Budaya Daerah
Kecepek. Senjata Api Tradisional Masyarakat di Indonesia dan Asia Tenggara
Apero Fublic.- Masyarakat
Indonesia selama ini hanya mengetahui senjata tradisional di Indonesia hanya
berupa senjata-senjata biasa yang belum maju. Seperti tombak, pedang, keris,
golok, panah, pisau, rencong, kujang, dan masih banyak lagi lainnya. Karena
setiap daerah di Indonesia selalu memiliki senjata tradisional. Sesungguhnya
masyarakat Indonesia juga memiliki senjata api tradisional, yang dinamakan
Kecepek. Generasi muda sekarang sebagian besar tidak tahu dan tidak mengenali
jenis senjata api tradisional Indonesia.
Saat menonton film-film, membaca buku yang bercerita tentang perang
dengan Belanda, Inggris, Portugis, atau perang antar wilayah di Nusantara.
Orang Indonesia selalu digambarkan hanya memiliki senjata tradisional manual,
seperti pedang, tombak, panah, bambu runcing. Padahal orang Indonesia sejak
abad ke 15 sudah ada senjata api tradisional, kecepek.
Selain bedil kecepek, ada juga meriam-meriam di benteng atau di
kapal-kapal laut. Kapal-kapal orang Indonesia tidak kalah dengan kapal-kapal
Asing. Kekalahan orang Indonesia karena penghianat-penghianat dari dalam.
Perebutan kekuasaan antar pemimpin berlanjut dengan perang saudara. Kalah,
bukan karena bodoh dan primitif.
Belanda menerapkan politik adu domba atau politik belah bambu. Satu
kelompok ditekan dan satu kelompok dibantu. Setelah itu yang dibantu diserang
dari belakang. Baik itu diserang dengan senjata atau dengan intrik politik.
Belanda menguasai daerah tidak bersamaan. Tapi berangsur-ansur, misalnya Aceh
hanya 40 tahunan di kuasai Belanda.
Masyarakat dunia menemukan sejenis senjata api tradisional, meriam.
Meriam adalah prototipe senjata api pertama yang dibuat manusia. Dengan alasan
ingin memiliki senjata yang dapat menembak lebih ringan, serta dapat dibawak
kemana-mana. Maka manusia memunculkan ide membuat meriam lebih kecil, dinamakan
meriam tangan. Ukuran sebesar bambu betung atau sedikit lebih besar.
Seiring waktu meriam tangan berkembang dan berubah menjadi bedil. Karena
manusia ingin yang lebih praktis lagi terutama saat perang dan berburu. Dapat
menembak dengan akurat dan terorganisasi, ringan. Maka inovasi meriam tangan
berubah menjadi senjata api tradisional atau bedil. Bedil merupakan prototive
kedua dari perkembangan senjata api yang kita kenal sekarang.
Pada masa kesultanan-kesultanan senjata api tradisional adalah komoditas
perdagangan (abad 15-19 M). Tentu pada masa itu, bedil termasuk barang mahal.
Pihak kesultanan, para bangsawan dan prajurit-prajurit memiliki senjata
tradisional tersebut. Banyak juga masyarakat biasa yang memiliki. Mereka
membeli dari pedagang-pedagang Cina, Jepang, Inggris dan lainnya. Baik membeli
senjata sudah jadi atau berupa pipa besi untuk senjata api tradisional.
Kemudian senjata api tersebut ditiru oleh penduduk lokal Indonesia.
Dengan membuat tipe senjata api tradisional sendiri. Tapi memiliki kualitas
yang sama dari produksi orang luar. Penduduk membeli pipa besi dari pedagang
untuk merakit sendiri. Pipa bedil yang siap pasang. Penduduk tidak perlu lagi
modipikasi. Seperti membuat lobang picu atau menyumbat salah satu ujung pipa
dengan tima.
Oleh karena itu, di Nusantara dan Asia Tenggara umumnya berkembang
senjata api tradisional Kecepek. Di Indonesia berkembang corak asli aliran senjata
api tradisional Indonesia. Ukuran pipa besi seukuran jari telunjuk manusia.
Panjang pipa kurang lebih satu meter. Ukuran yang disukai satu setengah meter.
Karena bentuk ukuran pipa yang ideal. Ukuran tersebut tidak terlalu panjang
untuk dibawak-bawak kemana-mana di dalam hutan. Pipa panjang memiliki tenaga
dorong kuat untuk peluru.
Penduduk kadang membuat kecepek dari pipa ranjang kuno. Pada
lobang pipa belakang di sumbat dengan tima. Caranya, timah dipanaskan dan
mencair lalu dituangkan sampai kurang lebih sepanjang 30 cm. Bagian yang
disumbat diletakkan pada gagang kayu. Fungsi sumbatan untuk menutup lobang pipa
dan menahan mesiu. Sekaligus menciptakan landasan dorong peluru dan tekanan
udara.
Berjarak 5 cm dari sumbatan pipa. Dibuat lobang sebesar jarum. Istilah
penduduk menyebutnya, lobang pusat. Dari samping gagang dipasang pemantik atau
pelatuk. Pelatuk terhubung ke pemicu bagian bawah gagang. Saat pemicu diraih
maka pelatuk akan memukul tepat diatas lobang kecil. Sehingga tercipta pijaran
api yang masuk melalui lobang kecil dan menyambar mesiu yang ada di dalam pipa.
Saat itulah ledakan terjadi dengan asap yang mengepul dari ujung pipa.
Dalam pembuatan gagang atau rumah-rumah kecepek. Penduduk memilih
kayu-kayu berkualitas. Terutama kayu-kayu yang berwana indah seperti kayu sungkai, leban,
dan lainnya. Pipa dan gagang disatukan dengan sejenis plat tipis yang melingkar
dan dipaku pada gagang kayu. Di ujung gagang tepat sejajar dengan pipa kecepek,
dibuat lobang untuk menempatkan palasak. Palasak terbuat dari besi kecil
memanjang. Kalau sekarang seperti behal besi bangunan ukuran 6 ks. Panjang
palasak sedikit lebih panjang dari pipa agar memudahkan saat pengisian kecepek.
Palasak alat pelengkap kecepek untuk pengisian. Palasak berfungsi untuk
mendorong racikan mesiu. Karena racikan mesiu perlu dipadatkan dengan inal.
Agar mesiu, peluru tidak tertumpa. Inal juga berfungsi untuk menciptakan
tekanan dan ledakan. Tanpa inal tidak akan terjadi ledakan. Inal menjadi
pengunci api mesiu saat dipantik dari atas pipa. Inal terbuat dari
sobekan-sobekan sabut kelapa.
Ukuran pengisian mesiu dibuat dari potongan bambu yang seukuran dengan
lobang pipa bedil kecepek. Panjang disesuaikan menurut pemilik, antara 15
sampai 30 cm. Penduduk menamakan dengan mentron. Senjata moderen sama dengan
selonsong peluru namanya. Satu kali mengisi dituangkan beberapa mentron mesiu.
Untuk peluru terbuat dari tima yang dibulatkan atau bulat panjang. Peluru
dimasukkan setelah mesiu. Lalu dipadatkan dengan sabut kelapa (inal). Semakin
erat inal maka akan semakin kuat dorongan peluru keluar.
Biasanya penduduk membuat sejenis keranjang kecil untuk wadah peralatan
mesiu kecepek. Terbuat dari anyaman rotan atau anyaman bambu. Mesiu masyarakat
lokal menyebutnya obat. Terbuat dari sejenis senyawa kimia dan
bubuk arang. Bubuk arang kayu yang ringan dicampur bahan tersebut, lalu
diapanaskan di dalam wadah penggorengan, misalnya kuali. Mesiu tradisional ini
harus sejuk dan terjaga dari kelembaban.
Senjata kecepek tersebar luas di tengah masyarakat. Karena pada masa
Kesultanan-kesultanan, harga bedil sangat mahal. Maka masyarakat petani
berinisiatif membuat sendiri senjata tradisional kecepek. Sehingga masyarakat
di Pulau Sumatera dan Kalimantan pada umumnya memiliki senjata kecepek.
Senjata kecepek paling banyak dan populer di provinsi Sumatera Selatan.
Dibawah tahun 2000 hampir setiap rumah memiliki senjata api tradisional
kecepek. Bahkan sampai sekarang dipedalam-pedalaman senjata api tradisonal
kecepek masih digunakan penduduk untuk menjaga ladang, kebun dari gangguan hama
babi. Karena mayoritas muslim membuat babi hutan sangat banyak hidup di dalam
kebun-kebun karet, hutan-hutan.
Manfaat senjata api tradisional kecepek dari dahulu samapai sekarang
tetap. Penduduk menggunakan senjata api tradisional kecepek untuk menjaga diri
dan menjaga ladang. Karena penduduk di Pulau Sumatera dan Kalimantan mata
pencahariannya berladang. Mereka harus berhadapan dengan harimau, beruang, dan
ular piton besar. Maka senjata kecepek menjadi kebutuhan untuk bertahan hidup.
Senjata kecepek juga dijadikan senjata berburu.
Kadang senjata kecepek ada yang menggunakan untuk kejahatan. Misalnya
merampok atau membunuh orang. Namun biasanya apabila masyarakat telah menembak
seseorang. Biasanya yang ditembak itu orang jahat dan mengganggu kehidupan
mereka. Tahun delapan puluhan pernah terjadi gariti harimau
atau krisis harimau. Dimana serangan harimau sangat tinggi. Sehingga penduduk
harus memburu harimau. Kecepek menjadi senjata andalan masyarakat dalam
mempertahankan diri.
Pada masa perang kemerdekaan, kecepek juga menjadi senjata andalan
menghadapi penjajah. Banyak penembak gelap dengan kecepek. Di Sumatera Selatan
ada tiga jenis atau tipe senjata kecepek. Jenis pertama kecepek pipa 38. Jenis
senjata kecepek besar yang sangat mengerikan. Kedua, jenis kecepek pipa kipas
kuat. Jenis ini ukuran pipanya lebih kecil dari jenis pipa 38.
Tapi kekuatan
terjangan peluru dua kali lipat jenis pipa 38. Jenis ketiga yaitu pistol
kecepek. Atau kecepek pipa pendek dengan jangkau peluru 50-an meter. Senjata
api tradisional kecepek satu kali menembak dan diisi kembali. Lama pengisian
antara lima sampai sepuluh menit tergantung keahlian pemiliknya.
Pemerintah dan aparat penegak hukum tidak perlu khawatir dengan
keberadaan senjata kecepek di tengah masyarakat. Senjata ini sudah menjadi
budaya bagi masyarakat pedalaman. Mereka menggunakan untuk kepentingan
pertanian. Sekarang sedikit demi sedikt senjata api kecepek mulai hilang.
Penduduk mulai tidak lagi peduli dengan kecepek.
Hanpir habisnya harimau di hutan-hutan membuat senjata ini tidak lagi begitu
diperlukan. Pemerintah baiknya membuat sebuah musium kecepek. Sehingga
masyarakat yang ingin menyerahkan senjata tradisionalnya dapat ditampung. Lalu
menjadi bagian koleksi senjata tradisional Indonesia, tempat wisata.
Sesungguhnya penduduk banyak yang ingin menyerahkan senjata kecepek mereka.
Tapi mereka takut nanti berurusan dengan hukum, maka masih banyak yang
menyimpannya.
Di kawasan Pulau Sumatera dan Kalimantan kecepek di digunakan penduduk
di daerah pedalaman, misalnya suku anak dalam dan di petalangan. Di daerah yang
sudah maju penduduk tidak lagi menyimpan kecepek karena kesadaran mereka.
Mereka memusnakan atau senjata kecepek rusak tidak terawat lagi.
Oleh. Joni Apero.
Palembang, 4 Januari 2019.
Sumber foto kecepek Internet.
Oleh. Joni Apero.
Palembang, 4 Januari 2019.
Sumber foto kecepek Internet.
Sy. Apero Fublic
Via
Budaya Daerah
Post a Comment