Sastra Klasik
Geguritan I Jayaprana. Sastra Klasik dari Bali Utara.
Apero Fublic.- Geguritan Jayaprana adalah sebuah karya
sastra berasal dari Pulau Bali. Sebuah sastra klasik yang mengangkat tragedi
yang benar-benar terjadi di Bali. Kata Geguritan berkembang di daerah Jawa
Tengah sampai ke Bali. Kata dasar adalah gurit yang berarti tatahan atau
coretan.
Geguritan kemudian diistilahkan untuk menyebut sebua kesastraan
klasik. Sastra geguritan berbentuk puisi lama yang berkembang pada masyarakat
penutur Bahasa Jawa dan bahasa Bali. Geguritan pada awalnya berupa tembang di
tengah masyarakat. Kemudian terus berkembang menjadi bentuk geguritan yang
memuat cerita. Geguritan yang berkembang juga memiliki corak tersendiri
dibeberapa daerah berbahasa Jawa.
Geguritan Jayaprana juga
berupa sebuah tembang yang berirama puisi. Ada terdapat tujuh baris kalimat
setiap baitnya. Sudah lazim kata-kata dari sastra lama selalu kata-kata
bermakna dengan mengibaratkan dan mengumpamakan. Objek perumpamaannya adalah
alam sekitar dan kehidupan sosial waktu tersebut. Naskah asli Geguritan
Jayaprana ini di ambil dari Lontar dari Gedung Kirtya di Singaraja, Bali. Kode
No. Kirtya/IV d/202/3.
Penerbitan dilaksanakan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah, Jakarta 1978. Buku di labeli dengan Milik Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Alih aksara, alih bahasa, dan ilustrasi oleh Ketut
Ginarsa. Buku ini berjumlah 52 halaman, bentuk sampul warna putih susu disertai
iluminasi batik corak hitam putih dedaunan, tumbuhan, bunga-buang pada bagian
atas dan bawah sampul. Judul besar Geguritan Jayaprana dan diterbitkan oleh
Balai Pustaka tahun 1978.
Berikut Keterangan Singkat I Jayaprana.
Sebuah kuburan yang terletak
terpencil di tengah hutan sepi. Tampak terawat rapi dan dikeramatkan masyarakat
sekitar. Di sekitar kuburan selalu ada taburan bunga-bunga berwarna-warni.
Begitupun dengan lidi-lidi bekas dupa harum yang masih terpancang di atas
sesajen.
Keadaan alam sekeliling
sepi, hanya suara burung-burung yang menyambut para peziarah. Nisan yang
berbentuk sederhana adalah keburan I Jayaprana. Dia seorang laki-laki yang
sedang berbulan madu dengan istri tercintanya. Kemudian Jayaprana dibunuh oleh
seorang utusan raja yang berkuasa pada masa itu. Raja yang terkenal lalim dan
kejam terhadap rakyatnya sendiri. Tempat kejadian tersebut bernama Celuk
Terima. Oleh penduduk kemudian jasad Jayaprana dibangunkan sebuah nisan.
Cerita yang sungguh-sungguh
terjadi di Bali Utara itu, merupakan sebuah cerita “duka-carita” sebagai bentuk
protes terhadap kesewenang-wenangan raja yang memerintah pada masa itu.
Contoh bait dari Geguritan I
Jayaprana, yang diawali dengan kata “Om awignam astu sidam atau
Semoga sukses tak terhalang. Awal juga diberikan pembagian atau bab, “Puh
Ginada”
1. Ada geguritan anyar,
Ginada anggonnya gending,
Di Gumreg Buda Kelion,
Tanggal pisan sedek dalu,
Sasih kalimah rahina,
Sri Puspa Jiwa Kawarna.
Terjemahan baik pertama ke dalam Bahasa
Indonesia.
Ada nyanyian baru,
Memakai tembang Ginada,
Disusun hari Rabu Keliun Gumreg,
Tanggal satu waktu malam,
Pada bulan kelima,
Waktu menyusun nyanyian,
Tahun Saka satu enam empat.[1]
109. Temuli raris kapaca,
Salinging surate mangkin,
Ya te nani Jayaprana,
tuara sedeng bakal pupu,
majalan nani pang melah,
ne ne jani,
Konkon kola ngamatiang.
Terjemahan bait 109 ke dalam Bahasa
Indonesia.
Lalu segerah dibacanya,
Adapun isi surat itu:
“Hai, kau Jayaprana,
tak layak kau pelihara,
berjalanlah kau baik-baik,
saat ini,
Keperintahkan membunuhmu.[2]
110. Sisip nanine prasangga,
Mamaden tingkahing Gusti,
Somah nanine I Nyoman,
Ia pacang juang aku,
Tong pantes cai ngelahang,
Ne ne jani,
Apang da nani nglawan.
Terjemahan baik ke 110 ke dalam Bahasa
Indonesia.
Dosamu sangat berani,
Menyamai tingkah raja,
Istrimu I Layonsari,
Ia akan kuambil,
Tak pantas kau miliki,
Saat ini,
Agar jangan kau melawan.[3]
Demikianlah cuplikan dari sastra Klasik
Indonesia dari daerah Pulau Bali. Indonesia negara yang sangat kaya raya dengan
beragam budaya dan intelektual masa lalu. Semoga bermanfaat bagi pencinta
sastra Indonesia. Mari kita bangun ulang kesastraan moderen Indonesia dengan
berakar ke budaya-budaya bangsa kita.
Mengingat sekarang sangat banyak
manusia-manusia perusak dengan menghadirkan kesusastraan rusak atau sastra
hitam yang tidak sesuai dengan budaya asli Indonesia. Budaya-budaya rusak
tersebut ditiru dari budaya asing dan adanya upaya orang-orang seagama dengan
orang asing yang mempopulerkan kesusastraan rusak (destruktif).
Oleh. Joni Apero
Editor. Desti. S. Sos.
Fotografer. Dadang Saputra
Palembang, 11 Januari 2020.
Palembang, 11 Januari 2020.
Sumber: Ketut Ginarsa. Geguritan
Jayaprana. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1978.
[1]Ketut Ginarsa. Geguritan
Jayaprana. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1978, h. 13.
[2]Ketut Ginarsa. Geguritan
Jayaprana, h. 36.
[3]Ketut Ginarsa. Geguritan
Jayaprana, h. 37.
Sy. Apero Fublic
Via
Sastra Klasik
Post a Comment