Sejarah Daerah
Sejarah Kepuyangan dan Pemerintahan Marga di Provinsi Sumatera Selatan
Apero Fublic.- Provinsi Sumatera Selatan, suatu kawasan masyarakat
Melayu yang sangat fenomenal. Sejarah masyarakat yang berantai tersambung.
Kehidupan manusia di Provinsi Sumatera Selatan sudah terlacak dari kehidupan
manusia gua. Sebagaiamana ditemukan oleh pihak Balai Arkeologi Sumatera
Selatan.
Begitupun kehidupan masa zaman megalitikum, masuknya pengaruh agama
Hindhu dan Budha. Sampai kemudian terbentuknya Kedatuan Sriwijaya atau Kerajaan
Sriwijaya yang menganut agama Budha. Menurut penelitian J.W. Van Royen dalam
buku De Palembangsche Marga (1927). Mengungkapkan bahwa
penduduk di pedalaman (uluan) Sumatera Selatan.
Bermula atau bersumber dari
tiga pusat pegunungan. Yaitu disekitar Danau Ranau, dari Dataran Tinggi Pasemah
dan daerah Rejang. Tiga pegunungan tersebut kita kenal sekarang, yaitu
Pegunungan Seminung, Gunung Dempo dan Gunung Kaba. Bukti kehidupan kuno adalah
tersebar dan terdapat tinggalan arkeologi berupa, batu berukir, menhir, lesung
batu, kubur batu dan sebagainya.
Dari Pegunungan Suminung atau Danau Ranau,
Jelma Daya, masyakat Melayu kala itu turun menyusuri sungai komering sampai
Gunung Batu. Sedangkan orang Melayu dari Gunung Dempo dan sekitarnya,
orang-orang Pasemah (serawai) mereka menyebar menempati pinggiran Sungai
Lematang, Sungai Enim, Kikim, Lingsing. Ada juga yang mendiami pinggiran Sungai
Musi bagian tengah, dan Sungai Ogan.
Sedangkan orang Melayu yang
mendiami di sekitar Gunung Kaba, masyarakat menyebar menyusuri Sungai Musi ke
bagian hulu dan masuk ke Sungai Rawas. Kemudian ada juga yang masuk wilayah
Sungai Lematang bagian hilir. Mereka melalui Sungai Keruh di Kabupaten Musi
Banyuasin Sekarang. Lalu masuk ke daerah Panukal di Kabupaten PALI sekarang.
Penyebaran dari tiga
kelompok orang Melayu inilah yang menjadi sumber-sumber kepuyangan masyarakat
di Sumatera Selatan. Anak cucu mereka kemudian terus menyebar dan berkembang
sepanjang waktu. Setelah mereka membangun pemukiman. Mereka menamakan tempat
tinggal mereka mengikut nama sungai atau nama tempat mereka.
Sehingga anak cucu mereka
kemudian dikenal dengan identitas wilayah, misal suku komering, suku Musi, suku
Rawas dan laiinya. Sesungguhnya masyarakat Sumatera Selatan hanya satu suku
bangsa, Yaitu Melayu. Sedangkan nama-nama identitas sekarang hanyalah nama
tempat secara tradisional.
Apabila ditinjau dari sisi kebudayaan. Kebudayaan
masyarakat Sumatera Selatan sama, dari sistem sosial, dari adat-istiadat,
sistem bangunan tempat tinggal rumah panggung, dan tentunya bahasa. Bahasa-bahasa
daerah di Sumatera Selatan sama, hanya sedikit-sedikit berbeda. Misal dari kosa
kata atau dialeq.
Masyarakat Melayu Sumatera
Selatan yang sudah menyebar tersebut. Kemudian melahirkan sub-sub kepuyangan
baru mengikut kekerabatan mereka atau geneologis. Talang lama kemudian membesar
dan lapangan perekonomian hutan menyempit. Kemudian anak cucu mereka mereka
membangun talang-talang baru.
Maka terciptalah suatu kawasan cukup luas yang
terdiri dari beberapa Talang. Mislanya sepuluh Talang atau lebih. Mereka semua
masih masuk dalam kepuyangan atau satu keturunan. Dari sinilah kemudian
terciptalah sistem pemerintahan marga. Kata Marga diserap dari kata dalam
bahasa Sanskerta.[1]
Pemerintahan marga adalah
bentuk pemerintahan asli masyarakat Melayu di Sumatera Selatan. Sistem
pemerintahan Marga atau Margo di Sumatera Selatan diketahui oleh budayawan dan
sejarawan di Sumatera Selatan melalui peninggalan Piagam-Piagam peninggalan
Kesultanan Palembang (Ratu Sinuhun dan Sunan Candi Walang).
Kesultanan Palembang
adalah kerajaan kota yang berkuasa di Palembang saja. Kemudian perlahan
memperluas pengaruh ke pedalaman Sumatera Selatan. Penyebaran pengaruh penguasa
di Palembang melalui musyawarah, angkat keluarga (angkan-dangkan).
Dari sini,
muncul gelar pangeran-pangeran atau ratu yang diberikan Sultan. Konsesi
ekonomi, dan pengukuhan kedudukan sebagai pemimpin Marga (Depati). Sedangkan
pemimpin di Palembang mendapatkan pengakuan dan dukungan sebagai penguasa
tertinggi. Bentuk saling tunjang dan saling ketergantungan.
Pemberian piagam-piagam oleh
para penguasa di Palembang masa itu. Bukan piagam pembentukan Marga. Tapi
bentuk pengakuan kedaulatan pemerintahan Marga dalam lingkup wilayah tertentu
(raja kecil). Dengan demikian bentuk Pemerintahan Marga sudah ada sejak sebelum
adanya kesultanan Palembang.
Seiring waktu ada juga
marga-marga yang dibentuk semasa Kesultanan Palembang dan saat Penjajahan
Belanda. Seperti Marga Singa Desa di Kabupaten Musi Banyuasin. Marga Singa Desa
didirikan oleh Depati Samsudin atau Udin. Setelah melalui serangkaian
perang-perang antar dusun atau talang disekitar Talang Rengas Gemuruh tempat
kediaman beliau. Depati Udin dapat mempersatukan wilayah-wilayah didaerahnya.
Kemudian barulah mendirikan
Marga Singa Desa. Untuk mengambil legalitas dan pengukuhan. Depati Udin pergi
ke Palembang dan dikukuhkan sebagai Depati Marga Singa Desa oleh Sultan Mahmud
Badaruddin I. Pada zaman kolonial Belanda
mengetahui sejarah kepahlawanan Depati Udin yang hebat seperti seekor singa di
tengah penduduk.
Belanda khawatir dengan cerita-cerita yang sudah melegenda
tersebut. Untuk menghapus sejarah kepahlawanan Depati Samsudin yang melegenda.
Agar tidak menjadi inspirasi penduduk untuk berperang dan memberontak. Maka
nama Marga Singa Desa dirubah menjadi Marga Sanga Desa. Kata sanga diambil dari
kata dalam bahasa Jawa, songo yang berarti sembilan (alasan
Belanda).
362. Kemudian ada pula perubahan
Yang Terjadi jaman Belanda
Prabumuli masuk Lakitan
Jud dimasukkan ke Singa Desa
363.Dusun Penggage bertukar pula
Bertukar dengan dusun Sereka
Penggage masuk ke Singa Desa
Sereka masuk ke Punjung Marga.
364.Sehingga Marga SINGA DESA
Mempunyai sembilan buah desa
Sehingga nama Singa Desa
Beobah nama SANGA DESA.[2]
Pemimpin marga pada awalnya bergelar puyang
atau depati. Gelar depati bukan hanya digunakan untuk pemimpin marga, tapi juga
digunakan oleh pemimpin dusun atau Talang (Marseden, 1983). Selain depati
pemimpin marga ada juga digelari Pasirah. Gelar pasirah sepertinya dikukuhkan
Belanda.
Sifat kepemimpinan marga
berbentuk monarki atau turun temurun seperti sistem pemerintahan kerajaan. Di
zaman Penjajahan Belanda kepemimpinan Marga yang turun temurun diganti dengan
sistem pemilihan langsung atau demokrasi.
Oleh. Joni Apero
Editor. Desti. S.Sos.
Palembang, 13 Februari 2020.
Latar foto Gunung Dempo, Pagaralam.
Sumber:
M. Arlan Ismail. Marga di Bumi
Sriwijaya. Palembang: Unanti Press, 2004.
Yusman Haris. Sanga Desa dari
Dahulu Sampai Sekarang. Palembang, 2010.
Mohd. Oedji Anang. Sejarah Marga
Sanga Desa. Bandung, 1985.
Edwin M. Loeb. Sumatera Sejarah
dan Masyarakatnya. Yogyakarta: Ombak, 2013.
K.H.O. Gadjahnata dan Sri Edi
Swasono. Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan.
Jakarta: UI-Press, 1986.
[1]Edwin M. Loeb, Sumatera Sejarah dan
Masyarakatnya, Yogyakarta: Ombak, 2013, h. 21.
[2]Yusman Haris, Sanga Desa dari Dahulu Sampai Sekarang,
Palembang, 2010. Ttp.
Sy. Apero Fublic
Via
Sejarah Daerah
Post a Comment