Mitos
Mitos: Harimau Kumbang dan Buaya Kumbang.
Apero
Fublic.-
Kisah mitos Buaya Kumbang dan Harimau Kumbang pada masyarakat di Kecamatan Sungai
Keruh sungguh melegenda. Mitos yang diceritakan turun-temurun. Namun hanya berupa penggalan-penggalan cerita tidak lengkap.
Menceritakan kalau seorang nenek moyang atau Puyang masyarakat memiliki mahluk penjaga daerah. Yaitu, Buaya Kumbang berdiam di muara Sungai Keruh. Menjaga Sungai Keruh agar tidak dimasuki buaya buas. Sedangkan Harimau Kumbang adalah penjaga wilayah dari serangan harimau kejadian.
Hamau
Kumbang dan Buaya Kumbang adalah jelmaan dari dua orang manusia sakti. Yaitu, Puyang
Bomi Sejemput menjelma menjadi Harimau Kumbang dan Puyang Raje Ayo menjelma
menjadi Buaya Kumbang. Mereka berdua kakak beradik yang menghabiskan waktu
bertapa di sebuah gua di atas Bukit Pendape. Mereka juga di kenal dengan julukan Puyang Pertapa Sakti.
*****
Pada
masa itu, keadaan penduduk Pedatuan Dataran Negeri Bukit Pendape dalam keadaan
sulit sekali. Bagaimana tidak, penduduk tidak dapat berbuat banyak untuk
kehidupan mereka. Karena, mendapat teror dari dua arah, di perairan dan di daratan. Teror
di darat, banyaknya harimau siluman dan harimau jejadian yang menyerang warga.
Di perairan terutama di Sungai Keruh penduduk diserang oleh Siluman Buaya atau buaya
jejadian.
Penduduk
Dataran Negeri Bukit Pendape sangat ketakutan dan kesulitan menghadapi
permasalahan itu. Air adalah sumber penghidupan, keperluan mandi, mencuci, dan
menangkap ikan. Hutan tempat berburu, mencari tumbuhan, dan berladang untuk
menanam padi untuk kebutuhan pokok lainnya.
Otomatis, membuat kehidupan
masyarakat lumpuh. Bencana kelaparan segera menanti. Sekarang masyarakat masih memiliki persediaan padi hasil panen tahun lalu. Seandainya harimau biasa atau buaya biasa masih dapat
penduduk atasi. Tapi berbeda apabila harimau dan buaya memiliki pengaruh jahat
dari siluman.
Penduduk
Pedatuan Dataran Negeri Bukit Pendape pernah melakukan perburuan bersama-sama.
Namun mereka tidak dapat menemukan harimau atau buaya jejadian tersebut. Bahkan
kalau ada di antara mereka yang lengah. Maka pasti menjadi korban. Sehingga
perburuan mereka hentikan untuk menghindari korban yang lebih banyak lagi.
******
Puyang
Mato Kilat sebagai Depati pimpinan tertinggi di Dataran Negeri Bukit Pendape menjadi
gunda dan sedih. Dia memikirkan nasip rakyatnya dan juga keluarganya. Namun apa
daya dia hanyalah manusia biasa. Hanya berpikir, apa yang dapat mereka perbuat
sekarang.
Tidak memiliki daya dan kekuatan apa pun untuk mengalahkan
siluman-siluman buaya dan siluman harimau. Suatu hari yang cerah, puluhan
prajurit berjaga disekitar rumah Depati. Dua hulubalang tampak berdiri sigap di
sisi Depati. Depati berdiskusi dengan kedua hulubalngnya. Mereka berpikir keras untuk mengatasi masalah ini.
“Depatii, Depatiiii.”
Seorang ibu-ibu berlari-lari dan terjatuh-jatuh. “Anak gadisku, Puyang Depati,
telah diserang buaya saat berusaha mengambil air di sungai kecil di belakang
rumah. Adu Depati, bagaimana Depati.” Ibu itu mengadu dengan histeris. Puyang
dan dua hulubalangnya hanya dapat berkata sabar, menenangkan si ibu-ibu.
Ibu-ibu
itu datang mengadu ke Depati Puyang Mato Kilat. Belum lagi redah tangisan ibu
itu. Datang juga seorang kakek-kakek dan cucu laki-lakinya. Keduanya juga
mengadukan kalau anaknya, atau ayah dari anak lelaki remaja telah diserang harimau
saat ke ladang. Mereka bermaksud mengambil padi di ladang karena persediaan padi
di lumbung diruma sudah habis.
Keesokan
harinya datang juga surat dari penduduk talang-talang di wilayah Pedatuan
Dataran Negeri Bukit Pendape. Mereka juga mengadukan kejadian yang sama. Sehingga
bertambah sedihlah Puyang Depati.
Suatu hari, Depati mengundang semua datu-datu
talang, anggota dewan pedatuan, hulubalang dan panglima pedatuan, para tetua-tetua
pedatuan. Ada juga masyarakat yang ikut rapat untuk memecahkan permasalahan
yang sulit tersebut.
*****
“Puyang
Depati, aku pernah mendengar cerita dari orang tua-ku. Bahwa di atas Bukit
Pendape ada dua orang laki-laki petapa. Mereka bersaudara kembar dan memiliki
kesaktian yang sama. Hidup mereka di habiskan untuk bertapa dan mendekatkan
diri pada sang pencipta. Menurutku, apakah kita dapat bermusyawara pada dua
orang petapa sakti itu. Paling tidak meminta pendapat untuk mengatasi
permasalahan kita ini. Nama kakaknya seingatku, Puyang Raje Ayo dan adiknya
Puyang Bomi Sejemput.” Ujar seorang anggota dewan pedatuan. Dia sudah tua,
rambutnya sudah uban memutih. Tapi ada kebijaksanaan diwajahnya.
Semuanya
untuk beberapa saat terdiam dan tenggelam dalam lamunan masing-masing. Puyang Pedatuan
diam dan berpikir keras. Lalu dia berkata dengan pelan tapi tegas.
“Aku
juga pernah mendengar tentang kedua puyang pertapa sakti itu. Tapi apakah benar
mereka masih hidup, dan masih bertapa di gua di atas Bukit Pendape. Kita tidak dapat
memastikan. Tapi, dalam keadaan seperti ini, kita tidak dapat berpikir banyak. Tindakan
dan usahalah yang harus banyak.” Ujar Depati Puyang Mato Kilat.
Semuanya
mengangguk dan memberikan pendapat masing-masing. Beberapa saran dan pendapat
untuk waktu jangka pendek juga diajukan. Puyang Depati mendengarkan semua saran
dan masukan dari rakyatnya. Setelah semuanya jelas dan terbahas, maka Puyang
Depati memberikan kesimpulan dari hasil musyawarah itu.
“Untuk
semua datu-datu talang, rakyat, dan para tetua pedatuan. Ada tiga pokok yang
harus kita laksanakan dan mohon kerjasama yang baik. Pertama, melarang warga
mendekati sumber air terlebih dahulu. Untuk itu, harus membuat sumur dan
memanfaatkan air hujan. Kalau terpaksa, harus bekerja sama dan saling menjaga.
Kedua, setiap warga harus bekerjasama dalam mencari kebutuhan hidup. Saling
membantu saat pergi ke hutan atau pergi ke ladang.
Ketiga, memerintahkan seorang
hulubalang untuk menemui dua pertapa sakti di gua di puncak Bukit Pendape.
Kemudian akan memilih anak-anak muda untuk di utus ke pedatuan lain guna
mencari batuan.” Itulah kata Puyang Depati. Semua pun setuju dan siap melaksanakan.
Hulubalang
Pagrap dan dua puluh prajurit pedatuan yang ditugaskan pergi ke Bukit Pendape
menemui pertapa sakti. Utusan-utusan dikirim ke Pedatuan lainnya. Diantaranya, ke Pedatuan Basema,
Pedatuan Meranjat, Pedatuan Ranau, Sumbai Hulu dan Sumbai Ilir, Pedatuan
Minanga, serta pedatuan lainnya di Bumi Batanghari Sembilan.
*****
Berangkatlah
Hulubalang Pagrap bersama para prajurit. Mereka membawa persenjataan lengkap.
Senjata pibang kanan dan pibang kidau. Beberapa juga membawa tombak dan sepuluh
orang prajurit membawa panah.
Di
sepanjang perjalanan mereka terus diserang harimau siluman. Prajurit terlatih
cukup kuat untuk bertahan. Namun, ketahanan manusia ada batasnya. Sehingga saat
sampai di Bukit Pendape ada lima orang prajurit yang gugur. Tinggal 15 orang prajurit lagi.
Saat tiba, mereka mencari gua pertapa sakti itu. Hampir satu hari baru bertemu dengan gua
tersebut. Di sekitar gua itu, ada mata air yang mengalir jernih. Dua orang prajurit
mengambil air. Mereka lengah, tiba-tiba harimau muncul entah dari mana. Kedua
prajurit itu pun tewas.
Di
mulut gua hulubalang memberi salam dan meminta izin masuk. Lama tidak ada
jawaban, hampir setengah hari mereka menunggu. Baru ada suara bergema
mempersilahkan masuk. Sepuluh prajurit berjaga di mulut gua. Selebihnya
menemani hulubalang bermusyawarah dengan dua pertama sakti itu. Baju keduanya
sangat sederhana, terbuat dari kulit rusa.
“Ada
apa kalian datang jauh-jauh kesini. Apa gerangan yang sangat penting?.” Tanya
seorang diantara mereka.
“Maaf
Puyang, kami di utus Depati untuk menemui puyang. Pedatuan kita dalam masalah
besar. Dalam tahun ini, harimau jejadian dan buaya jejadian mengganggu penduduk
dan membunuh. Prajurit saya saja sudah tujuh orang tewas dalam perjalanan
kemari.” Jelas Hulubalang. Kemudian hulubalang memberikan surat depati pada
seorang petapa sakti itu.
Cukup lama mereka berbincang membahas permasalahan
itu. Banyak yang ditanyakan dua pertapa. Baru setelah itu, keduanya berkata
akan berusaha dan akan menemui depati. Keduanya meminta hulubalang kembali ke
pedatuan segerah. Mereka akan menyusul pergi katanya.
Puyang Pertapa Sakti juga menganjurkan mereka mengambil kayu gaharu. Lalu dibakar
sepanjang jalan. Untuk menangkal serangan harimau jejadian itu. Hulubalang dan
pasukan yang tinggal 13 orang selamat sampai di pedatuan lima hari kemudian. Saat mereka sampai
dan hendak melapor kalau tugas sudah di laksanakan.
Mereka terkejut sekali, dua
pertapa sakti sudah duduk bermusyawara dengan depati, panglima dan hulubalan Yantuan, para datu-datu talang, para tetua pedatuan dan masyarakat lainnya. Penduduk
bercerita kalau petapa sudah lima hari yang lalu datang. Mengapa mereka baru sampai hari ini, aneh. Itulah sebabnya mengapa sudah ada
musyawara besar di pedatuan. Mereka pun sadar, kalau sedang berhadapan dengan bukan manusia sembarang, lalu berdecak kagum.
******
“Baiklah
Depati, Aku dan Adikku akan berusaha mengatasi permasalahan ini. Tapi akan
memerlukan beberapa syarat yang cukup sulit.” Kata Puyang Rajo Ayo.
“Puyang
Rajo Ayo, Puyang Bumi Sajemput, coba katakan apa syarat yang harus dipenuhi. Kami
akan mengupayakan untuk memenuhinya.” Ujar Depati.
“Benar
puyang, kami akan berusaha.” Datu Talang Gajah Mati ikut berbicara. Begitu juga
dengan hadirin yang lainnya.
“Aku
dan kakak akan menjadi makhluk yang berbeda dari manusia biasa. Tapi kami bukan
suban, bukan pulah manusia. Sebab itu, kehidupan kami juga akan berbeda dengan
manusia dan suban. Ada pun yaratnya; pertama, carilah dua orang wanita yang
tidak bersuami dan mau menikah dengan kami. Syaratnya wanita itu haruslah masih
dapat mengandung anak. Kedua, buatkan lemang padi arang setiap malam bulan
purnama. Letakkan di tepian mandi kalian dan di pinggiran talang-talang kalian.”
Jelas Puyang Bomi Sajemput.
Depati
Pedatuan Dataran Negeri Bukit Pendape berpikir sejenak. Lalu dia menatap
sekeliling ruangan. Para tetua, para datu-datu, dan hulubalang, panglima satu
persatu. Mereka semua diam dan tenggelang dalam pikiran masing-masing.
Depati,
bertanya apakah di antara mereka ada pendapat atau saran. Kemudian mereka
mengangguk-angguk dan berkata akan berusaha bersama-sama. Mengenai dua wanita
yang akan dinikahkan pada Puyang Rajo Ayo dan Puyang Bumi Sajemput akan
diusahakan. Mudah-mudahan ada wanita yang bersediah dengan tulus.
Tiga
hari kemudian, dua orang janda yang bersedia menikah dengan Puyang Rajo Ayo dan
Puyang Rajo Batu didapat. Janda berumur tiga puluhan tahun bersedia demi
kebaikan wilayah pedatuan. Apa lagi mereka mendengar kalau kedua puyang pertapa
sakti itu akan berubah menjadi makhluk lain untuk selamanya. Hati mereka
tersentuh sebab pengorbanan kedua puyang itu.
Penduduk
bergotong royong membangunkan dua pondok sederhana untuk pasangan yang baru menikah itu. Sehari, dua hari, seminggu, sebulan waktu berlalu. Penduduk
Dataran Negeri Bukit Pendape membuat lemang padi arang seperti yang di janjikan
setiap bulan purnama.
Pada
awalnya kedua istri puyang merasa biasa saja. Hidup tenang di pondok berdua
suami mereka. Yang mereka tidak mengerti semakin hari semakin jarang pulang
suami mereka. Biasanya tiap hari pulang, sekarang seminggu sekali, kemudian
sebulan sekali. Yang aneh mereka selalu menemukan bekas tapak harimau dan buaya
di sekitar pondok mereka.
Istri
kedua puyang telah mengandung. Penduduk tidak mendengar kejadian apa pun. Tapi
yang ada yang aneh, serangan harimau jejajdian terus berkurang. Ada juga
penduduk sering melihat harimau kumbang. Begitu juga di sungai, sering melihat
buaya kumbang.
Setahun
kemudian istri Puyang Rajo Ayo dan istri Puyang Bomi Sajemput melahirkan anak
laki-laki. Menurut orang-orang anak laki-laki itu adalah ringkarnasi dari dua
puyang itu. Masyarakat Pedatuan Dataran Negeri Bukit Pendape mulai tenang dan
aman. Mereka telah berani Sungai Keruh dan sungai lainnya. Begitu juga masuk
hutan dan keladang. Tidak pernah lagi ada diserang harimau jejadian.
*****
Pada
suatu hari, depati dan hulubalang ditemani sepuluh orang prajurit mencoba
berburu ke hutan. Mereka ingin mencari tahu apakah sudah aman untuk berburu.
Selama ini dia tidak pernah mendengar kejadian aneh.
Seumpanya menemukan
harimau mati atau buaya mati. Hanya sering mendengar adanya harimau kumbang dan
buaya kumbang berkeliaran di wilayah mereka. Entah mengapa Puyang Depati dan
pasukan tertsesat. Sehingga mereka tiba di muara Sungai Keruh di Sungai Musi.
Dalam keadaan letih mereka istirahat dimuara.
“Prajurit,
agar bergantian berjaga-jaga.” Hulubalang memerintahkan anak buahnya. Saat
mereka sedang istirahat dan memakan perbekalan. Tiba-tiba air muara sungai
bergemuru. Banyak gelembung-gelembung udara muncul kepermukaan air. Pertanda
ada makhluk yang berjalan di dasar sungai. Semua terkejut bukan kepalang ketika
di permukaan air muncul buaya kumbang yang besar.
Belum
lagi hilang keterkejutan mereka semua. Tiba-tiba auman harimau memekakkan
telinga. Kemudian seekor harimau kumbang muncul dari balik semak-semak.
Semuanya bersiap dengan mencabut pibang kanan. Ada memegang tombak dan siap
memanah.
“Depati,
hulubalang dan prajurit sekalian. Aku adalah Puyang Bumi Sajemput. Jasad
kasarku telah menjelma berubah menjadi harimau. Sedangkan anak yang dilahirkan
istriku adalah titisan darahku. Tolong jaga mereka kerana kami tidak dapat
berubah kembali menjadi manusia. Aku akan terus berkeliaran di Kawasan Dataran
Negeri Bukit Pendape dari muara Sungai keruh ini sampai ke balik Bukit Pendape.
Agar penduduk pedatuan tidak diganggu oleh harimau jejadian lagi.” Kata harimau
kumbang itu.
“Benar
depati, hulubalang dan prajurit sekalian. Aku Puyang Rajo Ayo, yang menjelma
menjadi buaya kumbang. Jasadku juga tidak dapat kembali berubah menjadi manusia
biasa. Tolong jaga anak titisanku yang telah dilahirkan istriku. Aku berdiam
dimuara Sungai Keruh untuk menjaga Sungai Keruh agar tidak dimasuki buaya
jejadian dan buaya sihir dari dukun buaya. Jangan khawatir dukun buaya itu
telah menyadari kesalahan mereka dan berjanji tidak akan melakukan perbuatan
mereka lagi.” Kata buaya kumbang jelmaan Puyang Rajo Ayo.
Puyang
Bomi Sajemput berkata. Kalau pertarungan mereka dengan harimau siluman atau
buaya siluman tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Itulah mengapa penduduk
hanya dapat melihat jejak-jejak kaki saja. Bahkan harimau jejadian pernah
menyerang mereka di pondok. Itulah mengapa istri keduanya sering melihat banyaknya
jejak harimau dan jejak buaya. Dengan penjelasan itu, mengertilah depati dan
pasukannya. Mereka juga mengetahui apa yang terjadi.
Depati
dan pasukan menjadi tenang dan gembira, sekarang. Ternyata mereka berhadapan
dengan jelmaan puyang pertapa sakti itu. Sejak saat itulah, puyang depati
dikenal memiliki dua peliharaan sakti, harimau kumbang dan buaya kumbang. Mitos
itu sampai sekarang masih diceritakan turun temurun di Kecamatan Sungai Keruh
dan sekitarnya. Sampai sekarang juga di Sungai Keruh tidak ada buaya walau
sungai cukup besar.
*****
Dari
kebiasaan membuat lemang pada malam bulan purnama itulah. Penduduk Dataran Negeri
Bukit Pendape akhirnya terbentuk tradisi membuat lemang. Lemang padi arang atau
lemang ketan. Kebiasaan tersebut berlanjut turun temurun sampai harimau tidak
ada lagi di zaman sekarang. Tradisi membuat lemang beramai-ramai masih dapat
dijumpai di Desa Gajah Mati, Desa Kertayu, Desa Pagarkaya. Kadang juga penduduk
membuat lemang secara pribadi.
Oleh.
Joni Apero
Editor.
Desti. S.Sos.
Fotografer.
Dadang Saputra.
Palembang,
16 Juni 2020.
Arti
Kata:
Puyang; Pemimpin, gelar kehormatan, orang sudah tua. Hulubalang; Perwira.
Pibang Kanan; Pedang khas penduduk Dataran Negeri Bukit Pendape. Pibang Kidau;
pisau pasangan dari pibang kanan. Pendape; Nama bukit di Kecamatan Sungai Keruh,
Musi Banyuasin.
Pedatuan: Kawasan berpemerintahan kecil yang bersifat
genoalogis atau seketurunan (marga). Datu; Pemimpin talang; pemimpin kelompok
(kepala desa). Talang; kampung, dusun, desa, pemukiman tradisional.
Dataran
Negeri Bukit Pendape; Kawasan tradisional yang meliputi Kecamatan Sungai Keruh,
Kecamatan Jirak Jaya, Kecamatan Pelakat Tinggi, Sebagian Kecamatan lain di
wilayah seberang Kabupaten Musi Banyuasin. Ukuran wilayah dari tebing Sungai
Musi sampai ke perbatasan Kabupaten Musi Rawas dan Kabupaten PALI.
Sy.
Apero Fublic.
Via
Mitos
Post a Comment