Sastra Moderen
Sy. Apero Fublic
Sebuah Novel: Jawara. Angkara di Bumi Krakatau.
Apero
Fublic.- Cerita silat acap kali memiliki ruang unik tersendiri untuk
bersentuhan dengan lokalis dan filosofi tradisional. Fatih Zam dalam novel ini
tampak gigih memanfaatkan itu semua. Menurut M. Irfan Hidayatullah seorang
dosen Sastra Indonesia dari Unpad.
Begitupun ungkapan dari seorang cerpenis Benny Arnas: Banyak
sekali pengarang yang mengangkat tema lokal dengan cita rasa yang
dilokal-lokalkan. Namun, tidak demikian halnya dengan Fatih Zam. Cara yang
ditempunya tidak biasa dan mengejutkan. Namun, tentu saja sehat untuk keragaman
estetika cerita. Tabik!.
Sekilas tentang penulis novel Jawara. Fatih Zam putra asli Banten. Lahir
pada 11 Muharam – riwayat pendidikan dari Sekolah Dasar, sampai Sekolah
Menengah di Pandeglang. Persentuhan dengan dunia kesusastraan dimulai dari
profesi sebagai marketer majalah. Fatih menjadi anggota Sanggar Sastra Siswa
Indonesia (S3I), bimbingan Mohammad Wan Anwar. Serta aktif di rumah baca.
Setelah lulus SMA melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Padjajaran.
Mengambil studi Ilmu Komunikasi pada kosentrasi Ilmu Manajemen Komunikasi,
lulus tahun 2011. Fatih Zam, sudah aktif menulis sejak masih kuliah, seperti
menulis artikel dan esai.
Sinopsis novel sastra Jawara: Prahara sengit di Tanah Banten, pertumpahan
darah antara kaum jawara dengan para santri dan kiai terjadi di beberapa
tempat. Saefudin, putra kiai pemilik pesantren berhasil meloloskan diri setelah
ayahnya terbunuh dalam pertempuran.
Akankah dia menemukan jalan untuk membalaskan dendam sang ayah?.
Sementara nun jauh di belahan Banten yang lain, pendekar muda bernama
Badai tak tahan lagi untuk mengikuti nuraninya: mencari sebuah kitab yang
disinyalir amat sakti, hingga pemiliknya akan memiliki ilmu yang tak
terkalahkan. Konon kitab tersebut akan sangat berguna untuk menghadapi Angkara,
jawara berkesaktian tak tertandingi yang berniat meluluhlantakkan seluruh
pesantren di tanah Banten.
Namun, tentunya perjalanan ini tak akan mudah sebab nyawa taruhannya,
mengingat tidak sedikit jawara yang juga menginginkannya. Akankah Badai
berhasil mendapatkan kitab tersebut?. Akankah perseteruan antara kaum jawara
dan pihak pesantren terus berlanjut.
Bagi kita semua untuk terus berpartisipasi dalam mengangkat kebudayaan
asli kita. Terutama pada dunia kesusastraan. Sebab kesusastraan adalah ibu dari
masyarakat. Kalau kesusastraan kita penuh dengan adegan lebai, mesum, cabul.
Maka kehidupan masyarakat kita yang terpapar kesusastraan tersebut akan
mengikuti hasil sastra tersebut.
Sebuah kritik kesusastraan semasa Orde Baru. Bukan untuk menjatuhkan
atau menjelek-jelekkan kesusastraan zaman itu, tapi sebuah tinjauan untuk kita
ambil pengajaran. Semoga kebangkitan kesusastraan kita sudah dimulai. Mari kita
bangun identitas kesusastraan yang sesuai dengan sosial budaya asli kita,
Indonesia.
Oleh.
Joni Apero.
Editor. Selita. S.Sos.
Foto. Dadang Saputra.
Palembang, 1 Februari 2020.
Via
Sastra Moderen
Post a Comment