Asal Usul Masyarakat Desa Gajah Mati Tidak Mau Makan Ikan Kedak (Ikan Sidepak)
*****
Suatu masa yang lampau, kehidupan penduduk di Talang Gajah Mati sangat damai. Diwaktu pagi berangkat ke ladang, pulang menjelang soreh. Gadis-gadis perawan setiap hari mengurus rumah, memasak dan mencuci. Perompak tidak berani datang, sebab pasukan Pedatuan selalu siap dan menjaga keamanan pedatuan.
Sore itu, Puyang Pengasih pulang dari ladang. Menuntun kerbaunya membawa padi yang sudah siap di tumbuk. Setiap sore suara aluh menumbuk padi terdengar bertalu-talu. Menjelang malam anak-anak muda berlatih ilmu kuntau. Puyang pengasih dan beberapa tetua melatih langsung para pemuda. Para gadis berlatih silat di waktu petang hari. Pelatih kuntau gadis wanita juga wanita. Salah satunya istri Puyang Pengasih. Setelah latihan gadis-gadis pulang dan siap berangkat mandi di Sungai Keruh.
Seorang gadis yang menjadi kembang talang bernama, Putri Sidepak. Dia baru berumur enam belas tahun. Wajahnya sangat cantik, kulit putih, rambut panjang sepinggang, tubuh semampai, wajah ratah dengan alis tebal. Ada lesung pipit di kedua belah pipinya. Selain cantik, Putri Sidepak juga dikenal gadis perawan yang baik budi dan halus tutur katanya.
Siapa pun pemudan itu yang mengenalnya akan jatuh cinta padanya. Putri Sidepak bukan hanya cantik fisiknya, tapi juga cantik ahklaknya. Berita kecantikan Putri Sidepak tersiar kemana-mana di Pedatuan Bukit Pendape. Bahkan Puyang Pedatuan, juga berniat melamar Putri Sidepak untuk jadi menantunya bila kelak Putri Sidepak sudah cukup dewasa.
*****
Pagarepa, seorang datu sakti yang tinggal di kaki Bukit Batu Delapan. Dinamakan Bukit Batu Delapan karena terdapat delapan batu berdiri berbaris. Zaman sekarang disebut menhir. Ada sebuah batu persegi empat tempat persembahan. Daerah bukit ini wilayah kekuasaan Datu Pagarepa. Dia manusia berwatak sombong, ponga, ambisius dan licik. Selain itu, dia mengikrarkan kalau talang tempat kediamannya tidak masuk ke dalam Pedatuan Bukit Pendape. Depati tidak menanggapi, karena tidak mau berperang.
Pagarepa menyukai bilangan delapan. Dia punya istri delapan orang, rumah delapan, memiliki delapan gajah peliharaan, delapan bubu, delapan Pibang, delapan ladang. Memiliki ilmu sihir yang dapat berubah menjadi delapan hewan. Dapat berubah menjadi harimau, gajah, rusa, kijang, macan tutul, burung elang, kera, dan kadal. Hampir semua yang dia miliki berjumlah delapan. Oleh karena itu, Pagerepa dijuluki Datu Delapan Panjang.
Talang Punti tempat tinggal Pagarepa. Seisi Talang Punti tunduk pada Pagarepa. Di Talang Punti tidak ada musyawara dan kompromi. Seperti di talang-talang lain. Hukum sesuai dengan kehendak Pagarepa. Dia selalu ingin jadi nomor satu. Kemauannya tidak bisa ditolak. Selain itu, dia juga merasa sangat hebat. Bahkan Puyang pemimpin Pedatuan Bukit Pendape tidak dia hormati. Semua laki-laki, terutama para pemuda dia jadikan prajuritnya. Sehingga Pagarepa atau Datu Delapan Panjang memiliki banyak prajurit.
Suatu hari dia mendengar percakapan warganya berbincang-bincang. Mereka membicarakan kecantikan seorang gadis di Talang Gajah Mati. Mendengar itu, Pagarepa menjadi penasaran dan terus memikirkan tentang gadis cantik Talang Gajah Mati, yang cantik luar biasa itu. Bukan hanya cantik, tapi dia gadis yang berbudi luhur, menutup aurat setiap kali keluar rumah, jujur dan terhormat. Membuat banyak pemuda tergila-gila pada putri itu. Tapi dia belum cukup umur, masih terlalu muda untuk jadi seorang istri. Suatu hari, Pagarepa pergi mencari tahu tentang gadis yang sangat cantik itu. Dengan menggunakan ilmu sihirnya dia berubah wujud menjadi burung elang. Terbang menuju Talang Gajah Mati.
Saat tiba Pagarepa atau Datu Delapan Panjang masuk ke Talang Gajah Mati melalui sebuah tanjung berkelok dimana banyak pepohonan rengas tumbuh subur. Lama dia memperhatikan sekitar tapi, tidak menemukan gadis yang cantik tersebut. Kemudian dia terbang lagi melintas di atas jembatan penghubung keseberang ke arah rumah Puyang Pengasih. Berputar-putar mengeliling sekitar pemukiman itu.
Elang hitam hinggap di dahan pohonan rengas yang tumbuh subur di tebing Sungai Keruh. Waktu menjelang soreh. Ada serombongan gadis-gadis remaja pergi mandi. Berkain songket, berkerudung tenun songket, dan berbaju kurung. Puyang Delapan Panjang menyangka kalau dia dapat mengintip gadis-gadis mandi dengan menyamar jadi elang. Tapi dia kecewa sebab gadis-gadis itu mandi dengan talesan (kain basahan).
Setiap akan berganti pakaian teman-temannya mengerubungi dengan kain sehingga tidak sedikitpun aurat mereka terlihat walau mandi di tepian sungai. Pagarepa memperhatikan semuanys dan menemukan gadis yang sangat cantik itu.
"Benar kata orang-orang.” Guman Pagarepa dalam wujud
burung elang saat
dia melihat Putri Sidepak.
“Sidepak, Muanah, Aisisi, dan semuanya.
Besok bertandanglah kerumahku, kita makan-makan rujak.” Ujar Anina, gadis
cantik berkulit kuning langsat.
“Waa, bolehlah. Sudah lama tak
rujakan.” Jawab Muanah.
“Rujak apa, Anina?.” Tanya Putri
Sidepak.
“Buah raman muda. Kemarin ibu banyak memetik di kebun. Jawab Anina. Perawan-perawan cantik itu pulang dengan riang. Gadis memang suka merujak apalagi pedas-pedas. Sementara elang jelmaan Datu Delapan Panjang tahu kalau nama gadis yang terkenal akan kecantikannya. Elang hitam itu terbang menghilang di belantara hutan.
Datu Delapan Panjang terpesona dengan kecantikan dan keluhuran budi Putri Sidepak. Bunga Talang Gajah Mati yang mempesona. Pikirannya selalu terganggu dan dia mulai menghayal nafsu yang dia terjemahkan dengan cinta. Hari demi hari nafsu semakin besar pada Sidepak. Dia membayangkan bagaimana kalau menikah dengan Sidepak. Alangkah indahnya menurut hayalan Datu Delapan Panjang. Suatu hari, terdengar kabar kalau keluarga Datu Talang Kertajaya melamar Putri Sidepak untuk putranya, Kamaru. Pemuda tampan dan berbudi luhur. Puyang Pengasih ayah Putri Sidepak belum dapat menerimah. Sebab Putri Sidepak masih terlalu muda.
“Kakanda Datu Puyang Kertajaya. Bukan saya menolak akan adat merasan ini. Tapi karena anak saya, Putri Sidepak masih sangat muda. Dia baru berumur enam belas tahun. Kalau Kakanda tidak berkecil hati. Datanglah dua atau tiga tahun lagi. Umur anak saya akan cukup dewasa. Tapi ini jangan dibuat janji yang pasti, kita tidak tahu apa yang terjadi kedepannya.” Kata Puyang Pengasih.
Alasan yang baik dan masuk akal. Keluarga Datu Kertajaya pulang. Meminta Kamaru agar bersabar sedikit. Kabar adat marasan itu terdengar oleh Datu Delapan Panjang. Dia berlega hati mengetahui adat marasan belum di laksanakan. Dia mulai khawatir nanti Putri Sidepak di lamar orang dan diterima Puyang Pengasih.
Oleh karena itu, dua bulan kemudian Datu Delapan Panjang mengirim utusan untuk melaksanakan adat marasan ke Puyang Pengasih. Utusan itu, dua tokoh adat, seorang hulubalang pasukan Datu Delapan Panjang. Diiringi dua puluh prajurit. Mereka membawa tepak sirih, membawa satu buah pibang bergagang dan bersarung emas. Sebagai tanda pelaksaan adat marasan.
Menyadari Datu Delapan Panjang yang sudah tua seumuran dengannya. Memiliki delapan orang istri. Puyang Pengasih menolak langsung adat marasan yang mereka sampaikan. Sebab tidak sesuai dan tidak masuk akal.
Pagarepa atau Datu Delapan Panjang marah besar dan gusar sekali. Menurutnya dia sudah baik hati dan sesuai karena dia seorang yang terhormat dan Putri Sidepak dari keluarga rakyat biasa. Sangat beruntung kalau jadi istrinya, ditamba lagi dia memberi banyak harta dan hadiah.
Tapi dia masih bersabar. Kembali utusan dia kirim. Mereka membawa emas delapan keranjang, perak delapan keranjang, pibang delapan bilah, delapan kerbau, delapan sapi, dan delapan kabing. Tapi tetap saja ditolak oleh Puyang Pengasih.
“Walau pun dunia ini diberikan padaku.
Aku tidak akan pernah merestui anak perawanku menikah dengan orang yang sesuai
menjadi besanku, bukan menantu. Pagarepa memang manusia tidak tahu malu,
serakah dan juga angkuh. Jangan dikira karena harta dan
kedudukan Pagarepa dapat berbuat seenaknya.” Kata Puyang Pengasih pada utusan.
Pulanglah utusan itu, lalu menceritakan semua. Saat melapor para utusan itu
juga menghasut. Mereka menambah-nambah perkataan sehingga membuat mendidih api
amarah Datu Delapan Panjang.
“Dia berkata,
kalau Datu Puyang Delapan Panjang sudah bongkok, dan tidak tahu diri. Bahkan
derajad lebih rendah dari telapak kakinya.” Ujar seorang utusan, dia menjilat
dan mencari muka.
“Kurang
ajarrrrr.” Teriak Pagarepa, dan membanting apa saja di sekitarnya.
*****
Puyang Pengasih mengirim utusan pada
Datu Puyang Kertajaya. Agar adat marasan segerah
dilaksakan tidak perlu menunggu dua tahun lagi. Karena khawatir dengan perbuatan
buruk Datu Delapan Panjang yang jahat. Pergilah Datu Puyang Kertajaya, anaknya Kamaru, beberapa
orang tetua Talang Kertajaya, dan dua puluh prajurit langsung berangkat ke
Talang Gajah Mati. Mereka menggunakan perahu bidar yang panjang
dan cepat.
Menyusuri Sungai Sake. Kemudian akan masuk aliran Sungai Keruh dan ke arah
hulu menuju Talang Gajah Mati. Ada sepuluh perahu yang penuh dengan hantaran lamaran.
Kamaru merasa bahagia sekali lamaran
akan diterimah. Dua temannya, Samju dan Samlah terus menggoda. Sehingga tidak
terasa penat mengayu perahu, selalu gembira dalam senda gurauan. Mendekati muara Sungai Sake,
Datu Kertajaya mendapat pirasat aneh. Dia hanya berdoa semoga tidak terjadi
apa-apa. Saat melewati sebuah tanjung mereka semua terkejut. Ada dua puluhan
perahu bidar besar penuh dengan laki-laki memegang senjata pibang terhunus. Semuanya menghalangi jalan
dan menatap tidak bersahabat. Datu Kertajaya mengenali orang tua
pada perahu paling depan.
“Datu Delapan Panjang, ada apa kalian menghalangi
perjalanan kami?.” Tanya Datu Kertajaya.
“Aku hanya meminta, agar membatalkan
pelaksanaan adat marasan Putri Sidepak. Karena dia akan
menjadi istriku yang ke sembilan. Kalau kalian keras kepala, maka tahu
sendiri akibatnya. Aku tidak akan berkata dua kali.” Ujar Datu Delapan Panjang.
“Kita sama-sama orang Pedatuan Bukit Pendape. Apakah pernah ada orang kita yang takut mati.” Kata Datu Kertajaya
dengan nada dingin.
“Aku bukan orang Pedatuan Bukit Pendape. Aku Datu yang bebas, dirikulah yang terkuat.” Jawab Datu Delapan Panjang. Semuanya berdiri dan mencabut pibang masing-masing. Termasuk tetua yang sudah berumur enampuluhan tahun. Tak ayal lagi, pertarungan tidak seimbang terjadi. Datu Kertajaya dan Datu Delapan Panjang berhadapan. Selama setengah hari bereka bertempur saling serang. Perahu-perahu telah tenggelam. Puluhan prajurit Datu Delapan Panjang tewas. Begitu pun rombongan Datu Kertajaya. Satu demi satu roboh dan gugur. Kamaru sekarang sudah terluka. Dilindungi Samju dan Samlah, dia diperintahkan ayahnya berlari menuju Talang Gajah Mati. Untuk memberi tahu Puyang Pengasih.
Sesungguhnya Datu Kertajaya hampir mengalakan Datu Delapan Panjang. Tapi dengan tipuan licik, pura-pura menyerah. Saat tepat, dia menghamburkan sekantong debu ke wajah Datu Kertajaya. Membuat mata pedih dan hilang konsentrasi. Datu Delapan Panjang segerah menyerang dengan telak. Kaki dan perutnya luka dan dilanjutkan dadanya tertembus senjata. Kemudian Datu Kertajaya kalah dan wafat membelah kehormatan dirinya dan keluarganya.
*****
Saat itu,
Puyang Pengasih sedang mengasah pibang di bawah rumah. Suasana lengang, karena
hari yang panas. Tiba-tiba dari arah belakang rumahnya berlari seorang pemuda
yang tubuhnya banyak-luka. Dia terjatuh di halaman, Puyang Pengasih menghampiri
dan memangku si pemuda.
“Puyang, maafkan kami. Kami diserang
Datu Delapan Panjang. Segerah bawak pergi Putri Sidepak. Sampaikan salam terakhirku pada putri.”
Kamaru menghembuskan nafas terakhir dipangkuan Puyang Pengasih. Kedatangan Kamaru
yang terluka dan meninggal dunia. Membuat semua keluarga marah, kakak-kakak Putri Sidepak mulai
bersiap. Ibu dan Putri Sidepak menangis, sedangkan tiga adik sidepak di
perintahkan naik ke langit-langit rumah.
Puyang Pengasih juga bersiap. Dia
menyelipkan pibangnya di pinggang. Dia berkata pada Putri Sidepak jangan
khawatir dan takut. Tapi tetap saja semuanya jadi khawatir. Mereka berpelukan dan siap menghadapi Datu Delapan Panjang
bersama-sama. Panah dan tombak telah disiapkan.
“Baiklah saya
menikah dengan Datu Delapan Panjang, Bak. Tidak mengapa, asal kita tidak
berperang.” Kata Putri Sidepak, dia tidak ingin kehilangan keluarganya.
“Tidak putriku,
anak perempuan adalah mahkota keluarga. Memang diwajibkan orang tua menikahkan
anaknya. Tapi sangat memalukan kalau dia menyerahkan anaknya, hanya karena
takut mati. Itu sudah adat Melayu, akan membelah dan menjaga kehormatan
keluarga wanitanya, anak, saudari, dan istrinya.” Kata Puyang Pengasih, dia
bersiap perang.
*****
Dari langit timur muncul kabut berarak
lalu terbang menyebar keseluruh Talang Gajah Mati. Semua yang terhirup kabut
tipis itu tertidur sangat pulas seperti orang pingsan. Walau pun penduduk
sedang di jalan, di halaman rumah, dan dimanapun. Jatuh lunglai dan tertidur.
Begitupun dengan tetangga-tetangga Puyang Pengasih. Datu,
hulubalang, prajurit dan seisi Balai Datu tertidur juga. Mereka tertidur tanpa sadarkan diri.
Tidak lama kemudian, muncul Datu Delapan Panjang dan prajuritnya. Tampak ada
yang terluka, dan berdarah-darah. Menandakan kalau mereka baru selesai
bertempur.
“Puyang Pengasih, kau pilih mati atau
menjadi mertuaku.” Kata Datu Delapan Panjang, angkuh sekali.
“Hidup mati diatur oleh penguasa alam
semesta, Pagarepa. Mati adalah teman terdekat manusia. Jadi apa yang harus
ditakutkan. Dengan memegang pibang, apakah itu tandanya aku akan tunduk. Apakah
kau lupa pepatah lama orang Pendape. Mati, ya sudah, asal hidup tidak terhina.
Mati ya sudah, takkan tunduk pada orang jahat. Mati sudah, kalau tidak hari
ini, ya besok juga mati.” Jawab Puyang Pengasih. Betapa
terbakar hati Datu Delapan Panjang.
“Serang keluarga hina ini, sangat keras kepala.” Katanya dengan lantang dan keras.
Terjadilah pertarungan sengit. Datu Delapan Panjang berhadapan dengan Puyang Pengasih. Seperti tadi, Datu Delapan Panjang hampir mati. Dia meminta ampun dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, dan segerah pulang. Kembali kelicikan dia lakukan. Satu genggam pasir dia lemparkan ke wajah Puyang Pengasih. Membuat mata terpejam dan tidak dapat melihat apa-apa. Bersamaan juga lemparan pibang kidau menancap di dada dan mengenai jantung. Puyang Pengasih meninggal seketika.
Sementara ibu dan empat orang kakak Putri Sidepak juga telah lemah. Tubuh mereka berlima telah luka-luka disana-sini. Darah mengalir terus dan tubuh semakin lemah. Membuat gerakan mereka melambat. Mereka telah menewaskan seratus lima puluh prajurit Datu Delapan Panjang. Akhirnya, pasukan panah menyerbu dan mereka gugur. Ada lemparan tombak menembus tubuh mereka.
Datu Delapan Panjang memegang dadanya, tulang iganya patah, pahanya terluka. Dia menghapus darah menetes dari bibirnya. Dia melihat pasukannya tinggal lima puluh orang saja. Datu Delapan Panjang mulai menyadari kalau orang baik sulit dikalahkan. Bagaimana kalau keluarga besar mereka, dan warga Talang Gajah Mati tidak dia sihir tertidur dengan kabut tadi. Pasti dia sudah kalah dan tewas pikirnya.
*****
Sementara itu, selama pertarungan
berlangsung. Putri Sidepak menangis sedih. Dia menyaksikan pertarungan yang
mengerikan itu. Satu demi satu keluarganya gugur membelah kehormatan dirinya.
Bagi orang Melayu keluarga wanita adalah kehormatan tertinggi. Janganlah
berani mengganggunnya kalau tidak darah tertumpa.
“Dari pada Aku menikah dengan Datu Delapan Panjang.
Lebih baik Aku menjadi kadal penghuni hutan rimba. Atau menjadi ikan
penghuni sungai.” Sumpah Putri Sidepak.
“Kakak, jangan suka berkata-kata yang
buruk. Sebab manusia diberikan sang pencipta hari-hari dimana kata-katanya akan
dikabulkan. Manusia diberikan waktu-waktu dimana ucapannya akan menjadi
kenyataan.” Ujar Nanri sambil memeluk Putri Sidepak. Nanri sepupu Putri
Sidepak. Dia kebetulan sedang bermain di rumah Putri Sidepak. Putri Sidepak
kemudian mengambil bunang dan menarik Nanri ke sudut ruangan rumah. Lalu tubuh Nanri dia tungkam dengan bunang.
Pagarepa memerintahkan prajuritnya mengepung rumah. Dia sendiri melompat ke
dalam rumah Sidepak.
“Kalau kau menuruti kehendakku. Tidak mungkin semua
kehancuran ini terjadi, Sidepak. Sekarang kau mau kemana lagi. Ayah, ibu dan
kakak-kakakmu sudah tewas. Tinggal kau seorang diri dan tidak ada lagi yang
membelah dan melindungimu.
“Datu Delapan Panjang, manusia terburuk
dimuka bumi ini. Kau dengarkan kata-kataku. Atas nama penguasa alam raya ini.
Tentu akan mengutuk semua kebiadabanmu. Demi penguasa alam, daripada Aku menjadi istrimu. Tidak sudih tubuhku
sedikitpun kau sentuh. Lebih baik aku menjadi seekor hewan melata seperti kadal
penunggu hutan rimba. Atau menjadi ikan penghuni sungai.” Kata Putri
Sidepak berapi-api.
“Hanya kata-kata yang tidak ada
gunanya. Akulah datu yang sangat sakti. Maka turutilah Aku, Aku berjanji akan membuat hidupmu sangat
bahagia. Seperti seorang ratu istri-istri Depati. Aku akan memberikan emas, uang, rumah
yang besar, pelayan dan pesuruh-pesuruh yang patuh.” Kata Datu
Delapan Panjang.
“Aku bukan wanita rendahan seperti itu. Aku gadis terhormat dan diriku tidak dapat dibeli atau ditukar kekayaan. Aku masih suci dan menjaga kesucianku. Hanya pernikahan yang sah yang aku relakan. Aku bukan penghianat keluarga, Ayah, ibu, kakak-kakakku telah berkorban demi Aku. Maka Aku tidak akan pernah mengecewakan mereka.” Jawab Putri Sidepak.
Sementara itu, di langit bagian utara Talang Gajah Mati tampak mendung. Ada petir-petir dan kilat yang menyambar. Angin berhembus deras dan terdengar suara menderu-deru. Pucuk-pucuk pepohonan bergoyang hebat. Cuaca berubah menjadi buruk. Prajurit Datu Delapan Panjang mencari tempat berteduh. Kilat tiba-tiba menjadi sangat aktif. Kemudian petir menyambar-nyambar. Prajurit Datu Delapan Panjang ketakutan saat petir menyambar-nyambar. Beberapa pucuk pohon kelapa terbakar dan putus. Kemudian ada sambaran keras bersamaan. Suara yang sangat keras dan menggelegar. Semua pohon disekitar rumah Putri Sidepak tersambar petir.
Asap membumbung bercampur air hujan. Hujan deras tapi cepat berhenti. Perlahan redah dan cuaca kembali cerah seakan tidak pernah hujan dan tidak pernah ada badai petir.
Entah mengapa, Datu Delapan panjang tampak khawatir dengan keadaan cuaca yang aneh. Sementara Sidepak diam memandang langit yang perlahan berubah cerah dari jendela rumah. Datu Delapan Panjang melangkah mendekati Sidepak. Tapi Sidepak tidak bergerak dan tetap berdiri memandangi langit. Datu Delapan Panjang berpikir kalau Sidepak sudah pasrah padanya. Berdiri tepat dibelakang Sidepak. Dengan kurang ajar tangan Datu tua itu meraih bahu Sidepak. Dia ingin menarik, sekaligus membalik arah Sidepak menghadapnya.
“Wuussss. Plukkkk.” Suara pakaian Sidepak jatu. Tubuh Putri Sidepak telah hilang entah kemana. Datu Delapan Panjang terkejut bukan kepalang. Dia mundur dua langkah ke belakang. Matanya terbelalak lebar penuh keanehan dan rasa tidak percaya. Lama dia memperhatikan pakaian Sidepak yang tergeletak. Tiba-tiba matanya melihat sesuatu yang bergerak-gerak dari dalam tumpukan pakaian. Mata Datu Delapan Panjang menatap tidak berkedip. Sementara di atas langit-langit rumah. Ruruna, Marara dan Kandapu juga melihat semua kejadian itu. Begitupun Nanri yang dari tadi menahan tangis di dalam keranjang bunang, mengintip.
Muncul seekor hewan melata dari balik tumpukan pakaian Sidepak, yaitu Kadal. Kadal itu berjalan cepat menuju pintu dan terus sampai ke tanah. Datu Delapan Panjang masih belum percaya dengan kejadian itu. Dia membolak-balik pakaian Sidepak dan tidak menemukan apa-apa. Kemudian dia mengejar dan mencari-cari kadal tadi. Datu Delapan Panjang gusar sekali. Dia juga baru sadar kalau semua prajuritnya telah mati semuanya tersambar petir. Pasti semua ini ilmu sihir pikirnya.
“Sidepak, kau tidak akan lolos dari tanganku. Ini hanya ilmu sihirmu yang murahan. Kau pikir Aku tidak punya ilmu sihir seperti ini. Kecil bagiku!!!. Kecilll. Aku bisa berubah menjadi hewan-hewan.” Kata Datu Delapan Panjang sambil marah-marah. Dia merasa sia-sia, dia sudah susah payah untuk mendapatkan Sidepak.
Dia mencari-cari disekitar rumah Sidepak seperti orang kesetanan. Dengan ilmu sihirnya dia dapat menemukan kadal jelmaan Sidepak. Kemudian Datu Delapan Panjang duduk bersilah dan memejamkan matanya. Lalu dia membaca mantera sihir berubah wujudnya. Beberapa saat kemudian ada angin kencang dan muncul kabut menutupi tubuh Datu Delapan Panjang. Saat kabut hilang, seekor kadal besar merayap. Kadal jelmaan Datu Delapan Panjang berlari menuju semak-semak. Di kepala kadal jelmaan Pagarepa ada menempel mutiara. Mirip mutiara yang menempel diikat kepala Datu Delapan Panjang.
*****
Sementara itu, Nanri jatuh pingsan. Dia
ingat sumpah Putri Sidepak tadi. Sedangkan Marara, Ruruna, dan Kandapu sudah
turun dari atas langit-langit rumah. Mereka mengintip keluar dan mata mereka
terbelalak. Mayat prajurit Datu Delapan Panjang bergelimpangan tersambar petir,
dan terbunuh. Mereka melihat jenazah ayah, ibu, dan kakak-kakak mereka. Mereka
juga menyaksikan semua perbuatan Datu Delapan Panjang. Termasuk saat dia
berubah menjadi kadal besar. Ruruna, Marara dan Kandapu sepakat untuk membantu
Sidepak. Mereka mengambil senjata yang tergeletak di dekat mayat-mayat prajurit Datu Delapan
Panjang.
“Kita harus membalaskan kematian Ayah, Ibu, dan Kakak-Kakak kita. Kita cari
kadal jelmaan Datu Delapan panjang tadi. Sebelum dia kembali menjadi manusia.”
Kata Marara. Mereka mencari kadal besar yang berciri, ada batu permata di
kepalanya.
*****
Sementara itu, kadal jelmaan Sidepak terus berlari diantara sarap dan semak-semak. Dia harus lari jauh menghindari Datu Delapan Panjang. Kadal jelmaan Datu Delapan Panjang dengan susa paya akhirnya menemukan kadal jelmaan Sidepak. Kadal jelmaan Sidepak kaget melihat ada kadal besar menghadang di jalannya. Lidah kadal besar tampak menjulur-julur.
Membuat takut kadal jelmaan Sidepak. Kemudian dia berlari ke sisi kanan. Kadal jelmaan Datu Delapan Panjang mengejar. Kejar mengejar terus berlanjut, sampailah di tebing Sungai Keruh yang lebar. Di tanah agak lapang diteduhi rindang pohon. Kadal jelmaan Sidepak benar-benar tidak dapat berlari lagi. Maju dia akan jatuh ke Sungai Keruh. Mundur dia akan tertangkap oleh kadal besar itu.
“Kalau kau tidak menjadi istriku
sebagai manusia. Kau akan menjadi istriku sebagai kadal.” Kata kadal jelmaan Datu Delapan
Panjang. Lama kadal jelmaan Sidepak tidak bergerak. Mungkin dia sedang berdoa
pada yang maha kuasa. Kadal jelmaan Datu Delapan Panjang mendekat
perlahan-lahan. Lidanya terus dijulur-julurkan dan sorot mata tajam. Kadal
jelmaan Sidepak tiba-tiba berlari menuju tebing sungai dengan cepat. Lalu
tubuhnya meluncur ke dalam Sungai Keruh. Tidak ampun lagi tubuh kadal jelmaan Sidepak
lenyap di dalam air. Terdengar suara tubuh kadal jatuh ke air. Tampak
gelombang dipermukaan air sungai disaksikan kadal jelmaan Datu Delapan Panjang.
“Heeeaaaahhhh.” Teriak Datu Delapan Panjang dalam wujud kadal besar.
Kadal jelmaan Datu Delapan Panjang hanya menatap lesuh menyaksikan itu. Dia merasa putus asa dan sia-sia. Kemudian dia berbalik hendak meninggalkan tebing sungai. Saat kadal itu berbalik. Tidak menyangkah tiga orang anak-anak menghunus Pibang di tangannya. Lalu mengayunkan pibang membabat kearah kadal jelmaan Datu Delapan Panjang. Tidak ampun lagi, kadal besar itu terpotong tiga. Satu mata pibang memotong leher, satu memotong tengah, dan satu mata pibang memotong ekor. Kadal jelmaan Datu Delapan Panjang tewas seketika. Pagarepa atau Datu Delapan Panjang tidak lagi terdengar ceritanya sampai sekarang. Dia Tewas di tangan anak-anak adik Putri Sidepak.
*****
Marara, Ruruna, dan Kandapu berdiri
disisi tebing sungai. Mereka berharap menemukan kadal jelmaan dari Sidepak sang
kakak. Namun apa daya, mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Duduk di tebing
Sungai Keruh memandang permukaan air yang berwarna kekuningan mirip keruh itu.
“Kopek. Kopek dimana?.” Itulah kata mereka berkali-kali sambil menangis.
Dalam kesedihan itu, tiba-tiba di permukaan air sungai muncul seekor ikan. Ukurannya sebesar lengan tangan orang dewasa. Ikannya besisik, mirip ikan ruan (gabus). Tapi bukan ikan ruan. Melompat-lompat dipermukaan air dihadapan mereka. Ketiganya merasa aneh dengan ikan itu. Namun ikan terus melompat riang. Berenang kesana kemari seakan mengajak ketiganya bermain.
Menjelang malam ikan itu mendekati tebing sungai. Lalu membuka mulutnya, ada kilauan emas. Ruruna mengambil benda itu dari mulut ikan. Saat mereka perhatikan ternyata itu sebuah cincin. Yang paling membuat mereka terkejut saat mengenali, itu cincin Sidepak. Mereka bertiga menangis dan menjerit-jerit. Kakak mereka yang menjelma menjadi kadal, sekarang telah menjadi seekor ikan. Rupanya doa sebelum kadal jelmaan Sidepak melompat ke air. Dia meminta untuk menjadi ikan pada yang maha kuasa.
Sejak saat itu, Marara, Ruruna, dan Kandapu selalu bermain di tepian Sungai Keruh di sisi Talang Gajah Mati. Mereka menangkap belalang, mencari serangga dan memberikannya pada ikan Sidepak. Ikan sidepak juga tidak pernah pergi jauh. Selalu di sekitar tepian mandi mereka. Saat mereka mandi ikan Sidepak datang bermain menemani. Membuat Marara, Ruruna, dan Kandapu menjadi terhibur walau mereka telah menjadi yatim piatu. Penduduk Talang Gajah Mati akhirnya juga tahu dari cerita mereka bertiga dan Nanri. Mereka menjadi yakin saat diajak ketepian sungai.
Penduduk semuanya menangis bersedih melihat keadaan Sidepak. Gadis yang sangat cantik, baik, suci, dan berbudi luhur. Harus menjalankan takdir yang sangat berat. Apapun yang terjadi seorang gadis harus membelah kehormatannya dan kehormatan keluarganya.
Bertahun-tahun kemudian ikan Sidepak hidup bersama penduduk. Saat mandi mereka selalu memanggil-manggil Ikan Sidepak. Ikan Sidepak muncul dipermukaan dan bermain. Terobatilah rindu keluarga, teman, sahabat, dan semua warga, pada Putri Sidepak.
Ikan Sidepak juga bertelur akhirnya. Anaknya banyak bertebaran di Sungai Keruh. Penduduk mengenali keturunan dari Ikan Sidepak. Sehingga saat penduduk memancing, memasang bubu, apabila mendapatkan anak ikan Sidepak mereka melepaskan kembali.
Penduduk Talang Gajah Mati tidak mau memakan anak keturunan Ikan Sidepak. Karena Ikan Sidepak jelmaan seorang manusia. Seiring waktu cerita Ikan Sidepak hanya diingat sedikit saja oleh masyarakat.
Nama Ikan Sidepak seribu tahun kemudian beransur-ansur berubah dengan sendirinya. Kata Sidepak akhirnya bergeser menjadi, Kedak. Itulah mengapa masyarakat Desa Gajah Mati dan sekitarnya tidak mau makan Ikan Kedak (Sidepak). Kepercayaan mitos ini sampai sekarang masih bertahan pada masyarakat Desa Gajah Mati dan desa-desa lain di Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Editor. Selita. S. Pd.
Palembang, 24 Desember 2019.
Arti kata:Puyang: Pemimpin yang dipilih masyarakat bukan keturunan bangsawan. Adat marasan: sama seperti taaruf, tapi ditambah syarat-syarat adat. Lama pelaksanaan adat marasan tiga bulan. Pibang: Senjata tradisional masyarakat Dataran Negeri Bukit Pendape yang berbentuk pedang pendek. Bunang: Keranjang besar untuk mengangkut dan menyimpan bulir padi.
Post a Comment