Memperingati Satu Suro: Sejarah Budaya Rowahan Di Sumatera Selatan.
Perhitungan
kalender umat Islam mengikuti perhitungan peredaran bulan mengelilingi
matahari. Sehingga sering juga tahun hijriyah disebut tahun Komaria. Itulah
mengapa, sering simbolis keislaman dilambangkan dengan bulan sabit dan bintang.
Dapat kita lihat seperti diatas kubah masjid, bendera-bendera negara Islam, dan
lainnya. Begitu juga dengan bendera Kekhalifaan Turki Usmani dan Kesultanan
Aceh Darussalam juga bersimbol bulan sabit dan bintang.
Islam
berkembang pesat di dunia, menyebar ke Nusantara atau Kepulauan Melayu. Tidak
dapat dihindari Islam masuk kedalam budaya masyarakat setempat. Lalu berasimilasi
kedalam kehidupan masyarakat, seperti dalam adat istiadat, dan budaya. Sistem
penanggalan juga berasimilasi ke dalam kebudayaan masyarakat Jawa. Sampai
sekarang walau di Indonesia masih memakai sistem kalender Masehi. Hasil
kebudayaan masyarakat yang berpadu dengan Islam tetap terjaga.
Seperti
pada masyarakat di Desa Tridadi, Kecamatan Madang Suku I, Kabupaten Ogan
Komering Ulu Timur (OKU Timur), Provinsi Sumatera Selatan. Mereka dengan rutin
menggelar kegiatan penyambutan tahun baru Islam, acara suroan.
Suroan adalah acara pada malam tanggal I Suro atau I Muharam. Kegiatan terdiri dari pengajian, ceramah, takbiran, dan banyak lagi lainnya. Dalam memperingati satu Suro
juga diadakan kegiatan sosial seperti mengumpulkan dana untuk disumbangkan.
Seperti mengumpulkan dana untuk membantu bencana atau diserahkan pada panti asuhan dan lainnya tergantung situasi tahun-tahun tersebut. Kebiasaan memperingati malam Satu Suro sudah berlangsung sejak dahulu atau turun temurun. Sehingga bagi masyarakat disini sudah biasa dengan acara memperingati tahun baru Islam.
Setelah acara formal selesai, dilanjutkan makan nasi takir. Nasi takir terdiri dari nasi dan lauk pauknya diwadahi dengan daun pisang. Hidangan ini dibawa oleh warga dari rumah perorangan. Sebelum acara suroan digelar. Masyarakat telah mengadakan musyawarah pembentukan panitia pengurus.
Mengumpulkan keuangan sesuai kesepakatan. Salah satu yang dipersiapkan panitia adalah utuk biaya memasak hidangan, disebut ingkung. Ingkung nanti dibawa ke lokasi memperingati Satu Suro. Kemudian dibagikan di sana atau dimakan bersama-sama.
Dalam kalender Jawa-Islam nama bulan diganti dengan bahasa Jawa. Berawal pada masa Pemerintahan Sultan Agung di Kesultanan Mataram di Yogyakarta. Beliau berusaha keras menanamkan pengaruh Islam di Pulau Jawa.
Dengan demikian, Baginda Sultan mengganti sistem penanggalan tahun Saka dengan penanggalan sistem tahun Hijriyah. Maka munculah kalender Jawa Islam. Perhitungan kalender; yaitu dilakukan penyambungan hitungan tahun Saka, ketika itu tahun 1555. Disambung dengan sistem hitungan tahun Hijriyah, ketika itu tahun 1043.
Pada
masyarakat di Sumatera Selatan saat memasuki bulan Syakban ada budaya dimana
sering melakukan sedekah Rowah, atau rowahan. Sedekah rowah juga dalam rangka bersiap menyambut bulan Ramadhan. Sedekah dalam artian bahasa
Melayu adalah hajatan. Kata Rowah diambil dari nama bulan dalam kalender Jawa
Islam, Ruwah (Bulan Syakban). Ruwah berarti arwah atau bulan arwah. Sehingga muncul istilah kata sedekah rowah pada masyarakat Sumatera Selatan.
Oleh karena itulah, saat melaksanakan sedekah rowah penduduk selalu membaca surah yasin. Mengirim surah Al-Fatihah pada arwah keluarga yang sudah meninggal. Solawat pada Rasulullah SAW, berdoa untuk para sahabat nabi, dan lainnya. Setelah itu, makan jamuan tuan rumah. Pengaruh budaya tersebut masuk, kemungkinan karena Palembang pernah menjadi daerah protektorat (perlindungan) dari Kesultanan Mataram.
Memperingati Satu Suro pengaruh kalender Jawa-Islam begitu juga acara rowahan juga pengaruh kalender Jawa Islam.
Oleh.
Eka Apriyani.
Editor.
Desti. S.Sos.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
OKU
Selatan. 20 Agustus 2020.
Sy.
Apero Fublic.
Post a Comment