Biruisme
Apakah Kita Sudah Menjadi Manusia ???
Apero
Fublic.- Pada umumnya manusia, hewan dan tetumbuhan di sebut makhluk hidup.
Karena sama-sama makan, bernafas, berkembang biak dan mati. Namun yang
membedakan adalah kesempurnaan sifat dari makhluk hidup tersebut. Makhluk yang
sepurna dalam penciptaannya adalah manusia.
Secara biologis manusia dan hewan
atau binatang sama. Manusia bergerak dengan kaki diatas permukaan bumi, hewan
juga dapat bergerak, begitupun tumbuhan bergerak dengan akar. Manusia makan, hewan makan, tumbuhan makan. Manusia kawin, hewan kawin,
tumbuhan kawin melalui bunga yang dihubungkan dengan kaki serangga.
Manusia
memiliki cairan tubuh, hewan juga memiliki cairan tubuh, begitupun dengan
tumbuhan. Manusia memiliki kelengkapan indera-indera, hewan dan tumbuhan juga
memiliki kelengkapan indera. Lalu apa yang akan membedakan manusia dari hewan
dan tetumbuhan???
Kita mulai dengan kebudayaan. Mengapa orang di Indonesia sering mencaci
manusia lain dengan mengumpamakan seperti hewan. Misalnya seperti anjing, babi,
ular, atau secara umum mencaci orang dengan sebutan binatang. Berbeda dengan
orang Jepang dan sebagian wilayah lain di dunia ini. Mereka tidak mengerti
kalau dicaci dengan perumpamaan hewan.
Orang Jepang menganggap semua hewan suci
atau sama halnya dengan manusia. Karena kebudayaan Jepang yang percaya dengan
dewa-dewa. Yang mempengaruhi jalan pikiran mereka. Ketika mereka menyimbolkan
dewa-dewa dengan hewan, misalnya dewa anjing, dewa srigala dan sebagainya.
Sehingga, dalam penilaian mereka hinaan dan caci maki mengumpamakan dengan
hewan tidak ada. Sebab mereka punya pandangan sendiri tentang hewan.
Di Indonesia tidak ada sejarah kebudayaan yang menyucikan hewan-hewan.
Pada masa animisme dan dinamisme, pra sejarah, dan masa sejarah sampai
sekarang. Kebudayaan asli Indonesia tidak pernah menyucikan hewan. Tetapi
menghormati roh-roh dari makhluk hidup. Dapat kita petik pelajaran dari sastra
kuno. Sastra Sangkuriang atau Legenda Gunung Tangkuban Perahu misalnya.
Dikisahkan dewa dan dewi yang berzinah. Lalu dewa dikutuk menjadi anjing dan
dewi dikutuk menjadi babi. Kemudian si anjing kutukan kawin dengan seorang
putri tanpa ikatan pernikahan. Dari cerita ini menunjukkan perbuatan zinah
adalah perbuatan hewan. Cerita legenda ini bentuk didikan prilaku sosial
ditengah masyarakat.
Pada dasarnya semua hewan suci. Bukan suatu yang buruk dan menjijikkan.
Babi dan anjing haram dalam agama Islam. Tapi haram tersebut, haram memakan dan
menyentuh. Tidak merendahkan babi dan anjing. Kebiasaan mengecam dengan nama
hewan adalah serangan psikologis pada masyarakat agar tidak terpengaruh oleh
perbuatan buruk tersebut.
Karena yang diperumpamakan dalam kecaman atau cacian adalah prilakunya
yang tidak baik, seperti hewan yang tidak ada didikan. Prilaku hewan yang tidak
beradab, beretika, tidak ada aturan. Karena memang hewan tidak memiliki akal
sehingga tidak dapat mengerti.
Sehingga manusia yang perbuatan-perbuatannya yang menyimpang dikecam
dengan nama hewan. Suatu masyarakat yang tidak memiliki tatanan norma-norma
adat misalnya. Sebagai contoh seperti bangsa Barat. Mereka tidak
memiliki sistem norma kesucian wanita. Tidak memiliki sistem nilai harga diri.
Keperawanan perempuan bagi mereka hal biasa. Karena belum pernah berhubungan
intim.
Sehingga dalam interaksi sosial kaum wanita mereka berbeda dari timur,
terutama umat Islam. Ketika mereka melihat muslimah berhijab. Itu sesuatu yang
aneh. Karena mereka menilai dari sudut pandang mereka yang tidak ada
norma-norma hukum sosial terhadap wanita.
Kalau pacaran berzinah dan serumah
tanpa ikatan pernikahan adalah hal biasa. Tetapi kalau masyarakat Indonesia
menilai itu dipersamakan dengan prilaku binatang. Karena hewan dalam berhubungan
tidak memiliki adab, hukum, tempat, asal kemaluan berhubungan sudah sampai.
Tetapi masyarakat Barat memiliki nilai-nilai logika tinggi terutama
dalam ilmu pengetahuan. Celakanya di negara Indonesia budaya tersebut diikuti
oleh kelompok agama yang sama. Lalu berusaha mengajak umat yang lain. Sehingga
banyak sekali prilaku zinah dan kumpul kebo di Indonesia walau
sebagai bangsa yang sangat berbudaya. Serta membedakan manusia dengan binatang.
Ketika kita tidak memiliki norma-norma dalam sosial. Kita tidak dapat
membedakan lagi kalau kita manusia atau hewan. Misalnya kawin sembarangan, kita
lihat hewan yang kawin disembarang tempat. Lihat saja film-film yang mereka
produksi. Mereka tidak segan-segan menamfilkan adegan tidak senono yang sangat
bertentangan dengan budaya asli Indonesia hanya karena sentimen keislaman.
Kalau masih belum mengerti, dapat di perhatikan dengan seksama. Lihat
hewan-hewan di sekitar tempat tinggal kita. Kita melihat anjing, sapi, kuda,
kawin di halam samping rumah kita. Kemudian kita menyadapati buaya memakan
manusia, ular menelan mangsanya bulat-bulat, harimau menerkam tanpa ampun.
Dapat juga kita amati seekor ayam peliharaan dengan kaki kotor dari tanah
lemban, kemudian ayam menginjak lantai rumah. Tampak bekas tapak kakinya yang
kotor meninggal bekas. Kemudian si ayam membuang kotoran yang berbau di lantai.
Saat penduduk menjemur padi ayam datang memakan sesuka hatinya.
Dari anjing atau hewan yang kawin sembarang tersebut maka sering orang
mengumpamakan perbuatan zinah dengan cacian seperti, perilaku anjing, seperti
prilaku babi. Kemudian kalau kita lihat harimau dan buaya tanpa ada rasa
kasihan memakan mangsanya. Memanfaatkan ketidak berdayakan mangsanya. Di juluki
lelaki buaya. Karena lelaki itu memiliki sifat-sifat buaya. Bukan berarti hewan
buaya yang jahat.
Ular menelan bulat-bulat tanpa sisa diibaratkan orang pelit. Kalau kita
menemukan orang menusuk dari belakang. Kita amati dan pelajari dari ayam. Ayam
sudah di beri makan oleh tuannya. Lalu dia makan jemuran juga. Masuk rumah
tuannya dengan kaki kotor. Si ayam ini kalau diibaratkan manusia adalah manusia
yang tidak punya adab, etika, rasa hormat, tidak mengerti tata krama.
Dari itulah pemikir kebudayaan masa lampau mengumpamakan manusia yang
tidak ada adat-istiadat, etika, norma-norma, dan budaya sama dengan hewan atau
binatang. Belum menjadi manusia seutuhnya. Hanya wujudnya saja seperti manusia.
Tapi mereka sejatinya hewan.
Ada tiga hal yang menjadikan manusia itu manusia. Pertama, manusia
itu beragama dan memiliki kepercayaan serta mengakui adanya tuhan. Guna dari
bertuhan agar manusia memiliki kasih sayang hidup dan dapat berkasih sayang
sesama makhluk hidup.
Kedua, memiliki norma hukum-hukum baik adat istiadat, norma tingkah
laku. Misalnya norma tingkah laku, terdapat perbedaan antara laki-laki dan
perempuan baik itu dalam pergaulan atau cara bersikap. Mengapa demikian, kalau
perempuan bercampur baur tanpa ada adab perbedaan.
Maka kita dapat saksikan
hewan-hewan yang bercampur baur. Mereka tidak kenal sudah menikah atau belum.
Masih gadis atau tidak. Kawin sesuka hati, dan berpisah juga sesuka hati. Kalau
tidak sosial tersebut berarti kita menurun menjadi kelas binatang. Norma-norma
adat-istiadat, serta norma hukum lainnya sangat perlu diterapkan karena akan
dapat membedakan manusia dengan hewan.
Ketiga, yang dapat menjadikan manusia itu manusia adalah ilmu
pengetahuan. Dari ilmu pengetahuan manusia akan mendapat pengerti dari
kehidupan. Baik itu untuk mengerti agama yang dia anut. Menciptakan dan
mengatur norma-norma lalu diterapkan dan belajar. Ilmu pengetahuan dapat membedakan
baik dan buruk hal-hal. Seorang lelaki desa misalnya kasar dalam memperlakukan
seorang wanita.
Sangat kental sekali dia hanya menguasai norma hukun kebiasaan saja.
Tapi tidak menguasai ilmu pengetahuan dan ilmu agamanya. Maka menjadi kasarlah dia
terhadap perempuan. Misalnya merendahkan perempuan, memukul dan sebagainya.
Tapi kalau dia berpengetahuan dan beragama dengan baik. Dia akan sadar kalau
perempuan adalah wujud makhluk yang mulia. Perlulah dia norma-norma dan
memperlakukan wanita. "Apakah kamu sudah menjadi manusia seutuhnya???
#Salam
Revolusi Biru.
#Biruisme.
Oleh.
Joni Apero.
Editor. Selita. S.Pd.
Palembang,
8 Januari 2019.
Sy. Apero Fublic
Via
Biruisme
Post a Comment