Puyang Buaye: Asal Usul Istilah Buaya Darat Pada Laki-Laki Penjahat Wanita
*****
Suatu hari, seorang gadis seorang berada di rumah seorang diri. Keluarga sedang berada di ladang, menugal padi. Menugal istilah penyebutan menanam padi bergotong royong. Sudah menjadi adat kebiasaan orang Melayu kalau seorang gadis selalu di rumah. Membersihkan rumah, memasak dan menenun songket. Hal demikian dimaksudkan agar mereka terbiasa dan terlatih saat menikah nanti.
Siang itu, keadaan Talang Lebang sedang lengang. Sebuah rumah yang terletak agak ketepi. Halaman rumah panggung tipologi basepat tampak bersih, sebab baru selesai di sapu. Seorang gadis di serambi depan sedang duduk menenun songket. Warna kuning emas khas songket Palembang. Dia berbaju kurung bersulam benang emas, berkain sepinggang, rambut panjangnya diselimuti dengan selendang songket. Betapa caniknya gadis Melayu.
Sementara itu, di Sungai Keruh tidak jauh dari rumahnya. Seekor buaya besar muncul dari dalam air, lalu merayap naik tebing sungai. Tampak jejak kakinya membenam di tanah berlumpur. Terus merayap menuju pemukiman penduduk Talang Leban, lalu menghilang di semak-semak.
*****
Seorang pemuda berwajah tampan, berumur
dua puluhan tahun. Berjalan santai di jalanan bedebu pasir puti. Tanjak
songket bersulam benang biru melingkar di kepalanya. Baju kurung berlengan
panjang, celana pajang kuning, dan di pinggangnya melingkar kain songket merah.
Dia berjalan melewati sebuah rumah.
“Permisi, maaf
menggangu adinda. Bolehkah tahu apa nama talang ini.” Tanya pemuda tampan itu dengan
ramah, diikuti senyum manis.
“Talang Leban namanya kanda. Siapakah kakanda kiranya, dan mau ke
mana.” Jawab gadis cantik itu, dia berdiri di serambi rumahnya. Tampak
malu-malu dengan kerudung songket itu.
“Saya datang dari jauh, dari bumi
pedatuan seberang.
Hendak berkelana dan melihat-lihat negeri-negeri Melayu.” Ujar si anak muda. Tampak
tangannya memegang sebuah senjata, dan pedang menggantung di pinggangnya.
“Oh, begitu kiranya. Silahkan lanjutkan
perjalanan kakanda. Saya masih banyak pekerjaan.” Jawab si gadis.
“Adinda, bolehkan kakanda mampir dan
menumpang minum sebentar.” Kata si pemuda.
“Maaf kakanda, bukan tidak menghargai dan bermaksud menolak tamu. Tapi sudah menjadi adat istiadat kita orang Melayu. Seorang wanita yang sendiri, tidak boleh menerima tamu laki-laki. Baik itu gadis, istri orang tidak patut berdua dengan laki-laki yang bukan saudara sekandungnya. Jangankan orang lain, saudara iparnya, atau saudara lain yang sudah jauh juga tidak boleh. Saya berharap, kakanda mengerti dengan adat istiadat kita ini.” Jelas si gadis. Kemudian dia kembali menenun dan tidak memperdulikan si pemuda itu. Si pemuda itu berbalik, kemudian dia meracau membaca mantra-matra.
“Hum, segalah puyang aingin, datu segalah penjuru. Tanah berkuasa tas langit. Langit mengunci hati dan pikiran. Berbalik arah matahari terbit. Hujan dan malam begitu gelap. Hum. Hum. hum” Pemuda itu menghentakan kaki tiga kali ke bumi.
Ada angin deras bertiup kencang. Kemudian menerpa si gadis itu. Entah apa yang terjadi membuat si gadis hilang kesadaran dirinya. Dia meresa dunia berbeda dan indah sekali. Lupa akal sehatnya dan merasa sangat dekat dengan pemuda yang belum dia kenal. Tapi seakan dia sangat mencintainya.
Dengan perlahan dia bangkit dan membuka pintu serambi yang sebatas pinggang tingginya. Pemuda asing itu, naik tangga rumah dengan senyum lebar. Tampak taring dikedua belah giginya. Si pemuda masuk dan menutup pintu. Cukup lama mereka berdua di rumah si gadis. Setelah selesai dengan urusannya si pemuda asing itu pergi menuju Sungai Keruh. Saat di bibir tebing dia terjun ke dalam sungai, lalu wujudnya berubah menjadi buaya.
*****
Si gadis yang ditinggal tampak termenung. Dia baru sadar ketika mendengar kokok ayam. Dia merasa bingung dengan dirinya yang terbaring di kamarnya. Dia hanya memakai kain sebidang. Kemudian dia keluar dan tetap tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Hal demikian terjadi berlanjut beberapa bulan lamanya. Orang tua si gadis juga merasa aneh mengapa anak gadis demikian. Sering merenung, menyendiri dan menyendiri.
Di tempat lain kejadian serupa juga terjadi. Pemuda asing itu, datang dan pergi mendatangi gadis-gadis seperti itu. Dalam waktu beberapa bulan sudah puluhan korban si pemuda asing yang dapat berubah menjadi buaya. Banyak terjadi keributan dan keguncangan di setiap Talang penduduk.
Dimana mereka mendapati anak mereka hamil tampa menikah. Orang-orang tua juga merasa anak-anak gadis mereka baik-baik saja. Memiliki tabiat baik dan selalu menjaga kehormatan. Beberapa orang tua menyiksa anak mereka yang hamil tanpa bersuami. Namun apa pun yang mereka lakukan, mereka tidak dapat mengetahui. Bahkan hampir saja orang tua membuh anak perempuannya.
Kejadian aneh itu menjadi perhatian serius Depati Puyang Pedatuan Bukit Pendape. Maka dia mengumpulkan semua datu-datu semua talang, jurai tue dan panglima dan hulubalang, para puyang untuk bermusyawara. Untuk memecahkan permasalahan yang mereka hadapi bersama itu.
“Aku punya ide,
yang mungkin cukup baik untuk mengatasi permasalahan ini.” Usul Depati.
“Baiklah, kita
akan mencoba apa rencana Depati.
“Siapa diantara
kalian yang punya anak perawan, yang cantik dan baik.” Tanya Depati, mereka
saling pandang di dalam ruangan Balai Datu. Tapi sepertinya mereka mulai
menangkap maksud dari pertanyaan Depati.
*****
Di Talang Sialang Rengas, yang terletak di pinggir Sungai Sake. Dinamakan Talang Rengas karena di sisi talang terdapat dua pohon rengas besar yang tumbuh berdempet. Pohon rengas ukuran besar dan tinggi. Setiap musim bunga lebah selalu membuat sarang di dahannya. Sehingga penduduk selalu memanen madu pada waktunya.
Siang itu, seorang gadis berumur dua puluhan tahun sedang membersihkan rumah. Bernyanyi riang seraya menyapu lantai rumah dengan sapu ijuk, bergagang rotan semambu. Talang tampak sepi sekali bahkan hampir tidak ada penduduk. Hanya beberapa orang anak-anak yang bermain-main di halaman rumah mereka. Karena penduduk berada di ladang mereka, sibuk mengetam padi. Sementara itu, di perairan Sungai Sake muncul seekor buaya besar. Kemudian buaya itu menepi dan naik ke atas tebing sungai dan menghilang di semak-semak.
*****
“Dua rumpun
serai ditanam.
Ditanam di
samping dapur.
Biarpun bercerai
dan tanam.
Tanam cinta
takkan hancur.”
Gadis cantik
itu berpantun dengan bahasanya. Arti dari pantunyya itu. Biar berpisah atau
meninggal. Kalau cinta tidak akan hilang semalanya. Kali ini dia menyapu di
tangga depan rumah. Halaman rumah tampak berumput hijau dan banyak ternak
merumput. Dari jauh terdengar anak-anak bermain dan koko ayam jantan.
Tiba-tiba.
“Hai, adik yang cantik nan baik hati.
Boleh kakanda bertanya.” Sapa pemuda tampan itu. Gadis itu
terkejut, seketika dia berhenti menyapu dan berdiri di anak tangga papan.
“Boleh, kakanda.” Jawab si gadis dengan
lembut.
“Talang apakah ini, namanya?.” Tanya
pemuda asing yang gagah perkasa.
“Talang Sialang Rengas.” Jawab si gadis, lalu bertanya juga.
“Kakanda siapa, dan dari mana?.
“Kakanda dari bumi pedatuan
seberang
yang jauh. Sedang berkelana hendak mencari pengalaman dan melihat negeri-negeri
orang Melayu.” Jelas si pemuda muda itu.
“Oh, silahkan
kakanda melanjutkan perjalanan.” Kata si gadis, dia hendak naik ke rumah.
“Adinda, boleh kakak menumpang minum
beristirahat sebentar.” Tanyanya dengan senyuman rama.
“Maaf kakanda, adinda sedang sendiri di
rumah. Keluarga adinda sedang di ladang mengetam padi. Adat dan budaya kita, seorang gadis, seorang wanita, tidak
boleh menerima tamu laki-laki. Kalau tidak ada keluarga atau suaminya di rumah.
Mohon dimengerti dan janglah tersinggung.” Jawab si gadis dan melangkah ke
rumah dan menutup pintu.
Sementara itu, tanpa diketahui oleh pemuda itu. Dua pasang mata mengawasi keduanya dari
balik semak-semak lebat tidak jauh dari rumah panggung itu.
“Oh, begitu.” Ujar si pemuda. Kemudian dia berbalik dan mulutnya membaca matera. Angin tiba-tiba berhembus dan masuk rumah melalui jendela terbuka lalu menerpa si gadis. Entah apa yang terjadi, si gadis cantik tampak berubah seperti kehilangan akal sehatnya. Dia kemudian melepas sapu di tangannya. Lalu tersenyum manis pada pemuda asing itu.
Si gadis membuka pintu dan mengulurkan tangannya. Seakan dia menyambut kekasihnya yang sudah lama tidak bertemu. Pintu rumah di tutup kembali dan keadaan sepi. Sementara itu, dua pasang mata yang mengawasi tadi bangkit. Lalu keduanya meniup tangan yang menimbulkan bunyi seperti bunyi suara burung. Berulang-ulang dan bersahut-sahut.
*****
“Gubrakkkkk. Prassss.” Pintu plapon
rumah terbuka, terjun dua sosok laki-laki kekar. Lalu mencabut pibang kidau dan
pibang kanan.
Kemudian tiga keranjang bunang besar di sudut rumah terbuka dan di lempar dan keluar tiga orang laki-laki.
Langsung menyerang si pemuda asing yang sedang memeluk si gadis. Dan hendak
mencium wajahnya.
“Haiiiiiiii. Binatang busuk, tenyata
dirimu yang berbuat ulah, merusak anak gadis orang dengan ilmu sihir.
“Biadabbbbb.” Suara-suara terdengar dari
dalam rumah. Kemudian terdengar perkelahian yang diikuti bunyi denting suara senjata beradu. Dari ruangan
tengah rumah juga muncul empat prajurit terlati pedatuan.
“Braakkkkk.” Pagar jendela yang terbuat dari kayu hancur berantakan. Sebuah tubuh terpental dan jatuh di tanah. Empat orang juga melompat menyusul dan berdiri mengepung si pemuda asing. Si pemuda asing bangkit dan mencabut pibang kidau dari sarung yang terselip di depan perutnya.
Belum lagi habis keheranan si pemuda asing. Muncul dari setiap penjuru laki-laki bersenjata lengkap. Tampak Depati, Datu Talang Sialang Rengas, dan hulubalang yang di ikuti prajurit. Bukan hanya itu, puluhan warga juga ikut. Dia terkurung dan terjepit sekarang.
“Ini rupa binatang yang suka merusak
anak gadis orang. Mengganggu wanita-wanita bersuami.” Ujar Depati.
“Aku akan mencintang tubuhmu. Kau
begitu bejat merusak anak gadisku. Untung Aku tidak sampai membunuhnya. Ternyata
dia kau pengaruhi dengan mantra sihir buayamu.” Ujar Orang itu.
“Ha..ha..ha..ha. Ya, memang Aku. Kalian tidak akan bisa menghentikan
Aku.”
Ujarnya dengan sombong, seraya menghapus darah melele dari pipinya. Depati
memerintahkan pasukannya mengurung dan empat laki-laki tadi mulai menyerang
lagi.
"Matilah kau penjahat
kelamin." Teriak seorang penyerang. Empat penyerang adalah hulubalang
Pedatuan.
Serangan bertubi-tubu dan serangan juga mengenai si pemuda asing itu. Tubuhnya terpental dengan dua luka sabetan, darah segar keluar dari mulutnya. Dia bangkit perlahan, dan pasukan pedatuan kembali mengurung. Mereka meminta pemuda asing itu untuk menyerah. Tiba-tiba si pemuda asing itu menaburkan kantong berisi bubuk ke udara. Membuat pedih mata-mata yang mau menangkapnya.
Beberapa kali dia terus menaburkan bubuk itu. Sehingga dia dapat meloloskan diri kepungan. Berlari terseok-seok menuju Sungai Sake. Dara menetes sepanjang jalan. Semua orang mengejar dan dia kembali terkurung di dekat tebing Sungai Sake. Depati dan para pengejarnya berjalan pelan mendesak ke tebing sungai.
“Wusss. Croottt.” Sebuah anak panah
menancap di paha kirinya.
“Aaakkkk.” Pemuda asing itu menjerit.
Sebentar lagi pemuda itu akan
tertangkap pikir semua orang. Di sepanjang aliran sungai di sekeling telah
dikepung pasukan dan masyarakat. Pemuda asing terus berlari terhuyung-huyung.
Dia tersenyum lebar saat melihat air sungai di depan mata. Dia tidak
memperdulikan prajurit di sekitar tebing. Tanpa banyak pikir dia melompat menaburkan
debu-debu yang membuat para pengepung hilang kosentrasi. Bersamaan dengan itu
tubunya jatuh berguling dari atas tebing dan masuk kedalam air.
“Kemana keparat
licik itu.” Tanya seorang prajurit. Depati dan yang lainnya datang di bibir
tebing sungai. Dia hanya melihat gelombang permukaan air.
“Burrrrr.” Ekor
buaya melibat permukaan tanda berenang menyelam. Semua tahu kalau orang itu
dapat beruba menjadi buaya atau menjadi manusia.
*****
Depati Puyang Mato Kilat mengadakan musywara
besar besok paginya. Dia mengumumkan agar tidak membiarkan anak gadis sendiri di
rumah. Begitu juga perempuan dilarang mandi di sungai sampai waktu tidak di
tentukan. Setiap talang harus mengirim tim memburu manusia buaya itu.
Masyarakat harus waspada dan berjaga-jaga siang dan malam. Manusia buaya harus
di buru sekarang, karena dia dalam keadaan terluka. Untuk mengakhiri teror manusia yang
memiliki sihir buaya. Harus dilakukan penyisiran besar-besaran di setiap sudut hutan dan sungai-sungai.
“Bagaimana menurut para datu dan jurai tue
semua. Apakah ada hal yang perlu ditambahkan dalam hasil rapat hari ini.” Tanya
Depati.
“Tidak ada
Depati, tinggal kita berjuang terus memburu lelaki buaya itu.” Kata seorang
Datu.
“Benar Depati,
walau
bagaimanapun saktinya lelaki buaya itu. Pasti dia memiliki sarang,
atau tempat tinggal.
Kita dapat menelusuri jejak kakinya di sungai-sungai. Luka di tubuhnya juga
belum dapat sembuh dalam waktu singkat. Maka, kita tidak boleh menunda waktu
harus bergerak cepat.” Kata Puyang Bijak Betua dia seorang
jurai tue pedatuan.
“Depati, menurut pengetahaun dari
orang-orang tua. Apabila kita menghadapi ahli sihir sebagaimana sihir buaya.
Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dan ketahui. Pertama, kita tidak
boleh hanyut dalam kata-kata penyihir. Misalkan dia berkata, "Saya akan
berubah menjadi buaya." Maka kita lawan dalam pemikiran kita. Pikirkan dia
tidak bisa menjadi buaya walau penglihatan kita dia telah berubah menjadi
buaya. Kedua, kita jangan takut sebab yang tampak hanyalah penglihatan kita.”
Ujar Datu Pagarkaye menjelaskan.
“Baiklah, saya rasa rapat kita selesai.
Mulai dari sekarang persiapkan pasukan dan perbekalan. Bangun komunikasi dengan
mempersiapkan pengantar informasi, bawa merpati pengantar surat. Buat tim-tim
pencari untuk menelusuri jejak.” Kata Depati. Semua menjawab siap dengan
meletakkan tangan di dada masing-masing. Pencarian dimulai, dengan perahu dan rakit
menyusuri sungai. Ada juga pasukan dari darat yang menerobos hutan. Prajurit dan
masyarakat bekerja sama bahu mebahu.
*****
Seekor buaya hitam mengikuti perahu
bidar Hulubalang Gatra. Tapi mereka tidak tahu sebab buaya itu mengikuti dari jarak yang cukup jauh.
Perahu melaju perlahan menyusuri tebing Sungai Keruh. Memperhatikan setiap
jengkal tebing mencari jejak buaya atau jejak manusia.
“Hulubalang, lihat di sini ada bekas dara mengering dan ada
jejak kaki manusia.” Seorang prajurit memberi tahu. Perahu Hulubalang Gatra
mendekat tebing yang landai. Di tebing berlumpur tampak ada jejak kaki buaya. Tetesan dara mengering, serta jejak
kaki naik ke atas
tebing. Hulubalang memerintahkan lima prajurit naik kedaratan. Hulubalang Gatra
juga melompat ke atas tebing sungai.
“Huuppppp.”
Sekali lompat dia diatas, membuat kagum para prajuritnya. Ilmu meringankan
tubuh sudah sempurna. Sementara para prajurit harus naik menggunakan kaki.
Mereka memperhatikan sekitar. Jejak buaya menghilang, tinggal jejak kaki
manusia. Seorang prajurit menemukan potongan anak panah berlumuran darah.
“Tidak salah lagi, ini pasti jejak laki-laki buaya keparat itu. Kirimkan kabar ke Depati, kalau di lubuk Tapa
ditemukan jejak. Buaya menuju hutan Rimba Tinggi.” Perintah hulubalang Gatra. Merpati
diterbangkan dan sampai ke tangan Depati Pedatuan. Hulubalang Gatra meninggalkan jejak arah mereka dengan cara
mematahkan ranting ke kanan. Agar dapat diikuti arah mereka. Sementara seluruh pasukan
yang bertugas di tempat lain diperintahkan Depati menuju Hutan Rimba Tinggi untuk membantu Hulubalang Gatra.
“Hulubalang,
tadi Aku melihat sesuatu yang besar dan berwana hitam di permukaan lubuk tapa.
Tapi kemudian menghilang ke dalam lubuk.” Cerita seorang prajurit.
“Mungkin
potongan pohon hanyut dan tenggelam.” Jawab temannya. Mereka berenam tidak
memikirkan cerita prajurit itu. Sementara itu, di lubuk tapa sosok hitam keluar
dari dalam air dan naik ke atas tebing dan menghilang di balik semak-semak.
*****
Sekaran Hulubalang Gatra dan
pasukannya tiba di pinggiran lebung
berair jernih. Beberapa prajurit mendekat lebung dan hendak minum sekaligus
mencuci muka. Di seberang lebung, sesosok bayangan bertopeng mengintai.
Kemudian dia mengeluarkan potongan lidi enau. Mulut komat
kamit membaca materanya. Lalu melemparkan puluhan batang lidi enau ke
dalam lebung.
Kemudian dia pergi meninggalkan tempat itu. Ajaib, setiap batangan lidi berubah
menjadi buaya besar. Lalu menyelam berenang menuju dua prajurit yang sedang
mencuci wajah. Dua prajurit melihat bayangan aneh di dalam air
lebung yang jernih, keduanya melompat mundur.
“Buuaarrrrr.” Sepuluh buaya muncul
kepermukaan air dan naik darat. Menyerang hulubalang dan para prajurit yang sedang istirahat.
Mereka semua sibuk mengadapi buaya itu. Tiba-tiba disekeliling mereka muncul
puluhan buaya. Maka mereka dibuat kerepotan bukan alang kepalang. Sudah ada yang tergigit dan
terluka akibat serangan buaya misterius. Beberapa buaya dapat dipenggal mati. Hulubalang
Gatra kerepotan sekali dan keadaan genting.
“Tar. Tar.” Suara lecutan selendang
menghantam buaya-buaya itu. Bayangan hitam muncul dan menyerang buaya-buaya
miterius itu. Saat terkena lecutan selendang hitam orang itu, buaya-buaya itu
menghilang semua. Kini berdiri seorang lelaki tua berpakaian serba hitam. Mereka heran
dengan kakek-kakek yang muncul entah dari mana.
“Terimakasih
atas bantuan Uwa, ternyata itu buaya sihir.” Kata Hulubalang Gatra.
“Siapakah Uwa kiranya.” Tanya seorang
prajurit.
Lelaki tua itu duduk dan diikuti hulubalang dan pasukannya. Dia menyebut
dirinya Puyang Buaye Kumbang. Dia memiliki murid durhaka bernama Sadarama dan
telah menyalah gunakan ilmu yang dia ajari. Muridnya suka berbuat bejat
mengganggu wanita-wanita. Muridnya telah pergi melarikan diri dua puluh tahun
lalu.
Puyang Buaye
Kumbang menceritakan kalau dirinya sudah menyusuri banyak sungai di Batanghari
Sembilan. Seperti dia akan menemukan Sadarama di Pedatuan Bukit Pendape. Hulubalang juga menceritakan kejadian-kejadian buruk di
Pedatuan Bukit Pendape, dan ada kesamaan cerita dan kejadian. Mereka sepakat
mencari bersama-sama laki-laki buaya yang bernama asli Sadarama.
“Dia bukan
pemuda lagi, mungkin umurnya sekarang d iatas lima puluh tahun. Dia menggunakan
mantra bersalin rupa. Sehingga dapat mengubah wujudnya menjadi tua atau muda.”
Jelas Puyang Buaye Kumbang.
*****
Sementara itu jauh di tengah belantara hutan Rimba Tinggi. Seorang laki-laki berumur di atas lima puluh tahun sedang duduk bersilah di bawah sebatang pohon. Tidak jauh darinya tampak beberapa pondok sederhana di huni puluhan wanita hamil dan anak-anak. Mata laki-laki itu terpejam dan membaca mantera. Cuaca cerah berawan putih tiba-tiba berubah menjadi hitam dan angin berhembus kencang.
Hujan turun dengan lebatnya. Laki-laki itu kemudian melemparkan potongan-potongan lidi enau ke genangan air hujan seraya terus menerus membaca mantera. Ajaib, semua batang lidi berubah menjadi buaya-buaya besar, ganas dan lapar. Lalu bergerak masuk hutan dan menghilang di balik semak-semak.
Pasukan bantuan Depati mulai memasuki Hutan Rimba Tinggi. Sementara Hulubalang Gatra, Puyang Buaye Kumbang dan pasukan juga terus masuk kedalam hutan. Hujan tidak menghalangi mereka, dan terus bergerak menacari Sadarama. Laki-laki bejat perusak anak perawan orang.
*****
Sementara Depati Puyang Mato
Kilat, Pangliam Pedatuan, dua hulubalang, ratusan prajurit, ratusan pemuda,
beberapa orang datu
terus bergerak mencari lelaki buaya di hutan Rimba Tinggi. Depati meminta
mencari jejak Hulubalang Gatra dan jejak manusia lainnya. Tiba-tiba terdengar
jeritan di mana-mana.
“Buaya.. buayaaaaa. Ahhhhh.” Teriakan
dan jeritan memenuhi hutan. Mereka terkejut bagaimana bisa di dalam hutan yang jauh
dari sungai-sungai banyak sekali buaya. Setiap mereka berhasil memenggal atau
minikam buaya dengan tombak. Tapi buaya-buaya terus berdatangan
tiada habisnya. Membuat mereka kelelahan dan mulai banyak yang terluka. Bahkan sudah
ada yang
tewas diterkam buaya. Buaya-buaya muncul dan mucul membuat semuanya kewalahan. Tubuh mereka
berkubang lumpur dan pakaian robek-robek oleh rerantingan semak atau duri
hutan.
“Ahhh.” Depati menjerit dia terkena
kibasan ekor buaya. Tubuhnya jatuh ketanah yang dipenuhi air hujan. Datu Puyang
Bijak Betua dari Talang Leban mau membantu. Tapi tiga ekor buaya menghadang lalu
menyerang.
Sementara hulubalang dan panglima tidak kalah repotnya. Para
prajurit dan pemuda juga demikian. Depati dalam bahaya besar, dua ekor buaya merangkak cepat
menyerangnya dengan kibasan ekornya. Membuat Depati terpental dan
tubuhnya terpental. yang
terbanting di tanah. Puyang Bijak Betua tiba-tiba juga jatuh di samping
beliau. Dua orang tua itu tampak sangat kewalahan.
“Tarr. Tarr. Taarr.” Lecutan selendang
hitam terdengar, bersamaan muncul bayangan hitam menghantam setiap
buaya-buaya itu. Hulubalang Gatra membantu Depati, dua
prajurtnya membantu Puyang Bijak Betua dan sisa pasukan berjaga sekitar. Beberapa saat
kemudian buaya-buaya itu menghilang karena serangan selendang hitam si kakek. Hujan mulai redah dan cuaca kembali
cerah. Panglima tampak tertatih-tatih mendekati meraka.
“Depati, tidak apa-apa.” Tanya Hulubalang Gatra. Depati mengangguk, mereka saling
bertanya kabar. Dia mengenalkan Puyang Buaye Kumbang ke semuanya dan bercerita
singkat.
“Depati, ada dua puluh orang yang
gugur, lima belas luka para dan tiga puluh luka ringan.” Lapor hulubalang
Katang. Depati memerintahkan membuat tenda perawatan dan membuat tandu
untuk membawa yang terluka dan gugur. Setelah musyawara singkat mereka meneruskan pencarian. Kali ini
Puyang Buaye Kumbang yang memandu pencarian.
“Sepertinya
sudah tidak terlalu jauh. Karena dia sudah bisa mengirim buaya sihirnya.” Jelas
Puyang Buaye Kumbang.
*****
Beberapa saat kemudian,
mereka
menemukan enam pondok. Banyak anak-anak bermain. Puluhan
ibu-ibu muda yang sedang mengerjakan pekerjaan rumah. Menumbuk padi, menimbah
air, memasak dan memotong kayu bakar. Ada yang sedang hamil tapi beranak kecil. Disekeliling Talang kecil
itu banyak kolam-kolam ikan. Di tengah pemukiman kecil itu ada rumah besar.
Tampak seorang laki-laki berumur empat puluhan tahun sedang mengayam bubu.
“Paman, boleh bertanya.” Tanya seorang
prajurit Hulubalang Gatra. Orang itu mengangguk dan juga cuek.
“Apakah pernah menemukan seseorang
laki-laki asing, yang tinggal di sekitar hutan ini.” Tanya Prajurit lagi.
“Pernah dik, dia tinggal jauh di sebelah bukit
sana. Saya hanya sekali-sekali bertemu.” Jawabnya. Hulubalang melihat di halaman rumah berserakan potongan lidi. Dia
memperhatikan ibu-ibu yang tampaknya seperti tidak punya pikiran. Mereka kaku
dan terus bekerja tanpa ada basa basih seperti wanita normal. Mereka seperti
tidak memperdulikan kedatangan mereka. Pasukan hulubalang terus menyelidiki dan menemukan
lebih banyak potongan lidi.
“Laporkan pada depati dan Puyang Buaye Kumbang kalau kita banyak menemukan potongan lidi sebagaimana ciri-ciri yang disebutnya.” Prajurit itu mengangguk, dia melangkah pergi menemui pasukan yang mengepung talang kecil itu. Prajurit itu, tiba-tiba diserang seekor buaya yang melompat dari dalam kolam. Tubuhnya jatuh kedalam kolam dan menjadi mangsa buaya. Hulubalang terkejut, saat dia melihat si kakek telah mencabut pibang dan menyerang dua prajurit hingga tewas.
“Heaaaaa.” Giliran hulubalang di serang dan terjadilah pertarungan hebat. Hampir saja lehernya putus ditebas pibang laki-laki itu. Sisa pasukan juga diserang buaya yang keluar dari dalam kolam. Seorang prajurit meniup tangan tanda bahaya bagi mereka. Depati memerintahkan yang lainnya segerah membantu dan mengepung tempat itu. Ternya di dalam kolam adalah buaya asli yang dipelihara dan dikendalikan Puyang Buaye. Pertarungan terjadi, buaya-buaya satu demi satu tewas dipenggal pasukan. Ibu-ibu masuk mengurung diri di dalam rumah mereka.
“Sekarang menyerahlah manusia buaya.”
Kata Hulubalang. Dia kemudian berhasil menyabetkan pibang di kedua kaki
kakek-kakek itu. Sehingga dia jatuh dan berlutut tidak dapat berdiri. Perlahan
wujudnya berubah menjadi laki-laki berumur di atas lima puluhan tahun, wujud aslinya.
“Oh, ini rupanya wujud aslimu, laki-laki buaya.” Ujar Hulubalang Gatra.
“Aku belum kalah.” Dia tertawa, lalu
membaca mantera. Tiba-tiba angin berhembus dan semua potongan lidi-lidi yang
berserakan berubah menjadi buaya. Semua terkurung oleh ribuan buaya ganas yang
lapar. Semua terkejut bukan kepalang. Mereka mulai putus asa, dan menyadari
musuh mereka adalah musuh berat.
“Tarrr. Taarrr.” Tubuh Sadarama terpukul
selendang hitam Puyang Buaye Kumbang. Seketika sihir buaya lenyap. Buaya
jadi-jadian kembali berubah menjadi potongan lidi enau. Sadarama terkejut bukan alang kepalang.
“Guru.” Itulah seucap kata keluar dari
mulutnya. Depati, pangliam, hulubalang Kanta, para datu dan semuanya mendekat.
“Murid durhaka, sekarang kau akan dihukum atas kejahatanmu.” Kata Puyang Buaye Kumbang. Sadarama ketakutan dan kekuatannya sihirnya tiba-tiba menghilang. Setelah semua berkumpul dan sepakat menghukum mati Sadarama. Depati memerintahkan hulubalang Gatra untuk menghukum pancung Sadarama. Puyang Buaye Kumbang menangis sedih dan dia langsung pamit pulang setelah melihat Sadarama dihukum mati.
Wanita-wanita yang diculik Sadarama kembali tersadar dan kembali ke rumah orang tuanya. Tangis haru mereka pecah saat berjumpa dengan keluarga. Tapi mereka sudah memiliki anak, laki-laki dan perempuan. Anak-anak Sadarama dewasa, dan menikah serta memiliki anak cucu sampai sekarang.
Puyang Buaye Kumbang memutuskan tingga di Pedatuan Bukit Pendape. Dia sering berubah wujud menjadi buaya kumbang. Itulah ada cerita-cerita masyarakat di Kecamatan Sungai Keruh tentang adanya buaya kumbang di Sungai Keruh. Setelah kematian Sadarama, kehidupan Pedatuan Bukit Pendape kembali damai dan tenang. Sejak saat itu juga, setiap laki-laki yang suka mengganggu dan mempermainkan wanita di juluki, lelaki buaya. Kemungkinan dia juga keturunan dari Sadarama si Puyang Buaye.
Post a Comment