Review Novel Para Priayi.
Sastrodarsono sebagai tokoh utama diceritakan sebagai anak dari keluarga buruh tani yang disekolahkan dan didukung oleh Asisten Wedana Ndoro Seten, priyayiagung, majikan orang tuanya. Hingga akhirnya setelah menyelesaikan studi Sastrodarsono menjadi guru besar.
Dari sinilah kemudian Satrodarsono sebagai yang pertama membuka jalan dinasti kepriyayian untuk keluarganya yang berasal dari kalangan bawah. Memasuki dunia elit birokrasi sebagai priyayi pangreh praja. Sebelum lebih jauh membahas novel ini, saya akan menjelaskan terlebih dahulu bahwa priyayi sebetulnya terbagi menjadi dua golongan secara umum.
Pertama adalah priyayi yang memiliki darah keturunan dari keraton, sehingga status kebangsawanannya diwariskan turun menurun. kemudian yang kedua adalah priyayi yang diangkat oleh kolonial dan diperkerjakan di pemerintahan, biasanya ditempuh melalui sistem sekolah yang dibuat oleh kolonial itu sendiri.
Sastrodarsono sebagai tokoh utama dari novel ini merupakan priyayi yang diangkat kehormatannya oleh kolonial, karena telah menyelesaikan sekolahnya sehingga menjadi kaum terpelajar. Hal ini yang patut dicatat bahwa priyayi sebagai sebuah strata sosial, sebagai sebuah elit sosial memiliki keterbukaan untuk dimasuki oleh kalangan bawah.
Disinilah kita akhirnya paham bahwa pendidikan adalah alat utama untuk memasuki dunia priyayi pada masa kolonial. Setelah menyelesaikan studi, anak dari kalangan bawah barulah mendapat rekomendasi dari satu priyayi untuk diperkerjakan di kantor atau sebagai abdi gupernemen. Untuk menyempurnakan status priyayi, hal terakhir yang dibutuhkan adalah pernikahan dengan anak dari keluarga priyayi juga.
Kasus Sastrodarsono dalam tokoh novel ini adalah bagaimana kalangan bawah bisa mencapai strata priyayi. Dunia yang sangat berbeda akan dialami Sastrodarsono, bisa dilihat dari nasihat Ndoro Seten yang menyekolahkan dan mengusahakannya agar bisa menjadi guru.
"Kau tahu Le. Ini langkah yang sangat penting dalam hidupmu. Kau
mulai masuk dalam kalangan priyayi. Kau bukan petani
lagi. Diingat-ingat itu, Le. Duniamu mulai sekarang akan lain.
Tahulah membawa diri dalam dunia yang baru ini. Kalau kau hati-hati,
jujur dan setia kepada atasan dan peraturan Gupernemen pasti kau
akan berhasil naik pangkat. Jalan menuju dunia priyayi sekarang
ada di depanmu, Le." (Kayam, 2012: 42).
Pada Novel ini juga Umar Kayam begitu lihai menggambarkan spesifik kehidupan para priyayi, sehingga saya sebagai pembaca bisa memvisualkan secara jelas kehidupan dimasa itu. Para priyayi setidaknya memiliki beberapa kode sosial yang membuat mereka bisa dikenal sebagai priyayi.
Pertama adalah pendidikan dan pekerjaan. Para priyayi adalah lulusan sekolah Belanda yang bekerja kepada pemerintahan, tentu bukan untuk pekerjaan kasar, melainkan pekerjaan yang bersifat administratif atau fungsional.
Kedua adalah kaum priyayi memiliki budaya yang khas. Priyayi memiliki kebiasaan-kebiasaan yang menunjukan status dan kelas sosialnya. Suasana rumah maupun pergaulan menjadi salah satu budaya seorang priyayi.
Hal ini juga digambarkan dari tokoh Aisyah istri dari Sastrodarsono yang merupakan anak dari priyayi juga. Bagaimana Aisyah begitu piawai dalam mengelola rumah tangga dan tata cara kehidupan priyayi.
Selain itu Sastrodarsono tidak lepas dari pergaulan kalangan priyayi. Mereka juga memiliki sistem rekreasi yang hanya dilakukan oleh para priyayi saja seperti menghadiri undangan pernikahan, khitanan, atau tedak siten yang dilakukan oleh sesama priyayi. Main kartu juga menjadi sarana hiburan. Adapula kebiasaan yang ilmiah, seperti serasen untuk mendiskusikan persoalan filsafat, moral, sastra dan politik.
Ketiga para priyayi juga memiliki budaya yang didasari oleh cara berbahasa dan bersikap secara halus. Jadi priyayi harus mampu untuk membawa diri dan mengendalikan perasaan. Selain faktor pendidikan dan gaya hidup, sebuah norma juga harus diterapkan oleh priyayi khususnya dari gaya bahasa dan tingkah laku.
Pada novel ini umumnya memiliki tiga elemen penting dalam pembangunan alurnya, yaitu usaha Sastrodarsono dalam mencapai derajat priyayi, kemudian kesadaran Sastrodarsono untuk membangun dinasti priyayi dengan menjadikan anak-anaknya sebagai priyayi.
Dan yang terakhir adalah etos priyayi yang membedakan kehidupannya dengan kehidupan rakyat biasa, seperti status orientasi, mempertahankan trah, Sakralisasi, Tirakat, Kesetian dan pengabdian kepada pekerjaan, paguyuban dan banyak hal lainnya.
Dalam novel ini Umar Kayam secara meyakinkan mampu memberikan potret masyarakat jawa yang diabadikan melalui fiksi. Meski novel ini bukan sebuah karya sastra yang dipengaruhi oleh teks-teks Jawa yang lahir pada masa lampau, akan tetapi upaya merekonstruksi kehidupan kelompok sosial tertentu di masyarakat Jawa tergambar sangat kental.
Reviewer. Arip Muhtiar, S.Hum.
Sy. Apero Fublic.
Post a Comment