Petani Ladang: Permasalahan Sosial, Ekonomi, Kultural dan Lingkungan Hidup.
Sistem
mata pencaharian hidup ladang berpindah sudah menjadi budaya masyarakat di Asia
Tenggara dan dunia sejak dahulu kalah. Sistem ladang berpindah adalah cara
bertani tertua yang dilakukan manusia.
Ladang
berpindah menjadi budaya agraris yang sudah dilakukan turun temurun Indonesia.
Seiring waktu, budaya agraris ladang berpinda mulai berkurang. Ketika manusia
semakin banyak, lahan menyempit. Munculnya kehidupan kota, lalu muncul ekonomi industri.
Ditemukanya
sistem irigasi dan persawahan membuat budaya ladang berpindah kembali
berkurang. Penanaman padi lebih modern dan dapat dipanen dua sampai tiga kali
setahun untuk satu lokasi tanam.
Petani
Ladang berpindah terus menurun saat pemerintah mulai menetapkan adanya hutan
lindung dan hutan negara. Petani ladang tidak lagi dapat bertani dengan cara
berpindah-pindah sepanjang tahun seperti dahulu. Mereka hanya dapat bertani
pada tanah milik pribadi mereka.
Penduduk
mulai menanami tanah mereka dengan tanama keras, seperti karet, sawit, kopi.
Tanah mereka dapat dari warisan atau membeli milik orang lain. Seiring waktu
semua tanah pertanian yang dimiliki rakyat berubah menjadi perkebunan milik
rakyat (karet, kopi, dan sawit). Mereka masih melakukan pertanian ladang untuk
membuka sisa hutan mereka atau untuk peremajaan tanaman karet, kopi, sawit
(1990-2020).
Selain peremajaan tanaman kebun mereka (karet). Petani juga mendapat pendapatan dari hasil ladang mereka. Hal yang mereka harapkan pertama adalah menanam padi. Karena akan membantu kebutuhan pokok keluarga. Kemudian dari hasil ladang seperti sayuran, umbi-umbian, pisang dan lainnya. Mereka dapat menjual dan untuk konsumsi mereka.
B.Ladang
Berpinda Tidak Ada Lagi.
Ladang
adalah sebuah tempat bercocok tanam berupa tanah terhampar dengan luas lebih
dari setengah hektar. Berpindah adalah bergeraknya sebuah objek dari tempat
semulah ke tempat lain. Dapat disimpulkan petani ladang berpindah adalah petani
yang melakukan cocok tanam dengan berpindah-pindah tempat bercocok tanam.
Pera
petani ladang berpindah mereka hidup dari hasil pertanian mereka. Tidak
meninggalkan jejak pada tempat bekas mereka berladang. Satu ladang hanya
ditempati satu tahun dan paling lama tiga tahun. Petani ladang berpindah
membuka hutan setiap tahun pada musim kemarau. Karena diperlukan membersihkan
ladang dengan cara membakar.
Cara
bertani tersebut mereka lakukan setiap tahun. Karena mereka harus menanam padi
untuk kebutuhan pokok. Tanah ladang hanya dapat ditanami padi, sayuran,
umbi-umbian hanya satu kali. Tanaman kedua pada satu ladang tingkat kesuburan
tanah sudah berkurang. Sehingga tanaman menjadi tidak subur lagi. Maka petani
ladang membuka hutan lagi untuk bercocok tanam lagi. Sehingga mereka disebut
petani ladang berpindah.
Sistem
ladang berpindah sudah tidak ada lagi zaman sekarang. Kemungkinan di pedalaman Papua
atau kalimantan masih ada. Tapi di Sumatera dan Jawa tidak ada lagi. Sebab
hutan telah memiliki batas maksimal. Pertama dimiliki oleh masyarakat,
diusahankan Badan Usaha, dan Milik Negara seperti lahan gambut dan hutan
lindung.
Sehingga petani ladang berpindah tidak ada lagi. Tinggal petani ladang yang melakukan peremajaan kebun mereka atau tanam ulang tanaman karet, kopi, sawit dan lainnya. Sebutan sebagai petani ladang berpindah sudah tidak tepat lagi. Bolah dikatakan sistem ladang berpindah sudah tidak ada lagi.
C.Tuduhan
Penyebab KARHUTLAH.
Petani
ladang selalu dituduh penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut, lahan
rawa-rawa di musim kemarau. Karena bertepatan dengan musim petani ladang
membuka tanah mereka untuk ditanami atau melakukan peremajaan perkebunan
mereka.
Sebelum
pemerintah memberlakukan Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
(Pasal 26). Aktivitas pembukaan lahan perkebunan dilakukan dengan membakar
lahan perkebunan mereka. Lahan yang luas jutaan hektar dibakar sekaligus di
berbagai tempat. Untuk membuka perkebunan sawit dan perkebunan karet. Menyebabkan
bencana asap disepanjang tahun. Namun, pencemaran udara atau bencana asap akibat
perbuatan mereka dituduhkan pada para petani ladang biasa di pedesaan. Dimana
ladang mereka hanya seluas dua atau tiga hektar saja.
Siapa
yang menuduh petani ladang penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut. Pertama
para awak media massa yang tidak tahu menahu tentang hal yang sebenarnya. Kedua
para pengamat dadakan yang tidak mengerti apa-apa. Karena dalam pemikiran
mereka petani ladanglah yang selalu membakar tempat mereka bercocok tanam.
Di
tahun 2019 kembali terjadi kebakaran lahan gambut dan hutan negara di Sumatera
dan Kalimantan. Kemarau terjadi hampir enam bulan. Sehingga hutan menjadi
kering dan rawan kebakaran dimana-mana. Bencana kabut asap terjadi dan
menyebabkan terganggunya aktifitas masyarakat luas. Kembali, yang dituduh penyebab
kebakaran adalah para petani ladang. Kemudian banyak petani ladang yang ditangkap
dan dihukum karena mereka berladang di tanah milik mereka.
Yang
kita perlu pikirkan; Benarkah petani ladang yang menyebabkan kebakaran hutan
negara dan kebakaran lahan gambut yang luas?. “Lalu bagaimana api ladang
masyarakat yang berjarak puluhan kilometer bahkan ratusan kilometer dapat
membakar lahan gambut yang terletak di dataran rendah sedangkan ladang ada
pegunungan?.
Benarkah api pembakaran ladang menyebabkan bencana asap seperti tahun 2019. Mengapa tahun 2018 tidak ada bencana asap sedangkan aktivitas berladang terus aktif sepanjang tahun?.
D.Seni Berladang
Petani
ladang dalam membuka ladang untuk ditanami memiliki seni atau tata cara. Bukan
seperti yang dipikirkan orang yang besar di kota atau orang yang tidak tahu
mengenai bagaimana berladang. Orang yang besar di kota berpikir kalau petani
ladang hanya membakar begitu saja tempat yang mereka akan tanami.
Pemikiran
pengamat dadakan atau wartawan anak kota terhadap petani ladang. “Hutan
ditebang, setelah kering lalu dilempar api dan terbakar. Lalu api menjalar
kemana-mana. Membakar seluas-luasnya dan api merambat kemana-mana. Sehingga
terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan.”
Tidak
demikian anak kota. Petani ladang dalam membuka ladang mereka memiliki tata
cara. Mereka juga orang-orang yang berakal sehat dan tidak ingin terjadi
bencana kebakaran. Mereka juga mempunyai akal sehat seperti Anda.
Hal
pertama yang mereka lakukan dalam pembukaan ladang. 1.Menebas. Yaitu,
proses membabat semak-semak sehingga tinggal pepohonan besar saja.
2.Menebang.
Yaitu proses menebang pohon-pohon di lokasi ladang.
3.Meredah.
Yaitu proses memotong dahan-dahan pohon yang sudah ditebang. Dahan-dahan ditata
dan dirapatkan atau ditempatkan pada yang tidak ada dedaunan. Hal demikian
dilakukan untuk memaksimalkan pembakaran nanti.
4.Kekas.
Setelah lokasi berladang sudah ditebangi dan pepohonan terhampar, kering.
Mendekati waktu pembakaran pemilik ladang membuat kekas. Kekas adalah lokasi di
pinggir bakal ladang yang dibersihkan mengelilingi selebar tiga meter. Fungsi
kekas agar api tidak merambat keluar dari lokasi ladang.
5.Jarinjing. adalah semak dan pepohonan yang masih dimiliki peladang yang tidak ditebang untuk melindungi pepohonan atau tanaman disekeliling. Terutama disekeliling bakal ladang ada kebun milik orang lain. Jarinjing juga dibuat di ujung mata angin. Untuk mencegah api menyeberang keluar kekas.
E.Proses
Pembakaran
Proses
pembakaran petani ladang selalu saling membantu. Baik itu sesama petani,
keluarga, tetangga, dan masyarakat lainnya. Membakar lahan membudaya dengan
istilah nunu (membakar). Penduduk membantu sebagai relawan, membayar
hutang hari karena pernah dibantu juga atau mengambil hari karena dia juga
nantinya meminta dibantu dalam proses membakar.
Komando
pembakar akan membagi tim. Ada tim pembakar dan tim penjaga. Di ujung mata
angin sudah siap orang memantau. Persiapan membakar, air untuk memadamkan api,
pompa air, penggebuk api seperti karung goni basa, atau raket bambu. Setelah
api padam warga yang membantu dihidangkan bubur oleh tuan rumah. Kemudian yang
lain pulang dan pemilik ladang tetap berjaga-jaga sampai malam hari.
Penduduk sangat berhati-hati dan mereka juga mengerti kebakaran bukan hal baik. Mereka juga tidak ingin menyebabkan kebakaran. Mereka juga memiliki akal sehat. Apalagi kalau disekeliling bakal ladang mereka kebun milik orang lain. Tentu mereka tidak mau mengganti milik orang akibat kebakaran api ladang mereka.
F.Mengapa
Membakar Saat Beradang.
Tentu kita bertanya-tanya mengapa petani ladang selalu membakar setiap kali mereka membuka ladang. Apa alasan mereka sehingga membakar saat berladang. Berikut ini jawabannya.
1.Mengurangi
Pertumbuhan Rumput Liar
Membakar untuk menekan pertumbuhan rumput liar atau jenis tumbuhan lainnya. Tanah yang tidak terbakar sangat subur ditumbuhi tetumbuhan. Karena kecambah tumbuhan yang tersimpan di dalam tanah segerah tumbuh saat tanah terbuka. Sehingga sangat sulit dikendalikan apabila tanah tidak dibakar. Sekaligus menghemat biayah dalam menanggulangi pertumbuhan rumput liar.
2.Untuk
Penyubur Tanah Lahan Pertanian.
Pembakaran
juga untuk penyuburan tanah ladang. Semakin baik pembakaran semakin subur tanah
ladang. Masyarakat mengistilahkan dengan membakar motong. Abu sisa pembakaran
menjadi pupuk tanah.
Sekaligus unsur mineral tanah mudah diserap dan diolah oleh tanaman. Sehingga tanaman seperti padi, sayuran, umbi-umbian tumbuh subur. Kalau tidak dibakar tanah ladang tidak subur untuk tanaman.
3.Membersihkan
Ladang
Petani
membakar bakal ladang untuk membersihkan bakal ladang dari rerantingan, daun,
dan dahan pepohonan yang ditebang. Dengan membakar pengolahan ladang menjadi
mudah dan berbiayah murah. Saat mulai turun hujan mereka sudah mulai menanam
tanaman.
Apabila sudah dibakar dedaunan dan dahan pohon habis. Sisa batang pohon mudah mereka mengolahnya untuk dijadikan pagar. Tidak ada lagi hal yang mengganggu saat mereka mengakat dan memindahkan batang pohon untuk membuat pagar. Pagar untuk menanggulangi hama babi hutan yang buas.
G.Permasalahan
Sosial Pertanian Berladang
Dalam
permasalahan petani ladang yang tidak dapat membakar ladang mereka. Maka
otomatis terganggunya sistem ekonomi mereka. Karena takut dengan hukum mereka
akan menghentikan aktivitas berladang. Apa saja dampak dari terganggunya sistem
ekonomi petani ladang.
1.Terganggunya
Peremajaan dan Penanaman.
Petani
ladang berpindah tidak ada lagi di zaman sekarang. Sebab hutan sudah memiliki
batas maksimal. Sekarang yang ada tanah milik rakyat, seperti perkebunan milik
mereka pribadi atau sisa tanah warisan atau hasil membeli dari tetangga mereka.
Tanah yang sudah menjadi kebun karet, memiliki batas maksimal.
Sehingga
tiba waktunya untuk mereka menanam kembali atau peremajaan. Karena umur,
produktivitas kebun menurun dan banyak yang mati. Saat inilah mereka akan
membuka ladang pada kebun mereka. Begitu juga dengan perkebunan lain, misalnya
perkebunan buah-buahan, kopi.
Begitu juga dengan petani yang mendapat hutan warisan atau hasil membeli milik orang. Mereka memulai mengusahakan tanah hutan mereka. Biasanya hutan warisan tidak begitu luas, beberapa hektar diantara perkebunan milik orang. Mereka akan mengusahakan dengan cara berladang. Seperti menanam karet atau tanaman lainnya. Hanya dengan ladang dan membakar mereka dapat membuka tanah mereka. Karena berbiayah murah dan mudah.
2.Konflik
Sosial Pemerintah-Petani Ladang.
a.Konflik
Sosial.
Konflik bukan permasalahan kekerasan saja. Tapi konflik berupa hubungan sosial antar kelompok, seperti terjadinya kesenjangan sosial. Konflik sosial dapat berupa terjadinya kemiskinan akibat kebijakan salah oleh pemerintah. Apabila pemerintah memiliki kebijakan yang menyebabkan kemiskinan pada masyarakatnya. Maka pemerintahan itu disebut dengan Pemerintahan Gagal.
b.Konflik
Fisik.
Konflik
fisik dapat berupa terjadinya kemarahan masyarakat lalu melakukan tindakan yang
melanggar hukum. Pelampiasan terhadap petugas hukum atau LSM. Maka disebut
konflik fisik individu. Karena merasa tertekan, beban hidup yang berat,
terganggunya ekonomi keluarga. Akan muncul tindakan spontan dari petani
tersebut.
Atau
muncul kerusuhan masalh dimana individu itu bersatu lalu menentang pemerintah.
Kerusuhan bukan hanya menyebabkan kerugian moral dan materi. Tapi juga
mencoreng wajah pemerintah sendiri. Konflik dengan petani berarti Pemerintah
sudah sangat tidak mampu berbuat untuk negara lagi. Konflik dengan petani
biasanya berkaitan dengan kemiskinan.
H.Spekulasi
Pribadi.
Berikut
adalah spekulasi pribadi dengan mengistilahkan kalau rakyat adalah perr.
Sedangkan perut, wanita, agama adalah tenaganya. Perr adalah objek yang lentur
namun kuat. Dapat ditekan apabila penekan kuat dan berat. Namun apabila penekan
kalah berat atau kala kuat. Maka perr akan menerjang dan mendorong sehingga
beban akan mental.
Mengapa
tidak, ketika penduduk berpikir hidup semakin sulit. Membuka tanah mereka
sendiri untuk ladang tidak bisa. Sementara kebun semakin menua semua. Harga
karet murah dan sembako semakin mahal. Membuat masyarakat peladang memiliki
psikologis yang sama. Akan mengerikan sekali kalau rakyat mengamuk.
Sumatera Selatan adalah provinsi zero komflik. Bukan berarti potensi konflik itu tidak ada. Sumatera Selatan Harimau Tidur. Hanya saja sifat individualisme penduduk Sumatera Selatan yang besar. Sehingga kurang begitu peduli dengan isu-isu politik, agama, dan ras. Sepanjang tidak mengganggu masalah perut, wanita mereka dan agama. Sumatera Selatan akan aman dan tentram.
I.Produktivitas
Peladang.
1.Dikhawatirkan
punahnya tanaman pangan tradisonal di masyarakat. Seperti jenis umbi-umbian dan
sayuran-sayuran yang ada di masyarakat. Karena saat petani ladang berhenti maka
tanaman juga berhenti ditanam. Umbi-umbian milik masyarakat perlu dilestarikan
untuk menguatkan pangan rakyat.
2.Terhentinya
produktifitas masyarakat dalam peremajaan dan penanaman perkebunan masyarakat.
Masyarakat per-individu tidak mampu membiayai pembukaan lahan dengan cara
industri.
3.Semua
penduduk menjadi ketergantungan bahan pangan dari daerah lain dan dari
pemerintah. Karena penduduk tidak lagi memproduksi kebutuhan sayur mereka
sendiri, padi. Untuk petani miskin biayah hidup mereka akan meningkat karena
semuanya harus membeli.
J.Pertimbangan-Pertimbangan
Kita Pada Petani Ladang.
1.Melakukan
pendataan oleh pemerintah setempat apabila ada penduduk yang membuka tanah
untuk ladang.
2.Melakukan
pendampingan. Baik oleh kelompok LSM, TNI dan POLRI, Pemerintah Setempat saat
pembakaran lahan ladang.
3.Penjagaan
tempat-tempat yang berdekatan dengan lahan gambut, hutan lindung, perkebunan
industri. Apabila berdekatan dengan ladang milik masyarakat.
4.Meminta
peladang menerapkan seni berladang. Seperti membuat kekas, jarinjing,
dan bersiap siaga saat membakar ladang.
5.Pemerintah juga memantau dengan mempersiapkan personil khusus pemadam api apabila terjadi kebaran disekitar. Seperti halnya pemadam kebakaran. Apabila api tidak dapat dikendalikan masyarakat setempat.
K.BMKG
dan Hujan Buatan
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geopisika tentu dapat memperkirakan iklim dan cuaca. Kapan pergantian musim dan perubahan cuaca. Setelah mengetahui prakiraan kemarau tahunan, seumpamanya kemarau akan mencapai empat bulan. Maka pemerintah dan pihak terkait harus mulai mengambil antisipasi.
Mulai melakukan operasi
hutan oleh TNI dan POLRI, bekerja sama dengan masyrakat di kawasan. Pemantauan
hutan lindung, kawasan lahan gambut, atau wilayah rawan kebakaran misalnya
perkebunan luas. Kemudian teknologi hujan buatan juga harus dipersiapkan dengan
matang.
Apabila sudah satu bulan hujan tidak turun. Maka kondisi di dalam hutan sudah kering. Dimana sungai kecil, paya-paya, lebung, rawa-rawa, benca, bencani tidak lagi digenangi air. Semak-semak sudah meranggas dan kering. Kebakaran menunggu waktu saja.
Sebelum kebakaran di lahan gambut, di hutan lindung. Maka hujan buatan
dilakukan dikawasan tersebut. Jangan menunggu kebakaran terjadi atau setelah
bencana kabut asap melanda baru ada hujan buatan, seperti di tahun 2019.
Hal yang perlu dipertanyakan: Apakah petani ladang yang bersalah?. Apa pemerintah yang tidak mengerti?. Benarkah petani ladang penyebab kebakaran hutan negara dan lahan gambut?. Dimana lokasi lahan gambut dan dimana lokasi ladang petani?. Dapatkah api terbang sejauh puluhan kilometer atau ratusan kilometer ke lahan gambut saat petani ladang membakar ladangnya?.
K.Kajian
Hukum:
1.Undang-Undang
No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan: Pasal50 Ayat 3 d. Pelarangan membakar
hutan. Diancam hukuman pidana penjara paling lama 15 tahun penjara atau denda
paling banyak lima miliar rupiah (Ketentuan pidana Pasal 78 ayat 3).
2.Undang-Undang
No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Pasal 1: Pelaku Usaha Perkebunan adalah Pekebun
dan perusahaan perkebunan yang mengelolah usaha perkebunan. Pasal 1 ayat 5: Pekebun
adalah: perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan
dengan skalah usaha tidak mencapai skala tertentu.
Pasal
1 ayat 6 menjelaskan: Perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha
perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelolah usaha perkebunan dengan skala tertentu.
Dilanjutkan
lagi dengan Pasal 7: Skala Tertentu adalah skala usaha perkebunan yang didasarkan
pada luasan lahan usaha, jenis tanaman, teknologi, tenaga kerja, modal,
dan/atau kapasitas pabrik yang diwajibkan memiliki izin usaha.
Dalam
pembukaan lahan perkebunan dilarang membakar. Sesuai dengan pasal 26 : Setiap
pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan
cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi
lingkungan hidup.
Pasal
20 pelaku usaha perkebunan melakukan pengamanan usaha perkebunan
dikoordinasikan oleh aparat keamanan dan dapat melibatkan bantuan masyarakat di
sekitarnya. Pasal 44 (1). Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perkebunan
dilakukan oleh Pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Mengambangnya
pengertian kata lahan. Lahan di dalam hukum yang bagaimana. Apa lahan gambut,
apakah lahan rawa-rawa, apakah hutan negara. Apakah ladang masyarakat yang cuma
dua hektar juga masuk lahan yang dimaksud. Apakah lahan tidur, apakah
perkebunan milik rakyat.
Undang-Undang
No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal
108: Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat 1 hurup (h), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000.00
(tiga miliar rupiah).
Peraturan
Daerah Provinsi Sumatera Selatan Nomor 8 Tahun 2016. Tentang Pengendalian
Kebakaran Hutan dan/Atau Lahan. Pasal 3 ayat 1: Setiap orang atau badan hukum
dilarang membakar hutan/atau lahan. Pada pasal 6 penerapan lahan tanpa bakar.
Untuk petani ladang tidak mungkin dilakukan. Karena tanah yang tidak dibakar sulit untuk olah. Sulit ditanami, dan masyarakat tidak ada biaya. Seharusnya dilakukan studi mengapa peladang membakar. Padahal dilingkungan masyarakat sudah hampir tidak ada lagi hutan. Karena sudah menjadi perkebunan milik rakyat atau Perusahaan.
L.Kesimpulan.
Kebakaran
hutan negara, lahan gambut, hutan lindung, hutan pegunungan dalam skala luas
yang menyebabkan bencana kabut asap bukan disebabkan pembakaran lahan peladang
di kawasan pemukiman penduduk. Tapi kebakaran disebabkan perbuatan kriminal
atau akibat alami.
Kita
berikan ilustrasi: Beberapa penduduk membuka lahan ladang di sekitar desanya.
Ilustrasikan saja ladang mereka di sekitar desa Tebing Bulang, Kecamatan Sungai
Keruh. Menerapkan sistem budaya masyarakat dalam membakar. Lalu mereka
menerapkan seni berladang. Seperti membuat kekas, jarinjing, menjaga api. Setelah
itu, pemilik ladang menjaga ladang bermalam. Karena dia takut masih ada api
lalu meramba kebun karet disamping ladangnya.
Setelah
masyarakat itu membakar ladang di kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi
Banyuasin. Lalu terjadi kebakaran di lahan gambut, di hutan negara, hutan
rawa-rawa dipinggir laut. Sedangkan jarak ladang penduduk disekitar desa mereka
dengan jarak puluhan atau ratusan kilometer. Apakah api ladang mereka dapat
terbang ke lahan gambut atau ke hutan negara.
Di
lansir dari Kompas di tahun 2019 seluas 161,476 hektar terbakar. Yang
menyebabkan peningkatan emisi karbon dioksida yang berbahaya bagi lingkungan.
Kawasan gambut, kawasan hutan lindung, kawasan hutan negara tidak huni. Kalau
kita lihat, kebakaran disebabkan kelalaian pemerintah.
Di
kawasan perkebunan milik rakyat, milik perusahaan menjaga sendiri. Peraturan Pemerintah
dan Undang-Undang KARHUTLAH harus tepat. Bukan perbaikan, tapi justru
menyusakan rakyat dan tidak menyelesaikan mencegah kebakaran yang disebabkan
pelanggaran hukum dan kecerobohan individu.
Hal
yang penting adalah membuat kejelasan perusahaan-perusahaan perkebunan
disekitar lahan gambut dan hutan lindung. Baik itu ukuran luas dan patok batas.
Agar tidak terjadi perambahan yang akan dituduhkan pada rakyat, petani ladang.
Pemerintah dapat antisipasi kebakaran hutan negara, lahan gambut, hutan rawa-rawa dengan menerapkan teknologi hujan buatan satu bulan setelah tidak turun hujan. Lalu menerjunkan tim patroli TNI atau Brimob operasi penjagaan hutan di musim kemarau.
Atau pemerintah membuat petugas kontrak hanya di musim kemarau untuk menjaga hutan. Sebab kebakaran hutan negara dan lahan gambut adalah tanggung jawab pemerintah. Pelakunya kriminal bukan petani.
Oleh.
Joni Apero
Palembang,
20 Juli 2020.
Sy.
Apero Fublic.
Post a Comment