Kisah Asal Usul Serai dan Lengkuas.
*****
Sebuah rumah panggung di tepi Talang Gajah Mati. Beberapa rumpun pisang dan pohon kelapa tumbuh subur di belakang rumah. Rumput hijau membentang di halaman rumah. Beberapa ayam tampak berkais di sisi halaman rumah. Dari rumah ini, kira-kira berjarak lima puluh meter baru ada rumah warga lainnya. Masa itu, lahan masih luas sehingga pekarangan rumah berjauhan satu sama lain.
Suatu sore yang cerah, tampak seorang gadis cantik berumur dua puluhan tahun. Memakai baju kurung tenun songket, berkain sepinggang, dan rambutnya panjang terurai. Tangan indahnya sibuk merajut benang pada tenunan. Dia sedang menenun kain songket. Jauh di depan rumah puluhan anak-anak sedang berlari-lari, bermain perang-perangan.
“Samida, jangan terlalu sore selesai
menenun. Sebentar lagi, ajaklah adikmu mandi di sungai. Aku nak menumbuk padi,
beras lah habis. Tinggal untuk menanak sore ini.” Ujar Ibu Samida dari dapur, kemudian dia turun dari tangga dapur.
Menjinjing bunang, nyirau. Kemudian dia menuju bilik padi di bawah rumah. Tersimpan padi, jagung
kering, keladi-keladian, berbagai jenis labu-labuan. Ibu Samida kemudian
menumbuk padi pada lesung. Terdengar suara bertalu-talu, ayam-ayam pun mulai
mendekat.
*****
“Samida, tunggulah. Kami juga nak mandi.” Seorang gadis manis berkulit putih memanggil. Samida dan adik gadis yang masih remaja menoleh kebelakang. Dua orang gadis seusia Samida berjalan cepat menuju mereka, Miku dan Yapi panggil Samida. Mereka akhirnya mandi di tepian bersama-sama.
Samida gadis tercantik di Talang Gajah Mati waktu itu. Banyak sekali anak-anak muda menyukainya. Namun belum ada yang berani melamar atau mendekati. Kecantikan Samida terkenal ke seluruh Dataran Negeri Bukit Pendape. Saat mereka sedang mandi, melintaslah sebuah perahu. Di dalam perahu ada empat orang.
Sepertinya mereka keluarga, terdiri dari ayah, ibu, dua pemuda laki-laki. Seorang pemuda yang berumur dua puluh tiga tahun menatap pada Samida. Pandangannya lekat seakan tak mau lepas. Samida tersenyum, dan dua temannya mulai jahil menggoda Samida.
“Adu, Kak Kadram tampan yaaa.” Kata
Yapi sambil tersenyum lebar. Samida memandangi wajah kedua sahabatnya. Dia tahu
kalau sahabatnya itu menggodanya.
“Iya, memang tampan, tapi sayang sebentar
lagi ada yang mau dia lamar. Takut berharap, nanti kecewa.” Ujar Miku diiringi
tawa ringan. Begitu pun adik Samida ikut tertawa melihat kakaknya tampak malu.
“Melamar siapa, Miku. Jangan patahkan
pucuk yang mau bertunas. Nanti getahnya mengucur deras.” Tambah Yapi dengan
bersemangat sambil senyum-senyum.
“Yah, melamar gadislah. Yang setiap
kali mandi selalu main mata dan tersenyum padanya.” Semuanya tahu kalau yang
dimaksud Miku adalah Samida. Memang diam-diam Samida menyukai pemuda yang
selalu pulang dari ladang dengan perahu. Selalu melintas setiap sore melewati
tepian madi mereka.
*****
Sementara itu, si pemuda bernama Kadram
terus mengayu perahu ke hulu Talang. Terdengar suara dayung memecah permukaan
air Sungai Keruh yang deras. Wajah tampan itu tampak
merenung dan melamun. Dunia seakan sunyi dan hening sebab senyum si gadis
cantik mengganggunya.
“Koyong, jangan melamunlah. Nanti kita
menabrak tebing tanjung sungai ini.” Adik menggoda.
“Ah, kau ini. Ada mata juga
koyongmu ini.
Pandai nak mainkan perasaan, nanti Aku putar telingamu.” Si pemuda tampak
kaget dan berusaha menutupi kalau dia memang melamun. Sang adik tertawa dan
ayah-ibunya tersenyum.
“Kalau kau suka sama anak Ayuk Tartan.
Nanti malam umak dan Bak melamar dia untukmu. Ibu juga suka
sama Samida. Gadis yang baik, sopan, berbudi bahasa yang lembut, rajin, pandai
sekali menenun. Tak susah kau nak buat baju anak-anak kau
nanti.” Ibu si pemuda berkata. Kata-kata itu juga di jawab ayahnya, dengan
senyum dan mengiakan sambil mendayung di bagian depan. Sementara adiknya
tampak mengangguk-angguk saat ibunya berkata seolah-olah dia membenarkan
kata-kata ibunya. Kadram diam
seribu bahasa, dia tidak menolak dan tidak mengiakan.
“Dah, kalau koyong tak mau. Biarlah
Garnam, Mak.” Ujar sang adik sambil tertawa. Remaja berumur lima belas tahun
itu berhasil membut sang kakak meradang. Namun semua kemudian tertawa ringan.
Kebahagian dan kedekatan mereka terlihat dalam keluarga.
*****
Di sebelah utara Talang Gajah Mati,
berjarak setengah hari perjalanan kaki. Terdapat sebuah talang bernama, Talang Merbau Kembo. Di talang itu,
hidup seorang lelaki jahat dan serakah. Dia kaya, banyak anak buah, dan banyak
istri. Dia selalu ingin menikahi gadis-gadis cantik. Dia telah memiliki tiga
orang istri, sekarang. Ketiga istrinya itu semuanya hasil merampas dengan penuh
kelicikan.
Cara orang itu, pertama orang tua si gadis diberi pinjaman emas yang berbunga. Sehingga semakin banyak hutang mereka ketika belum lunas. Bunga hutang juga berbunga lagi. Begitulah buruknya tabiat orang itu. Karena tidak sanggup membayar lagi. Maka dia meminta anak gadis mereka sebagai bayarannya. Dialah yang dikenal orang dengan nama, Puyang Bulanak.
Puyang Bulanak mendengar kabar kalau di Talang Gajah Mati ada seorang gadis yang sangat cantik. Maka dia mengutus dua orang anak buahnya mencari tahu. Sehingga datanglah dua anak buah Puyang Bulanak memata-matai Talang Gajah Mati. Mereka pulang melapor dan menceritakan kalau gadis itu memang sangat cantik. Namanya Samida anak Uwa Rimbing dan nama ibunya Tartan.
Puyang Bulanak mengirim utusan melamar Samida. Mereka membawa satu pikulan emas, sepuluh bilah pedang dan mata tombak sebagai hadia.
“Selain dari
hadia itu, saat pernikahan juga akan diberikan lagi keping emas dan perak, juga
diberikan sepuluh ekor sapi, sepuluh kerbau, dan sepuluh kambing.” Ujar utusan
itu pada ayah Samida.
“Katakan pada
Bulanak, dia sudah tua dan punya banyak istri. Maka saya tidak bisa menerima
lamarannya. Harta benda tidak perlu, bagi kami tabiat yang baik yang utama.”
Kata ayah Samida. Selain itu, ayah Samida juga tahu tabiat dan kelakuan Puyang
Bulanak. Hal tersebut membuat Puyang Bulanak sangat marah. Dia idak bisa
ditolak, apalagi oleh keluarga miskin begitu.
“Kurang apa lagi mereka, emas dan perak berpikul-pikul Aku berikan. Akan Aku rampas gadis itu, biar dia tahu siapa Puyang Bulanak sebenarnya.” Kata Bulanak marah-marah. Keesokan harinya, dia membawa anak buahnya sebanyak seratus orang untuk merampas Samida.
Terjadilah perang antara keluarga Samida dan Puyang Bulanak. Namun diluar perkiraan Bulanak, ternyata keluarga besar Samida yang tidak seberapa banyaknya adalah pendekar silat handal. Warga Talang Gajah Mati juga membantu, termasuk Kadram. Anak buah Puyang Bulanak hancur lululantak. Hanya tersisa dua orang anak buah Bulanak yang masih hidup, itu pun terluka para.
Bulanak berlari seperti tikus bersama dua orang anak buahnya. Di sana sini bajunya robek karena sabetan pibang. Darah mengucur dari setiap luka. Hampir saja dia juga tewas. Sejak saat itu, Puyang Bulanak tidak lagi berani dengan orang-orang Talang Gajah Mati. Namun, dasar manusia busuk yang licik dan jahat. Dia menyimpan dendam dan rasa sakit hati. Dia selalu memikirkan rencana membalas kekalahannya.
Dia tidak terimah atas kekalahan dan penolakan orang padanya. Bulanak menganggap dirinya hebat dan orang kaya hebat. Sehingga dia menyiapkan rencana jahat. Untuk menculik Samida diam-diam. Dikirimlah mata-mata ke Talang Gajah Mati. Dua orang mata-mata tersebut bersembunyi di sekitar Talang Gajah Mati memperhatikan aktivitas Samida dan keluarganya.
****
Satu bulan setelah itu, Kadram ditemani ayah, ibu dan keluarga besarnya melamar Samida. Lamaran diterimah dengan sukacita oleh keluarga Samida. Mereka berdua memang cocok, satu cantik dan satunya tampan. Kulit keduanya sama-sama putih. Lalu dilaksanakanlah upacara pernikahan. Beberpa kambing, satu ekor sapi disembelih. Pernikahan meriah sekali, tarian Melayu dengan diiringi gendang menghibur warga. Sunggu meriah pernikahan Kadram dengan Samida. Begitu juga semua keluarga dan warga.
Satu bulan berlalu, Kadram dan Samida hidup bahagia, menikmati bulan madu mereka. Masa itu, kehidupan masyarakat hidup dari bertani ladang berpindah. Maka, Kadram dan Samida juga mulai membuka hutan untuk ladang mereka. Keduanya memulai hidup baru dan menata masa depan. Selain membuka ladang Kadram juga mulai mengumpulkan kayu untuk kerangka rumah mereka di talang nantinya. Semua kejadian tersebut tentu saja diketahui oleh Bulanak dari laporan mata-matanya. Tempat mereka berladang pun dicari tahu.
Suatu hari, Kadram dan Samida sedang beristirahat. Duduk di serambi pondok dan dihembus angin berlalu.
"Adik, sudah berapa bulan anak kita." Tanya Kadram seraya memegang perut istrinya dengan lembut.
"Baru satu setenga bulan, kanda." Jawab Samida dengan bahagia.
Terbentang ladang mereka yang subur. Tampak padi dan tanaman lain sudah mulai tumbuh besar. Pekerjaan Kadram yang tinggal sedikit adalah membuat pagar ladang. Agar nanti saat tanaman sudah tumbuh besar tidak diserang hama babi.
Saat sedang berbincang dan bercanda keduanya terkejut. Tiba-tiba muncul tiga puluh orang laki-laki bersenjata pibang. Ada juga yang membawa tombak. Samida dan Kadram tahu kalau mereka dalam bahaya besar. Puyang Bulanak tertawa senang dan dengan tatapan mata sinis.
“Akhirnya Aku dapatkan juga kau wanita keras kepala. Aku akui, memang cantik sekali dirimu.” Kata Bulanak dengan senyuman senang.
Kadram dan Samida bangkit, mengambil pibang kidau dan pibang kanan mereka yang terselip di dinding pondok. Puyang Bulanak berkata kalau dia akan membunuh Kadram dan merampas Samida. Dia tidak suka direndahkan dan tidak terima keinginannya ditolak orang. Apalagi yang menolak itu orang biasa dan miskin.
“Heaaaa. Heeaaaa.” Kadram dan Samida siap bertarung. Melompat ke halaman pondok. Tiga puluh orang anak buah Bulanak menyerang. Tidak mudah menaklukkan sepasang suami istri muda itu. Mereka pandai bermain silat. Sehingga mereka mengeroyok dengan tidak tahu malu. Tapi Kadram mampu mengalakan satu demi satu, penyerangnya. Sekarang sudah lima orang roboh ditangan keduanya. Puyang Bulanak mencari akal, lain. Kalau tidak, mereka akan kalah lagi.
Dia mengatur setrategi dengan cara menyerang dan mundur sambil mengurung. Mempersempit ruang gerak Kadram dan Samida. Dia mempersiapkan serangan lemparan tombak. Banyaknya ayunan mata pibang membuat keduanya kerepotan. Kali ini, kembali lima orang anak buah Bulanak roboh bersimbah darah. Sementara Kadram dan Istrinya sudah ada beberapa sabetan mata pibang di tubuh mereka. Keduanya berdiri beradu belakang untuk saling menjaga.
Puyang Bulanak memerintahkan lima anak buahnya melemparkan tombak bersamaan. Dua tombak diatasi oleh Kadram dan dua lagi diatasi oleh Samida. Namun mata tombak ke lima tidak dapat dielakkan Samida. Kadram melompat menjadikan tubuhnya perisai tombak untuk melindungi Samida. Mata tombak menghujam tepat di dadanya tembus ke punggung belakang.
Tubuh Kadram lunglai dia tewas seketika. Kakinya tertekuk dan tubuh tersandar pada batang tombak, merunduk. Tampak mata tombak menembus satu jengkal di punggungnya. Samida histeris, tubuhnya gemetar. Suami tercinta telah tiada. Tubuhnya lemas dan lemah seketika. Pibang ditangannya terlepas. Jiwanya tidak dapat menerima dan goyah. Tentu kejiwaan wanita lebih lemah. Samida merasa tiada gunanya lagi hidup.
Bulanak melompat, dia menerjang dan mengenai tepat di punggung Samida. Samida terpental dan jatuh berguling-guling. Melihat dirinya sudah terkepung, dan Bulanak terus mendekat untuk menangkapnya. Samida tahu, dia akan ditangkap dan diculik. Lalu akan menjadi budak nafsu Bulanak. Dia tidak mau, dan akan menjaga kesuciannya sebagai seorang wanita dan seorang istri. Samida bergeser perlahan di tanah. Puyang Bulanak menyergap dan berada dihadapannya sejarak satu langkah. Senyum mengerikan dan buas menatap Samidah.
“Akhirnya kau menjadi milikku. Aku akan
bersenang-senang setiap saat. Aku tidak akan pernah menerima kekalahan apa pun. Siapa yang berani menentang Aku, maka dia akan mendapat balasan
setimpal.” Kata Bulanak dengan sombong.
“Dasar manusia sombong, licik, busuk
dan jahat. Aku sumpahi kau akan mati sengsara dan anak keturunanmu terusir dari
Pedatuan Bukit Pendape. Kau akan menjadi manusia terkutuk, selamanya.” Samida
mengucapkan sumpahnya dengan tajam. Bulanak membungkuk lalu memegang baju
Samida dan menariknya sehingga wajah mereka berdekatan. Tiba-tiba.
“Crassss.” Sepotong kayu kecil menancap tepat di mata kiri Puyang Bulanak. Darah mengucur deras, diiringi jeritan keras. Samida terlepas, Puyang Bulakan terhuyung menjerit kesakitan. Dua puluh anak buah Puyang Bulanak mengacungkan pedang. Samida, yang tidak lagi mau hidup bertekad menyelamatkan harga dirinya.
Maka dia nekat menerabas mata-mata pibang yang terarah kearahnya. Karena tidak mau melukai Samida anak buah Puyang Bulanak menarik pibang mereka. Begitulah, sikap wanita Melayu yang selalu menjaga hargadirinya dengan baik. Adat itu sampai sekarang masih dipegang teguh oleh wanita Melayu.
Anak buah Puyang Bulanak Salah menduga. Samida ternyata ingin menabrakkan dirinya ke mata tombak yang menembus di punggung Kadram. Sehingga mata tombak juga menembus tubuhnya. Lalu tubuh keduanya terjatuh. Samida pun mati menyusul suaminya. Bulanak begitu kesal dan gusar. Betapa ruginya dia hari itu. Sepuluh anak buahnya tewas, dan mata kirinya pecah. Dia dan sisa anak buahnya pun meninggalkan mayat Kadram dan Samida secepatnya.
*****
Dua hari
setelah kejadian itu. Ayah dan Adik Kadram datang berkunjung ke ladang mereka.
“Koyooongg.” Ayuuukkkk.” Sebuah suara memanggil dari tepi ladang.
Ayah Kadram dan adik remajanya mendatangi ladang Kadram. Maksud hendak membantu Kadram menyelesaikan pagar ladang. Sebentar lagi padi mereka berbuah. Garnam berteriak-teriak dari tepi ladang memanggil sang kakak. Dia bergembira sebab sudah tiga minggu tidak bertemu saudara tuanya. Namun keadaan sepi dan lengang sampai mereka tiba di halam pondok.
Keduanya hampir jatuh terduduk menjumpai tubuh Samida dan Kadram yang sudah membiru kaku tertembus tombak. Di sekitarnya tampak sepuluh mayat tergeletak. Mereka tahu kalau ada pertempuran hidup mati beberapa hari lalu. Tangis keduanya pecah, dan Talang Gajah Mati menjadi gempar dan berduka.
Ayah Kadram dan Ayah Samida sangat yakin kalau pelaku adalah si Bulanak. Pada saatnya mereka akan menuntut belah, menghukum Bulanak. Samida dan Kadram dikubur di sisi Talang. Pekuburan tidak jauh dari rumah orang tua mereka. Kuburan pengantin baru itu berdampingan. Tangisan keluarga, terutama ibu keduanya tiada henti meratapi. Semua menyayangkan kejadian itu.
Mereka akhirnya melaporkan ke Depati Pedatuan Bukit Pendape. Masalah itu, dalam penyelidikan hulubalang pedatuan. Belum dapat bertindak karena belum ada bukti tepat. Bukti yang paling kuat adalah, satu biji bola mata yang tertancap pada sepotong ranting kayu.
*****
Ibu Samida dan ibu Kadram terus bersedih. Keduanya menangis terus menerus tanpa henti. Membuat pilu seluruh Talang Gajah Mati. Tubuh kedua orang berbesan itu kini mulai kurus. Sebab keduanya sangat mencintai anak-anak mereka dan menantu mereka. Tidak ada yang dapat membujuk mereka berdua. Sehingga semuanya menyerah dan membiarkan saja.
Suatu malam, ibu Samida dan ibu Kadram tertidur setelah lelah menangis. Ibu Samida tertidur di sisi dapurnya. Dia mengenang Samida sering memasak, terutama memasak gulai pindang. Sedangkan ibu Kadram tertidur di serambi dapurnya. Dimana Kadram sering membuat bubu atau memulas tali jerat. Keduanya bermimpi yang sama bertemu Samida dan Kadram. Mimpi mereka sama jalan ceritanya. Dalam mimpinya, Samida dan Kadram datang bertamu kerumah. Anak mereka yang pengantin baru datang mengobati rindu.
“Kalian datang tepat pada waktunya. Ibu
sudah rindu sekali.” Dalam mimpi tampak kandungan Samida sudah besar. Mereka
bercerita kalau hidup di tempat yang sangat indah. Ada sebuah istana yang megah
yang mereka diami. Mendengar cerita itu, ibu Samida dan Ibu Kadram menjadi
bahagia sekali.
“Oh, iya. Ibu membuat gulai pindang
jamur kesukaan kalian.” Ujar Ibu Kadram. Memang Samida dan Kadram menyukai
masakan gulai pindang jamur. Memang orang berjodoh memiliki kesamaan selera dan
kesamaan kejiwaan.
“Ibu, kalau mau menggulai pindang, lagi. Supaya lebih enak, berilah sepotong serai dan sepotong lengkuas. Batang lengkuas muda juga enak dijadikan bumbu gulai pindang. Di tempat tinggal kami yang baru. Setiap kali membikin gulai pindang dibumbuhi serai dan lengkuas. Ini Samida bawakkan untuk ibu berdua.” Ujar Samida dalam mimpi mereka.
Dalam mimpi itu, mereka makan bersama. Gulai pindang dibumbuhi serai dan lengkuas yang dibawa Samida. Sehingga gulai pindang menjadi sangat sedap. Keluarga mereka makan dengan lahap, sampai kekurangan nasi.
“Baru sekali ini, kita kekurangan
nasi." Ujar Ibu Samida. Semua tertawa dan kedua ayah mereka berkata.
“Karena ada bumbu yang baru itu.
Membuat gulai tambah sedap." Kata ayah Samida.
“Boleh di tanam
di pekarangan rumah atau di ladang.” Tanya ayah kadram.
*****
Hari akan turun
hujan lebat, petir berbunyi dan angin berhembus deras. Ibu Samida dan ibu mertuanya terbangun dari mimpinya. Dia
melihat sekeliling ruangan, tampak adik Samida membawakkannya sepiring nasi,
lalu menyuapinya. Di rumah Kadram sendiri, Gernam juga meminta ibu-nya untuk
makan dan masuk kedalam rumah. Karena mimpi itu, kedua wanita itu
berubah sekarang. Hati keduanya menjadi tentram. Keduanya sadar, kalau mereka
telah salah, bersedi yang sudah berlebihan.
*****
Satu bulan berlalu, Ibu Pekalang
bertandang ke rumah Ibu Samida. Keduanya menceritakan mimpi yang ternyata sama
persis. Siang itu, untuk mengobati rindu pada anak kesayangan mereka. Keduanya
bermaksud ziarah ke kuburan anak dan menantu mereka. Setiba di kuburan, mereka
melihat ada tumbuhan yang tumbuh di atas gundukan kuburan kedua anaknya. Di
atas kuburan Samida tumbuh serai sebagaimana yang di lihat dalam mimpi mereka.
Di atas kuburan Kadram tumbuh lengkuas seperti dalam mimpi juga. Sehingga
keduanya bersyukur, walau anak mereka telah tiada di dunia ini. Tapi mereka
selalu ada untuk mereka.
“Mari, kita
tanam di halaman rumah dan di ladang. Rasa melihat mereka hidup kembali.” Kata
ibu Kadram.
“Iya, benar
sekali Yuk.” Jawab Ibu Samida.
Sejak saat itu, lengkuas dan serai dijadikan bumbu memasak gulai. Atau bumbu berbagai jenis kuliner berkuah lainnya. Awalnya hanya ditanam di pekarangan rumah keluarga Samida dan keluarga Kadram. Kemudian warga Talang Gajah Mati juga menanam di pekarangan rumah mereka masing-masing. Lalu tersiar tentang bumbu masakan itu ke talang-talang lainnya. Sehingga semuanya juga menanam serai dan lengkuas di halaman rumah masing-masing.
Lalu ditanam di ladang-ladang, dan kebun warga. Dari waktu ke waktu tanaman serai dan lengkuas terus tersebar ke wilayah lain. Jauh dan jauh hingga sampai sekarang serai dan lengkuas tersebar luas di bumi. Serai selalu di pasangkan dengan lengkuas untuk bumbu penyedap. Sebab memang sepasang kekasih pengantin baru.
“Anak-anakku, kalian tetap bersatu walau di dalam
belanga. Cinta suci kalian telah menyatukan kalian sepanjang zaman. Bahkan memberi cinta pada semua
manusia. Ibu-ibu yang selalu mencintai keluarganya dengan memasak. Istri yang
bersediah sehidup semati bersama suaminya. Dalam susa dan bahagia mereka.” Ujar
kedua ibu mereka saat sedang memasak gulai pindang di suatu hari.
Pibang: Senjata tradisional berbentuk pedang. Biasanya pibang sepasang yaitu pibang kidau dan pibang kanan. Pibang kidau berupa pisau dan pibang kanan berupa pedang pendek.
Koyong: Kakak. Bak: Ayah. Umak: Ibu. Pedatuan: Pemerintahan tradisional masyaraat di pulau Sumatera, Lampung, Bengkulu, Bangka Belitung, Sumsel, Jambi. Bersifat monarki dan menurut genoalogis mereka.
Post a Comment