Cerita Asal Usul Terbentuknya Danau Ulak Lia. Musi Banyuasin
“Sudah, jangan kita ganggu induk kijang
itu.” Kata Depati.
“Mengapa Depati, kita sudah setengah
hari berjalan mencari kijang itu, mengikuti jejaknya.” Tanya seorang prajuritnya.
“Kita sebagai manusia harus memiliki rasa belas kasihan. Kalau kita tidak memiliki rasa belas kasihan. Berarti kita bukan manusia. Kita memang berburu, tapi jangan melampaui batas. Kita harus memikirkan anak-anak kijang yang baru lahir itu. Keduanya memerlukan induknya untuk menyusui dan merawat mereka. Kalau induknya kita buru, kedua anak kijang itu akan mati. Kita cari yang lain saja.” Jawab Depati Gelaga.
Akhirnya mereka pergi dan berburu ke wilayah lain, di sekitar Bukit Pendape. Karena usaha yang keras mereka mendapatkan juga hewan buruan. Dua ekor rusa dan satu kerbau liar. Mereka sangat bergembira dan pulang membawa banyak daging. Pada malam harinya, Depati Galaga bermimpi. Dia bertemu dengan kijang yang tidak jadi dia buru siang tadi.
Dalam mimpi dia melihat anak kijang sudah cukup besar, lincah. Depati melihat istrinya sedang mengambil dedaunan. Lalu memberikan daun itu pada kijang-kijang itu. Tapi anehnya, Depati Galaga melihat istrinya sedang hamil. Padahal dia tahu kalau istrinya sudah mustahil hamil. Mengingat sudah berumur lima puluh tahunan. Tiba-tiba datang seorang lelaki tua. Lelaki itu memanggil kijang itu, dan kijang mematuhi si kakek tua. Depati menghampiri istrinya dan berdiri di hadapan orang tua misterius itu.
“Siapakah kakek? dari bumi mana?.”
Tanya Depati Galaga.
“Aku dari tempat yang sangat jauh dan
tinggi dari bumi. Aku seorang malaikat penyampai pesan dari pencipta alam
semesta ini. Suatu saat Aku akan sering turun ke bumi menemui
manusia-manusia baik dan menyampaikan kabar gembira." Kata si kakek
mantap.
“Kapan kakek akan menyampaikan
pesan-pesan itu." Tanya depati Galaga.
“Masih sangat lama dari sekarang. Jauh
dari masa kehidupanmu. Sesuai takdir yang ditulis sang pencipta alam semesta.
“Oh. begitu.” Ujar Depati mengerti. Si
kakek misterius berkata lagi.
“Orang baik, akan dikabulkan pemintaannya. Orang baik akan dibalas kebaikannya juga.” Ujar si kakek misterius.
Setelah menepuk pundak Depati Galaga. Si kakek melangka pergi diiringi kijang
dan dua anaknya. Anak kijang tampak melompat-lompat bergembira. Lalu menghilang
di balik
semak-semak. Depati Galaga terbangun dari mimpinya. Dia melihat ke samping
istrinya tidur nyenyak. Jangkrik dan burung hantu berbunyi nyaring di malam itu. Depati Galaga kemudian
membangunkan istrinya dan menceritakan semunya.
Tiga bulan kemudian, istri Depati Galaga merasa ada yang aneh diperutnya. Kemudian dia meminta diurut pada Puyang Nasanti. Puyang Nasanti seorang kinta. Kinta istilah penyebutan untuk bidan Talang pada masa lalu. Setelah diurut, istri Depati galaga dinyatakan hamil dua bulan. Kabar gembira, tujuh bulan kemudian lahirlah seorang anak perempuan. Depati Galaga memberi nama, Naralia. Betapa bahagia Depati dan istrinya mendapatkan anak.
*****
Tujuh belas tahun kemudian, Naralia
tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik. Depati Galaga dan Istrinya hidupnya
menjadi berarti sangat
bahagia di usia tua mereka.
****
Sementara itu, di Pedatuan Pendape Hilir tepatnya di Talang Seribu Benca. Kehidupan tenang dan damai. Di halaman istanah Depati Kanta atau Depati Pibang Sakti ada puluhan prajurit sedang berlati ilmu silat, kuntau pendape namanya. Diantara mereka ada seorang anak muda berumur delapan belas tahunan yang tampak tangkas dan gagah berani.
Di pinggang sebelah depan setiap prajurit terselip Pibang kidau dan ditangan kanan terpegang pibang kanan. Masing-masing mengenakan Ikat kepala tanjak dari tenun songket, baju kurung, celana panjang, dan ada kain songket dililitkan di pinggang.
Seorang laki-laki berumur empat puluhan tahun, berbadan tegap dan berjambang lebat berdiri paling depan. Satu demi satu prajurit muda maju bertanding silat menghadapi lelaki itu. Kemudian tiba giliran si anak muda yang maju. Dia melompat menyerang dengan tinju dan tendangan. Maka terjadilah pergulatan tanding latih.
“Cukup, Marulak. Gunakan pibang kanan.”
Ujar hulubalang pelatih.
“Baik Paman Hulubalang.” Marulak mencabut pibang kanan. Pibang kanan adalah
nama pibang yang digunakan tangan kanan. Pibang kanan bentuknya sama seperti
pedang. Mata pibang Marulak beradu dengan mata pibang hulubalang. Latihan cukup
lama, dan seru. Marulak sudah mampu mengimbangi kehebatan silat
hulubalang.
“Pibang kidau.” Teriak Hulubalang. Hulubalang menyabut pibang kidau di pinggang kanan. Lalu menusuk berbarengan dengan menangkis serangan pibang kanan Marulak. Marulak mencabut pibang kidau miliknya. Menangkis serangan pibang kidau hulubalang. Tepat dan serangan berhasil ditangkis dengan baik oleh Marulak.
Latihan berakhir dan hulubalang berkata. Marulak sudah sangat tangkas memainkan dua senjata asli masyarakat Dataran Negeri Bukit Pendape. Yaitu pibang kidau dan pibang kanan. Sementara Depati Pibang Sakti mengamati latihan putranya. Dia merasa puas dan bangga pada anaknya itu yang kelak menjadi penerus tahtahnya.
*****
Marulak putra Depati Pibang Sakti adalah pemuda yang keratif dan tangkas. Dia suka bertualang dan berburu di hutan. Selalu ingin tahu dengan kehidupan di luar wilayahnya. Suatu hari, Marulak ditemani dua orang prajurutnya menyusup ke wilayah Pedatuan Pendape Hulu.
Mereka menyamar menjadi masyarakat biasa dan berbaur. Sehingga tidak ada yang mengenali mereka. Kadang mereka berdagang di pasar, dan yang paling sering berkeliling di wilayah Pedatuan Pendape Hulu mencari pengalaman hidup. Suatu hari, Marulak dan dua pengawalnya kembali ke pasar. Mereka membawa madu dan ikan kering hasil mereka dari hutan, untuk di jual.
“Kanda, berapa satu kendi madunya?.”
Suara lembut dan anggun. Berkerudung songket dan berbaju kurung. Seorang gadis
yang sangat cantik berdiri di hadapan lapak dagangan mereka. Ada lima orang
gadis berdiri di belakang si gadis cantik sebagai pengiringnya. Marulak dan
kedua pengawalnya tertegun melihat kecantikan si gadis.
“Koyong, Putri Naralia mau membeli
madunya.” Kata seorang teman pengiring Putri Naralia. Malurak dan kedua
pengawalnya sadar dan buru-buru menjawab.
“Murah Kopek, lima keping tima. Untuk
ukuran satu kendi Kayu Agung.” Ujar Marulak tergagap. Seorang
gadis penggiring membuka kantung kain dan menyerahkan lima keping uang tima.
“Ya, ampun cantinya gadis perawan.” Ujar Marulak dengan mata melotot. Marulak melihat rombongan Putri Naralia berjalan menyusuri jalan pasar lalu menghilang di balik keramaian pasar. Pasar itu seminggu sekali buka, sehingga Marulak selalu tidak sabar menunggu hari adanya pasar. Dia ingin bertemu si cantik pembeli madu. Hitungan hari masyarakat waktu itu adalah malam-siang. Pasar akan diadakan setelah melewati tujuh siang.
Puyang Marulak akhirnya dapat mengenal Putri Naralia. Melalui surat menyurat mereka berkomunikasi. Kadang mereka bermain di sebuah taman berkumpul bersama-sama teman-teman. Sehingga tidak ada masyarakat curiga. Sebab tidak melanggar aturan adat. Cinta bersemi dan bersemi. Hati Marulak dan hati Putri Naralia telah menyatu. Mereka tidak dapat lagi dipisahkan oleh apa pun.
Akhirnya, Puyang Marulak jujur kalau dia adalah putra Depati Pibang Sakti Depati Pedatuan Pendape Hilir. Awalnya Putri Naralia tidak percaya namun dia pun percaya sebab cintanya. Kesepakatan keduanya adalah jujur dengan kedua orang tua mereka. Putri Naralia menceritakan hubungannya dengan Puyang Marulak. Dia menyatakan ingin menikah dengan Marulak. Begitu pun Puyang Marulak menceritakan pada Depati Pibang Sakti. Kalau dia ingin meminang Putri Naralia anak Depati Galaga dari Pedatuan Pendape Hulu.
*****
“Kau boleh menikah dengan laki-laki manapun yang kau suka. Tak masalah walau bujang tersebut hanya orang biasa dan miskin. Asal dia bujang yang baik. Tapi Aku tidak dapat merestui kau menikah dengan anak Depati Pibang Sakti. Sebab Pedatuan Pendape Hilir adalah musuh pedatuan kita. Sudah seratus tahun kita berperang. Mana mungkin berbesan dengan musuh pedatuan kita, musuh perang kita. Musuh tetaplah musuh, dan entah apa yang dia rencanakan. Mungkin mereka ingin menguasai wilayah kita dan menumpas keluarga kita. Kau harus sadar itu, anakku. Kau masih muda, belum tahu banyak tentang politik dan kepemimpinan. Jangan hanya mementingkan perasaan kau saja, yang dapat membuat celaka seluruh pedatuan kita.” Jelas Depati Galaga pada Putri Naralia.
Istri depati Galaga juga memberikan nasihat agar Putri Naralia tidak mencintai Puyang Marulak putra Depati Pibang Sakti dari Pedatuan Pendape Hilir. Namun cinta tak dapat memilih pada siapa untuk berlabuh. Putri Naralia hanya diam dan mengurung diri di kamarnya.
Sementara itu di istanah Depati Pibang Sakti sedang melakukan rapat besar. Semua hadir, para datu pemimpin talang, para Puyang, para Jurai Tue, panglima dan para hulubalang, mereka sedang rapat. Dari rapat itu memutuskan kalau Marulak tidak diizinkan menikah dengan Putri Naralia anak Depati Marga Pendape Hulu. Karena akan meletus perang dan akan menjadi alasan peperangan. Marulak yang mendengar langsung keputusan itu tidak dapat menerimah. Tapi dia tidak berkata apa pun. Dia sudah terlanjur mencintai putri Naralia. Satu minggu berlalu keadaan tenang. Hanya prajurit dikedua belah pihak berjaga-jaga di perbatasan marga.
“Maju-maju,
kalian orang hilir keparat.” Teriak prajurti Pendape Hulu.
“Kalian yang
maju, kalau mau kami habisi.” Jawab prajurit Pendape Hilir. Sedikit saja apa
membakar, perang meletus.
*****
Diam-diam Puyang Marulak merencanakan sesuatu. Tapi dia tidak menunjukkan gelagat apa-apa. Awalnya dia hanya mengasa pibang kidau dan pibang kanannya. Kemudian membuat puluhan anak panah. Lalu dia juga mempersiapkan batu api, garam, beras. Alat masak yang terbuat dari gerabah. Marulak membeli gerabah dari pedagang orang Kayu Agung yang sering datang menggunakan perahu kajang berdagang.
Orang Pedatuan Kayuagung terkenal dalam keahlian membuat gerabah. Mereka berjualan menggunakan perahu kajang menyusuri Sungai Musi, lalu masuk ke Pedatuan Bukit Pendape melalui Sungai Keruh.
Satu keranjang besar peralatan dia sembunyikan di hutan. Kemudian Marulak sering izin berburu ke hutan, mengecoh pemikiran orang tua dan masyarakatnya. Tapi sambil berburu itu, dia terus membawa peralatan yang dia sembunyikan. Marulak menemukan sebuah tempat yang jauh di kawasan yang berawa-rawa Sungai Musi. Lalu dia membangun sebuah pondok cukup besar. Lengkap dengan peralatan rumah tangga. Tidak ada satupun orang yang tahu dengan yang dia lakukan.
*****
Sebulan berlalu, suatu malam menjelang
subuh. Sesosok bayangan hitam menyusup kedalam Talang Lebung Bulan. Berlari di antara tiang-tiang rumah penduduk.
Mengendap-endap dan menghindari para prajurit jaga. Bayangan hitam itu naik ke Balai Depati Galaga. Lalu berjalan perlahan
di serambih rumah bagian depan. Serambih itu menghubungkan
dengan sebuah kamar
yang besar. Kamar itu adalah kamar Putri Naralia. Tangannya mengetuk halus
jendela.
“Siapa.?” Tanya Putri Naralia.
Tidak ada jawaban, saat daun jendela terbuka, sosok bayangan hitam menyodorkan sebuah lembaran terbuat dari kulit pohon kaghas. Kulit pohon kaghas atau karas adalah media menulis masyarakat Melayu Sumatera Selatan masa lalu dengan aksara kaganga. Putri Naralia terkejut, tapi dia mengambil lembaran itu. Setelah itu, sosok serba hitam melompat dan menghilang di kegelapan malam.
“Dinda Naralia. Aku tidak dapat
melupakan adinda, sebab cinta kakanda sudah sangat besar. Aku tahu, kedua orang
tua kakanda dan kedua orang tua adinda tidak merestui hubungan kita. Adinda,
kakanda lebih baik mati daripada hidup tanpa adinda. Maukah adinda
menjadi istri kakanda?. Seandainya adinda menerima lamaran kakanda ini. Maka,
besok pagi temui kakanda di seberang Sungai Keruh tepatnya di tanjung rengas di
hilir Talang. Bawaklah perbekalan baju yang dimasukkan kedalam keranjang
cucian. Dengan alasan adinda akan mencuci baju di sungai. Kakanda menunggu
sampai adinda datang. Kalau adinda tak datang, kakanda menunggu sampai kakanda
mati. Kalau adinda sudah membaca surat ini, bakarlah agar tidak ada yang tahu.”
Dari. Puyang Marulak.
*****
Putri Naralia yang juga sangat mencintai Puyang Marulak. Keesokan harinya menemui Puyang Marulak, serta membawa perbekalan pakaiannya. Keduanya kemudian melarikan diri ke hutan. Mereka menyamar menjadi masyarakat biasa dan sampai di sebuah talang kecil, Talang Ambai. Dinamakan demikian karena terdapat banyak pohon buah rambai.
Keduanya mengaku kalau sama-sama anak yatim piatu. Mereka ingin menikah tapi tidak memiliki biayah. Sebab di talang mereka pengantin laki-laki harus menyediakan banyak biayah untuk menikah. Terutama untuk membayar upah wali yang akan menjadi wali dari wanita yatim piatu. Oleh karena itulah keduanya meminta dinikahkan dan diizinkan tinggal beberapa hari. Datu talang Amabi bernama Puyang Jakaru mengizinkan dan menikahkan keduanya. Datu Talang Ambai tidak mengenali keduanya layaknya warga biasa yang miskin.
Puyang Jakaru dan warga Talang Ambai menikahkan keduanya. Sehingga Marulak dan Putri Naralia resmi menjadi suami istri. Karena khawatir keberadaan mereka terlacak oleh prajurit Pedatuan Pendape Hulu atau pasukan Pedatuan Pendape Hilir. Maka malam ketiga setelah pernikahan Puyang Marulak dan Putri Naralia menghilang. Puyang Marulak meninggalkan sebuah surat pada Datu Talang.
“Datu, terimahkasi sudah menikahkan
kami berdua. Jasa kalian tidak akan kami lupakan. Untuk berjaga-jaga atas
keselamatan kalian. Apabila nanti ada prajurit Pendape Hulu dan Pendape Hilir
datang bertanya tentang dua orang melarikan diri. Agar kalian merahasiakannya,
karena kalian akan dihukum mati sebab telah menikahkan kami. Kalian akan
dituduh bersekongkol dengan kami. Maka rahasiakan semua ini sampai kapan pun.
Setelah membaca surat ini, bakarlah agar tidak ada jejak.”
Dari: Puyang Marulak dan Puyang Naralia.
Puyang Jakaru terkejut bukan kepalang. Mereka tidak menyangkah telah disinggahi Pangeran dan Putri dari dua pemimpin wilayah yang bermusuhan. Maka mereka bermusyawarah, sepakat untuk merahasiakan semunya. Mereka benar-benar dalam bahaya. Kemungkinan juga akan terjadi perang besar antara dua pedatuan.
Benar saja, satu minggu kemudian ratusan prajurit dari Pedatuan Pendape Hilir dan Pedatuan Pendape Hulu datang bergantian mencari Puyang Marulak dan Putri Naralia. Sejak saat itu, tidak terdengar lagi cerita tentang keduanya. Sementara Depati Pibang Sakti dan Depati Galaga mulai panas dan perang terjadi di perbatasan. Banyak korban berjatuhan dan perang terus berkobar bertahun-tahun.
Hari demi hari berlalu. Bulan berganti dan tahun terlewati. Puyang Marulak dan Putri Naralia tidak pernah bertemu dan tidak tahu rimbanya, apalagi kabarnya. Ayah dan ibu keduanya merasa menyesal dan juga merasa kesal. Depati Galaga yang hanya memiliki satu orang anak sangat bersedih. Begitupun Depati Pibang Sakti, dia hanya memiliki satu anak laki-laki. Kesedihan berkepanjangan pada kehidupan dua pemimpin itu.
*****
Sementara itu, Puyang Marulak dan
Puyang Naralia hidup bahagia di sebuah pondok terpencil di sebuah hutan yang
dikelilingi rawa-rawa Sungai Musi. Ternyata itu adalah rencana Marulak
sebelumnya. Mengapa dia membeli perlengkapan rumah tangga dan membuat pondok di
hutan jauh waktu itu.
Untuk sampai ke hutan itu harus melewati rawa-rawa luas dan banyak rumpun rotan berduri. Sehingga sangat jarang, bahkan mustahil manusia datang ke hutan itu. Putri Naralia sering bercerita tentang jernihnya air Lebung Bulan di Talang tempat kediamannya. Dia juga bilang kalau sering merindukan ayah dan ibunya. Hal itu membuat hati Marulak tergugah dan berpikir bagaimana membahagiakan istrinya.
Untuk mengurangi kerinduan Putri Naralia pada kedua orang tua dan kampung halamannya. Puyang Marulak menggali tanah membuat sejenis kolam yang lebar. Mencontoh lebung di Talang Lebung Bulan. Marulak ingin keadaan pondok kediaman mereka mirip dengan suasana Talang Lebung Bulan. Setiap pulang dari ladang, atau tidak bekerja di ladang. Marulak selalu menggali dan melebarkan kolam di depan pondoknya. Marulak juga membuat tepian madi untuk Putri Naralia.
Delapan tahun berlalu, hasil galian kolam Puyang Marulak semakin lebar. Karena di gali terus menerus sepanjang tahun, bertahun-tahun. Sehingga kolam sudah seluas sebuah danau. Puyang Marulak membuat perahu dan rakit. Sehingga dia sering berakit atau berperahu bersama Putri Naralia dan anak-anaknya. Sehingga kebahagiaan mereka semakin besar. Anak pertama laki-laki bernama Paniti Rimbe, umur tujuh tahun. Anak kedua bernama Marila dan anak ke tiga Marili.
*****
Tahun ke sembilan dari pelarian Marulak dan Putri Naralia terjadi kemarau panjang. Sehingga penduduk sering mencari air bersih atau mencari ikan ke daerah rawa-rawa Sungai Musi. Suatu hari terjadi kebakaran hutan rawa. Sehingga ada sebagian rawa-rawa terbakar. Yang terbakar, hutan rawa-rawa menjadi bersih. Penduduk berdatangan mencari ikan dan sampai di sekitar hutan tempat tinggal Marulak dan Putri Naralia. Saat mereka mendekati sekitar pondok Marulak, terdengar suara anak-anak berteriak bermain-main.
Dua orang penduduk mengintip dan mereka merasa aneh dengan orang yang tinggal di tengah hutan yang dikelilingi rawa-rawa. Penduduk yang sudah tidak mengenali Marulak dan Naralia hanya bercerita dari mulut ke mulut tentang manusia tinggal terasing.
Bermacam-macam pendapat masyarkat, ada yang bilang kalau yang mereka lihat adalah jelmaan suban. Ada juga yang berpendapat kalau keluarga hantu. Ada yang berpendapat itu makhluk Iyau. Mata-mata Pedatuan Pendape Hulu dan Pedatuan Pendape Hilir akhirnya mengetahui tentang kabar burung itu. Untuk memastikan hal tersebut satu regu pasukan Pedatuan Pendape Hulu yang dipimpin seorang hulubalang mendatangi hutan tempat tinggal Puyang Marulak dan Putri Naralia. Saat sampai mereka berhadapan dengan pasukan Pedatuan Pendape Hilir yang juga sudah mengetahui.
*****
“Kami akan menangkap Marulak, tukang
larikan anak perawan orang. Lalu membawa Putri Naralia dan anak-anaknya ke
Hulu.” Ujar Hulubalang Pedatuan Pendape Hulu.
“Sungguh tidak tahu malu kalian membelah
seorang laki-laki buruk tabiatnya, seperti Marulak. Coba bayangkan
bagaimana kalau saudari kalian yang dilarikan orang.” Ujar Hulubati Pedatuan Pendape Hulu.
“Puyang Marulak dan Putri Naralia menjadi milik kami. Begitupun anak-anaknya dan akan kami bawa kembali ke Hilir. Kalau kalian masih berkeras, maka tahu sendiri akibatnya.” Sanggah Hulubalang Wurugi, salah satu hulubalang Pedatuan Pendape Hilir.
Saling bentak dan saling mengklaim berakhir dengan teriakan lantang peperangan. Mata-mata pibang beradu ganas dengan percikan bunga api. Semua pandai bermain silat sehingga sulit untuk saling menjatuhkan. Marulak sadar kalau persembunyian mereka telah diketahui. Mereka berusaha melarikan diri lagi. Namun terlambat, Depati Galaga setelah tahu, dan pasti tidak menunggu lama. Segera bergerak bersama pasukannya, lalu mengepung tempat tinggal Marulak.
*****
Hutan sekarang telah dikepung oleh pasukan dari kedua belah pihak. Marulak tidak dapat lari kemana-mana. Dia lemah sebab telah ada anak-anaknya yang masih kecil. Membuat Marulak menjadi mengalah. Dia ingin melindungi ketiga anaknya. Depati Pibang Sakti dan Depati Galaga datang membawa pasukan masing-masing merapat ke dekat pondok Marulak, suasana tegang. Tangan masing-masing menggenggam hulu Pibang masing-masing.
Depati Galaga melihat sekeliling kediaman Marulak. Dia memperhatikan Marulak, Naralia dan anak-anaknya dari sebelah barat danau galian Marulak. Sedangkan Depati Pibang Sakti melihat dari seberang arah timur. Di belakang mereka masing-masing berbaris ratusan pasukan pengawal. Marulak sadar akan ada perang dan pertumpahan darah hari ini. Marulak beridiri di halaman pondok dan Naralia memeluk tiga anaknya. Depati Pibang Sakti mendekati dan Depati Galaga juga mendekat.
“Naralia pulanglah, Nak. Ibumu menunggu,
dia sakit?. Bujuk Depati Galaga.
“Bak, Aku tak mau pulang kalau seorang diri.”
Jawab Naralia.
“Tidak bisa Naralia, kau harus pulang
sendiri. Mereka musuh kita yang punya niat jahat pada pedatuan
kita.” Kata Depati
Galaga.
“Aku tidak mau, walau Bak memaksa.”
Jawab putri Naralia.
“Baikalah, maka peperangan yang akan
mengembalikan semuanya. Kau Marulak, telah menginjak harga diriku sebagai orang
tua. Kau akan mendapat balasan setimpal dariku.” Depati Galaga berkata berapi-api.
Sambil menunjuk ke arah Marulak. "Srinngg. Pibang kanan Depati Galaga dia
cabut.
“Sebelum kau berbuat, maka kau berhadapan dengan Aku.” Ujar Depati Pibang Sakti.
Dua pasukan berlari berhampiran tambah dekat hanya satu meter lagi, siap duel. Tinggal perintah masing-masing hulubalang dan Depati. Depati Galaga dan Depati Pibang sakti telah mencabut pibang kanan dan pibang kiri mereka. Terhunus dan siap saling serang.
Depati Pibang Sakti dan Depati Galaga yang sudah bermusuhan sejak mereka saling mengenal. Kini tidak dapat lagi menahan emosi dan saling serang dengan pibang masing-masing. Marulak merasa sangat bingung dan lelah dengan semua itu. Sebab telah banyak korban jiwa yang melayang. Maka dia harus berbuat sesuatu untuk mengakhiri pertikaian ini. Saat Depati Pibang Sakti dan Depati Galaga saling serang dia melompat kedepan di hadapan keduanya.
Gerakan Marulak yang tidak terduga itu membuat tidak bisa dielakkan lagi. Dua mata pibang menancap, satu di dada dan di perut Marulak. Perlahan tubuh marulak lemah dan darah mengalir deras. Ketiga anaknya menjerit menangis. Begitu pun Naralia tak kalah histerinya. Dia menghambur memeluk tubuh Marulak. Depati Pibang Sakti juga berlutut di hadapan Marulak. Marulah memegang tangan ayahnya dan melambaikan tangan pada Depati Gelaga. Depati Gelaga juga merasa sedih, sebab dia juga sadar kalau Marulak tidak melawannya dan bukan orang jahat. Depati Galaga duduk di sebelah kiri, lalu Marulak juga memegang tangan mertuanya.
“Bak mertuaku, telah menusuk jantungku.
Sebentar lagi Aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku yang telah
melarikan Naralia. Jujur Aku sangat mencintai Naralia.” Kata
Marulak dengan terbata-bata. Lalu dia melanjutkan dan berkata pada Depati
Pibang Sakti.
“Bak, janganlah bak menuntut balas atas
kematianku. Sebab pibang Bak juga mengenai perutku. Hentikan perang saudara kita dan berdamailah. Aku titip anak-anakku
pada Bak berdua. Naralia Aku kembalikan juga.” Ujar Marulak. Dia terdiam
dan memuntahkan darah segar. Lalu berkata lagi.
“Naralia, istriku tercinta. Pulanglah
bersama Bak ke Hulu. Rasa Cinta dan kasih sayang tidak harus bersama. Cinta ada
di hati kita. Aku selalu mencintaimu, istriku sayang.” Kata terakhir Marulak.
Marulak akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
“Sringgg. Craattt.” Pibang Kidau milik
Naralia tercabut dari warangkanya. Lalu Naralia hujamkan di jantungnya. Darah
mengalir deras dan dia pun terjatuh dengan berlinang air mata. Anak-anaknya
menjerit menangis pilu.
“Bak, jangan berperang lagi. Damailah, kita sama-sama orang pedatuan pendape, satu keluarga. Bak, maafkan Naralia. Maafkan kanda Marulak. Lia, sangat mencintai Kakanda Marulak. Hidup kami bersama dan matimu bersama. Tolong jaga anak-anak kami, dan jangan berperang lagi. Bilang sama ibu, Aku pergi lebih dahulu. Aku selalu rindu ibu. Bak, Aku titip pesan pada anak cucu. Jangan pernah berbuat maksiat apa lagi berzinah di dekat danau ini. Sebab danau ini digali oleh Kakanda Marulak atas rasa cinta pada diriku. Jangan kotori di sekitar danau ini, dengan perbuatan dosa atau dengan sampah. Barang siapa yang datang kesini berbuat dosa, berbuat maksiat, mesum dan mengotori lingkungannya. Maka saya sumpahi hidup dia takkan selamat dunia akhirat. Sepanjang hidup dia akan penuh masalah dan penderitaan.” Itulah sumpah Putri Naralia. Dia begitu menghargai jerih paya suaminya yang telah membuat danau.
Setelah peristiwa itu, kedua belah pihak bersepakat untuk berdamai. Mereka mengakhiri perselisihan yang tidak kunjung henti. Sebelum musyawarah diawali dengan makan sirih. Sebagai ciri khas adat orang Melayu sebelum bermusyawara. Budaya makan siri pinang ini adalah budaya tertua orang-orang di Nusantara. Hal kedua setelah kesepakatan damai, berbicara tentang pewarisan kepemimpinan pedatuan. Keputusan kedua belah pihak adalah kembali menyatukan pedatuan dengan mengangkat anak Puyang Marulak dan Putri Naralia menjadi Depati Pedatuan Bukit Pendape.
Kelak semasa kekuasaan Kedatuan Sriwijaya. Puyang Dapunta Hyang Jaya Naga datang dari Minanga dan bermusyawara dengan Depati Paniti Rimbe untuk membangun negeri yang besar. Lalu Pedatuan Bukit Pendape menjadi bagian dari negeri tersebut, Kedatuan Sriwijaya.
Waktu berlalu danau yang digali oleh Marulak bertahun-tahun lamanya itu. Waktu demi waktu menjadi danau yang luas. Karena perubahan alam dan pengikisan tanah. Penduduk Pedatuan Bukit Pendape menamakan dengan Danau Marulak dan Naralia.
Seiring waktu ribuan tahun lamanya.
Penduduk menyebut nama Danau Marulak dan Naralia mulai berubah. Kebiasaan orang
Melayu selalu ingin cepat dalam menyebut sesuatu. Sehingga mereka
menyingkat nama Marulak, menjadi Ulak dan Naralia dengan Lia. Sehingga kemudian sampai sekarang
nama danau berubah menjadi Danau Ulak Lia.
Datu: Pemimpin Talang atau Jurai Tue atau Kepala Desa. Depati: Gelar pemimimpin marga/pedatuan. Puyang: Gelar kehormatan apabila untuk seorang pemimpin. Dataran Negeri Bukit Pendape: Kawasan tradisional masyarakat yang mendiami disepanjang aliran Sungai keruh sampai ke Bukit Pendape (Marga Sungai Keruh).
Pibang: Senjata tradisional masyarakat di Kawasan Dataran Negeri Bukit Pendape. Pibang Kidau: Pibang yang seukuran pisau di selipkan di pinggang kanan dan dicabut dengan tangan kiri saat penggunaan sewaktu bertarung.
Pibang Kanan: Pibang yang seukuran pedang yang dilekatkan di pinggang kiri dan dicabut tangan kanan saat penggunaan (bertarung). Benca. Tempat penampungan air alami yang berbentuk seperti sungai kecil. Lebung: Jenis penampungan air alami, tapi ukuran lebih kecil dari danau.
Post a Comment