Cerita Kita
Provesi Sederhana Semangat Membara.
Apero Fublic.- Hidup
merupakan jalan takdir yang kita jalani. Hal yang baik dan buruk adalah pilihan
bagi kita sendiri. Begitu juga halnya dengan mimpi. Semua orang bebas
berkeinginan apapun. Akan tetapi, sebuah mimpi itu akan terwujud dengan adanya
usaha yang sunguh-sungguh. Sungguh-sungguh mencapainya dan menjalaninya. Kalau
hidup tanpa mimpi, bagaikan perjalanan tanpa tujuan.
Hari itu, Kota Palembang sibuk seperti biasa. Jalan selalu macet, kenek
berteriak-teriak memanggil penumpang. Tukang parkir sibuk mengatur keluar masuk
kendaraan. Langit cerah, jembatan Ampera melintang diatas Sungai Musi.
Terdengar suara lantunan ayat suci Al-Quran dari menara Masjid Agung Palembang.
Para pedagang sibuk melayani pembeli. Salah satu pedagang jamu gendong yang
akan kita temuai.
Pedagang jamu, profesi yang digeluti oleh seorang wanita, yang bernama
Sumari (bukan nama sebenarnya). Bagi sebagian orang mungkin menjadi seorang
pedagang jamu adalah pekerjaan yang dipandang rendah. Namun tidak bagi mereka
yang berjiwa mulia, apapun tingkat pendidikannya. Ukuran pekerjaan adalah nilai
halal dan kebaikannya.
Pedagang jamu gendong atau pedagang jamu keliling lebih
mulia dibandingkan para koruptor, pejabat yang meminta persen dari kontrkator.
Atau orang hukum yang jual beli hukum dan menipu rakyat. Penjual jamu adalah
penjual obat, yang memberikan kesehatan dan kesebuhan pada pembeli. Dari pada
pedagang rokok dan minuman keras atau narkoba. Mereka menjual racun yang
merusak. Pedagang jamu gendong jauh lebih mulia.
Ibu Sumari, sudah menjadi pedagang jamu keliling atau jamu gendong.
Kurang lebih sudah 26 tahun lamanya. Jauh sebelum aku lahir ke dunia ini.
Sekarang dia sudah berumur 55 tahun. Pada awalnya beliau bekerja sebagai
seorang asisten rumah tangga. Pada keluarga-keluarga di sebuah komplek
perumahan di Kota Palembang. Akan tetapi hasil dari kerjanya itu tidak memadai.
Dari hasil tabungannya, Ibu Sumari mencoba peruntungan dengan berdagang jamu
keliling. Hasilnya lumayan dibandingkan dari hasil pekerjaan sebelumnya.
Ibu Sumari berangkat berdagang pukul sebelas siang. Pulang menjelang
magrib atau setelah magrib. “Ndak nentu, dalam sehari kadang dapat seratus lima
puluh ribu. Kadang lebih dan kadang kurang dari itu. Tergantung dari banyaknya
pembeli. Ujar Ibu Sumari saat berbincang-bincang diselah-selah kesibukannya
melayani pembeli. Dia menjelaskan dagangannya kadang tidak habis. Sehingga
hanya kembali modal saja.
Wanita Kelahiran Jawa Tengah ini. Adalah sosok inspiratif sebagai wanita
pejuang kehidupan. Demi membantu sang suami mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Walau salah seorang anaknya sudah sukses menjadi seorang bidan. Namun tidak
menjadikan ibu Sumari berpangku tangan. Dia tetap bekerja dan tidak ingin
menyusakan anak-anaknya.
Selain itu, setelah bercerita lebih dalam. Ternyata kehidupan Ibu Sumari
penuh dengan cobaan. Hal yang membuat dia terpukul adalah saat suami pertamanya
meninggal karena sakit. Dia terpaksa membanting tulang untuk menghidupi anak
dan dirinya. Baru beberapa tahun kemudian dia bertemu sosok lelaki yang baik.
Menjadi pendaping hidupnya dan menjadi ayah dari anak-anaknya. Suami beliau
bekerja sebagai karyawan swasta (buruh).
Dari jerih payah beliau berdagang jamu. Dia telah menghantar
anak-anaknya ke perguruan tinggi. Menurutnya, dunia yang moderen seperti
sekarang. Pendidikanlah yang paling utama dalam memajukan kehidupan keluarga.
Selain usaha, doa selalu dia panjatkan untuk keluarganya. Begitu pun
anak-anaknya termotivasi dari buah perjuangan beliau.
Kami berbincang-bincang dengan salah seorang masyarakat di sekitar jalan
A.K Gani 19 Ilir, Kota Palembang, Ibu Masna (bukan nama sebenarnya). Katanya,
Ibu Sumari adalah sosok pedagang yang baik. Jujur dan selalu ramah melayani
pembeli begitupun dengan masyarakat sekitar. Dia tabah dan sabar dalam
kesehariannya. “Saya sering melihat Bu Sumari berdagang disekitar sini.
Orangnya ramah, santun, dan pekerja keras.” Ujar Ibu Masna seraya berlalu.
Beberapa orang Mahasiswi dari Universitas Islam Negeri Raden Fatah
Palembang datang menghampiri dagangan Ibu Sumari. Mereka sedang berkunjung ke
tempat wisata BKB (Benteng Kuto Besak). Saat melihat ada pedangan jamu,
mereka mampir untuk membeli minuman sehat itu. Namanya Intan, Mirtha, Bela,
Sukma, dan Dewi. Mereka membeli jamu dagangan Ibu Sumari. Seorang diantaranya
berkata, kalau jamu Ibu Sumari sama dengan jamu racikan ibunya. Namanya Intan
gadis penyuka minuman tradisional ini. “Enak Bu, saya jadi ingat sama ibu saya.
Itulah katanya sambil tersenyum manis.
Lain dengan pendapat Mirtha. Karena dia baru pertama kali minum jamu.
“Ini pertama kalinya saya minum jamu, Bu. Kok pahit rasanya ya. Semua
teman-temannya tertawa, aku pun ikut tersenyum. "Memang pahit karena jamu
itu obat. Bukan minuman penyegar atau sirup. Begitulah kalau belum pernah
meminum jamu. Tapi nanti, kalau nak Mirtha sudah tahu manfaat meminum jamu. Entar juga pasti suka walau pahit." Jelas Bu Sumari. Semua memberikan
kesan tersendiri. Setelah selesai membayar para mahasiswi UIN Raden Fatah itu
pamit, mengucap salam kemudian berlalu pergi.
Akupun demikian, pergi menyusuri jalan untuk menuju BKB. Hiruk pikuk
kendaraan bermotor tiada henti. Langit tampak biru. Sekilas aku menoleh
kebelakang melihat Ibu Sumari. Sosok wanita tua yang mengingatkan aku pada ibu.
“Ya Allah, berilah keberkahan hidup pada Ibu Sumari. Aku berdoa didalam hatiku.
Juga terbayang wajah ibuku, aku rindu ibu.
Oleh.
Erna Nurdianti
Palembang, 18 Desember 2019.
Editor.
Selita. S. Pd.
Sumber foto. Nur Aisyah.
Sy. Apero Fublic
Via
Cerita Kita
Post a Comment