Naskah Palembang: Hikayat Galuh Digantung
Satu
lembar halaman naskah 26 baris terdiri dari 376 halaman. Pendahuluan berupa
syair dan terdapat keterangan mulai menulis naskah pada 27 Safar 1283 Hijriah
atau tahun 1866 Masehi. Pada kolopon akhir menjelaskan kalau naskah selesai
pada 1 Syakban 1300 Hijriah atau 1882 Masehi.
Naskah
Inu Kertapati atau Hikayat Galuh Digantung ditulis oleh Kemas Abdulhamid atau
Kemas Hasan di Kampung 7 Ulu, Kota Palembang. Gelar Kemas memang gelar-gelar
tradisional di Palembang. Kemungkinan gelar Kemas adalah perpaduan budaya Jawa,
perubahan kata dari panggilan Kiai Mas. Naskah ditulis dengan aksara Arab
Melayu atau Aksara Jawi. Jawi adalah istilah penyebutan Nusantara pada masa
Islam.
Istilah Jawi dipakai oleh seluruh kawasan Islam-Melayu di Asia Tenggara pada masa itu dalam kurun 1200 Masehi sampai 1900 Masehi. Pada masa ini ulama-ulama nusantara dan sastrawan menulis dengan aksara Arab berbahasa Melayu. Baik itu buku-buku tentang keagamaan Islam, administrasi negara, surat resmi, undang-undang, dan kesastraan. Berikut ini ringkasan isi dari Naskah Hikayat Galuh Digantung.
Ringkasan
Bagian 1.
Bangbang
Sedaka adalah seorang keturunan dewa. Ia memerintah sebuah kerajaan yang
bernama Mayapadi. Oleh karena itu ia keturunan dewa, pada suatu ketika ia
kembali ke kayangan, tempat asalnya. Akibatnya, Mayapadi menjadi sepi. Hal ini
diketahui para dewa.
Para
dewa tidak menghendaki itu. kejadian ini disampaikan oleh Batara Kala kepada
Batara Guru. Batara Guru segerah mengumpulkan semua dewa untuk memperbincangkan
masalah kekosongan Mayapadi. Satu-satunya tindakan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah itu adalah menurunkan sepasang dewa ke Mayapadi.
Batara
Guru menyatakan bahwa Batara Nayakesuma dan istrinya turun ke Mayapadi. Hasil
musyawara itu menyatakan bahwa hanya Batara Nayakesuma dan istrinya baru
diperkenankan kembali ke kayangan apabila anak-anaknya nanti telah dirajakan di
dunia.
Batara
Nayakesuma melaksanakan perintah itu. Ia dan istrinya turun ke Mayapadi.
Setelah beberapa lama tinggal di Mayapadi, Batara Nayakesuma pun dikaruniai
anak sebanyak lima orang, empat orang anak laki-laki dan satu perempuan.
Setelah cukup umur, kelima anak tersebut dirajakan.
Anak
pertama diserahi Kerajaan Kuripan. Anak kedua menjadi raja di Kerajaan Daha.
Anak ketiga memerintah di Kerajaan Gegelang. Anak keempat menjadi raja di
Kerajaan Singasari. Anak kelima seorang wanita bernama Ratu Emas memimpin di
Panggung Wetan. Semua kerajaan tersebut dilengkapi hulubalang, dayang-dayang,
perlengkapan lainnya sebagaimana sebuah kerajaan yang agung.
Keempat raja tersebut memerintah bersama-sama permaisuri masing-masing. Setelah semuanya ditetapka, maka Batara Nayakesuma dan istrinya kembali ke kayangan, tempatnya semula. (Halam 1-2 pada naskah Inu Kertapati atau Hikayat Galuh Digantung).
Ringkasan
Bagian Akhir.
Pada
pagi yang cerah, berangkatlah rombongan para ratu itu menuju Kuripan untuk
mengantar Sang Nata dan Permaisurinya. Setelah itu, ketiga Sang Nata dan
Permaisuri serta ratu-ratu muda yang lainnya, berangkat dari Kuripan menuju
kerajaannya masing-masing. (halaman 359-376).
Hikayat
Galuh Digantung kemungkinan adalah naskah cerita wayang Palembang. Mengingat di
Palembang adanya wayang khas Palembang. Sultan Palembang yang keturunan dari Pulau Jawa membawa kebiasaan budaya
setempat. Sehingga terjadi perpaduan antara budaya Melayu dan Jawa di
Palembang. Palembang dimana wilayah kebudayaan Melayu menyerap unsur budaya Jawa.
Kebiasaan lidah Melayu adalah berubahnya kata-kata dengan pengucapan dalam
waktu lama.
Dalam
jalan cerita sangat kental dengan kebudayaan kepercayaan hindhu. Seperti adanya
nama-nama Batara Kala, Batara Guru, dan lainnya. Nama tempat seperti Kerajaan
Mayapadi. Pulau Nusasari tempat dewa kesuburan tempat meminta keturunan.
Persembahan
sebagai syarat terkabulkannya doa dengan memberikan banyak sapi, kambing,
kerbau yang bertanduk emas. Pengaru kebudayaan Jawa seperti penggunaan istilah
Ratu untuk gelar bangsawan atau raja. Nama awalan Ken, Tambakbaya, dan banyak
lagi.
Dalam
rangkaian jalan cerita ini adalah bentuk cerita kepercayaan Hindhu. Kemungkinan
naskah cerita terinspirasi dari naskah-naskah kesastraan hindu lain atau memang
terjemahan dari naskah sastra Hindhu, seperti Hikayat Panji.
Lima
anak Batara Nayakesuma mengingatkan kita pada dongeng Pandawa Lima. Unsur
kepercayaan, istilah nama-nama tempat, nama peran tidak ada pengislaman. Hanya
bahasa saja dalam cerita menggunakan Bahasa Melayu dengan aksara Arab Melayu.
Selain
itu, pengaruh Melayu dalam kepenulisan juga kental dengan bahasa tulis bahasa
Melayu dan banyak logat Melayu di Palembang. Mengingat naskah ini memang
ditulis oleh orang Palembang, Kemas Abdulhamid bin Kemas Hasan di Kampung 7 Ulu.
Ciri khas sastra Melayu klasik selalu diawali dari syair atau pantun,
sebagaimana naskah Hikayat Galuh Digantung ini.
Sekedar informasi bagi yang ingin meminjam dan mengetahui lebih lanjut. Dapat meminjam buku transliterasi di Perpustakaan Daerah Provinsi Sumatera Selatan. Mengingat buku ini diterbitkan proyek kementrian Pendidikan. Kemungkinan dapat dijumpai di setiap perpustakaan daerah di Seluruh Indonesia terutama di Perpustakaan Nasional Pusat.
Oleh.
Tim Apero Fublic.
Editor.
Desti. S.Sos.
Fotografer.
Dadang Saputra.
Palembang,
3 Agustus 2020.
Sumber:
Nafron Hasjim. Hikayat Galu Digantung. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1984.
Sy. Apero Fublic.
Post a Comment