Sejarah Islam
Ulama Dalam Perspektif Islam Di Indonesia
Abstrak
Ulama merupakan pewaris para nabi, sumber peta
bagi manusia yang harus kita hormati, yang dimaksud dengan Ulama adalah orang yang berilmu, dan dengan ilmunya itu ia menjadi amat takut
kepada Allah SWT. Sehingga, ia bukanlah orang yang durhaka. Setiap Ulama harus mampu mengemban misi para Nabi kepada seluruh masyarakat, dalam keadaan sangat
sulit sekalipun Umat
menegakkan Islam pada setiap sisi kehidupan menuntut peran aktif
dengan perjuangan, kesabaran,
keihklasan, dan sikap tawakal.
Peranan Ulama dalam
kehidupan masyarakat beragama dalam memimpin dan membangun
sebuah moral dan
pemikiran yang agamis
di kalangan masyarakat memang sangatlah menarik, demi
terciptanya manusia yang utuh dan memberi kemajuan
dalam aspek lahiriah
maupun batiniah. Proses
Islamisasi di Indonesia merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam
sejarah Islam di Indonesia, beberapa pertanyaan sampai saat ini masih menjadi
polemik para ahli sejarah, karena hal ini memang tidak bisa dilepaskan dari
sudut pandang data yang ditemukan.
Dapat
di katakan awal islamisasi di indonesia nama ulama belum terdengar ikut banyak
andil terhadap proses islamisasi di Indonesia tetapi, Proses islamisasi di
Nusantara tidak bisa di pisahkan dari peran sentral para ulama, keberadaan
ulama bisa disebut paling berjasa dalam memperkenalkan islam ke masyarakat
Nusantara. Kerajaan–kejaraan di Nusantara perlahan-lahan sudah di Islamkan
berkat peran ulama.
Keyword:
Ulama Indonesia
Pendahuluan
Ulama memiliki banyak makna, yang sangat
indentik dengan keahlianya dalam ilmu agama, Setiap Ulama harus mampu mengemban misi para Nabi kepada seluruh masyarakathal ini tidak
lain merupakan usaha untuk memahamkan Islam kepada masyarakat melalui kegiatan
pendidikan dan penyiaran agama islam.
Dalam perkembangannya ulama Indonesia, secara umum, dijumpai
beberapa gelar atau sebutan yang diperuntukan bagi ulama. Menurut ibnu qayyium
isma’il, di daerah Jawa Barat (Sunda) Misalnya, orang Menyebut ulama dengan ajengan.
Di
Sumatera Barat (Minangkabau), ulama disebut dengan Buya. di aceh, dengan
pangilan tengku, di Sulawesi Selatan dipanggil dengan nama tofanrita, di Madura disebut dengan nun atau bandara, yang
dsingkatra. Sementara itu, di Lombok atau di sekita Nusa Tenggara orang
memanggilnya tuan guru.[1]
Perkembangan posisi dan peran ulama di
indonesia dalam kehidupan masyarakat beragama dalam memimpin dan membangun sebuah moraldan pemikiran yang agamis
di kalangan masyarakat memang
sangatlah menarik,demi terciptanya manusia yang utuh dan memberi kemajuan dalamaspek lahiriah maupun
batiniah.
Posisi danperan ulama ini menyebarkan agama islamjuga membuat
mereka dekat dengan masyarakat, seiring bejalannya waktu ulama dimanfaatkan
oleh pemertintah untuk sarana penghubung antara umat muslim dengan penguasa,
inilah yang menyebabkan ulama memiliki peran sosial-keagamaan dan
politik-keagamaan.
Untuk
dapat mengendalikan penelitian dan
memperjelas ruang lingkup penelitian, dengan tujuan mendapatkan hasil uraian
penelitian secara sistematis.Pembatasan yang dimaksudkan agar peneliti
tidak terjerumus ke dalam banyaknya data yang ingin diteliti.[2]
Agar
tidak menimbulkan terlalu luasnya penafsiran dan agar penelitian ini menjadi fokus, maka di sini penulis perlu memberi
batasan masalah sehingga penelitian ini nantinya akan terpusat pada permasalahan
yang diteliti dan juga lebih terarah. Dalam penelitian ini, Penulis berfokus
kepada Pengertian Ulama dan Tipologi ulama Indonesia.
Landasan Teori
Dalam
penelitian ini penulis menggunakan teori sejarah
, Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ada
keterkaitan erat antara ulama dan masyarakat Indonesia. Ulama
bentuk dari kata
alim yang berarti
orang yang ahli dalam pengetahuan
agama Islam. Kata alim adalah kata benda dari kata kerja alima yang artinya “mengerti atau mengetahui.”
Di Indonesia, kata Ulama yang menjadi kata
jama’ alim, umumnya diartikan sebagai “orang yang berilmu.” Kata Ulama ini bila dihubungkan dengan perkataan lain. Seperti Ulama hadist, Ulama tafsir dan
sebagainya. Mengandung arti yang luas, yakni meliputi semua orang yang berilmu. Apa saja ilmunya, baik ilmu agama Islam maupun ilmu lain.
jama’ alim, umumnya diartikan sebagai “orang yang berilmu.” Kata Ulama ini bila dihubungkan dengan perkataan lain. Seperti Ulama hadist, Ulama tafsir dan
sebagainya. Mengandung arti yang luas, yakni meliputi semua orang yang berilmu. Apa saja ilmunya, baik ilmu agama Islam maupun ilmu lain.
Menurut pemahaman
yang berlaku sampai sekarang. Ulama adalah mereka yang ahli atau
mempunyai kelebihan dalam bidang ilmu dalam agama Islam. seperti ahli dalam tafsir, ilmu hadist, ilmu kalam, bahasa Arab dan paramasastranya seperti saraf, nahwu, balagah dan sebagainya.[3]
mempunyai kelebihan dalam bidang ilmu dalam agama Islam. seperti ahli dalam tafsir, ilmu hadist, ilmu kalam, bahasa Arab dan paramasastranya seperti saraf, nahwu, balagah dan sebagainya.[3]
Syekh Nawawi Al-Bantani berpendapat bahwa
Ulama adalah orang - orang yang menguasai
segala hukum syara’ untuk menetapkan sah itikad maupun amal
syariah lainnya. Sedangkan Dr. Wahbah az-Zuhaili berkata “secara naluri, Ulama adalah orang-orang yang mampu menganalisa
fenomena alam untuk kepentingan hidup
dunia dan akhirat serta takut ancaman Allah jika terjerumus kedalam
kenistaan. Orang yang maksiat hakikatnya bukan Ulama.[4]
Metode
Penelitian
Metode
penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan
kegunaan tertentu. Metode adalah cara, prosedur, atau teknik untuk mencapai
suatu tujuan secara efektif dan efisien.[5]
Penelitian
ini termasuk penelitian kualitatif, David William mendefinisikan penelitian kualitatif
adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan menggunakan
metode alamiah, dan dilakukan oleh orangatau peneliti yang tertarik
secara alamiah.[6] Sedang jenis penelitian yang dipakai oleh peneliti
adalah jenis deskriptif kualitatif yang mempelajari masalah-masalah yang ada serta
tata cara kerja yang berlaku.
Tipologi Ulama
Indonesia
Tipologi
berasal dari Tipo yang berarti pengelompokan dan Logos yang berarti ilmu, jadi
tipologi adalah pengetahuan yang berusaha menggolongkan atau mengelompokkan
manusia menjadi tipe–tipe tertentu atas dasar faktor–faktor tertentu, misalnya
karakteristik fisik, psikis, pengaruh dominan, nilai–nilai budaya, dan
seterusnya.[7]
Dalam
pertumbuhan dan pengembangannya, ulama di Indonesia dapat dikategorikan menjadi
4 tipe ulama:
Tipe
Pertama, adalah golongan ulama yang
merangkap sebagai penguasa pusat
pemerintahan. Termaksud golongan ini ialah Sunan Giri dengan keterangannya
dan Sunan Gunung Jati. Pemimpin agama itu mempunyai reputasi tinggi dalam
bidang keagamaan, politik kenegaraan, dan otoritas sebagai pentahbis para
sultan di Jawa sebelum Mataram.
Tipe
kedua, adalah golongan ulama yang masih berdarah bangsawan. Hal ini dapat
terjadi, karena sering para bangsawan ataupun raja mengawinkan puteranya dengan
ulama, atau keluarga ulama. Ulama yang golongan kedua ini antara lain Ki Ageng
Pandan Arang, Sayid Kalkum, dan Panembahan Rama atau kyai kajoran. Yang disebut
teakhir ini (kajoran) justru masih keturunan panembahan Senopati, raja Mataram
pertama (pendiri kerajaan Mataram).
Tipe
ketiga, adalah golongan ulama sebagai alat birokrasi kerajaan/tradisonal. Ulama
birokrat bertugas pada upacara keagamaan kraton, pernikahan keluarga rakyat
raja, urusan tempat ibadah, dan makam. Disamping itu pada masa belanda golongan
ulama ini disebut sebagai Penghulu Agama
dari segi sosial keagamaan ulama birokrat duduk di pemerintahan artinya
penghulu sebagai pemimpin yang mengurusi masalah – masalah agama.
Tipe
keempat, adalah Golongan Ulama
Pedesaan Atau Ulama Rakyat.yang hidup di pedesaan tidak memiliki hubungan
birokrasi. Kaum ulama ini berkerja sendiri atau independen menurut kemauannya
sendiri untuk mengembangkan agama islam di daerahnya. Ulama desa ini lebih
akrab dengan rakyat, mereka di hormati sebagai eliti religius dan tempat
bertanya.[8]
Dari
keempat tipologi ulama diatas, dapat dilihat bahwa tipe pertama pada saat ini
sudah tidak ada lagi, sedangkan tipe kedua dan keempat merupakan ulama yang
didalam sejarah lebih independen, dan berani menyampaiakan secara tegas
kebenaran islam, meskipun harus bertentangan dengan penguasa. Ulama tipe ketiga
yaitu ulama birokrat lebih terikat dengan penguasa. Walaupun dapat digolongkan
dalam tipe–tipe diatas, para ulama ini selalu menyebarkan dakwah islam dengan
konsikuensinya.
Posisi dan Peran Ulama
Posisi
ulama pada masyarakat Indonesia terbagi dalam dua kelompok, kategori pertama adalah kelompok ulama bebas atau
ulama yang kedudukan peran sosialnya berada di jalur al–da’wah wa al–tarbiyah (dakwah dan pendidikan). Ulama kelompok
ini biasanya juga dengan kiai atau ulama pondok pesantren, tugas dari ulama
kategori ini adalah guru atau pengajar dan sekaligus sebagai penyiar (muballigh) agama.
Pekerjaan
ini tidak lain merupakan usaha untuk memahamkan Islam kepada masyarakat melalui
kegiatan pendidikan dan penyiaran agama islam, mereka membangun masyarakat
pedesaan di jawa, sehingga di pedesaan jawa banyak dijumpai tumbuhnya sistem
sosial yang struktur dan kultur sosialnya bercorak keislaman.[9]
Mereka
tidak digaji sebagai pegawai, tetapi “gajinya” diambilkan dari zakat yang
diberikan oleh umat islam dan dari pendapatnya sendiri. Ulama–ulama desa
mencari sumber kehidupannya berasal dari bercocok tanam dan pertanian secara
umum. Sementara itu, beberapa ulama perkotaan adalah para pedagang dan
berkeliling sampai tempat yang sangat jauh, karenanya, mereka mempunyai
hubungan yang sangat luas dengan komunitas lainya, terutama dengan para
pedagang arab yang sudah menetap di tempat–tempat itu.[10]
Kategori
kedua, adalah kelompok ulama pejabat atau yang disebut dengan penghulu. Soemarsaid Moertono dalam buku
Nor Huda, menduga bahwa Lembaga Kepenghuluan sudah ada sejak lama. Dugaan ini
didasarkan pada peran penghulu sebagai kepala para ulama di masjid di ibukota
kerajaan.[11]
Hal
ini lah secara berangsur–angsur, pengulu masuk dalam sistem pemerintahan
sebagai kepala suatu bagian pemerintahan khusus.[12] Kelompok
ulama pejabat ini mempunyai kedudukan atau peran sosial keagamaanya berada di
jalur al-tasyri’ wa al-qalda, dengan
kata lain, kelompok ulama pejabat mempunyai peran ulama sebagai pelaksana bidang
kehakiman yang meyangkut hukum (syariat) Islam.[13]
Peran Ulama merupakan pewaris para nabi,
sumber peta bagi manusia yang harus kita hormati, yang dimaksud dengan Ulama adalah orang yang berilmu, dan dengan ilmunya itu ia menjadi amat takut
kepada Allah SWT. Sehingga, ia bukanlah orang yang durhaka. Setiap Ulama harus mampu mengemban misi para Nabi kepada seluruh masyarakat, dalam keadaan sangat
sulit sekalipunUmat
menegakkan Islam pada setiap sisi kehidupan menuntut peran aktif
dengan perjuangan, kesabaran,
keihklasan, dan sikap tawakal.
Peranan Ulama dalam kehidupan masyarakat beragama dalam memimpin dan
membangun sebuah moral
dan pemikiran yang
agamis di kalangan masyarakat memang sangatlah menarik, demi terciptanya manusia yang utuh
dan memberi kemajuan
dalam aspek lahiriah
maupun batiniah.
Peranan
ulama dalam masyarakat menjadikan dirinya disebut ulama atau tidak, jadi paling
tidak, ada dua hal sebagai syarat minimal seseorang dapat disebut ulama : 1. Mempunyai
keilmuan yang tinggi setelah dia menempuh belajar yang cukup lama. 2.
Pengakuan masyrakat akan ketaatanya terhadap ajaran Islam.[14] Selain itu
ulama adalah orang yang selalu siap untuk memimpin baik dalam hal peribatan
agama maupun pemikiran agama, mereka juga sebagai penuntun spiritual, pemimpin
ritual keagamaan dan pemimpin masyrakat.[15]
Perkembangan
Ulama di Indonesia
Ulama pada dasarnya, merupakan suatu pengertian dalam konsep
sosial Karenanya, penelusuran lebih lanjut konsep ulama akan merunjuk suatu
pengertian tentang seorang yang menguasai ilmu pengetahuan. Di Indonesia,
ulama tetap merupakan suatu kelompok yang diakui eksistensinya, secara sosial
mereka dekat dengan rakyat, sebab hubungan tersebut lebih bersifat personal
daripada birokraris. Masyarakat memerlukan ulama untuk membimbing mereka ke
jalan yang benar dalam segala persoalan yang berkaitan dengan agama.[16]
Pada masa
jaya kerajaan-kerajaan Islam, peran ulama menonjol sebagai bagian dari
pejabat elite fungsinya memperkokoh kedudukan pemimpin yang duduk di
singgasana, karenanya tidak jarang penguasa meminta nasihat ulama ketika
melaksanaka kebijakanya, dalam mengatasi berbagai persoalan yang berkaiatan
dengan agama. Bahkan, tidak jarang para penguasa mengangkat ulama untuk
dijadikan sebagai penasihat, atau mufti kerajaan.[17]
Di Samudera
Pasai, pemerintah Islam menunjuk ulama yang punya kemampuan mumpuni
sebagai mufti resmi. Itu
berdasarkan keterangan Ibnu Batutah yang pernah tinggal selama 15 hari di
Samudera Pasai pada 1345 M. Dalam catatannya, al-Rihlat, Batutah menyebut fungsi mufti sangat penting
dalam kesultanan.
Sang mufti biasanya
duduk dalam ruang pertemuan bersama dengan sekretaris, para pemimpin tentara,
komandan, dan pembesar kerajaan. Ini pun terjadi di kerajaan Aceh, misalnya
ketika Sultan ‘Ala Al–Din Ri’ayat Syah memerintahkan, hamza al fansuri-
diangkat menjadi penasihat dan mufti kerajaan yang bertanggung jawab dalam
urusan keagamaan, bahkan tidak jarang Hamzah terlibat dalam urusan politik.[18]
Di
Jawa Ulama kemudian menjadi pemimpin komunitas santri atau masyarakat islam
sebelum adanya kerajaan islam di Jawa, pesantren giri dan gunumg jati pada awal
perkembangan islam di Jawa, merupakan pondok pesantren yang besar dan memiliki
pengaruh yang luas. Karena luasnya pengaruh kepempinan dan kharisma yang kuat,
dua pesantren itu menjadi panutan bagi beberapa pesantren sekitarnya. Giri
sebuah daerah enclave muslim di
wilayah Majapahit, merupakan pesantren yang kemudian berkembang menjadi
kerajaan kecil. Giri sebagai kerajaan kecil di pimpin oleh seorang ulama
bernama R. Paku atau sunan giri.[19]
Pada
masa belanda hubungan ulama birokrat dan ulama rakyat semakin memanas pada masa
ini antara lain disebabkan oleh tugas yang disebabkan oleh ulama birokrat
terhadap pendidikan islam yang dikelola oleh ulama rakyat, akibatnya timbul
sikap curiga antara keduanya dan menimnulkan sikap apatis atau bahkan oposisi,
terhadap kelompok lain. Kelompok ulama rakyat semisalnya.
Ulama
birokrat pada masa belanda disebut sebagai penghulu agama, isitilah penghulu
pada masa ini bermakna tiga: pertama,
penghulu sebagai pejabat agama seperti di jawa, kedua penghulu sebagai kepala adat seperti di minangkabau, dan ketiga seperti di riau penghulu disebut
sebagain kepala kampung. Istilah penghulu di palembang pun sama seperti
isitilah penghulu di jawa dan sunda.[20]
Di
masa kolonial tugas penghulu agama mendapat tugas baru yaitu : pertama, menjadi penasihat pada landraad
(pengadilan negeri), kedua,membantu
penarikan pajak (belasting), ketiga,
membantu pencatatan penduduk, keempat
mengawasi pendidikan agama,[21] perkembangan yang menarik dari tugas
penghulu mulai dilakuakanya berbagai
tugas yang besifat umum dalam membantu tugas pemerintahan.
Ruang
gerak yang sangat sempit dan pengawasan yang cukup ketat terhadap para kiai
atau ulama oleh pemerintahan Hindia Belanda membawa kesulitan tersendiri bagi
para kiai dan ulama untuk mendakwahkan islam, pada masa Belanda ulama cendrung
di musuhi, berbedah dengan jepang ulama di manfaatkan sebagai instrumen dalam
menyebarkan kebudayaan jepang (nipponisasi) di pedesaan.
Pada umumnya kedatangan balatentara Jepang itu disambut
secara antusias oleh rakyat Indonesia. Pada awalnya tentara Jepang menciptakan
hubungan yang baik dengan penduduk, sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan
mereka Bagi Jepang, Indonesia memiliki posisi geografis, ekonomis, dan politis
yang strategis untuk mendukung kepentingan perangnya melawan kolonialisme Barat
yang ketika itu masih meluas di Asia. Rakyat Indonesia, yang ketika itu masih
dalam belenggu penjajahan Belanda, menjadi salah satu faktor akselerasi
terbentuknya kekuasaan militer Jepang di wilayah ini.
Dengan memanfaatkan kondisi rakyat yang ingin segera terbebas
dari penindasan kekuasaan Belanda itu, Jepang mempersiapkan propaganda secara
sistimatis dan intensif untuk mempengaruhi rakyat Jawa agar dapat membantu
Jepang untuk memenangkan perang.
Ulama
dipandang paling efektif untuk berkomunikasi dengan masyrakat di pedesaan,
namun untuk tujuan itu ulama harus diberi penataran terlebih dahulu, yang
disebut dengan “latihan kiai” setiap
angkatan dalam penataran tersebut, berlangsung 30 hari, didalam penataran itu
ulama diindoktrinisasi dengan ide – ide dan propaganda jepang, Mereka harus
mendapatkan porsi cukup untuk memperoleh “jiwa baru.”[22]
Jepang
sangat mengharapakan agar semua kiai mendapat pelatihan semacam itu, untuk itu
latihan ini dilangsungkan secara periodik, antara juli 1943 sampai mei 1945,
dan telah dilangsukan sebanyak 17 kali di jakarta, setipa angakatanya dikuti
oleh 60 orang ulama dari 20 keresidenan di jawa.[23] Yang menjadi syarat sebagai peserta
latihan adalah, pertama, mempunyai
pengaruh yang kuat, kedua,
berpengetahuan luas, ketiga,
berposisi sosial yang baik, keempat,
berkarakter tidak tercela.[24]
Ulama yang
berprofesi sebagai pengajar dan pemuka masyrakat sangat diutamakan, selama
lebih kurang satu bulan dalam penataran, para ualam diasramakan dan tidak boleh
berhubungan dengan publik, mereka harus hidup dalam suasana mutlak yang
diwarnai dengan kebiasaan dan ideologi jepang.
Dalam
perkembangan selanjutnya dari segi pemikiran ulama pun terbelah menjadi dua :
ulama tradisional dan ulama modern, mereka pun berafilisasi pada organisasi-organisasi
yang sesuai dengan kecendrungan mereka, ulama modern lebih condong memasuki organisasi modernis, sementara itu
untuk mereka yang berpaham tradisional berslisifasi ke organisasi yang di
anggap sesuai corak mereka.
Secara garis
besar bahwa kalangan tradisionalis memiliki beberapa visi dasar dalam paham
keagamaan. Pertama, dalam bidang hukum, mereka menganut salah satu ajaran
keempat mazhab, meskipun dalam praktek sangat kuat pada Mazhab Syafi’i. Kedua,
dalam bidang tauhid, mereka menganut paham yang dikembangakan oleh Abu Hasan
al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.Ketiga, dalam bidang tasawuf dan akhlak,
kelompok ini menganut dasar-dasar ajaran Abu Qasim Junaid Al-Baqdadi dan Imam
Al-Ghazali.
Secara
khusus, tradisionalisme mempunyai ciri yang bersifat ideologis yang kemudian
mempengaruhi seluruh tingkah laku keagamaan, politik dan kemasyarakatan mereka,
khususnya ketika mereka memahami konsep Ahlu al-Sunnah wa-al-Jama’ah secara
ketat. Keterikatan mereka pada paham ini semakin mengental yang kemudian
berfungsi sebagai semacam ideologi tandingan terhadap pemikiran keagamaan lain.[25]
Basis
modernis Islam umumnya eksis di perkotaan yang masyarakatnya cenderung lebih
akomodatif dalam menerima gagasan-gagasan baru.Bidang garap pembaharuannya
lebih terfokus pada segi kelembagaan, baik di bidang organisasi maupun
pendidikan yang dikelola secara modern, sehingga dapat memenuhi kebutuhan umat
secara konkret.
Untuk
itu, ada ciri penting yang menjadi visi dasar modernisasi, yaitu usaha
pemurnian Islam dengan cara memberantas segala yang berbau khurafat dan bid’ah,
melepaskan diri dari ikatan mazhab, dan membuka kembali pintu ijtihad selebar-lebarnya
dengan menggunakan intelektualitas yang kritis dalam menginterpretasi nash agar
sesuai dengan perkembangan modern.[26]
Perbincangan
tentang masalah corak pemikiran baru merupakan dinamisasi pergolakan pemikiran
Islam yang melahirkan aspek pemikiran yang lebih spesifik dan mendetail,
seperti pemikiran di bidang teologi, filsafat, tasawuf, politik, ekonomi,
sosiologi, budaya dan lingkungan.Bagi penulis, neo-moderrnisme bukanlah sebuah
alternatif mutlak dalam memecahkan segala persoalan, tetapi hanyalah sebagai
salah satu alternatif global dalam memenuhi dinamika pemikiran keislaman di
Indonesia.
Jadi istilah tradisional dan modern adalah sesuatu yang
netral, Kenetralan tersebut akan sirna ketika menjadi istilah yang merupakan
predikat sesuatu, istilah tersebut akan mempunyai pengertianakan mempunyai arti
tersendiri pula. Pengklasifikasian memahami ajaran agama tersebut dengan
klasifikasi tradisional dan modern berdasarkan pada ulama danera dimana ulama
tersebut hidup.
Klasifikasi versi tradisional dan modern yang dimaksud bukan
ulama tradisional atau modern berdasar waktu (masa), tetapi menekankan pada
pola pikir yang bersifat tradisional dan modern, versi tradisional adalah pola pikir yang menggunakan
pendekatan “imani. Versi ini tetap mempertahankan tradisi lama dinalar dengan
akal dan sains modern. Adapun ulama yang menggunakan Versi ini pada dasarnya
tidak menolak perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi tidak juga menghilangkan
tradisi walaupun tidak bisa dirasionalisasikan.
Sedangkan
versi modern adalah pola pikir yang menggunakan pendekatan sains dan pemikiran
modern. Ulama yang menggunakan Versi ini lebih pada aktulasasi nilai atau
mentransformasi ajaran-ajaran agama ke dalam makna kehidupan modern.
Munculnya
kelembagaan dan organisasi ulama di Indonesia, umumnya didasarkan atas
kepentingan Agama tetapi peran lembaga dan organiasi tersebut sedikit bergeser
keranah Elite Politik penguasa, ulama yang semula sebagai pelanyan rakyat,
bergeser menjadi alat politik pemerintahan, tentu saja ini memperkuat atau
melanggengkan tradisi adanya segmentasi ulama : ulama independen (ulama Rakyat)
dan ulama bebas (ulama birokrat).[27]
Beberapa
urainya diatas memperlihatkan peran sentral ulama dalam masyarakat muslim di
indonesia, ulama merupakan penerjemah ajaran–ajaran Islam, dengan cara inlah
ajaran islam dapat disampaikan ke masyarakat, peran ulama menyebarkan agama
islam ini juga membuat mereka dekat dengan masyarakat, seiring bejalannya waktu
ulama dimanfaatkan oleh pemertintah untuk sarana penghubung antara umat muslim
dengan penguasa, inilah yang menyebabkan ulama memiliki peran sosial-keagamaan
dan politik-keagamaan.
Penutup
Ulama adalah mereka yang ahli atau mempunyai
kelebihan dalam bidang ilmu dalam agama Islam,ada beberapa istilah lain yang
digunakan masyarakat sebagai pandangan kata Ulama,beberapa di antaranya adalah
Kiai, Ulil Albab, dan Cendekiawan Muslim. Posisi Posisi ulama pada masyarakat
Indonesia terbagi dalam dua kelompok, kategori pertama adalah kelompok ulama bebas ,dan Kategori kedua, adalah
kelompok ulama pejabat atau yang disebut dengan penghulu.
Tipologi
ulama di Indonesia terdiri dari beberapa tipe antara lain, Pertama, adalah golongan ulama yang merangkap sebagai penguasa
pusat pemerintahan. kedua, adalah
golongan ulama yang masih berdarah bangsawan.ketiga, adalah golongan ulama sebagai
alat birokrasi kerajaan/tradisonal. keempat,
adalah Golongan Ulama Pedesaan Atau Ulama Rakyat.yang hidup di pedesaan tidak
memiliki hubungan birokrasi.
Perkembangan
peran ulama di Indonesia menyebarkan
agama islam ini juga membuat mereka dekat masyarakat, seiring bejalannya waktu
ulama dimanfaatkan oleh pemertintah, sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan
dari masyarakat kepada ulama, disisi lain kelembagaan dan organisasi ulama di indonesia pun berkembang dengan
pesat sampai sekarang ini.
Oleh. Alvin Are Tunang
Editor. Selita. S. Pd.
Palembang, 9 April 2020.
Daftar pustaka
Dudung
Abdurrahman, Metodologi Penelitaian Sejarah Islam, (Yogyakarta: Ombak,
2011).
Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
Badaruddin Hsukby, Dilema Ulama Dalam
Perubahan Zaman (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
A.
Daliman, Metode Penelitian Sejarah,
(Yogyakarta: Ombak, 2015).
Lexy J.
Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung :PT.
Remaja Rosdakarya Offset, 2006).
Abdul
Mujid, kepribadian dalam psikologi islam (Jakarta : PT Raja Grafindo persada,
2006), hlm 171Ahmad adaby darban, ulama jawa dalam prespektif sejarah (jurnal
humaniora : 2004).
Ibnu
Qayyim isma’il, op.cit,
Muhammad
hisyam, op.cit,
Soemarsaid
Moertono, Negara dan usaha bina negara di
jawa masa lampau : studi tentang mataram II, Abad XVI Sampai XIX (Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, 1985).
Soemarsaid
Moertono, op.cit.
Ismuha,
”ulama aceh dalam perspektif”, dalam Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia, editor Nor Huda (Jakarta : Rajawali Pres, 2015).
Hasbi
Amirudin, “ Ulama Dayah : Peran Dan Responsnya Terhadap Pembaruan Hukum Islam,
Dalam Pranata Islam Di Indonesia : Pergulatan Sosial, Politik, Hukum, Dan Pendidikan,
Penyunting Dody S. Truna Dan Ismatu Ropi (Jakarata : Logos Wacana Ilmu, 2002)
Nor
Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia( Jakarta : Rajawali Pres, 2015),hlm163
Azyumardi
Azra, Jaringan ulama timur tengah dan
kepulauan nusantara Abad XVII & XVIII ( Jakarta : Kencana, 2007), hlm
166
Nor
Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia( Jakarta : Rajawali Pres, 2015), hlm 165
Ahmad
adaby darban, ulama jawa dalam prespektif sejarah (jurnal humaniora : 2004)
Zamakhsyari
dhofier, op. Cit,,
Dr.
Husni rahim “Sistem Otoritas Dan
Administrasi Islam” ( Pamulang Timur Ciputat : PT. Logos wacana ilmu, 1998)
hlm. 101
Nourouzzaman
shiddieq, op, cit
A.
Muhith, NU dan Fiqhi Kontekstual
(Yogyakarta: LKPPPSM, 1994).
Harun
Nasution,Pembaruan dalam Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
Nor
Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia(Jakarta : Rajawali Pres, 2015).
Masykur
Hasyim, Merakit Negeri Berserakan,
(Surabaya: Yayasan 95, 2002)
Laode Ida, NU
Muda, (Jakarta: Erlangga, 2004).
[1] Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Jakarta : Rajawali
Pres, 2015), hlm 158.
[2] Dudung
Abdurrahman, Metodologi Penelitaian Sejarah Islam, (Yogyakarta: Ombak,
2011), h. 126.
[4]Badaruddin
Hsukby, Dilema
Ulama Dalam Perubahan Zaman (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm 56.
[5]A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah, (Yogyakarta:
Ombak, 2015), h. 27.
[6]Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif
Edisi Revisi, (Bandung :PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2006), h. 5.
[7]Abdul Mujid, kepribadian dalam
psikologi islam (Jakarta : PT Raja Grafindo persada, 2006), hlm 171
[8]Ahmad adaby darban, ulama jawa dalam
prespektif sejarah (jurnal humaniora : 2004) hlm 31-32
[11]Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual
Islam di Indonesia( Jakarta : Rajawali Pres, 2015), hlm 160.
[12]Soemarsaid Moertono, Negara dan usaha bina negara di jawa masa
lampau : studi tentang mataram II, Abad XVI Sampai XIX (Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia, 1985) Hlm. 98
[14]Ismuha, ”ulama aceh dalam perspektif”, dalam Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, editor Nor Huda (Jakarta
: Rajawali Pres, 2015), hlm 159
[16]Hasbi Amirudin, “ Ulama Dayah : Peran
Dan Responsnya Terhadap Pembaruan Hukum Islam, Dalam Pranata Islam Di Indonesia
: Pergulatan Sosial, Politik, Hukum, Dan Pendidikan, Penyunting Dody S. Truna
Dan Ismatu Ropi (Jakarata : Logos Wacana Ilmu, 2002), Hlm. 177
[18]Azyumardi Azra, Jaringan ulama timur tengah dan kepulauan nusantara Abad XVII &
XVIII ( Jakarta : Kencana, 2007), hlm 166
[19]Ahmad adaby darban, ulama jawa dalam
prespektif sejarah (jurnal humaniora : 2004) hlm 27
[20]Dr. Husni rahim “Sistem Otoritas Dan Administrasi Islam” ( Pamulang Timur Ciputat :
PT. Logos wacana ilmu, 1998) hlm. 101
[22]Nourouzzaman shiddieq, op, cit hlm 109
[23]Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia(Jakarta : Rajawali
Pres, 2015), hlm 172.
[27]Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia(Jakarta : Rajawali
Pres, 2015), hlm 185.
Sy.
Apero Fublic
Via
Sejarah Islam
Post a Comment