di atas bukit.” Begitulah percakapan mereka,
sehingga waktu demi waktu bukit tersebut bernama, Bukit Mandung. Karena seringnya mereka berkata demikian.
Talang mereka di kaki bukit Mandung. Lama kelamaan, talang tidak bernama itu dikenal
dengan nama Talang Mandung.
*****
Sebuah keluarga tinggal di Talang Mandung. Namaya Gurana dan istrinya bernama Nanra. Karena Gurana orangnya sakti, bijaksana, dan berbudi luhur. Oleh penduduk dia diangkat menjadi Datu Talang Mandung, bergelar Datu Puyang Gurana. Karena Gurana orang pertama mendapatkan gelar puyang. Sehingga dikemudian hari dikenal di kenal dengan sebutan Puyang Dulu. Puyang Dulu berarti puyang yang pertama kali atau lebih dahulu memakai gelar puyang.
Puyang Dulu memiliki enam orang anak. Tiga laki-laki dan dua perempuan. Anak pertama dan kedua laki-laki, bernama Kartaju dan Kartaja. Anak ketiga perempuan bernama Kartani. Anak keempat dan kelima laki-laki bernama Rangas dan Ratan. Sedangkan anak bungsu bernama Putri Kuning. Mereka memiliki seekor kucing yang berwarna, belang tiga. Mereka menamakan kucing itu, si Belang. Si Belang selalu ikut Putri Kuning bermain kemana saja.
Suatu pagi, seperti biasa keluarga Puyang Dulu akan pergi ke ladang. Karena musim menanam padi, banyak pekerjaan di ladang. Maka anaknya yang sudah dewasa dimintai bantuan menanam padi. Kartaju, Kartaja dan Kartani ikut membantu. Sementara Rangas, Ratan dan Putri Kuning tetap tinggal di rumah. Mereka masih anak-anak. Ratan dan Rangas yang kembar berumur sepuluh tahun, Putri Kuning delapan tahun.
Sebelum berangkat ke ladang. Puyang Dulu memberi peringatan dan nasihat agar jangan bermain di hutan. Banyak hewan buas dan tidak boleh bermain, di hutan Bukit Mendung. Sebab di bukit tersebut ada semacam kekuatan gaib, Wujud Kato. Kekuatan tak terlihat yang dapat merubah perkataan seseorang menjadi kenyataan.
“Rangas, Rattan dan Kuning, ingat pesan Bak.” Kata Puyang Dulu, dan ketiganya mengiakan.
Kita semua tahu kalau anak-anak suka berkata-kata hayalan. Nanti mereka berkata-kata yang aneh-aneh. Dikhawatirkan mereka akan berubah sesuai apa yang mereka katakan. Ketiganya mematuhi nasihat sang ayah. Berbulan-bulan telah berlalu kemudian. Sekarang masanya panen, menuai padi di ladang. Kali ini, istri Puyang Dulu juga yang memperingatkan lagi ketiga anak-anaknya.
*****
“Rangas dan Ratan, jangan main jauh dari
rumah. Ingat jaga adik kalian baik-baik. Ibu pulang agak sore, sebab kita
sedang menuai padi. Nanti ibu bawakkan tebuh yang manis.” Kata sang ibu sambil
mempersiapkan keranjang yang berisi bekal dan air minum. Ratan dan Rangas
tampak gembira sekali mendengar akan dibawakan tebuh yang manis.
“Iya Ibu. Kami akan menjaga adik terus
sampai kapan pun. Walau pun adik menjadi sungai sekalipun masih akan kami jaga,
betulkan Koyong.” Kata Rangas, dengan nada menyakinkan sang ibu. Ratan juga
mengiakan sambil memainkan senjata mainan pibang dari kayunya. Terdengar petir
menyambar di atas Bukit Mendung, setelah Rangas berkata demikian. Istri
Puyang Dulu jadi khawatir. Kemudian anak sulungnya Kartaju berkata.
“Cepatlah Bu, nanti hujan. Kita belum sampai ke ladang. Bak sudah berangkat bersama Kartaja.” Ujarnya.
Mendengar kata-kata Kartaju istri Puyang Dulu berpikir. Lalu kekhawatirannya teralihkan. Mungkin memang hari mau hujan pikirnya. Sepanjang hari itu, istri Puyang Dulu menjadi tidak enak makan. Berkali-kali perkataan Rangas terngiang di telinganya. Waktu berlalu dengan cepat, empat bulan pun telah berlalu.
*****
Rangas, Ratan dan Putri Kuning masih anak-anak. Dunia mereka adalah dunia bermain. Pagi itu, pada awalnya mereka bermain di sekitar rumah saja. Tidak ada maksud bermain jauh. Rangas dan Ratan sangat menyayangi Putri Kuning adik bungsu mereka. Mereka bermain kuda-kudaan dan perang-perangan. Putri Kuning selalu menjadi penunggang kuda. Ratan dan Rangas bergantian menjadi kuda-kuda adiknya. Yang tidak menjadi kuda menjadi harimau-harimau, mengejar.
Mereka tertawa dan bergembira ria. Karena asik bermain mereka lupa sudah berada di pinggir hutan di kaki Bukit Mandung. Si belang yang selalu ikut mereka bertiga, tampak berlompatan kesana kemari. Seakan juga ikut bermain. Sesampai di kaki bukit mereka menemukan seekor anak napu yang cantik dan jinak.
“Napu kecil, jangan lari.” Ujar Kuning,
dia kemudian mengejar terus. Ratan dan Rangas ikut mengejar anak napu itu,
sekaligus menjaga adik mereka.
“Tangkap, Tangkap.” Teriak mereka dengan riangnya.
Tanpa sadar mereka tiba di atas Bukit Mandung. Karena sudah lama bermain mereka kelelahan dan beristirahat. Rangas merasa sangat haus sekali. Menyesal mereka tidak membawa air minum, katanya. Kemudian mereka bertiga istirahat sambil berbincang-bincang.
“Dimana ada air, Aku haus sekali.” Kata
Rangas sambil berkipas-kipas. Dia berkata berceloteh saja, tidak serius.
“Mana ada air, inikan bukit. Air ada di
sungai. Sungai pasti ada di bawah bukit." Jawab Ratan.
“Biarlah Kuning yang menjadi sungai.
Biar kakak bisa minum sepuasnya. Huppp..hupp..hupp.” Canda Putri Kuning dengan
manja. Dia seakan-akan menimbah air lalu dia berikan pada Rangas. Putri Kuning
melepas gelangnya lalu dia lemparkan supaya si Belang bermain. Maka si Belang
melompat mengejar gelang yang di lempar Putri Kuning.
“Mana bisah jadi sungai. Jadi anak
nakal adik Kuning pasti bisa.” Kata Rangas menggoda Putri Kuning. Putri Kuning
tertawa riang. Dia berkilah kalau dia tidak nakal, lalu melanjutkan.
“Bisa saja Koyong, kalau sang pencipta
berkehendak.” Jawab Putri Kuning lembut. Dia masih anak-anak sehingga semua kata-katanya hanyalah hayalan saja.
“Iyalah, iyalah. Bungsu dilawan.” Kata Rangas.
Lalu dia memegang dua kupingnya dan menjulurkan lidahnya. Putri Kuning menjadi
tertawa gembira. Karena wajah kakaknya terlihat lucu.
“Pulang saja kita, nanti ibu sudah
pulang, pasti marahlah dia.” Kata Ratan.
“Aku nak digendong, Kuning capek.” Kata Putri Kuning manja.
Begitulah percakapan kakak beradik yang sudah melanggar larangan ayah dan ibunya. Dimana mereka tidak boleh bermain jauh dari rumah. Juga tidak boleh bermain di atas Bukit Mandung yang ada kekuatan gaib yang dapat mengubah apa saja yang diucapkan manusia. Alasan Puyang Dulu tepat sekali, karena memang nak-anak suka berkata-kata sesuai hayalan mereka, terutama dalam permainannya.
*****
“Wuussss. Wussss.” Tiba-tiba angin
bertiup kencang menderu-deru, menggoyangkan pepohonan dan menerbangkan
daun-daun kering. Ketiga kakak beradik menjadi takut, bangkit berdiri memulai
berjalan pulang. Langkah ketiganya terhenti saat petir menyambar keras,
disertai hujan deras yang berkabut.
“Kuning. Kuninggg.” Rangas dan Ratan memanggil-manggil, di antara derasnya hujan. Beberapa waktu kemudian hujan redah, langit pun cerah kembali.
Mereka terkejut ketika melihat dari dalam tanah keluar air berwarna kuning. Tepat dimana Putri Kuning berdiri tadi. Tanah sekitar itu bergetar-getar seperti ada sesuatu yang bergerak dari dalam tanah. Lalu air dengan deras mengalir memancar. Kucing mereka mengeong-ngeong tiada henti. Dari mata air itu kemudian hanyut baju Putri Kuning. Maka menangislah Ratan dan Rangas. Teringat akan pesan ayahnya. Jangan bermain di atas Bukit Mandung.
Ratan mengambil baju Putri Kuning dan dia peluk sambil menangis. Mereka menyesal telah melanggar perintah ayah dan ibunya. Sekarang mereka berpikir bagaimana menghadapi ayah dan ibunya.
“Kita sudah berjanji pada ibu. Kalau
kita akan tetap menjaga adik walaupun dia menjadi sungai sekalipun.” Ujar Rangas.
“Benar, kita harus menepati janji.
Kasihan adik Kuning sendiri di sini.” Jawab Ratan. Kemudian keduanya meletakkan
pakaian Putri Kuning di dekat mata air berwarna kuning yang terus membesar
dengan cepat itu. Lalu Ratan dan Rangas duduk di sisi mata air itu. Lalu mereka
berkata bersamaan.
“Wahai sang pencipta. Sungguh kuasamu
segalahnya. Kami hambamu hanya menerimah dengan relah. Janji kami pada ibu
harus ditepati. Jadikan kami penjaga adik. Penjaga adik sepanjang masa. Sampai
akhir umur dunia.” Doa mereka berdua. Lalu bernyanyi, diiringi suara petir dan kilat. Hujan
lebat seketika, kembali Bukit Mandung diselimuti kabut.
“Ratan dan Rangas kakak beradik.
“Kakak kembar Putri Kuning.
“Biar bagai mana tetap adik beradik.
"Saudara tak terpisahkan jua.
“Penjaga adik Putri Kuning.
“Adik bungsu yang manja.
“Adik kecil yang disayang.
“Ayah dan ibu maafkan kami.
“Kakak-kakak selamat tinggal.
Mereka bernyanyi berulang-ulang. Nyanyian menghilang saat kabut juga menghilang. Di tempat duduk Ratan dan Rangas telah tumbuh sebatang pohon yang tumbuh cepat secara ajaib. Kemudian ada semacam tumbuhan merambat berduri melingkari pohon itu. Di dahan pohon itu tersangkut baju Rangas. Sedangkan tumbuhan merambat yang membelit pohon tergantung baju Ratan. Si Belang mengeong-eong beberapa kali. Lalu pulang ke rumah, berlari cepat menuruni Bukit Mandung.
*****
Sementara itu, di rumah mereka. Ayah, ibu, dan kakak-kakak mereka sibuk mencari. Bertanya pada warga talang satu persatu. Namun tidak ada yang tahu. Ada yang bilang terakhir melihat mereka bertiga bermain kuda-kudaan di samping rumah. Tapi kemudian menghilang dan entah kemana. Puyang Dulu dan Istrinya menjadi khawatir kalau anak-anaknya bermain ke atas bukit. Tapi mereka mencoba berharap yang terbaik. Warga berkumpul dan menyarankan untuk mencari bersama-sama.
Dalam panik itu, si belang mereka pulang. Ada gelang rotan milik Putri Kuning di mulutnya. Kartani langsung menggendong si belang kesayangannya. Lalu dia mengambil gelang itu dari mulut kucingnya. Mereka mengenali kalau itu gelang milik Putri Kuning. Setelah gelang diambil dari mulut si belang. Kucing itu, mengeong-ngeong terus dan gelisa.
Kemudian si Belang melompat dari pangkuan Kartani. Lalu berlari ke arah Bukit Mandung. Berhenti dan menoleh ke Puyang Dulu dan Istrinya, lalu menoleh ke Kartani, Kartaju, dan Kartaja bergantian. Si Belang mengeong kembali dengan keras. Si Belang memberi isyarat agar mengikutinya. Maka, Kartani dan keluarganya mengikuti si Belang dari belakang. Warga juga mengiringi mereka ke Bukit Mandung. Dari jauh mereka telah mendengar suara gemericik deras air mengalir. Aneh dan ajaib, ada aliran air dari atas bukit, pikir mereka. Padahal dahulu tidak ada sungai.
Beberapa saat kemudian, sampailah mereka di dekat mata air berwarna kuning, dan pohon yang dilingkari tumbuhan merambat berduri. Berkat petunjuk si Belang. Mereka menemukan tempat Rangas, Ratan, dan Putri Kuning berada tadi. Ada baju Putri Kuning tergeletak di dekat mata air.
Baju Ratan tergantung di tumbuhan melingkar berduri. Sedangkan baju Rangas menggantung di dahan pohon. Maka mengertilah Puyang Dulu, Istrinya, dan semuanya kalau ketiga anaknya itu telah berubah wujud. Menjelma menjadi mata air besar itu, menjadi pohon dan menjadi tumbuhan merambat. Istri Puyang Dulu teringat kata-kata Rangas berbulan-bulan lalu.
"Ibu, kami akan selalu menjaga adik, walaupun dia menjadi sungai sekalipun."
Istri Puyang Dulu menangis sepanjang hidupnya. Dia sering berada di dekat mata air, duduk bersandar pada batang pohon yang dirambati pohon berduri.
*****
Suatu malam Puyang Dulu bermimpi bertemu dengan ketiga anak-anaknya. Mereka meminta maaf karena telah melanggar larangan ayahnya. Kelak dihari akhir kita akan bertemu lagi ayah, kata mereka bertiga. Sementara gemuruh aliran air yang semakin deras terdengar dari Talang Mandung. Derasnya arus air terus menerus mengikis tanah dan merobohkan pohon-pohon dan menghanyutkan apa yang diterpanya. Aliran terus menerus ke hilir dan terbentuk semacam parit panjang.
Mata air yang terus menerus mengalir dan membesar itu. Dalam waktu lima tahun saja menjadi sebuah sungai besar bermuara ke Sungai Musi. Karena air sungai baru itu berwarna kuning mirip air yang keruh. Maka orang Talang Mandung menamakannya, Sungai Keruh. Pohon jelmaan Rangas mereka namakan Pohon Rengas. Sedangkan tumbuhan merambat yang melingkari Pohon Rengas mereka namakan Rotan.
Rengas menciptakan akar yang besar bergulung-gulung disertai gambut kecil. Sehingga tebing sungai menjadi kuat. Selain itu, akar-akarnya menjadi sarang ikan, labi-labi, udang, kepiting, keong dan siput. Akar rotan yang tumbuh berumpun juga demikian menguatkan tebing sungai.
Pohon rengas dan rotan berkembang biak dengan buah. Buah pohon rengas masak pada musim banjir. Kemudian buah-buah jatuh ke air. Lalu hanyut terbawa arus kemana-mana. Buah rengas terdampar dimana saja. Disekitar banjiran, di tebing sungai, rawa-rawa dan lainnya, dan tumbuh. Tersebarlah pohon rengas di muka bumi.
*****
Sungai Keruh, Pohon Rengas dan Rotan adalah jelmaan anak Puyang Dulu. Sehingga Puyang Dulu kemudian bersumpah atas nama Penguasa Alam.
“Barang siapa dari anak manusia atau anak cucuku, yang meracuni sungai-sungai, terutama meracuni Sungai Keruh. Menangkap ikan dengan cara tidak dibenarkan hukum. Menebang pohon rengas tanpa alasan yang baik. Seperti untuk bisnis, membuat rumah, karena membuka ladang. Maka Aku sumpahi kehidupannya tidak akan menjadi orang berhasil dan hidupnya tidak akan pernah selamat.” Bunyi sumpah Puyang Dulu sambil mencabut pibang saktinya. Kemudian terdengar kilat dan petir pertanda kekuatan gaib di atas Bukit Mandung menyetujui. Kekuatan wujud kato bersarang dalam sumpah Puyang Dulu.
*****
Untuk mengobati kerinduan pada tiga anaknya Puyang Dulu suka berperahu menyusuri Sungai Keruh. Ditemani anak-anak laki-lakinya. Kadang Kartaju, terkadang Kartaja. Dia bahagia melihat Pohon Rengas dan Pohon Rotan yang tumbuh subur. Suatu hari dia berperahu kehilir ditemani oleh Kertaju. Juga diikuti beberapa tetangganya.
Menjelang soreh Puyang Dulu merasa capek dan pusing. Maka mendaratlah mereka ke daratan, untuk beristirahat. Maklumlah Puyang Dulu sekarang sudah tua renta. Perahu ditambatkan dan mereka berkemah di sana. Ternyata sakit Puyang Dulu bertambah parah. Kemudian Puyang Dulu meninggal dunia. Jasad beliau dimakamkan tidak jauh dari tebing Sungai Keruh.
Entah apa yang terjadi, makam Puyang Dulu tumbuh meninggi. Sehingga menyerupai tanah tumbuh. Kartaju akhirnya pindah ke dekat makam Puyang Dulu bersama keluarganya. Kelak tempat mereka menjadi sebuah talang. Talang mereka namakan Talang Kartaju. Kartaju pun juga menjadi Datu diangkat penduduknya. Untuk mengenang ayahnya Datu Kartaju setiap tahun mengadakan sedekah rame.
Kartaju mengundang semua penduduk yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Keruh. Sehingga semua datang bersama-sama dan ramailah acara sedekahan di Talang Kartaju. Penduduk zaman dahulu kalau datang ke tempat hajatan orang selalu membawa banyak makanan. Dari waktu ke waktu kebiasaan itu terbentuk, dan dikenal dengan Sedekah Rami. Sampai sekarang sedekah rami masih dilaksanakan masyarakat di Desa Kertayu dan dikunjungi oleh masyarakat di seluruh Kecamatan Sungai Keruh.
“Jangan meracuni
sungai, dan mari
kita jaga pohon rengas, rotan dan pohon-pohon yang berada di tebing sungai agar
terhindar dari sumpah Puyang Dulu.” Kata orang tua-tua dahulu.
Oleh. Joni Apero.
Editor. Selita. S. Pd.
Palembang, November 2019.
Sumber cerita rakyat: Di sarikan dari cerita-cerita orang tua di Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Bagus ceritanyA
ReplyDeleteCeritanya di luar sejarah , Puyang dulu dan talang mandung berdirinya pun baru berasal dari orang pagar Kaye.jadi intinya cerita ini di luar alur..
ReplyDeleteBoleh lh karangan cerita dongengnya walaupun berbeda tapi tetap aq hargai sebagai warga kertayu.
ReplyDeleteSebenar nya cerita itu agak ngeyel si soal nya puyang dulu itu berada di kertayu, itu di berada di talang mandung,terus juga setau saya talang mandung itu idak ada bukut nya
ReplyDeleteDongeng yg bagus baik untuk pelajaran Dan edukasi social..
ReplyDeleteSebelumnya Aku Perna Dengar Dari nenek cerita hikayat Atau andai-andai ini...
ReplyDelete