Legenda Puyang Putri Salabure. Sumatera Selatan.
*****
Suatu sore Puyang Salikuliku dan tiga
anak laki-lakinya sedang latihan kuntau. Anak laki-laki ke enam bernama Lindu,
anak ke tujuh Jujuka, anak ke delapan Pulana. Ketiganya berganti-ganti berlati
dengan Puyang Salikuliku. Terdengar suara saling menyerang dengan garang.
Mereka latihan dengan tangan kosong. Kadang juga dengan menggunakan senjata
khas masyarakat Pedatuan Bukit Pendape, Pibang.
“Heeaaaaa. Heeaaaa. Trannng. Trannggg.”
Begitulah suara gaduh kakak beradik berlatih ilmu bela diri. Puyang
Salikuliku mengamati dan kadang terjun ke kanca latihan. Tubuh mereka basah
oleh keringat. Tampak pada baju Tenun Belango mereka basah. Mereka berlatih dengan semangat dan penuh
kesungguhan.
“Serangan koyong, menggunakan jurus bulan bintang semakin
bertambah hebat.
Sulit Aku nak mengimbangi gerakan koyong.” Ujar Jujuka memuji kehebatan
Lindu. Lindu hanya tersenyum simpul, dia bilang jangan memuji. Perkataan Jujuka
didukung oleh Pulana.
"Betul koyong, bukan nak memuji. Koyong bisa kembangkan dapat jadi jurus andalan Koyong. Sepertinya koyong sejiwa dengan jurus itu.” Kata Pulana.
Pulana menegak air di dalam teko gerabah. Terdengar suara tegukan. Setelah puas dia melemparkan teko ke arah Jujuka yang tampak mengisyaratkan kalau dia juga mau minum. Saat teko sedang melayang mengarah ke Jujuka. Melesat sebuah batu sebesar telur ayam menghantam teko. Lalu diiringi suara teriakan dahsyat.
“Tarrrrr.” Suara teko pecah.
“Heeaaaahhhh.” Suara lantang menerjang.
Bayangan serba hitam dengan pibang di punggung, menyerang Pulana. Puyang Salikuliku dan tiga anaknya kaget bukan kepalang. Jujuka, Pulana, dan Lindu melompat mundur sejauh dua langkah ke belakang. Tendangan beruntun si penyerang luput.
Mereka tidak dapat mengenali penyerang, bertopeng cadar hitam. Berbaju serba hitam dan hanya matanya yang terlihat. Orang tidak dikenal ini terus menyerang tiada henti silih berganti. Kali ini si penyerang menghantam Lindu. Terjadilah pertarungan hebat. Lindu akhirnya mampu menyambar topeng yang berbentuk cadar yang dililitkan ke seluruh kepala itu.
“Salaaaaa....” Teriak mereka berempat.
Lindu berhenti dan berdiri mantap. Putri Salabure sekarang ketahuan. Tapi dia
masih saja menyerang Lindu. Lindu tidak menanggapi, pukulan Putri Salabure
berkali-kali mengenai dada, tendangan menghantam pinggang, punggung dia
biarkan saja.
“Dah, berhenti kopek. Kau ini, gadis macam
apa, belajar menenun apa.” Ujar Lindu melangkah pergi sambil melemparkan topeng ke Putri
Salabure. Putri Salabure berteriak kalau dia mau ikut latihan silat.
“Aku nak latihan, Koyong. Bakk.” Kata
Putri dengan merengek manja pada ayah dan kakak-kakaknya.
“Baliklah, dah soreh. Siapa bantu Umak
memasak!!!.” Ujar Pulana melangkah dan duduk.
“Untung punya satu saja adik perempuan
macam kau, ini. Kalau ada lima saja, hancur Talang Manau ini." Serga
Jujuka.
“Kalau kau
begini terus, mana ada bujang nak melamar kau. Jadi perawan tua, malulah kami
saudaramu ini.” Sahut Pulana.
“Ya, koyong, Sala mau ikut latihan.
Mesti ajaklah Aku.” Ujar Putri Salabure merengek, sambil cemberut dan
merajuk.
“Sudah besar masih manja, saja.” Kata
Jujuka yang kemudian duduk di hadapan Puyang Salikuliku. Puyang Salikuliku
melambaikan tangan agar Putri Salabure juga duduk di hadapannya di samping kakak-kakaknya. Putri Salabure
duduk sambil cemberut di sisi Pulana. Mereka mendengarkan nasihat sang ayah.
Beberapa saat kemudian Putri Salabure pulang dia diminta mengantar air minum.
"Pulang, siapa bantu Umak masak." Ujar Putri di jalan dengan nada kesal meniru suara kakaknya tadi. Sambil mulutnya dimenyong-menyongkan.
Di sepanjang jalan pulang dia masih merajuk. Baginya tidak mengapa wanita ikut laki-laki latihan. Tapi itulah adat, dan wanita harus ikut kodratnya sebagai wanita. Nasihat Puyang, wanita hebat bukan dinilai dari kehebatannya, tapi dari akhlak dan kasih sayangnya. Setiba di rumah Putri Salabure langsung masuk kamar dan mengurung diri. Sang ibu hanya menarik nafas dalam. Terpaksa si ibu yang mengantar air minum. Ibu tahu pasti Putri baru saja dari tempat kakaknya latihan silat.
*****
Waktu berlalu sekarang memasuki musim kemarau. Kemarau belum begitu lama. Namun sungai, lebung, paya-paya dan tempat penampungan air sudah kekeringan. Penduduk terpaksa menggali tanah di dasar sungai kering untuk mendapatkan air bersih. Kemudian memasuki musim hujan. Hujan belum begitu lebat tapi sudah banjir saja. Begitupun tahun berikutnya, kemarau panjang dan air kering kembali. Sementara itu, Bukit Pendape telah gundul dan menjadi ladang masyarakat semuanya.
Memasuki musim penghujan tahun itu, untuk pertama kalinya banjir bandang melanda. Banyak yang menjadi korban. Beberapa talang terdekat hancur dilanda banjir bandang. Musim kemarau datang kembali, belum begitu lama, air telah menghilang. Lalu tahun berikutnya lebih kering karena kemarau cukup panjang. Ribuan orang meninggal dunia akibat wabah kolera, sebab sering mengkonsumsi air kotor.
Depati, para Jurai Tue, semua Datu talang, dan puyang-puyang lainnya berkumpul di balai Depati, bermusyawarah. Mencari tahu apa yang menyebabkan bencan-bencana menimpa kawasan Pedatuan Bukit Pendape. Apa sumber masalahnya, bahkan mereka mulakukan sedekah bumi dengan menyembelih puluhan ekor sapi. Namun tahun berikutnya, banjir bandang kembali melanda. Merusak tanaman dan menghancurkan pemukiman penduduk. Kembali ribuan orang mati.
Kemarau kembali datang tahun-tahun berikutnya dan kembali wabah penyakit kolera lagi, diare menyerang dan ribuan orang mati lagi. Kelaparan juga menjadi bencana tidak kalah besar.
******
Nun jauh di hutan-hutan di atas bukit barisan. Ribuan orang suku kubu berbaris mencari makanan menuju Pedatuan Bukit Pendape. Selain itu, mereka ingin menjarah, menyerang dan menghancurkan pedatuan. Mereka bersenjata tombak, panah, dan pedang, berjalan tanpa lelah membawa serta anak istri mereka. Mereka memiliki pasukan bergajah. Rupanya suku Kubu mampu menjinakkan gajah liar yang banyak terdapat di hutan Sumatera.
Tibalah pasukan Suku Kubu di perbatasan wilayah Pedatuan Bukit Pendape. Pasukan penjaga menghadang dan perang dimulai. Pasukan penjaga mengirim kabar ke Puyang Datu Pedatuan Bukit Pendape. Mengetahui kabar tersebut, Puyang Datu mengumpulkan para hulubalang, prajurit, para tetua, dan segenap rakyat. Mengumumkan kalau sekarang dalam keadaan darurat perang. Mereka bermusyawara mencari panglima perang sebagai pemimpin sentral pasukan yang akan memimpin pasukan pedatuan.
“Kita sedang mendapat musibah,
kelaparan dan kekurangan air. Sekarang ada pasukan kubu manusia liar hendak menyerang.” Kata Depati
dengan sedihnya. Para tetua, dan masyarakat menyemangati Depati, meminta beliau
tetap kuat, sebab semunya setia dan mendukung depati. Dalam musyawarah besar
itu, berkatalah datu pada sekalian yang hadir.
“Barang siapa yang dapat mengangkat, menggunakan dan memainkan Pusaka Pibang Sakti milik pedatuan, maka dialah yang akan memimpin perang besar ini. Di persilahkan kalian satu per-satu mengangkat pibang dari dalam kotak kayu belian ini, bergantian." Jelas Puyang Pedatuan.
Maka bergiliranlah kaum laki-laki mengangkat pibang sakti. Dimulai dari Puyang Pedatuan, Para Datu talang, para Jurai Tue, para Puyang, termasuk Puyang Salikuliku. Dilanjutkan para prajurit dan hulubalang. Semua rakyat termasuk sembilan anak laki-laki Puyang Salikuliku. Seluruh kaum laki-laki dari usia tua sampai usia lima tahun sudah mencoba mengangkat. Tapi tidak seorang pun yang dapat mengangkat.
“Datuna, sekarang giliran kaum wanita mencoba mengangkat pibang sakti.” Perinta Depati pada istrinya. Datuna, gelar istri pemimpin. Kaum wanita mulai bergiliran mengangkat pusaka Pibang Sakti, diawali oleh istri Depati, Istri Datu, dan seterusnya. Termasuk istri Puyang Salikuliku dan semua istri orang berpengaruh lainnya.
Dari nenek-nenek, ibu-ibu, dan para gadis sudah mencoba mengangkat. Tapi tidak ada yang dapat mengangkat Pibang Pusaka itu. Semua menjadi cemas, karena tidak mendapatkan orang yang dapat mengangkat pibang pusaka. Menurut mereka akan kalah perang melawan pasukan Kubu yang sudah berada di perbatasan Pedatuan Bukit Pendape.
“Kita akan berperang tanpa Pibang
Pusaka, tetap akan menang Puyang. Kita bersatu dan melawan pasukan orang Kubu
itu.” Kata Jujuka berapi-api. Jujuka berdiri di antara prajurit
pedatuan.
“Betul Depati,
kita semua siap berperang.” Kata seorang prajurit dan diikuti teriakan
membahana oleh yang lainnya.
“Membelah
pedatuan kita, hidup atau matiiiii.” Jujuka kembali berkata. Perkataan Jujuka disambut gemuru oleh
semua lapisan masyarakat dan prajurit Pedatuan. Para hulubalang juga berkata
demikian. Maka mereka semua bertekad bulat untuk berperang dan memenangkan
peperangan.
“Mereka menyerang kita, karena hendak merampas negeri kita. Hendak merampas anak perempuan dan istri kita. Maka kita akan melindungi keluarga kita dan kita akan menghancurkan mereka.” Ujar Datu Talang Gajah Mati ikut berorasi membakar semangat pasukan dan semangat masyarakat.
Semua berteriak perang, mencabut pibang masing-masing dan mengacungkan ke atas. Teriakan bergemuru dan mereka mulai mengatur barisan dan siap bergerak ke perbatasan menyonsong penyerang, Suku Kubu. Pasukan diatur, ada pasukan yang berjaga di sekeliling perbatasan, agar tidak ada serangan dari belakang. Orang tua, wanita dan anak-anak diungsikan. Tidak ada lagi yang mengingat Pibang Sakti pusaka pedatuan. Pusaka tampak masih terletak di tengah ruangan Balai Datu.
*****
Menjelang sore hari, dua pasukan
berhadapan di perbatasan Pedatuan Negeri Bukit Pendape. Tanah lapang dan
berbukit menjadi medan perang.
“Puyang Depati, harap segerah mengirim bantuan.
Pasukan perbatasan kita kewalahan. Mungkin tidak dapat bertahan lama, kalah
jumlah. Hulubalang Muntaka juga terluka di paha kiri terkenah panah lawan.”
Lapor seorang prajurit. Puyang segerah memberi isyarat pada semuanya untuk
segerah mengambil tempat yang sudah direncanakan. Pasukan panah, pasukan
tombak, pasukan penyergap, dan pasukan pemancing. Perang dahsyat terjadi antara
rakyat Pedatuan Bukit Pendape dengan pasuka Kubu dari Bukit Barisan.
*****
Sementara itu, Putri Salabure bangun dari tidurnya. Mengucak-ucak matanya yang merah. Lalu merapikan rambut dengan ikat songket. Rambut yang panjang hitam dia sisir rapi. Berderik pintu kamar saat dia membuka dan ke dapur untuk meminum. Beberapa kali dia manggil keluarganya, ayah, ibu, kakak-kakak satu demi satu dia panggil. Tapi keadaan sepi dan hening, begitu pun di sekitar rumahnya. Berdiri di jendela dapur Putri Salabure menatap ke tengah pemukiman Talang Manau yang tampak sepi.
Kemudian muncul sepuluh orang laki-laki berlari-lari tergesah-gesah membawa perlengkapan perang, tombak, panah, dan pibang. Dari jauh dia melihat lelaki tua seumuran ayahnya melompat turun dari serambi rumah panggung tanpa melewati tangga yang diiringi dua orang anak laki-lakinya.
“Uwa Nantata. Mereka juga berlari dengan alat perang. Ada apa ini.” Pikir Putri Salabure.
Talang Manau kemudian gaduh muncul kaum ibu-ibu, semuanya dari arah Kota Pedatuan. Mereka kemudian sibuk masuk kerumah dan membawa buntalan pakaian. Ada yang menggendong padi, membawa peralatan masak.
Ibu Putri Salabure datang, naik tangga rumah tergesah-gesah. Juga membuat gerakan yang sama, sibuk berbenah seperti orang mau pindah. Butalan pakaian, senjata perang, garam dan batu api. Beras dan bumbu dapur, periuk dan lainnya.
“Ada apa Umak, sibuk semua orang
Talang?. Tanya Putri malas.
“Dah siap-siaplah, kita nak pegi
mengungsi. Negeri kita diserang Kubu dari Bukit Barisan.” Ibu Putri Salabure
menceritakan semua yang terjadi. Mulai dari kedatangan pasukan Suku Kubu, pencarian
pemimpin yang dapat menggunakan Pusaka Pibang Sakti di istana Pedatuan. Barulah
Putri Salabure mengerti.
“Kau mau
kemana, Sala.” Panggil ibunya, saat melihat anak gadisnya berlari meninggalkan
rumah dengan senjata lengkap.
“Umak siaplah mengungsi, nanti Sala menyusul.” Katanya kemudian berlari entah kemana.
Ayah dan kakak-kakak sudah pergi berperang. Timbul rasa khawatir dan takut kalau orang-orang yang dia cintai terjadi sesuatu. Membuat Putri Salabure menangis sambil mengingat ayah dan kakak-akaknya. Semenatra ibu Putri segerah mengungsi sebagaimana telah di tentukan.
“Pastilah anak
itu ikut berperang, mengapa tak kau jadikan laki-laki juga anak bungsu saya itu
penguasa alam.” Keluh ibunya sambil berjalan beriirngan dengan warga lainnya.
*****
Perang terjadi dan kedua belah pihak sama ganas. Sudah banyak korban di pihak suku Kubu. Namun mereka tidak mau menyerah. Mereka terus membabi buta, dan sekarang mulai menggerakkan pasukan gajah mereka. Orang kubu terkenal dengan teknik penaklukan gajah. Sehingga mereka memiliki pasukan gajah. Pasukan pedatuan terpaksa bertahan dengan cara menyerang, mundur, bertahan, menyerang, mundur, bertahan.
Sehingga terus terdesak oleh kekuatan Suku Kubu. Malam menjelang dan perang berhenti. Keesokan pagi kembali peperangan berkobar. Seperti kemarin untuk menghadapi pasukan gajah terpaksa menerapkan setrategi gerilya. Menjelang sore pasukan Pedatuan Bukit Pendape terdesak hebat. Maju mereka binasa oleh pasukan gajah, mundur bukit terjal dan sungai-sungai. Sehingga gerak pasukan Bukit Pendape sempit. Teknik bertahan, menyerang, dan mundur tidak efektif lagi. Maka perang prontal terpaksa diterapkan. Tentu saja pasukan Pedatuan perlahan kalah dan berjatuhan korban di pihak Pedatuan Bukit Pendape.
“Koyong, awassss. Arah belakang!!!. Teriak Pulana. Jujuka mengelak, lemparan tombak lewat. Tapi kembali ada bayangan melompat membabat dengan pedang, ditangkis. Jujuka kembali diserang dua orang dengan tombak. Melihat Jujuka dikeroyok, Pulana berlari membatu. Sehingga mereka dapat mengalahkan lima penyerang itu. Habis itu, kembali berdatangan pasukan suku kubu yang lainnya. Menyeruak dari semak-semak, mengelilingi. Membuat kakak beradik itu sangat kerepotan. Orang Kubu sangat ganas dan tidak ada belas kasihan.
Lindu datang membatu, dan keadaan agak berimbang. Namun kembali bertambah pasukan suku kubu itu. Kini ketiganya dikepung lima puluhan orang. Mereka melihat sekeliling sudah tidak ada lagi pasukan Pedatuan bersama mereka. Semuanya sudah terkapar tewas. Sedangkan pasukan bantuan tidak ada.
Serangan mendadak, serentak, dengan kepungan tentu membuat mereka tidak dapat menghindar, menangkis sekaligus. Beberapa sayatan dan tebasan mengenai tubuh mereka masing-masing. Mereka bertiga bergandengan belakang dan tubuh mulai basah oleh keringat dan darah. Mereka sudah tidak berharap hidup lagi.
“Heeeaaaaa. Crass, trang, trang, trang. Teriakan dahsyat dan bayangan hitam melompat menyerang. Pedang-pedang pasukan kubu yang berbenturan dengan senjata si bayangan hitam putus. Lalu si bayangan hitam menyabet balik lima orang pasukan kubu roboh. Kembali bergemuru pertarungan hidup mati. Tapi lain dengan si bertopeng hitam dan senjatanya yang hebat. Beberapa gerakan saja puluhan orang tewas tertebas. Sisanya berlari dan menghilang dikelebatan hutan.
“Koyonngg.” Suara si topeng hitam terdengar lembut dan bercampur tangis. Tahulah mereka kalau itu adik bungsu mereka yang manja, Putri Salabure. Melihat senjata pibang emas, semua mengenali kalau itu pibang sakti.
Pertarungan terus berlangsung keesokan harinya. Kini Putri Salabure dinobatkan menjadi panglima pasukan Pedatuan Bukit Pendape. Ternyata sebelum pergi mengungsi, Putri Salabure mencoba mengagkat Pibang Pusaka di Balai Pedatuan. Ternyata dia bisa dan segerahlah dia menyusul ke medan perang.
Putri Salabure dianugerahi gelar, Puyang. Semua pasukan mematuhi komando Puyang Putri Salabure. Kali ini mereka menyerang balik pasukan suku Kubu diwaktu pajar. Mendapat serangan mendadak dan keadaan tidak begitu siap. Membuat pasukan kubu kalang kabut. Gempuran terus tak berhenti. Matahari yang cerah disambut jeritan dan teriakan dahsyat peperangan dan kematian.
Pasukan gajah tidak berdaya saat berhadapan dengan pusaka Pibang Sakti. Satu sabetan membuat kaki gajah putus atau perutnya robek. Putri Salabure seperti elang sekarang. Kesaktiannya bertambah dengan memainkan Pibang Sakti. Menjelang sore, pasukan suku kubu hancur. Pimpinannya tewas ditangan Puyang Putri Salabure. Maka berakhirlah peperangan. Sisa pasukan kubu berlari ke hutan entah kemana.
*****
Kemenangan dipihak Pedatuan Bukit Pendape. Sejak saat itu, Puyang Putri Salabure menjadi panglima tertinggi pedatuan. Dia dihormati dan mendapat tunjangan hidup sebagai seorang pembesar lainnya. Kehidupan kembali normal di Pedatuan. Namun bencana belum berakhir.
Kembali kemarau datang dan korban berjatuhan kembali. Nahas tahun ini Puyang Salikuliku juga terkenah wabah dan dia meninggal dunia. Kesedihan mendalam di hati Puyang Putri Salabure dan keluarganya. Dari itu, dia bertekad mengakhiri bencana yang setiap tahun terus melanda mereka.
Kemarau dengan kekeringan parah, dan penghujan dengan banjir dan banjir bandang dari atas Bukit Pendape. Dia kemudian mengadakan penyelidikan dan mengamati alam, bertanya pada orang-orang tua tentang masa lalu dan masak sekarang. Setelah melakukan penyelidikan maka ada kesimpulan yang Puyang Putri Salabure pahami.
Pertama, dahulu Bukit Pendape hijau dan banyak pepohonan. Maka Bukit Pendape harus ditanami kembali. Hutan harus di jaga sebab hutan penyimpanan air dan pengurai air hujan agar tidak mengalir langsung saat hujan turun deras. Agar tidak terjadi banjir bandang.
Kedua saat musim penghujan mereka pindah ke atas Bukit Pendape untuk menghindari banjir sungai dan banjir bandang dari atas bukit. Saat musim kemarau mereka pindah ke hilir di dekat sungai karena masih dapat menggali sumur di dalam badan sungai yang kering.
Dari kesimpulan itulah mereka akhirnya terhindar dari bencana untuk pertama kalinya. Bukit pendape kini mulai ditanam pepohonan dan tidak boleh ditebang apalagi dijadikan ladang. Harus dijaga kelestarian hutan di atas bukit, di lereng bukit, dan di sekitar bukit.
*****
Waktu berlalu, sekarang Puyang Putri Salabure dan ketiga kakak telah menikah. Mereka sekarang sudah memiliki anak-anak. Benar saja, dalam waktu sepuluh tahun mereka mulai mendapat hasil dari kegiatan mereka. Hutan yang mereka tanam sudah mulai lebat kembali, dan kembali menyimpan air. Saat kemarau daerah hilir tidak langsung kering sebab mata air masih mengalir hasil penyimpanan akar pohon di perbukitan.
Musim penghujan tidak lagi terjadi banjir bandang. Karena air hujan telah terurai oleh pepohonan. Sepuluh tahun berlalu lagi, hutan di Bukit Pendape benar-benar lebat dan kembali seperti dulu lagi. Sehingga kekeringan di Pedatuan Bukit Pendape hanya terjadi apabila sudah kemarau yang sangat panjang. Kalau kemarau biasa, tebat, lebung, Sungai Keruh, Sungai Sake, dan sungai lainnya tidak kering parah. Tidak ada lagi wabah diare dan kolera dimusin kemarau. Bahagialah penduduk Pedatuan Bukit Pendape.
*****
Puyang Putri Salabure sekarang sudah
tua, rambutnya sudah memutih. Suatu hari Puyang Putri Salabure mengajak
penduduk ke puncak Bukit Pendape. Mereka berjalan mendaki dan melihat-lihat
hutan yang lebat hasil tanaman mereka puluhan tahun lalu. Pohon meranti, pohon bulian atau ulin, merbau, mangris sudah
tampak besar. Sampai sekarang pepohonan tersebut masih dapat dijumpai di atas
Bukit Pendape.
Puyang Putri berdiri dihadapan masyarakat yang ikut mendaki ke atas bukit. Dia berkata agar menjaga Bukit Pendape, jangan dirusak hutannya. Karena akan mendatangkan malapetaka dan bencana bagi seluruh penghuni Pedatuan Bukit Pendape. Pibang sakti dia cabut lalu ditancapkan di tanah. Lalu dia bersumpah dengan suara lantang menggema.
"Aku menyumpahi segenap anak
manusia di bumi. Terkhusus untuk anak cucuku yang mendiami Pedatuan Bukit Pendape ini. Barang siapa
menebangi hutan dan menyebabkan hutan rusak. Atau orang menebang pohon karena
keserakahan, untuk jual beli dengan tujuan keuntungan pribadi. Barang siapa
berbuat dosa, seperti berzina, berbuat mesum, berjudi, mabuk-mabukan di hutan
ini. Barang siapa yang membakar hutan ini. Maka Aku sumpahi semua keturunannya memiliki
takdir yang buruk. Barang siapa yang menjaga hutan,
menjaga Bukit Pendape dan berbuat baik di sini. Maka kebahagiaan dan
kesejahteraan untuk dirinya dan untuk kalian semua.” Begitulah kutukan Puyang Putri
Salabure di atas Bukit Pendape.
Dari bekas tusukan mata Pibang Sakti muncrat mata air. Mata air terus mengalir dan mengalir. Kelak mata air menjadi sungai kecil yang mengalir terus di atas bukit. Sampai sekarang sungai kecil itu masih ada. Dapat dijumpai di kawasan Bukit Pendape saat kita berkunjung ke sana.
Seperti manusia biasa, Puyang Putri Salabure meninggal dunia layaknya manusia biasa. Dari atas kuburannya tumbuh sebatang pohon. Pada awalnya masyarakat ingin mencabutnya. Namun diurungkan takut terjadi apa-apa. Setelah pohon itu besar berbua bulat-bulat warna hijau. Saat masak berwarna merah dan bijinya asam manis. Penduduk menamakan buah tersebut dengan nama, buah Salabure. Pohon Salabure tumbuh tersebar di hutan-hutan. Menjadi makanan hewan dan manusia.
Oleh. Joni Apero.
Palembang, 19 Januari 2019.
Arti kata:
Pibang: Senjata tradisional masyarakat Dataran Negeri Bukit Pendape. Pedatuan: sama dengan kabupaten pada masa sekarang. Pedatuan Dataran Negeri Bukit Pendape nama tradisional yang sekarang meliputi wilayah seberang Kabupaten Musi Banyuasin.
Dari tebing Sungai Musi sampai ke perbatasan Kabupaten Musi Rawas dan Kabupaten PALI. Meliputi Kecataman Sungai Keruh, Kecamatan Jirak Jaya, Kecamatan Palakat Tinggi, sebagian kecamatan Sekayu, Sebagian kecaman lainnya yang sejajar lainnya.
Puyang: Pemimpin yang diangkat rakyat. Talang: Kampung/Desa. Datu: kepala desa/kepala dusun/pinpinan talang bahasa itu sebelum masuknya pengaruh hindhu dan budah. Umak: Ibu. Bak: Ayah.
Post a Comment