Legenda Asal-Usul Nama Desa Gajah Mati
Rumah panggung milik
puyang bertipologi rumah panggung basepat. Jenis
pertama dari perkembangan bangunan tempat tinggal di Sumatera Selatan. Rumah
itu, sudah lapuk dimakan usia. Terlihat dari keadaan material rumah buram dan
kusam.
“Puyang, sudah berapa lama rumah ini berdiri?.
Tanyaku waktu itu.
“Aku tidak tahu
pasti. Tapi sewaktu aku masih kecil berumur lima atau enam tahu. Keadaan rumah
kita ini sudah tua hampir seperti ini." Jawab Puyang sambil mengunyah
sirih. Mulutnya merah karena air kapur sirih. Dia menumbuk pinang agar lembut
karena tidak dapat mengunyah lagi. Aku melihat tepak sirinya penuh oleh
alat-alat makan sirih.
“Berapa umur Puyang sekarang?” Tanyaku.
“Sekitar 90 tahun.” Jawabnya. Pendengaran dan
penglihatan puyang masih baik.
Lama bercerita banyak
hal, tentang keadaan desaku pada masa lalu. Aku banyak bertanya tentang adat
istiadat. Bertanya tentang sejarah di desa. Puyang bilang kalau sejarah dia
tidak tahu. Kalau andai-andai tentang asal usul nama Desa Gajah Mati dia tahu.
Puyang mendengar andai-andai itu dari moneng-monengku sewaktu dia masih
anak-anak.
Memang zaman dahulu
para orang tua suka berandai-andai untuk menghibur dan mendidik anak-anak.
Sebab belum ada televisi seperti sekarang untuk hiburan anak-anak. Sekarang
orang lebih suka menonton televisi atau bermain henpon. Tradisi berandai-andai
kemudian hilang seiring waktu.
“Lihat di belakang
rumah ada sungai. Lihat di samping sungai ada padang rumput. Padang rumput itu
bekas Talang masyarakat Desa Gajah Mati. Jelas beliau, benar atau tidaknya, ini
hanyalah cerita andai-andai. Itulah kata Puyang dan sedikit batuk-batuk. Puyang
mulai menceritakan cerita asal usul nama Desa Gajah Mati.
*****
Penduduk Negeri
Dataran Bukit Pendape pada masa itu, sudah sangat padat sekali. Sehingga
hutan-hutan disekitar pemukiman warga sudah ada pemiliknya semua. Sehingga
generasi masih muda tidak memiliki lahan untuk bertani lagi. Masyarakat Negeri
Dataran Bukit Pandape hidup dari hasil bertani dan berternak. Ada juga yang
menjadi pedagang, tukang rumah, nelayan sungai, dan pengrajin alat-alat rumah
tangga.
Penduduk di Kota
Pedatuan dan di talang-talang sekitar sudah padat sekali. Diantara
talang-talang yang telah padat itu, salah satunya bernama Talang Selensing.
Selensing nama tumbuhan yang sejenis pandan hutan. Tumbu di rawa-rawa atau
tanah berair, seperti paya-paya. Talang Selensing dikeliling paya-paya yang
panjang dan dalam. Menjadi tempat menangkap ikan, mandi mencuci masyarakatnya.
Kisah ini berawal
dari sebuah keluarga besar Puyang Karu-Karu. Puyang Karu-Karu memiliki enam
orang anak. Empat laki-laki dan dua wanita, semuanya sudah menikah. Anak
pertama bernama Kamaju, anak kedua bernama Salibu, ketiga Manaku, keempat
Pandika, kelima dan keenam Dinini dan Dinina yang kembar.
Keadaan sangat sulit
masa itu. Keluarga Puyang Karu-Karu kesulitan ekonomi. Mereka hidup sederhana
sekali. Mengandalkan beberapa hektar tanah untuk memenuhi kebutuhan mereka
sekeluarga besar. Anak-anak Puyang Karu-Karu tidak dapat menerima keadaan yang
sulit itu. Maka bermusyawarahlah mereka disuatu malam. Berkumpul di ruang
tengah rumah. Puyang Karu-Karu duduk di hadapan anak-anaknya. Dalam musyawara
itu berkatalah anak tertua Puyang Karu-Karu.
“Bak, bagaimana kalau
aku dan anak istriku pergi membuka hutan baru. Tapi akan jauh dari Talang
Selensing. Tidak mungkin kita terus bertahan dengan keadaan seperti ini. Yang
aku takutkan, bagaimana kalau terjadi kemarau panjang atau ada serangan hama.
Tentulah kita sekeluarga akan kelaparan.” Kata Kamaju. Semuanya diam dan
memperhatikan dan memikirkan. Perbincangan berlanjut.
“Jangan terburu-buru
mengambil keputusan. Mari kita pikirkan lagi. Kalau hanya Kau, Istrimu, Gurula
anakmu, dan dua adiknya yang masih kecil itu berbahaya. Sebab banyak harimau,
ular piton dan gajah liar di hutan jauh. Kecuali kalau kau banyak orang pergi
bersamamu. Sehingga terbentuk sebuah kelompok. Maka akan kuat, serta dapat
mendirikan Talang baru.” Ujar Puyang Karu-Karu seraya menghirup air nira
hangat.
“Kalau memang sudah tekad koyong nak pergi membuka
Talang baru. Aku bersediah ikut. Aku juga tak tahan koyong, dengan keadaan kita
yang pas-pas.” Kata Manaku.
Akhirnya semua anak
Puyang Karu-Karu bersepakat untuk pergi membuka pemukiman baru. Sehingga
dimulailah persiapan, dari perbekal, bibit tanaman, dan bibit ternak untuk
dibawa. Banyak yang mendengar tentang rencana mereka. Maka ada juga yang
tertarik dan mereka ikut bergabung pergi. Semua juga sama kesulitan ekonomi.
Sebanyak tiga puluh keluarga berangkat mencari lokasi pemukiman baru. Puyang
Karu-Karu dan istrinya juga ikut. Agar anak-anak mereka ada yang menengahi
mereka. Selain itu, mereka juga tidak ingin jauh dari anak-anaknya.
Sebelum berangkat
mereka berpamitan dengan warga. Perjalanan dimulai di pagi hari. Mereka
menerobos perkebunan yang luas. Baru beberapa minggu menemukan hutan lebat dan
terus berjalan berminggu-minggu. Sampailah mereka disuatu hutan rimba raya.
Beristirahat di sebuah tanah lapang disisi bukit. Tidak jauh dari tempat
mereka istirahat ada sungai kecil dan paya-paya. Banyak rombongan yang
membersihkan diri di lembah bukit kecil itu. Dimana ada benca yang
berair jernih mengalir perlahan. Saat istirahat itu Gurula ingin buat hajat.
Maka dia menjauh dan pergi ke sungai.
“Mak, aku nak buang
hajat di sungai kecil, disana." Ujar Gurula sambil menunjuk. Dia tahu
karena sudah ada warga yang mencari sungai tadi, dan bertemu.
“Ia, hati-hati
Gurula, hutan ini baru kita datangi. Jadi belum tahu situasi. Apa penunggunya,
entah suban entah hewan buas.” Jawab Ibu Gurula. Sementara
ayah, kakek, paman, dan rombongan, sedang berdiskusi. Mereka mencari arah dan
mengira-ngira keadaan. Apakah tempat itu sesuai untuk pemukiman.
Mereka sepakat untuk
membangun talang baru di dekat sungai besar. Agar mudah memenuhi kebutuhan
hidup. Sungai dapat menjadi transportasi, dan tidak kekurangan air saat musim
kemarau. Pengecekan geografis daerah juga mereka kuasai. Sepakat akhirnya,
diputuskan apabila menemukan tempat cocok mereka akan menetap. Tanah subur, dan
didekat sungai besar. Selain itu mereka sudah hampir sebulan berjalan mengikuti
langkah kaki saja.
Waktu berlalu, mereka
makan dan istirahat. Anak-anak bermain menunggu waktu perjalanan kembali. Tapi
Gurula tidak kunjung muncul sudah cukup lama. Membuat Ibu Gurula menjadi
khawatir dan datang menemui suaminya.
“Kanda, tadi Gurula
pamit hendak kesungai kecil di sisi bukit. Sudah lama tak
kembali-kembali." Ayah Gurula dan semuanya terkejut. Mereka segerah
berkumpul bermupakat. Ayah Gurula meminta Salibu, Manaku, Tutuka, Bilanga,
Babansa. Menemani dia mencari Gurula. Sedangkan yang lain berjaga-jaga. Mereka
berlari-lari kecil mengikuti arah Gurula pergi ke arah sungai kecil itu.
*****
Sementara itu,
setelah buang hajat Gurula merasa penasaran dengan suara gajah yang berbunyi
terus-menerus. Mengintip dari jauh, terlihat sebua paya berair dangkal. Paya
itu berlumpur akibat pengendapan tanah. Dua ekor anak gajah terperangkap di
dalam paya berlumpur itu. Badan gajah hanyas sebatas kepala dan belalainya saja
yang timbul. Gurula masuk kedalam paya berlumpur dan mendorong gajah di bagian
depan. Bermaksud menolong. Tapi tenaganya sebagai anak manusia berumur dua
belas tahun tidak memadai.
Tinggi lumpur juga
sampai ke lehernya dan dia akhirnya kembali ke tebing paya. Dua anak gajah itu
panik dan terus berbunyi, memanggil kawanan mereka. Keduanya seperti disedot
oleh lumpur, tidak dapat berbuat apa-apa. Gurula duduk di atas tebing paya. Dia
memikirkan bagaimana membantu kedua anak gajah itu keluar dari lumpur. Gurula
mendapatkan ide, yaitu dengan mengalirkan lumpur kesisi paya. Paling tidak
lumpur akan menyusut disekitar tubuh anak gajah itu. Sehingga keduanya dapat
bergerak keluar.
Gurula menggunakan
Pibang menggali tanah disisi tebing paya. Perlahan tapi pasti, terus menggali
dalam dan memanjang jauh. Gurula bekerja tiada henti. Saat sedang sibuk itu
ayah dan paman, warga yang mencari datang.
“Apa yang kau
perbuat, Gurula?.” Tanya ayahnya. Gurula yang tampak kelelahan menunjuk kedua
anak gaja di dalam paya berlumpur. Ayah Gurula dan semuanya mengerti dan mereka
bekerja bersama-sama. Penggalian pun lebih cepat. Kemudian mereka mendorong dan
mengalirkan lumpur ke lubang panjang galian mereka. Sehingga badan gajah
terbebas dari benaman lumpur, dan dapat berjalan.
Tanpa mereka sadari
dari tadi puluhan ekor gajah dewasa berdiri di seberang paya. Gajah-gajah itu
memperhatikan semua peristiwa itu. Dengan akar dan rotan mereka mengikat lalu
menarik tubuh gajah naik tebing paya, ada juga yang mendorong dari belakang.
Sehingga selamatlah kedua anak gajah itu. Gurula membawa kedua gajah muda itu
kesungai kecil berair jernih. Dimana tadi dia buang hajat dan mencuci wajah.
Ayah dan paman-paman Gurula mengikuti.
Mereka semua
membersihkan tubuh dari lumpur, termasuk dua anak gajah itu. Setelah badan
kedua gajah itu bersih. Ternyata gajah satunya berbulu putih seperti kapas,
indah sekali. Sedangkan yang satunya berbulu abu-abu seperti warna bulu gajah
pada umumnya.
Mereka kemudian
kembali ke rombongan dan meninggalkan kedua anak gajah itu. Terdengar suara
riang gajah mengiringi kepergian mereka. Beberapa kali menyeburkan air keatas
dengan belalainya. Sementara gerombolan gajah dewasa tadi mencari bagian paya
yang dangkal. Lalu menyemberang dan menuju sungai kecil itu.
Tampak kedua anak
gajah itu mendatangi seekor gajah perempuan yang besar. Sepertinya itu induk
keduanya. Suara-suara gajah menjadi riuh, menemukan air. Ada yang minum dan
berendam di dalam air. Kelak paya tempat gajah itu terbenam dikemudian hari
dikenal dengan nana Paya Lebar atau Paye Libok.
Dua minggu dari hari
itu, rombongan Puyang Karu-Karu menemukan rawa-rawa yang luas. Sehingga tidak
dapat menyemberangi. Dikemudian hari daerah rawa-rawa itu dinamkan oleh
masyarakat Gajah Mati, dengan Daerah Sawa.
Rombongan mereka
kemudian mengarah ke arah barat. Sampailah di sebuah tebing sungai. Sungai itu
berair jerni sekali. Gurula dan kawan-kawan langsung mandi berenang di sebuah
lubuk sungai. Rombongan istirahat untuk sehari. Juga melihat kondisi dan
memperhatikan tanda-tanda kalau daerah itu renah. Maka tidak cocok
untuk pemukiman. Karena tanah renah sering banjir di musim hujan.
“Gurula, dari mana, lama sekali. Tanya Dinini.
“Mandi disungai, Bik. Air sungainya jernih
sekali.” Jawab Gurula polos.
“Iya Mak, jerni
sekali air nya. Kalau menengok kedalam sungai tu, terlihat ikan-ikan.” Ujar
Sanlang anak Dinini.
“Sudah makanlah, sebentar lagi kita nak berangkat
lagi." Ujar Dinina.
“Berangkat terus,
kapan berhenti. Dah lelah kami, kan masih budak.” Kata Marti anak
tetangga Gurula. "Betul. Ujar anak-anak lainnya.
Perjalanan ditunda
karena anak-anak masih keleahan. Keesokan harinya, mereka pun melanjutkan
perjalanan kembali. Menyemberangi sungai berair jernih itu. Kelak sungai itu
dinamakan masyarakat Desa Gajah Mati dengan nama, Sungai Jernih (Sungai Jene).
Menjelang sore mereka tiba di sebuah sungai berair kuning mirip air keruh. Sungai
besar, mereka berjalan menghulu sungai. Dari jauh terlihat sebatang pohon
rengas yang sudah roboh dan jatuh melintang di atas sungai.
“Coba kita menyeberang, lihat tanjung itu. Kata
Puyang Karu-Karu.
“Tadi sungai air
jerni, Sekarang Sungai airnya kuning seperti keruh. Guman beberapa orang
diantara mereka.
Puyang Karu-Karu
diikuti Pandika, Salibu, Kuraja. Kuraja suami Dinini. Mereka berempat
menyemberang ke tanjung itu. Melintasi di atas batang pohon rengas yang roboh
itu. Mereka melihat tanah tanjung. Tidak ada tanda-tanda banjir yang dalam
disekitar tanjung itu. Pada malam harinya mereka bermusyawarah. Diterangi api
unggun dan memakan ikan bakar, rusa panggang.
“Kita bangun disini
saja, Talang. Kasian anak-anak dan wanita kalau berjalan terus. Sudah lebih
sebulan kita berkeliling-keliling hutan.” Kata Puyang Karu-Karu
disela-sela perbincangan mereka.
“Sungai besar, tanah subur, bagus untuk talang
baru.” Ujar Sangkan. Sangkan suami Dinina.
Mereka sepakat,
keesokan harinya dimulai membuka hutan di tanjung sungai itu. Menebang
pepohonan, membersihkan semak-semak, dan membakarnya. Sehingga terbukalah tanah
lapang. Di sisi tanah yang mereka buka itu, terdapat sebuah sungai kecil. Anak
dari sungai yang berair kuning mirip keruh itu. Mereka membuat tepian madi
untuk mandi diwaktu air sungai keruh naik (mendalam). Waktu berlalu dan
berlalu. Rumah-rumah telah dibangun, halam rumah telah bersih. Pisang telah
berbuah, sayur telah berpucuk. Mereka juga sudah membuka ladang-ladang. Sudah
ada yang membuat perahu dan rakit. Ada pula yang menemukan pohon sialang. Untuk
mengambil madu lebah hutan. Menemukan pohon aren dan menyadap nira.
Mereka sekarang hidup
makmur dan berkecukupan. Karena hasil panen padi, sayuran berlimpa. Begitupun
ternak mereka juga berkembang dengan baik. Talang mereka belum ada nama.
Sedangkan nama sungai berair kuning mirip keruh, mereka namakan Sungai Keruh.
Akhirnya nama itu melekat sampai sekarang.
Sementara itu,
kawanan gajah-gajah yang dulu anaknya mereka tolong. Sekarang telah berada di
sekitar talang mereka. Kadang gajah-gajah itu mandi si Sungai Keruh. Pernah
suatu hari Gurula bertemu dua ekor gajah yang dia tolong dahulu, gajah putih
dan gajah abu-abu. Gurula tidak menyangka kalau kedua anak gajah itu mau
bersahabat dengannya. Berkali-kali Gurula naik kepunggung keduanya bergantian
waktu bermain-main.
*****
Suatu hari Pandika
memtong rambut. Zaman dahulu rambut laki-laki sama panjang seperti rambut
perempuan. Karena dia sudah gerah dengan rambutnya sudah panjang sebatas
pinggang. Melihat Pandika memotong rambut semuanya ikut memotong rambut.
Sehingga pagi itu mereka kompak memotong rambut, pendek di atas bahu.
Mereka memotong
rambut dengan senjata pusaka bernama Pibang. Pibang senjata tradisional milik
Masyarakat Sungai Keruh. Setelah dipotong, rambut itu mereka kumpulan di
tumpukan sampah. Di soreh harinya Manaku membakar sampah itu. Sehingga
rambut-rambut bekas pemotongan mereka terbakar.
Bau angit rambut
dibakar itu tercium semerbak di seluruh talang. Puyang Karu-Karu keluar dari
rumah, dan mencari sumber tempat angit terbakar. Saat dia bertanya pada Manaku
apa yang dibakar. Dijelaskan semua itu rambut bekas pemotongan mereka
pagi tadi. Puyang Karu-Karu menjadi khawatir sekali. Dia menceritakan pesan
orang-orang tua. Jangan membakar rambut, sebab akan tercium oleh harimau dari
gunung. Akan berbahaya dan kita harus bersiap menghadapi serangan
harimau-harimau dari gunung. Kata Puyang Karu-Karu cemas dan wajah pucat.
Menyadari itu, maka keesokan harinya semuanya mulai mempersiapkan diri. Tombak,
pedang dan panah disiapkan di dalam rumah masing-masing.
******
Nun jauh di Gunung
Dempo di daerah Pagaralam. Sekawanan harimau gunung mencium bauh rambut
terbakar yang diterbangkan angin. Harimau kumbang, raja harimau Gunung Dempo
membawa sekitar seratus ekor harimau jantan turun gunung menuju sumber bau
angit rambut terbakar. Diawali auman yang bersamaan yang membuat ngeri bagi
yang mendengar.
Seratus satu harimau
gunung Dempo turun berlari kencang menuju talang baru itu. Dalam waktu seminggu
pasukan harimau gunung itu tiba di dekat talang baru itu. Auman mereka yang
bersahutan membuat seisi talang ketakutan. Mereka semua berlari pulang dan
mengurung diri. Tombak, panah, pedang dipersiapkan. Ayah Gurula terpekik-pekik
mencarinya, tapi tidak bertemu. Ternyata Gurula sedang bermain jauh di hutan
bersama dua gajah sahabatnya. Gajah putih dan Gajah Abu-Abu, panggilannya.
Kedua anak gajah mengantar Gurula pulang. Tibalah di dekat sungai kecil tak
bernama di sisi talang.
“Putih, suara harimau
banyak sekali.” Kata Gurula yang mulai ketakutan. Dua ekor anak gajah itu terus
berbunyi riang. Seakan memberi tanda kalau Gurula tidak perlu takut, ada mereka
yang melindungi. Sesaat setelah menyeberangi sungai kecil. Puluhsn harimau
mengepung tiga sahabat itu.
Harimau kumbang
mengaum, lalu empat harimau melompat menyerang dua gajah itu.
Gajah Putih dan Gajah abu-abu tidak takut. Keduanya balik menyerang
menerjang. Harimau penyerang mati seketika saat injakan kaki mengenai batang
lehernya.
Sementara di talang
semua tidak dapat kemana-mana. Puluhan harimau berkeliaran di tengah talang.
Berjalan di bawah-bawah rumah panggung penduduk. Membuat semuanya takut
gemetaran. Kerbau dan sapi mereka sudah ada yang diterkam karena belum sempat
melarikan diri. Ayah dan ibu Gurula panik karena Gurula tidak tahu dimana.
Begitupun dengan yang lainnya.
Gajah Putih meraih
dahan pohon. Gurula mengerti kalau gajah putih memintanya naik pohon. Maka dia
naik pohon sampai kepuncak tinggi. Kembali pertarungan hebat terjadi. Puluhan
harimau mengeroyok dua anak gajah itu. Sambil bertaurung keduanya membunyikan
tanda bantuan untuk gajah-gajah dewasa lainnya. Ratusan gajah dewasa yang
berada tidak jauh berlari mendatangi sekitar talang.
Pertarungan tidak
seimbang. Membuat keduanya kewalahan. Banyak cakaran, gigitan yang mengenai
tubuh keduanya. Membuat keduanya banyak terluka. Sementara gajah putih yang
lebih parah. Dua gigitan di lehernya sobek parah, banyak darah keluar. Dalam
keadaan genting itu kawanan gajah dewasa datang. Suara bagai guntur yang bergemuru.
Melihat saudara
mereka dikeroyok harimau. Membuat semua gajah marah besar. Apa lagi induk gajah
putih dan gajah abu-abu, mengamuk hebat. Kali ini giliran harimau yang
kerepotan. Satu lawan satu adalah hal yang kecil bagi gajah. Dalam waktu
sebentar saja harimau-harimau itu mati dengan tulang patah-patah semua. Tidak
satupun harimau itu selamat dari amukan gajah-gajah hewan besar itu. Termasuk
harimau kumbang raja para harimau, tewas. Tidak ada ampun, ratusan gajah
menginjak-injak tubuh harimau yang tergeletak bergiliran. Membuat mereka mati
dengan tubuh lembek.
Gajah putih yang
terluka parah terjatu kedalam sungai. Tubuhnya lemah karena kehabisan darah.
Gurula turun sambil menangis mendatangi gajah putih. Berkali-kali suara-suara
gajah putih terdengar. Induk gajah putih dan saudaranya gajah abu-abu datang.
Mereka tampak menatap sedih. Hanya suara-suara gajah yang melengking-lengking
terdengar ramai. Gurula tidak mengerti bahasa gajah. Belalai mereka bersentuhan
dan saling membelit.
Sepertinya mereka melepas
kasih sayang. Mereka tahu kalau gajah putih tidak akan berumur panjang lagi.
Untuk terakhir kalinya gajah putih menyemburkan air sungai ke wajah Gurula. Ada
air mata menetes dari mata gajah putih. Induk gajah putih membelai rambut
Gurula yang tampak menangis dengan belalainya. Seakan dia berkata sabar, semua
kehendak tuhan.
Keadaan telah aman,
warga talang keluar dan menyaksikan disekitar talang mereka. Tampak bekas
pertarungan gajah dan harimau. Bangkai harimau bergelimpangan di setiap sudut
talang. Mereka semua menemui Gurula yang menangis disisi jasad gajah putih.
Penduduk melihat
keseberang sungai kecil itu. Ratusan gajah-gajah tampak mulai melangkah pergi.
Gajah abu-abu berkali-kali berbunyi-bunyi menghadap penduduk, tanda pamit
mungkin. Lalu dia berbalik dan melangkah pergi mengiringi kawanannnya pergi.
Gajah-gajah telah menyelamatkan semua warga talang. Semua melambaikan tangan
pada gajah-gajah itu. Gajah-gajah membalas dengan suara-suaranya. Ada air mata
haru mengiringi kepergian kawanan gajah-gajah itu. Setelah itu, mereka makamkan
gajah putih di sisi tebing sungai kecil tak bernama itu.
*****
Sungai itu kemudian
selalu disebut dengan sungai tempat gajah mati. Setiap kali bercerita atau
hendak ke sungai. Mereka selalu berkata, "sungai tempat gajah
mati. "Mandi di sungai tempat gajah mati." Begitulah kata-kata
penduduk dari waktu ke waktu. Lama kelamaan, nama sungai itu pun menjadi Sungai
Gajah Mati. Beratus-ratus tahun kemudian talang tak bernama itu juga dinamakan
oleh peduduk dengan nama, Talang Gajah Mati.
Seiring waktu dengan
berjalannya sejarah. Dari talang berkembang menjadi Desa Gajah Mati seperti
sekarang. Walupun airnya sudah dangkal dan surut. Sungai Gajah Mati dan
bekas-bekas pemukiman lama masyarakat Talang Gajah Mati masih dapat ditemui di
belakang Kampung Laut, Desa Gajah Mati, di sebuah tanjung di pinggir tebing
Sungai Keruh.
Orang tua-tua
berpesan, "jangan membakar rambut. Nanti didatangi harimau dari gunung.
Itulah mitos yang aku dengar sewaktu kecil dulu. Rambut yang sudah dipotong
sebaiknya diletakkan di bawah-bawah pohon yang hidup. Agar rambut tersebut
menyatu dengan tanah dan alam.
Oleh. Joni Apero
Editor. Desti. S. Sos.
Palembang, 12 November 2019.
Arti kata:
Kata Puyang memiliki empat makna: Pertama dalam silsilah: Puyang adalah Orang tua dari kakek-nenek kita, atau yang sejajar dengannya. Kedua, Puyang dalam artian Pemimpin suatu kelompok masyarakat. Ketiga, Puyang dalam artian orang yang sakti dan dikeramatkan. Keempat, Puyang dalam artian leluhur.
Paya: Penampungan air alami yang berbentuk memanjang seperti sungai tapi airnya tidak mengalir seperti sungai. Pibang. Senjata tradisional masyarakat yang berupa pedang pendek. Sering menjadi syarat adat genti duduk saat pernikahan.
Renah. Dataran tanah yang subur dan terletak disekitar sungai-sungai. Sehingga saat musim hujan sering terendam banjir saat air sungai meluap. Benca: tempat penampungan air yang terbentuk secara alami di hutan-hutan. Bentuk mirip sungai memanjang tapi kecil seukuran selokan.
Bak: Ayah. Umak: Ibu. Talang: Pemukiman kecil sekelompok penduduk di tengah hutan atau di pinggir hutan. Basepat: Nama jenis rumah panggung orang Melayu lantai rumahnya bertingkat naik turun seperti punden berundak. Budak: Anak-anak.
Pembawaan cerita yang bagus
ReplyDelete