Sejarah Islam
Tabel 1 : Marga Sindang Kelingi Ilir
Ikatan Kekeluargaan dan Hamoniasasi Sosial Masyarakat Sidang Kelingi Lubuk Linggau
PROGRAM
STUDI S2 SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS
ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
Abstrak
Pembentukan identitas Melayu dalam konteks ini
dimulai sejak Islam masuk ke wilayah ini. Namun belum ditemukan hasil hasil
kajian yang dapat menunjukkan kapan persisnya awal mula penggunaan istilah
Melayu. Sebagai identitas
etnik di Lubuk Linggau, Melayu digunakan untuk menyebut identitas penduduk Lubuk
Linggau yang beragama Islam.
Dilihat dari struktur garis keturunan dan kekerabatan,
masyarakat Lubuk Lingau memiliki kesamaan dengan struktur garis keturunan dan
kekerabatan masyarakat Sumatera Selatan pada umumnya, yaitu patrilineal yang
mengikuti garis ayah, berkembang di daerah lubuk linggau sendiri marga menjadi
sebuah ikatan kekeluarga dan pada saat dewasa kini marga pun berkembang menjadi
sebuah sistem pemerintahan khususunya di wilayah–wilayah Sumatera Selatan.
Key :
Identitas, Kekerabatan, Lubuk Linggau
Pendahuluan.
Melayu merupakan suatu entitas,
sehingga diperlukan paradigma berpikir yang dinamis pula. Tanpa sudut pandang
seperti ini, maka konsep Melayu itu tidak dapat dipahami secara holistik dan
komprehensif. Melayu ada sebuah suku yang besar di daratan Asia Tenggara,
kawasan kepulauan yang kini menjadi unit-unit geopolitiknya seperti; Indonesia,
Malaysia, Brunei, Filipina, selatan Thailand, kelompok-kelompok masyarakat di
Singapura, Vietnam, Kamboja, dan Taiwan.
Pengertian ini didasarkan pada corak
kemiripan bahasa, karena bahasa merupakan satu-satunya bukti sejarah yang masih
tersisa dan dapat membuktikan benar atau tidaknya suatu kawasan yang ditempati
oleh kelompok-kelompok rumpun yang sama. Fakta historis menunjukkan bahwa
kebudayaan Melayu merupakan “buah” dari hasil pertemuan antara Melayu dengan
kebudayaan-kebudayaan lain yang mendatangi kawasan Melayu.
Sebelum kedatangan
kebudayaan luar, masyarakat Melayu telah menganut sistem kepercayaan animisme
dan dinamisme, sistem bercocok tanam, dan mampu membuat peralatan dari logam.
Kebudayaan Melayu yang sudah terbentuk tersebut kemudian diperkarya oleh
kedatangan kebudayaan besar dunia, yang terdiri dari empat fase, yaitu:
kebudayaan India, kebudayaan China, kebudayaan Arab (Timur Tengah), dan
kebudayaan Barat. Pertemuan kebudayaan ini dapat berlangsung dengan damai
ataupun dengan ketegangan.[1]
Ketika mendefinisikan Melayu,
berbagai literatur yang terbit, baik di Indonesia, Malaysia, Singapura dan
Brunei Darusalam seringkali menyebutkan tiga aspek sebagai penciri kemelayuan
yakni beragama Islam. Sekalipun terdapat perdebatan dalam menyikapi perdebatan
bahwa agama Islam adalah agama bagi orang Melayu, namun kita menemukan banyak
kesaman antara etnik Melayu, baik Riau, Deli, Jambi, Sambas hingga Minangkabau
yakni: kesamaan dalam hal bahasa Melayu (menggunakan dialek berbeda).[2] Etnik-etnik
serumpun lain pada umumnya menempati suatu daerah tertentu. Tetapi orang Melayu
tidak. Mereka tinggal di beberapa wilayah yang terpisah, bahkan di antaranya
saling berjauhan.
Menurut arifin dan asa, Pembentukan
identitas kemelayuan dimulai sejak terbentuknya kerajaan Melayu pertama di
wilayah Sumatera pada paruh pertama Abad Ketujuh hingga pengembangan Kerajaan
Sriwijaya pada paruh kedua Abad Ketujuh. Keruntuhan kerajaan Sriijaya kemudian
dilanjutkan dengan bangkitnya Kesultanan Melaka yang bercorak Islam yang
membawa identitas baru kemelayuan. Masa Kesultanan Melaka ini umumnya
disepakati ahli sejarah sebagai standar pembentukan kemelayuan pada masa-masa
berikutnya. Penggunaan kata Melayu sendiri menjadi lebih populer setelah
kesultanan Malaka berkembang menjadi kerajaan maritim yang turut mempopulerkan
penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca di wilayah Nusantara.[3]
Semua faktor ini telah menjadi
sangat berpengaruh dalam kehidupan Orang Indonesia. Meskipun sulit untuk
mengatakan bahwa tradisi setempat adalah tidak identik dengan Islam atau
sebaliknya, Islam adalah yang membentuk tradisi lokal entitas. Tetapi peradaban
agama-agama di Nusantara adalah serangkaian proses periodik pembentukan
kehidupan keagamaan. Proses historis dari Islam tidak bisa dipisahkan dari
peradaban agama-agama itu ada sebelum Islam hadir di kepulauan ini. Proses ini
berlangsung lama dan terus menjadi entitas dan identitas Islam Indonesia yang
hidup dalam jaringan peradaban agama yang bisa jadi muslim identitas menjadi
bagian dari sejarah Islam dan Melayu.[4]
Pengertian Melayu telah berkembang
mengikut zaman dan dinamika sejarah
sejak dahulu kala sampai sekarang, dan Melayu dapat disimpulkan sebagaimana menjadi sebuah komunitas
masyarakat yang luas yang memiliki kesamaan budaya yang terdiri dari bahasa dan
sistem kepercayaan yang sama, suku Melayu biasa tinggal didaerah di pesisir
laut dan daerah yang memiliki sumber daya alam yang baik dikarenakan masyarakat
melayu hidupnya selalu berpindah–pindah daerah dari suatu daerah ke daerah yang
lainnya untuk membuat suatu komunitas masyarakat. Identitas atau jati diri
sering kali menjadi bahan pembicaraan yang hangat. Diskursus tersebut tersuguh
di ruang publik hampir di setiap kesempatan, terutama ketika muncul
pemberitaan-pemberitaan atau isu-isu ketegangan antar kelompok.
Identitas Masyarakat bisa di kaitkan dengan
Marga atau kesatuan pemerintahan, salah satu identitas kehidupan masyarakat di
Sumatera selatan, Marga dikenal sebagai kesatuan pemerintahan terendah di
wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Namun, tulisan yang komprehensif mengenai
perkembangannya secara evolusioner yang bermula dari budaya masyarakat
Palembang meliputi kurun waktu dari titik awal hingga sekarang belum ditemukan.
Kata “Marga” ini pertama kali didapati dalam piagam-piagam Sultan Palembang
sejak 1760-an. Ambtenaar Belanda dan Inggris seperti Mars, Raffles, dan
Knoerle dalam setiap karangan mereka tidak pernah menyebutkan istilah Marga,
namun mereka menyebut sebagai kesatuan masyarakat dengan istilah Petulai,
Sumbai, Kebuaian atau Suku, kesatuan-kesatuan tersebut sebagai suatu
kesatuan yang bersifat genealogis.[5]
Secara kronologis tidak ditemukan tulisan
mengenai sejarah perkembangan kesatuan pemerintahan yang disebut Marga. Menurut
van Royen dalam catatannya tentang Marga di Palembang, ia menggambarkan
perkiraan perkembangan sistem Marga dalam beberapa tahap. Tahap yang tertua
ialah adanya rumpun orang yang hidup mengembara dan berpindah-pindah dari suatu
tempat ke tempat yang lain yang disebut nomad, yang tidak mempunyai
tempat tinggal tetap. Mereka ini merupakan suatu kelompok yang hidup dari
mengumpulkan hasil hutan, perburuan hewan dan penangkapan ikan.
Tema
tentang identitas dan budaya lokal selalu menarik perhatian penulis, Kota
Lubuklinggau merupakan salah satu kota setingkat kabupaten yang letaknya paling
barat dari wilayah Propinsi Sumatera Selatan. Tahun 1929 status Lubuklinggau
adalah sebagai ibukota Marga Sidang Kelingi Ilir, dibawah Onder District Musi
Ulu. Onder district Musi Ulu sendiri ibukotanya adalah Muara Beliti. Tahun 1933
ibukota Onder District Musi Ulu dipindah dari Muara Beliti ke Lubuk Linggau.
Tahun 1942–1945 Lubuk Linggau menjadi ibukota kewedanaan Musi Ulu dan
dilanjutkan setelah kemerdekaan. Pada waktu Clash I tahun 1947, Lubuklinggau
dijadikan ibukota pemerintahan Provinsi Sumatera Bagian Selatan. Tahun 1948
Lubuklinggau menjadi ibukota Kabupaten Musi Ulu Rawas dan tetap sebagai Ibukota
Keresidenan Palembang.
Pada tahun 1956 Lubuklinggau menjadi ibukota daerah
Swatantra tingkat II Musi Rawas. Tahun 1981 dengan peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 38 tanggal 30 Oktober 1981 Lubuklinggau ditetapkan
statusnya sebagai Kota Administratif. Tahun 2001 dengan undang- undang republik
Indonesia nomor 7 tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001 Lubuklinggau statusnya
ditingkatkan menjadi kota. Pada tanggal 17 oktober 2001 kota Lubuklinggau
diresmikan menjadi daerah otonom.
Sehubungan dengan penulisan penelitian
yang akan dilaksanakan, peneliti menerangkan beberapa hasil penelitian
terdahulu yang relevan serta berguna untuk membantu penulis dalam menyusun
penelitian yang sedang direncanakan. Tinjauan pustaka merupakan salah satu
unsur penting dalam sebuah penelitian, karena fungsi untuk menjelaskan posisi
masalah yang akan diteliti di antara penelitian yang pernah dilakukan lain
dengan maksud menghindari duplikasi (plagiasi).
Yusriadi dalam penelitiannya yang
berjudul “Identitas Dayak dan Melayu di Kalimantan”, Jurnal, 2018.
Mengungkapkan Dayak
dan Melayu merupakan dua kelompok besar yang ada di Kalimantan Barat. Pada mulanya,
perbedaan identitas itu ditandai dengan perbedaan agama, dengan paksinya adalah agama Islam. Orang Islam, khususnya
pribumi, di Kalimantan Barat dikategorikan
sebagai Melayu, sedangkan orang pribumi bukan Islam disebut Dayak.
Identitas
Melayu telah dipakai lebih awal dan diterima secara meluas sejak awal.
Sedangkan identitas Dayak dipakai dan diterima kemudian. Kedua kelompok itu hidup
dalam ruang geografi dan sosial yang sama. Mereka terlibat interaksi antarsatu dengan
yang lain di hampir semua bidang kehidupan. Urusan-urusan administrasi,
ekonomi, pendidikan, dan sebagainya, hampir tidak mungkin terjadi tanpa adanya
relasi lintas etnik.[6]
Essi hermsliza
dalam penelitiannya “Sistem Kekerabatan Suku Bangsa Kluet Di Aceh” Jurnal,
2011. Mengungkapkan masyarakatnya menganut sistem
kekerabatan patrilineal dilihat dari penggunaan marga dan struktur keluarga inti sekaligus menganut
sistem kekerabatan matrilineal dilihat dari struktur keluarga luas dan peran niniak mamak dalam
pelaksanaan upacara adat. Sistem kekerabatan yang merupakan bagian dari budaya lokal perlu
dilestarikan sebagai warisan budaya leluhur yang melekat pada diri
masyarakatnya.[7]
Muhammad
Syawaludin, “Melayu Social Siasat On The Rakit House Community In Palembang”
Jurnal, 2018. Mengungkapkan Fungsi sosial dalam entitas rumah rakit Palembang
adalah fungsi organik yang langsung dirasakan oleh masyarakat setempat seperti;
Solidaritas Sosial antara warga dan masyarakat. Bentuk sosial solidaritas dalam
bentuk merawat kondisi penghuni oleh masyarakat umum, ditandai dengan undangan
selama kerja sama untuk lakukan atau bantu bersama. Selain itu, entitas rumah
rakit Palembang adalah sebuah model lokalitas yang menempatkan rasa saling
percaya dan mempertahankan kepercayaan atas dasar dari keseimbangan tradisi,
kebutuhan hidup dan lingkungan.[8]
Eka Apriyanti dan Reiza D. Dienaputra dalam penelitiannya
yang berjudul “Pemerintahan Marga Di Lubuklinggau Tahun 1855-1983”, Jurnal, 2015. Mengungkapkan
Marga
dibentuk pada umumnya di daerah pedalaman, yang berada di hulu sungai.
Tujuannya untuk memudahkan pengaturan wilayah kesultanan yang luas. Setiap
Marga dipimpin oleh seorang kepala Marga yang disebut Depati/Pesirah.
Pemerintahan Marga merupakan pemerintahan yang bersifat tradisional, dengan
hukum yang timbul dan berkembang dari budaya asli dan sifatnya kekeluargaan.
Sistem pemerintahan Marga diatur dalam Undang-undang Simbur Cahaya.[9]
Penulis melihat dari laporan penelitian maupun
jurnal sebagaimana yang telah di jelaskan di atas terdapat persamaan bahasan,
yaitu sama-sama meneliti “Ikatan Kekeluargaan Melayu” namun terdapat
perbedaan dalam penelitian tersebut, yaitu pembahasan tentang “ikatan dan
hamoniasasi sosial masyarakat dan lokasi penelitian”. Belum ada yang
meneliti tentang hamonisasi ikatan kekerbatan Marga Suku Melayu di Lubuk
Linggau. Maka penelitian ini urgen dilakukan karena berfokus padaornamen yang
melekat pada bangunan.
Untuk dapat mengendalikan penelitian dan memperjelas ruang lingkup penelitian,
dengan tujuan mendapatkan hasil uraian penelitian secara sistematis.Pembatasan
yang dimaksudkan agar peneliti tidak terjerumus ke dalam banyaknya data yang
ingin diteliti.[10]
Agar tidak menimbulkan terlalu luasnya penafsiran dan agar penelitian ini menjadi fokus, maka di sini penulis perlu memberi
batasan masalah sehingga penelitian ini nantinya akan terpusat pada
permasalahan yang diteliti dan juga lebih terarah. Dalam penelitian ini,
Penulis berfokus kepada Ikatan Kekeluargaan Marga di Lubuk Linggau.
A.Landasan Teori
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori Harmonisasi
sosial, dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia Harmoni Berarti Selaras Atau Serasi,[11]
Sedangkan Sosial Berarti Berkenaan Dengan Masyarakat, Mengenai
Masyarakat, Atau Suka Memperhatikan Kepentingan Umum.[12]
Harmoni Sosial Adalah Kondisi Dimana Individu Hidup Sejalan dan Serasi
Dengan Tujuan Masyarakatnya.
Harmoni Sosial Juga Terjadi Dalam Masyarakat Yang
Ditandai Dengan Solidaritas.[13]
Harmoni Sosial suatu keadaan keseimbangan dalam sebuah kehidupan, dua kata yang
saling berkesinambungan dan memiliki arti kata yang tidak dapat dipisahkan
merupakan keadaan yang selalu didambakan oleh masyarakat dalam kehidupan
mereka. Keharmonisan akan terwujud jika didalamnya ada sikap saling menghargai
dan menyayangi antar anggota keluarga atau masyarakat.
Dari kedua gabungan kata tersebut dapatlah diperoleh kesimpulan
yang menggambarkan cita-cita tinggi dari kehidupan bermasyarakat, harmoni
sosial tidak akan pernah tercapai ketika tidak tercipta kehidupan yang damai
serta saling menghargai dari setiap anggota masyarakat yang tinggal bersama dan
memiliki perbedaan. Keberadaan manusia bersama dengan sesamanya merupakan
kenyataan yang tidak dapat disangkal.
Tidak mungkin hidup tanpa orang lain,
suatu masyarakat akan berada dalam ketertiban, ketentraman, dan kenyamanan bila
berhasil membagun harmoni sosial. Banyak hal yang berkaitan dengan harmoni
sosial, baik dari aspek ideologi, politik, ekonomi, budaya, pertahanan, dan
keamanan. Kajian mengenai identitas budaya secara umum sudah banyak dilakukan.
Para ilmuan mengkaji dari berbagai sisi. Misalnya, dari sisi identitas bahasa,
identitas pakaian, identitas makanan, identitas fisik, identitas adat, dan
lain.
Yang kedua Penulis mengunakan teori Identistas,
dalam
dunia akademik, istilah identitas atau identity lebih sering dipakai
dibandingkan jati diri. Identity adalah kata dari bahasa Inggris yang berasal
dari bahasa Latin identidem atau idem yang berarti persamaan atau kesinambungan
menurut Shamsul, Sedangkan menurut Mesthrie dan Tabouret-Keller, menyebutkan
bahwa identitas adalah sifat-sifat (ciri-ciri dan sebagainya) yang terdapat
pada seseorang atau sesuatu yang sebagai suatu keseluruhan memperkenalkannya
atau mengasingkannya daripada yang lain.[14]
Kajian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kajian antropologi. Ilmu antropologi adalah ilmu tentang manusia
khususnya tentang kebudayaan, adat-istiadat serta tradisi. Dalam penelitian ini
pendekatan antropologi mampu mengungkap dan menjelaskan asal-usul sejarah,
perkembangan lembaga dan budaya lokal.
Kajian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian antropologi. Ilmu antropologi
adalah ilmu tentang manusia khususnya tentang kebudayaan, adat-istiadat serta
tradisi. Dalam penelitian ini pendekatan antropologi mampu mengungkap dan
menjelaskan sejarah, perkembangan masyarakat dan budaya lokal, dan mampu
mengungkap nilai-nilai di dalam masyarakat.
Dengan
demikian manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena
dalam kehidupannya tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan,
setiap hari manusia melihat dan menggunakan kebudayaan, bahkan kadang kala
disadari atau tidak manusia merusak kebudayaan. Interaksi sosial tersebut
merupakan suatu proses, dimana timbul hubungan timbal balik antarindividu dan
antarkelompok, serta antarindividu dengan kelompok. Karena proses tersebut maka
akan timbul: kelompok sosial, kebudayaan, lembaga-lembaga sosial, stratifikasi
sosial, dan kekuasaan dan wewenang.
B.Metode Penelitian
Penelitian
ini termasuk penelitian kualitatif, David
William mendefinisikan penelitian kualitatif adalah pengumpulan data padasuatu
latar alamiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh
orangatau peneliti yang tertarik secara alamiah.[15] Sedang
jenis penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah jenis deskriptif kualitatif
yang mempelajari masalah-masalah yang ada serta tata cara kerja yang berlaku.
Dalam
penelitian ini penulis menggunakan dua macam pendekatan yakni pendekatan
sosiologi dan pendektan antropologi. Untuk jelasnya dapat diperhatikan sebagai
berikut: Pendekatan Antropologi adalah penelitian tentang ilmu
sosial yang mempelajari asal–usul dan hubungan sosial manusia atau ilmu tentang
struktur dan fungsi tubuh manusia. Pendekatan
Sosiologi Dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan sosiologi.
William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf menuturkan Sosiologi adalah penelitian
secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.[16]
Dengan demikian, jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif dan
mengunakan pendekatan sosiologi dan antropolgi yang sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai, yaitu ingin mendapatkan pemahaman yang lengkap mengenai pokok
permasalahan yang diteliti sehingga menjawab rumusan masalah yang dipersoalkan.
C.Hasil dan Pembahasan
I.Asal – Usul Masyarakat
Lubuk Linggau
Ketika Belanda mengusai Kesultanan Palembang,
mereka berupaya menguasai daerah kesultanan sampai jauh ke daerah pedalaman
melalui kegiatan ekspedisi untuk melebarkan sayap kekuasaannya dengan membuka
daerah-daerah koloni baru. Pada akhirnya mereka tiba di satu daerah Kesultanan
Palembang yang bernama Negeri Ulak Lebar. Daerah ini dipimpin oleh seorang
pemimpin tradisional dengan gelar Depati.
Letak dan kondisi Negeri Ulak Lebar tidak
memungkinkan untuk perkembangan ke depan. Wilayahnya berada di kawasan dataran
sempit memanjang dari barat ke timur di selatan kaki Bukit Sulap dan di sebelah
utara daerah aliran sungai Kelingi.[17]
Sumber kehidupan pokok masyarakat Negeri Ulak Lebar pada umumnya adalah bidang
pertanian dan perkebunan. Bidang perkebunan masyarakat menanam kapas dan karet,
sedangkan untuk bidang pertanian yang utama dikerjakan oleh masyarakat adalah
menanam padi.
Selain bertani dan berkebun penduduk Ulak Lebar juga melakukan
aktivitas merambah hutan untuk mencari biga dan damar. Berdasarkan kepentingan
pengaturan dan pengawasan secara praktis oleh Pemerintah Hindia Belanda,
masyarakat yang mendiami daerah tersebut (Negeri Ulak Lebara) akhirnya
dipindahkan ke daerah pemukiman baru. Proses pemindahan tersebut memakan waktu
yang cukup lama dan proses yang sangat sulit karena penduduk tidak ingin
meninggalkan negeri leluhur mereka.
Hingga pada kepemimpinan Depati Japar tahun
1850, masyarakat Negeri Ulak Lebar bersedia dipindahkan oleh pemerintah Hindia
Belanda untuk mendiami daerah pemukiman baru yang telah disediakan. Wilayah ini
berada di daerah yang sangat strategis untuk perkembangan yang akan datang.
Pesatnya pertumbuhan usaha perkebunan yang ada di daerah sekitarnya membawa
pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan daerah ini untuk masa yang akan
datang. Daerah yang tadinya merupakan hutan belukar berubah menjadi pemukiman
kecil tempat penduduk yang berasal dari negeri Ulak Lebar dengan sebutan Dusun
Linga. Daerah pemukiman tersebut dibentuk menjelang berakhirnya masa pemerintahan
Depati Japar di Negeri Ulak Lebar. Daerah pemukiman baru bagi masyarakat Negeri
Ulak Lebar ini sekarang dikenal dengan nama Sindang
Kelingi atau Lubuklinggau.[18]
Tahun
1929 status Lubuklinggau adalah sebagai ibukota Marga Sidang Kelingi Ilir,
dibawah Onder District Musi Ulu. Onder district Musi Ulu sendiri ibukotanya
adalah Muara Beliti. Tahun 1933 ibukota Onder District Musi Ulu dipindah dari
Muara Beliti ke Lubuklinggau. Tahun 1942–1945 Lubuklinggau menjadi ibukota
kewedanaan Musi Ulu dan dilanjutkan setelah kemerd ekaan.
Pada waktu Clash I
tahun 1947, Lubuklinggau dijadikan ibukota pemerintahan Provinsi Sumatera
Bagian Selatan. Tahun 1948 Lubuklinggau menjadi ibukota Kabupaten Musi Ulu
Rawas dan tetap sebagai Ibukota Keresidenan Palembang. Pada tahun 1956
Lubuklinggau menjadi ibukota daerah Swatantra tingkat II Musi Rawas.
Tahun 1981
dengan peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 38 tanggal 30 Oktober 1981
Lubuklinggau ditetapkan statusnya sebagai Kota Administratif. Tahun 2001 dengan
undang- undang republik Indonesia nomor 7 tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001
Lubuklinggau statusnya ditingkatkan menjadi kota. Pada tanggal 17 oktober 2001 Kota
Lubuklinggau diresmikan menjadi daerah otonom.
2.Identitas
Melayu Masyarakat Lubuk Linggau
Pembentukan identitas Melayu dalam konteks ini
dimulai sejak Islam masuk ke wilayah ini. Namun belum ditemukan hasil hasil
kajian yang dapat menunjukkan kapan persisnya awal mula penggunaan istilah
Melayu sebagai identitas etnik di Lubuk Linggau, Melayu digunakan untuk menyebut
identitas penduduk Lubuk Linggau yang beragama Islam. Dari segi demografi
Lubuklinggau berbeda dengan Palembang sebagai Ibukota Sumatera Selatan, tetapi
tetap satu rumpun yaitu Melayu.
Kebudayaan Lubuklinggau sebenarnya merupakan
perpaduan antara Melayu dan Jawa. Hal ini terjadi berdasarkan letak geografis
yang strategis yaitu merupakan jalur penghubung antara pulau Jawa dengan
kota-kota bagian Utara pulau Sumatera, salah satunya Kota Lubuklingggau.
Transportasi kendaraan yang datang dan pergi membuat warga Lubuklinggau mudah
menyerap dan berakulturasi dengan budaya tersebut. Perkawinan merupakan salah
satu cara mempersatukan dua kebudayaan yang berbeda. Perkawinan antar suku
bangsa (amalgamasi) cukup banyak berlangsung. Perkawinan campuran yang paling banyak
berlangsung adalah antara orang Lembak (Salah satu suku di Lubuklinggau asli)
dengan orang Jawa sehingga terjadi akulturasi.
Tetapi adat perkawinan yang masih terjaga
kermuniannya sebagai identitas ke melayu masyrakat Lubuk Linggau dan Masih
tergaja saat ini ialah Mandi kasai dan tradisi hanya di miliki oleh masyarakat
Lubuk Linggau dan tidak ada akulturasi di tradisi yang mendalam, tradisi
merupakan identitas yang berfungsi untuk mengintegrasikan seluruh masyarakat
dan kelompok kecil masyarakat tersebut. Setiap kelompok akan dikenali oleh
kelompok lain dengan perbedaan adatnya.
3.Sistem kekerabatan di Lubuk Linggau
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat
penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem
kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur
sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unitunit sosial
yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan
perka winan (genealogis).
Kekerabatan adalah lembaga yang bersifat umum dalam
masyarakat dan memainkan peranan penting pada aturan ting kah laku dan susunan
kelompok. Ia adalah bentuk dan alat hu bungan sosial. Unsur - unsurnya ialah
keturunan, perkawinan, hak dan kewajiban serta istilah-istilah kekerabatan.
Secara kese luruhan, unsur ini merupakan suatu sistem dan dapat dilihat sebagai
pola tingkah laku dan sikap para anggota masyarakat.
Setiap masyarakat mengenal
hubungan sosial, baik karena keturunan darah, akibat perkawinan, maupun karena
wasiat. Jaringan-jaringan hubungan sosial ini merupakan sebagian dari struktur
sosial masyarakat, baik sederhana maupun kompleks.
Keluarga inti (nuclear family) biasanya terdiri
dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka. Masyarakat lubuk linggau seperti
cenderung pada bentuk keluarga ini di mana satu rumah dihuni oleh satu keluarga
inti saja. Bila ada yang berbeda, itu berarti ada anggota keluarga di luar
keluarga inti yang ditampung. Biasanya haruslah keluarga dekat sedarah seperti
kakek/nenek, sepupu, keponakan, dan sebagainya apabila diperlukan.
Keluarga
di lubuk linggau umumnya disebut Sindang berasal dari marga masyarakat yang terletak
di daerah aliran tiga sungai besar, yaitu Sungai Kelingi, Beliti, dan Lakitan.
Di sekitar ketiga aliran sungai tersebut terdapat marga yang berdasarkan
wilayah hukumnya disebut Sindang.
Silsilah keluarga di lubuk linggau dapat di telusuri
dari buyut sampai piyut
a.
Buyut
b. Puyang
c.
Kakek
d. Ayah
e.
Anak
f.
Cucu
g.
Piyut
Tabel 2 : Istilah – Isitilah
kekerabatan dalam Masyarakat lubuk linggau
Istilah Indonesia
|
Istilah lubuk linggau
|
Ayah, Bapak
|
Bak
|
Ibu
|
Mak
|
Kakak laki – laki
|
Koyong
|
Kakak perempuan
|
Kopek
|
Mertua laki – laki
|
Bak
|
Mertua perempuan
|
Mak
|
Kakek
|
Nek nang
|
Nenek
|
Nek no
|
Sepupuh
|
Dulur
|
Keponakan
|
Nakan Ku
|
Kakak ipar
|
Ipoh
|
Anak laki – laki
|
Anak bujang, koyong, lanang, jang
|
Anak perempuan
|
Anak tine, kopek
|
4.Sistem Marga di
Lubuk Linggau
Marga pada dasarnya adalah daerah teritorial di
bawah kekuasaan Kesultanan Palembang. Marga merupakan satuan pemerintahan yang
membawahi beberapa dusun di bawah pimpinan seorang pesirah/depati.
Panggilan pesirah/depati adalah pangeran. Ia bertindak sebagai kepala
hukum adat yang menjalankan keputusan dan undang-undang serta ketentuan yang
tercantum dalam piagam yang dikeluarkan oleh Sultan. Aturan mengenai sistem
marga yang harus diikuti oleh pesirah/depati ini tercantum dalam
Undang-undang Simbur Cahaya.
Undang-undang ini dibuat pertama kali tahun 1630
oleh Kesultanan Palembang. Undang-undang ini digunakan di seluruh wilayah
Kesultanan Palembang sebagai hukum adat tertulis. Kemudian ketika Belanda
menguasai wilayah Kesultanan Palembang, dan melanjutkan sistem pemerintahan
Marga, tahun 1854 Undang-undang Simbur Cahaya disusun kembali oleh Van Bossche.
Isi dalam Undang-undang Simbur Cahaya tersebut masih mengikuti isi dari
Undang-undang Simbur Cahaya yang disusun oleh Kesultanan Palembang, hanya ada
penyesuaian dengan peraturan pemerintah Hindia Belanda.[19]
Dilihat dari struktur garis keturunan dan
kekerabatan, masyarakat Lubuk Lingau memiliki kesamaan dengan struktur garis
keturunan dan kekerabatan masyarakat sumatera selatan pada umumnya, yaitu
patrilineal yang mengikuti garis ayah, berkembang di daerah lubuk linggau
sendiri marga menjadi sebuah ikatan kekeluarga dan pada saat dewasa kini marga
pun berkembang menajdi sebuah sistem pemerintahan khususunya di wilayah–wilayah
Sumatera Selatan.
Secara kronologis tidak ditemukan tulisan mengenai sejarah
perkembangan kesatuan pemerintahan yang disebut Marga. Menurut van Royen dalam
catatannya tentang Marga di Palembang, ia menggambarkan perkiraan perkembangan
sistem Marga dalam beberapa tahap. Tahap yang tertua ialah adanya rumpun orang
yang hidup mengembara dan berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat yang
lain yang disebut nomad, yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap.
Marga di lubuk linggau didapati hubungan
kekeluargaan yang erat, biar pun sudah berpisah tempat tinggal dari dusun induk
karena status mereka masih satu keturunan dari satu nenek moyang. Pada tahap
permulaan perkembangan ini masih tetap dirasakan ikatan kekeluargaan satu
keturunan. Seiring berjalannya waktu, dalam perkembangan selanjutnya didapati
masyarakat dari luar yang menetap dan menempati areal tersebut dan Dusun-dusun
yang disebut Marga ini membentuk dua atau lebih rumpun serikat sendiri dengan
anggotanya masih keturunan dari satu nenek moyang.
Wilayah dusun atau negeri yang merupakan kesatuan
suku atau hukum adat dalam wilayah pengawasan Sindang Kelingi dihimpun ke dalam
Marga-Marga, yaitu: wilayah yang meliputi Dusun Kepala Curup, Padang Ulak
Tanding, dan beberapa dusun lainnya sampai dengan perbatasan Lubuk Durian masuk
ke dalam Marga Sindang Kelingi.
Kemudian untuk Dusun Lubuk Durian, Dusun Kayu
Ara, Dusun Lubuk Tanjung, Dusun Lubuk Linggau, Dusun Kandis dan Dusun Batu Urip
Tue (Tarwe) masuk dalam Dusun Marga Sindang Kelingi Ilir, dengan kepala
Marganya berkedudukan di Dusun Lubuklinggau. Oleh karena itu Dusun Lubuklinggau
berstatus sebagai Dusun Marga tempat kedudukan kepala Marga Sindang Kelingi
Ilir yang membawahi beberapa dusun.[20]
No
|
Nama Dusun
|
1
|
Lubuk durian
|
2
|
Kayu ara
|
3
|
Lubuk Tanjung
|
4
|
Lubuk Linggau
|
5
|
Kandis
|
6
|
Batu Urip Tue (Tarwe)
|
7
|
Kepala curup
|
8
|
Padang Ulang Tanding
|
Semua
dusun yang ada di Sindang Keliling atau lubuk linggau ini semuanya
serumpun dari mulai Bahasa, Sebagai makhluk sosial, manusia tidak
terlepas dari bahasa. Hal ini karena bahasa digunakan sebagai alat interaksi
dan komunikasi antar anggota masyarakat satu dengan anggota lainnya dalam
lingkungan bahasa “cul” lebih dikenal
oleh masyarakat Kota Lubuk Linggau karena dalam percakapan sehari-hari frekuensi
pemunculan kata “cul” sangat tinggi.
Kata “cul” merupakan salah
satu kata dari bahasa Sindang yang berarti “tidak”. Karena perhatian masyarakat
lebih tertumpu pada penggunaan bahasa tersebut, maka masyarakat mengatakan itu
bahasa “cul, bahasa Sindang merupakan salah satu bahasa daerah di Provinsi
Sumatera Selatan dan Bengkulu. Bahasa tersebut tumbuh dan berkembang sebagai
alat komunikasi, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat.
Sistem mata pencahrian
masyarakat Lubuk Linggau bertani ke Ume (ladang) aktivitas merambah hutan untuk
mencari biga dan damar, Biga merupakan bahan campuran porselin yang sangat
diminati oleh orang Cina yang diambil dari dari endapan cairan yang terdapat di
dalam batang bamboo. Damar merupakan sejenis getah kayu kering yang digunakan
sebagai campuran cat.
Setelah itu berdasarkan Keputusan Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan nomor: 142 tahun 1983, sistem
pemerintahan Marga dihapuskan. Meskipun demikian, status Marga-Marga tetap
diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dengan sebutan Lembaga Adat
sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan dan Ketahanan Nasional. Maka
status Marga Sindang Kelingi Pun di bubarkan.
Adat istiadat dan kesenian pun
Masyarakat Sidang kelingi atau masyarakat Lubuklinggau mempunyai kebudayaan
daerah yang khas yang tak kalah pentingnya dengan yang lain. Terdapat beberapa
warisan Seni dan budaya di Lubuklinggau
ini diataranya musik Tanjidor dan Upacara seni Mandi Kasai, beberapa kesenian
daerah dan Event tradisional ada senjang, berejung, bepantun, Tari sambut
silampari khayangan tinggi, tari lawan mendak, tari piring gelas, tari senjang
dan tari kreasi daerah.
Setelah
pemerintahan Marga dihapuskan Masyarakat Lubuk Linggau Pun Masih dalam Kesatuan
Ikatan Kekeluargaan tetapi lebih arah modern, Lembaga
Adat berfungsi bersama pemerintah merencanakan, mengarahkan, mensinergikan
program pembangunan agar sesuai dengan tata nilai adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat demi terwujudnya
keselarasan, keserasian, keseimbangan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat
Selain itu, Lembaga adat berfungsi sebagai alat kontrol keamanan, ketenteraman,
kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik preventif maupun represif, antara
lain:
a.Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan.
b.Penengah (Hakim Perdamaian) mendamaikan sengketa yang timbul di masyarakat.
Lembaga Pemangku adat telah menerapkan dan melestarikan adat isitidat, Melestarikan tidak berarti membuat sesuatu menjadi awet dan tidak mungkin punah. Melestarikan berarti memelihara untuk waktu yang sangat lama. Jadi upaya pelestarian warisan budaya lokal berarti upaya memelihara warisan budaya lokal untuk waktu yang sangat lama. Karena upaya pelestarian merupakan upaya memelihara untuk waktu yang sangat lama maka perlu dikembangkan pelestarian sebagai upaya yang berkelanjutan.
a.Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan.
b.Penengah (Hakim Perdamaian) mendamaikan sengketa yang timbul di masyarakat.
Lembaga Pemangku adat telah menerapkan dan melestarikan adat isitidat, Melestarikan tidak berarti membuat sesuatu menjadi awet dan tidak mungkin punah. Melestarikan berarti memelihara untuk waktu yang sangat lama. Jadi upaya pelestarian warisan budaya lokal berarti upaya memelihara warisan budaya lokal untuk waktu yang sangat lama. Karena upaya pelestarian merupakan upaya memelihara untuk waktu yang sangat lama maka perlu dikembangkan pelestarian sebagai upaya yang berkelanjutan.
Oleh
karena itu, strategi pelestarian adat istiadat dan budaya lokal di dalam
pembangunan Strategi yang dilaksanakan oleh Lembaga Pemangku adat dan
Pemerintah dapat dilakukan melalui pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) dan
masyarakat. Secara konkret, pemikiran tersebut didasarkan pada alasan
bahwa masyarakat lokal tidak dapat diabaikan dalam segala kegiatan yang
menyangkut keberadaan dan keberlangsungan warisan budaya di sekitarnya.
C.Kesimpulan
Kekerabatan adalah lembaga yang bersifat umum
dalam masyarakat dan memainkan peranan penting pada aturan ting kah laku dan
susunan kelompok. Ia adalah bentuk dan alat hu bungan sosial. Unsur-unsurnya
ialah keturunan, perkawinan, hak dan kewajiban serta istilah-istilah
kekerabatan. Marga di lubuk linggau didapati hubungan kekeluargaan yang erat.
Biar pun sudah berpisah tempat tinggal dari dusun induk karena status mereka
masih satu keturunan dari satu nenek moyang. Pada tahap permulaan perkembangan
ini masih tetap dirasakan ikatan kekeluargaan satu keturunan. Seiring
berjalannya waktu, dalam perkembangan selanjutnya didapati masyarakat dari luar
yang menetap dan menempati areal tersebut dan Dusun-dusun yang disebut Marga
ini membentuk dua atau lebih rumpun serikat sendiri dengan anggotanya masih
keturunan dari satu nenek moyang.
Wilayah dusun atau negeri yang merupakan kesatuan suku
atau hukum adat dalam wilayah pengawasan Sindang Kelingi dihimpun ke dalam
Marga-Marga, yaitu: wilayah yang meliputi Dusun Kepala Curup, Padang Ulak
Tanding, dan beberapa dusun lainnya sampai dengan perbatasan Lubukdurian masuk ke
dalam Marga Sindang Kelingi.
Kemudian untuk Dusun Lubuk Durian, Dusun Kayu Ara, Dusun
Lubuk Tanjung, Dusun Lubuk Linggau, Dusun Kandis dan Dusun Batu Urip Tue
(Tarwe) masuk dalam Dusun Marga Sindang Kelingi Ilir, dengan kepala Marganya
berkedudukan di Dusun Lubuk Linggau Sindang Keliling atau Lubuk Linggau
ini semuanya serumpun dari mulai Bahasa, Sebagai makhluk
sosial, manusia tidak terlepas dari bahasa. Hal ini karena
bahasa digunakan sebagai alat interaksi dan komunikasi antar anggota masyarakat
satu dengan anggota lainnya dalam lingkungan
bahasa “cul.”
Oleh : Alvin Are
Tunang.
Editor. Desti. S. Sos.
Palembang, 19 April 2020.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad Ashsubli, Islam Dan Kebudayaan Melayu Nusantara
(Sinar Media Abadi : Jakarta, 2018)
Ethnic Malay, Diakses melalui :
http://en.wikipedia.org/wiki. EtnichMalays pada 25 februari 2020.
Muhammad Syawaludin, Melayu Social Siasat On The Rakit House
Community In Palembang, ( Dinika Academic Jounal Of Islamic Student Volume
3 No. 3, 2018).
Muslimin,
Amran. Sejarah Ringkas Perkembangan
Pemerintahan Marga/Kampung Menjadi Pemernitah Desa/Kelurahan dalam Propinsi
Sumatra Selatan. (Pemerintahan Provinsi Sumatra Selatan. : Palembang, 1986)
Yusriadi,
Identitas Dayak dan Melayu Di Kalimantan Barat, (PSBMB IAIN Pontianak :
2018)
Essi hermsliza dalam penelitiannya “Sistem Kekerabatan Suku
Bangsa Kluet Di Aceh” Jurnal, 2011.
Eka Apriyanti dan Reiza D.
Dienaputra dalam penelitiannya yang berjudul “Pemerintahan Marga Di
Lubuklinggau Tahun 1855-1983”,
Jurnal, 2015.
Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitaian Sejarah Islam,
(Yogyakarta: Ombak, 2011),
Meity
Taqdir Qodratillah dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011),
Wahyu
Nur Mulya, “Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial”,
blog.unnes.ac.id/warungilmu/2015/12/18/perbedan-kesetaraan-dan-harmoni-sosial-sosiologi
(25 februari 2020)
Yusriadi, Identitas Dayak dan Melayu Di Kalimantan Barat,
(PSBMB IAIN Pontianak : 2018)
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian
Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung :PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2006).
Ida Zahara Adibah, Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam (Semarang: jurnal ispirasi,
2017) H.
Situs Ulak Lebar terletak di Kelurahan Sidoarjo, Kec. Lubuklinggau
Barat, Kab. Musi Rawas. Lokasi ini ditandai dengan Bukit Sulap, Sungai Kelingi,
Sungai Kasie dan Sungai Ketue (Laporan Kegiatan Survey Investigasi Cagar Budaya
dan Benda Purbakala 1995/1996).
Suwandi, Sejarah Museum SUBKOSS Garuda Sriwijaya di Lubuklingau. (Yayasan SUBKOSS : Lubuk Linggau, 2002).
[1]
Muhammad Ashsubli, Islam Dan Kebudayaan Melayu Nusantara (Sinar Media
Abadi : Jakarta, 2018) Hal. 3
[2] Ethnic Malay, Diakses melalui :
http://en.wikipedia.org/wiki. EtnichMalays pada 25 februari 2020.
[3]Muhammad
Ashsubli, Islam Dan Kebudayaan Melayu Nusantara (Sinar Media Abadi :
Jakarta, 2018) Hal. 23–24.
[4]Muhammad
Syawaludin, Melayu Social Siasat On The Rakit House Community In Palembang,
( Dinika Academic Jounal Of Islamic Student Volume 3 No. 3, 2018) Hal 300
[5] Muslimin, Amran. Sejarah Ringkas Perkembangan Pemerintahan Marga/Kampung
Menjadi Pemernitah Desa/Kelurahan dalam Propinsi Sumatra Selatan.
(Pemerintahan Provinsi Sumatra Selatan. : Palembang, 1986) hal 9
[6]Yusriadi,
Identitas Dayak dan Melayu Di Kalimantan Barat, (PSBMB IAIN Pontianak :
2018)
[7]Essi
hermsliza dalam penelitiannya “Sistem Kekerabatan Suku Bangsa Kluet Di Aceh”
Jurnal, 2011.
[8]
Muhammad Syawaludin, Melayu Social Siasat On The Rakit House Community In
Palembang, ( Dinika Academic Jounal Of Islamic Student Volume 3 No. 3,
2018) Hal 300
[9] Eka
Apriyanti dan Reiza D. Dienaputra dalam
penelitiannya yang berjudul “Pemerintahan Marga Di Lubuklinggau Tahun 1855-1983”, Jurnal, 2015.
[10] Dudung
Abdurrahman, Metodologi Penelitaian Sejarah Islam, (Yogyakarta: Ombak,
2011), h. 126.
[11]Meity
Taqdir Qodratillah dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011),
156.
[12]Ibid,
hal 506
[13]Wahyu
Nur Mulya, “Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial”, blog.unnes.ac.id/warungilmu/2015/12/18/perbedan-kesetaraan-dan-harmoni-sosial-sosiologi
(25 februari 2020)
[14]Yusriadi,
Identitas Dayak dan Melayu Di Kalimantan Barat, (PSBMB IAIN Pontianak :
2018) Hal. 3
[15] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif
Edisi Revisi, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2006), h. 5.
[16] Ida Zahara Adibah, Pendekatan
Sosiologi Dalam Studi Islam (Semarang: jurnal ispirasi, 2017) H. 6
[17]
Situs Ulak Lebar terletak di Kelurahan Sidoarjo, Kec. Lubuklinggau Barat, Kab.
Musi Rawas. Lokasi ini ditandai dengan Bukit Sulap, Sungai Kelingi, Sungai
Kasie dan Sungai Ketue (Laporan Kegiatan Survey Investigasi Cagar Budaya dan
Benda Purbakala 1995/1996).
[18]
Suwandi, Sejarah Museum SUBKOSS Garuda Sriwijaya di Lubuklingau. (Yayasan SUBKOSS : Lubuk Linggau, 2002) hal
22
[19]Eka
Apriyanti dan Reiza D. Dienaputra dalam
penelitiannya yang berjudul “Pemerintahan Marga Di Lubuklinggau Tahun 1855-1983”, (Jurnal Universitas
Padjadjaran : Bandung), 2015.
[20]Eka Apriyanti dan Reiza D. Dienaputra dalam penelitiannya
yang berjudul “Pemerintahan Marga Di Lubuklinggau Tahun 1855-1983”, (Jurnal Universitas
Padjadjaran : Bandung), 2015. Hal 15.
Sy. Apero Fublic
Via
Sejarah Islam
Post a Comment