Sejarah Daerah
Sejarah Perang Kemerdekaan Di Kecamatan Sungai Keruh Melawan Jepang
Apero
Fublic.- Tahukah kalian generasi muda Kecamatan Sungai Keruh, Musi Banyuasin,
Sumatera Selatan. Kalau semasa perang kemerdekaan Kecamatan Sungai Keruh adalah
medan perang. Baik itu perang dengan tentara Jepang atau dengan tentara Belanda
kemudian. Kalau kalian belum tahu ada baiknya mengenal sedikit peristiwa
peperangan rakyat Kecamatan Sungai Keruh dengan para penjajah. Kali ini akan
mengangkat sedikit kisah perang rakyat melawan tentara Jepang.
Ada
dua faktor yang menjadikan wilayah Kecamatan Sungai Keruh sebagai medan perang.
Pertama, terletak di jalur masuk tentara Jepang dan Belanda ke Kota Sekayu.
Selain itu Kecamatan Sungai Keruh terdapat banyak kilang minyak dan berdekatan
dengan pusat minyak di Pendopo. Kedua, adanya aksi para pemuda di Kecamatan
Sungai Keruh, termasuk dari daerah Air Hitam.
Air
Hitam dahulu masih masuk dalam Kewedanan Musi Ilir Sekayu dan termasuk juga
bagian dari Marga Sungai Keruh. Marga adalah semacam pemerintahan tingkat
kecamatan, pada masa Kesultanan Palembang dan masa Penjajahan Belanda dan
Jepang. Dipimpin oleh seorang Pasirah (camat). Yang dipilih secara demokratis
oleh rakyat.
Para
pemuda tersebut berhasil mengeco tentara Jepang dan berhasil membawa tiga ratus
pucuk lebih senjata laras panjang dan satu senapan mesin. Senapan mesin dan
beberapa senjata dikirim ke Sekayu. Pendopo juga dikendalikan oleh para pemuda
pejuang. Pemimpin para pemuda yang mengatasnamakan sekutu tersebut, bernama
Ahmad Rivai dari Air Hitam.
Hal
yang disayangkan waktu itu, saat tentara Jepang kembali mengendalikan Pendopo.
Dimana mereka diperintahkan melucuti senjata yang telah dirampas pemuda. Satu
kompi pemuda yang memegang senjata dikepung pasukan Jepang sehingga terpaksa
menyerahkan kembali senjata-senjata ditangan mereka.
Sebab
tidak membaca situasi yang selalu berubah. Sementara yang lain telah pergi
kembali ke Kecamatan Sungai Keruh dan sekitarnya. Pengumuman melalui selebaran
disebar melalui pesawat terbang agar rakyat menyerahkan kembali semua senjata
rampasan. Tidak dipedulikan laskar rakyat di Kecamatan Sungai Keruh. Maka,
pelucutan dengan kekerasanlah yang dilakukan Jepang.
*****
Persiapan
dan pelatihan perang seadanya di Kecamatan Sungai Keruh, dimulai. Untuk
mempersipakan mempertahankan kemerdekaan dari penjajah Belanda yang kembali.
Juga sekaligus untuk menghadapi Jepang. Bukan hanya kaum laki-laki, tapi juga
para wanita juga ikut latihan perang. Tidak banyak pemuda Sungai Keruh yang
menjadi tentara heiho atau giugun sebelumnya. Sehingga sangat minim SDM
laskar-laskar rakyat.
Jenis-jenis
senjata, selain senjata rampasan, senjata tradisional bedil kecepek menjadi
andalan masyarakat. Masa itu pembuat kecepek yang terkenal Hanan di Sekayu, dan
Jimbun di Desa Kertayu, Kecamatan Sungai Keruh. Jenis senjata lainnya yang
digunakan tombak, pedang, golok, dan bambu runcing. Pertama sekali pecah perang
adalah di dalam desa-desa di Kecamatan Sungai Keruh. Tentara Jepang mencari
senjata yang telah dirampas pemuda-pemuda dari gudang senjata Jepang di Pendopo.[1]
Kontak
senjata pertama setelah perampasan senjata di Pendopo, terjadi tanggal 3
September 1945. Di bawa pimpinan A. Kosim Dayat pemimpin TKR (Tentara Keamanan
Rakyat), Laskar Rakyat dan juga Rakyat. Mereka mencegat sebua truk tentara
Jepang. Tentara Jepang tewas tiga orang. Truk dan tiga pucuk senjata beserta
pelurunya dirampas pejuang. Selebihnya berlari masuk hutan.
Beberapa saat
kemudian tentara bantuan Jepang datang sangat banyak. Mereka menembak membabi
buta dengan senapan mesin, senapan otomatis, menembak dengan mortir tiada
henti. Membuat para pejuang kewalahan. Namun pertempuran berjalan alot memakan
waktu tiga jam. Karena hari telah gelap maka para pejuang mundur teratur.
Pertempuran
di Sungai Bongen.
Sungai
Bongen terletak antara Desa Tebing Bulang dan Talang Akar. Pasukan kita membuat
pertahanan di Jerambah Kayu, di pimpin oleh Husaini Sidik. Pertahan ini juga
bertujuan menghadang Jepang dari Pendopo. Jerambah dihancurkan, kayu-kayu
dipasang melintang jalan, parit-parit perlindunga digali. Pasukan terdiri dari
GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), dan Rakyat Sungai Keruh dari berbagai
desa, berjumlah kurang lebih tiga ratusan orang. Pertempuran terjadi pada 20
September 1945.
Tentara
Jepang yang berkekuatan besar dan bersenjata lengkap perlahan memukul mundur
tentara kita. Diam-diam Jepang membuat setrategi melingkar dan akan mengepung.
Untung saja setrategi itu terbaca dan pasukan pejuang ditarik mundur. Kalau
terkepung maka akan ada pembantaian. Sebab tentara kita sebagian besar
bersenjata tradisional. Tidak ada yang gugur dari pihak pejuang.
Hanya
mobil truk dan bahan makanan yang dibakar Jepang. Maka hancurlah pertahanan dan
markas di Sungai Bongen. Jalan itu untuk memuluskan jalan Jepang ke Sekayu atau
Menyerang Laskar Sungai Keruh kemudian hari. Di sini selain berfungsi
menghadang Jepang juga menjadi markas untuk menyerang Jepang lebih intensif.
Tapi Jepang membaca hal tersebut dan mereka bertindak cepat, menghancurkannya.[3]
Tanggal
3 Oktober 1945 kembali tentara kita bersama laskar rakyat akan menyerang
Pendopo. Terjadi pertempuran di Sungai Dua arah Talang Akar Pendopo. Pasukan
Indonesia ditambah rakyat berjumlah 300 orang. Terdiri dari GPII (Gerakan
Pemuda Islam Indonesi) yang dipimpin oleh M. Yazid dari Desa Sukalali. Rakyat
yang bergabung diantara berasal dari Desa Pagarkaya, Sukalali, Kertayu, Tebing
Bulang dan Sindang Marga.
Namun
mata-mata Jepang mengetahui. Mereka dihadang di antara Sungai Dua dan Talang
Akar. Dalam pertempuran itu lima orang pejuang gugur. Satu orang jenazanya
tidak diketemukan sampai sekarang. Karena persenjataan kurang, dan bukan
tentara yang terlatih. Membuat pejuang terpaksa mundur teratur.[2]
Tanggal
10 Oktober 1945 terjadi kembali pertempuran di Suban Segetah. Kali ini pejuang
dipimpin oleh M. Qorik dari Sekayu. Pasukan yang sama dari GPII dan
Rakyat dari desa-desa di Kecamatan Sungai Keruh yang bersatu. Seperti biasa,
teori tentara Jepang dengan menghujani peluru senapan mesin, mortir, dan senapan-senapan
laras panjang yang semi otomatis. Tentara kita yang cuma memiliki beberapa
senjata rampasan, kecepek, tombak, golok, bambu runcing. Tentu saja tidak dapat
melakukan perang terbuka dan frontal melawan senjata moderen. Maka Pejuang
kembali ke desa-desa masing-masing.
Serangan
Jepang
Pendopo
yang sebelumnya pernah dikuasai oleh pejuang kemerdekaan dan Rakyat dari
Kecamatan Sungai Keruh. Kemudian Pendopo dikuasi oleh Jepang lagi. Sehingga
Laskar Rakyat, GPII, dan Tentara mundur kembali ke desa-desa di Kecamatan
Sungai Keruh, membawa serta senjata rampasan. Itulah yang menjadi alasan Jepang
menyerang.
Banyak
pemuda yang kemudian bergabung dengan laskar yang dipimpin Husaini Sidik atau
Luin orang Desa Pagarkaya. Informasi sampai ke telinga Jepang. Maka mereka
menyerbu Desa Pagarkaya. Tentara Jepang bermaksud mengepung Desa Pagarkaya.
Dengan mengirim dua jalur tentara, dari arah Sungai Dua dan dari arah Jirak.
Sebelumnya pertahanan Sungai Bongen telah dihancurkan Jepang. Sehingga laju
tentara Jepang disini aman.
Pukul
lima subuh ada laporang dari pasukan pengintai kalau pasukan Jepang sudah
dekat. Pasukan pejuang berjumlah tiga ratus orang dibagi tiga seksi pertahanan.
Seratus orang di sayap kanan menempati Padang Lebar di pimpin Luin. Sayap kiri
di Bukit Labu di pimpin oleh Sersan Suri juga orang Pagarkaya.
Di Bukit
Petanang juga ditempatkan seratus orang pasukan yang dipimpin oleh Atik Lekat
juga orang Pagarkaya. Seperti biasa hujan peluru dan mortir tidak ada ampun.
Sedikit senjata rampasan, golok, tombak, dan pedang, bedil kecepek yang cuma
menembak sekali dan mengisi lama, akan kalah.
Perlahan
tentara Jepang menguasai Desa Pagarkaya. Penduduk sudah lebih dahulu diungsikan
jauh dari desa. Ternyata ada seorang pejuang yang diam-diam bersembunyi dibawah
rumah-rumah penduduk, bernama M. Zen Syafei. Kemudian dia menembak seorang
tentara Jepang dengan kecepek. Tentara Jepang itu tewas seketika. Yang paling
mencengangkan adalah tentara Jepang itu berpangkat Kapten.
Tentara
Jepang sangat marah lalu membakar rumah penduduk yang menghanguskan 74 bua
rumah. Boleh dikatakan jumlah tersebut lebih dari setengah rumah-rumah penduduk
Pagarkaya pada masa itu. Kejadian itu membuat kemarahan rakyat Sungai Keruh
meningkat. Sehingga semakin berapi-apilah semangat perang rakyat. Bukan hanya
melawan Jepang. Tapi Juga saat melawan Belanda dikemudian hari.[4]
Pertempuran
di Gangsir Penyemberangan Sekayu.
Sementara
itu, para pejuang di Kota Sekayu tidak mengizinkan tentara Jepang ke Pendopo.
Tentara Jepang dari Palembang dikirim untuk membantu tentara Jepang di Pendopo
untuk melucuti senjata yang telah dirampas para pemuda di Kecamatan Sungai
Keruh.
Sudah disebutkan beberapa senjata dan satu senapan mesin rampasan telah
dikirim ke Sekayu. Para pejuang di Sekayu juga tahu kalau Sungai Keruh adalah
kecamatan kecil yang hanya terdapat delapan desa kecil waktu itu. Kalau tentara
Jepang tidak dicegah akan hancur daerah kecil dimana penduduknya bukanlah
tentara.
Pada
tanggal 29 Oktober tentara Jepang datang ke Sekayu, berkekuatan enam truk penuh
tentara Jepang. Oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) yang dipimpin
oleh Dokter Slamet tidak mengizinkan. Kalau mereka memang ingin ke Pendopo
harus meninggalkan senjata. Tapi Jepang tetap tidak mau dan berkeras tetap
ingin ke Pendopo apapun yang terjadi. Maka, KNI tidak menjamin keselamatan
mereka kalau mereka tetap ingin ke Pendopo.
Karena
Jepang memaksa, Usman Bakar dan A. Kosim Dayat menyusun pertahan di
seberang Sungai Musi dipenyemberangan. Senjata dan senapan mesin yang dikirim
dari Sungai Keruh digunakan. Sedangkan tentara kita yang tidak menyemberang ke
seberang dipimpin oleh K.H. Muhammad Nur.
Pada
saat tentara Jepang di pertengahan Sungai Musi. Pistol K.H. Muhammad Nur
meletus tanda perang dimulai. Pertempuran baru selesai menjelang tengah malam
dan tentara Jepang menggunakan suasana gelap berenang menghilir sungai musi
membawa ponton beserta truk angkut mereka.
Jepang
kembali ingin ke Pendopo dan Marga Sungai Keruh. Maka pencegatan kembali
dilaksanakan. Pertempuran terjadi antara Sekayu dan Kayuara. Waktu
itu perbatasan Sekayu dan Desa Kayuara masih hutan dan rawa-rawa. Pada tanggal
31 Oktober 1945 tentara Jepang muncul. Perang tidak terhindari lagi.
Seperti
biasa, persiapan telah lebih dahulu dilakuan. Rumah-rumah penduduk menyediakan
perbekalan. Pohon ditebang melintang jalan. Lobang perlindungan di gali,
kiri-kanan jalan. Dijaga oleh satuan-satuan penembak. Kembali tentara Jepang
mundur dan tertahan tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Pendopo untuk
melucuti senjata yang telah dirampas rakyat di Kecamatan Sungai Keruh.
Setelah
masa itu, mulai terjadi penarikan-penarikan tentara Jepang yang sudah menyerah
ke pihak sekutu. Sekarang berganti dengan tentara loreng, yaitu Penjajah
Belanda kembali. Rakyat Sungai Keruh akan melawan Belanda.
Pembangunan
Monumen Perjuangan Rakyat (MONPERA)
Sudah
selayaknya pembangunan sebuah monumen perjuangan rakyat dibangun di Kecamatan
Sungai Keruh. Rakyat sudah ikut berperang melawan penjajah. Mengorbankan jiwa,
harta, bahkan ada yang hilang sampai sekarang tidak ditemukan jasadnya. Mereka
berlatih perang dan hidup dalam tekanan penjajah. Cerita sejarah ini hanyalah
sedikit cuplikan yang diceritak oleh satu peteran perang. Tentu beliau juga
tidak banyak tahu apa-apa yang terjadi diluar pengetahuannya.
Setiap
peperangan selalu melahirkan banyak penderitaan yang tidak diketahui oleh
publik. Ini secuil dari konflik dengan Jepang. Bagaimana masa-masa pertama
Jepang datang. Yang telah hadir selama tiga setengah tahun. Bagaimana saat
Jepang menjemput paksa pemuda untuk menjadi tentara.
Atau
kerja paksa, dan kemungkinan ada yang terbunuh tanpa sepengethuan kita. Belum
ada cerita kalau wanita yang dijadikan ianpu. Ianpu wanita pemuas nafsu tentara
Jepang. Dari itu, sudah selayaknya di Kecamatan Sungai Keruh dibangun sebuah
MONPERA. Untuk mengenang dan menghargai jasa-jasa para pejuang dahulu di
kawasan Kecamatan Sungai Keruh.
Para
pejuang bukan hanya yang ada di taman makam pahlawan. Tapi juga rakyat-rakyat
yang ikut berperang. Para ibu-ibu yang memasak, dan petani memberikan padinya
untuk makan pejuang. Saat masyarakat bergotong-royong membuatkan senjata
kecepek untuk menembak para penjajah. Mereka adalah pejuang juga dan jasa
mereka patut dihargai.
MONPERA
harus dibangun di Kecamatan Sungai Keruh. Mari masyarakat Sungai Keruh suarakan
pembangunan sebuah MONPERA untuk menghargai jasa para pejuang pendahulu kita.
Dari elemen masyarakat paling bawah sampaikan aspirasi membangun MONPERA.
Semoga suara didengar pemerintah daerah atau pusat, DPRD dan MPR.
Oleh.
Joni Apero
Editor.
Desti. S.Sos.
Palembang,
26 Oktober 2019.
Sumber: Yusman Haris, Pergolakan-Pergolakan di Daerah Musi
Banyuasin. T.pn. T.tp, 2010.
[1]Yusman Haris, Pergolakan-Pergolakan
di Daerah Musi Banyuasin. T.pn. T.tp, 2010. H. 74-75.
[2]Yusman Haris, Pergolakan-Pergolakan
di Daerah Musi Banyuasin. H. 76.
[3]Yusman Haris, Pergolakan-Pergolakan
di Daerah Musi Banyuasin. H. 79.
[4]Yusman Haris, Pergolakan-Pergolakan
di Daerah Musi Banyuasin. H. 77-79.
[5]Yusman Haris, Pergolakan-Pergolakan
di Daerah Musi Banyuasin. H. 76.
Sy. Apero Fublic
Via
Sejarah Daerah
Post a Comment