Sastra Klasik Nusantara: Geguritan Pakang Raras.
Geguritan
adalah sastra berbentuk lirik terikat (tembang). Apabila sastra tersebut
berbentuk prosa maka diistilahkan dengan, satua. Satua adalah
jenis cerita dongeng dalam masyarakat Bali.
Geguritan
terbentuk oleh pupuh. Pupuh adalah istilah sub-sub bab tapi dengan konsisten
atau monoton untuk semua jenis geguritan. Geguritan apa pun judul dan tema ceritanya
pupuh tetap konsisten.
Misalnya
pada Geguritan Pakang Raras ada pupuh pangkur, pupuh ginada di karya sastra
lain juga menggunakan pupuh tersebut. Kalau sastra modern sub-sub bab akan
menampilkan judul berbeda sesuai pembahasan. Pupuh diikat oleh tiga unsur,
pertama unsur jumlah baris (carik), kedua jumlah suku kata (kecap), dan ketiga
bunyi akhir setiap baris.
Geguritan
Pakang Raras bercerita tentang kisa cinta putra mahkota Kerajaan Jenggala di
Bali, bernama Raden Mantri Koripan, dengan Raden Galu Daha di Kerajaan Kerajaan
Kediri. Kedua kerajaan yang berseberangan di selat Bali.
Kisah
bermulah saat Raden Mantri Koripan pergi berburu. Kemudian datang angin topan
yang besar. Lalu Raden Mantri Koripan pingsan dan tubuhnya melayang dibawa
angin lalu jatuh di taman Putri Raden Galuh Daha. Raden Mantri Koripan tidak
mengakui kalau dia seorang putra raja Jenggala. Namanya, dia ganti menjadi
Pakang Raras.
Dari sinilah judul naskah diambil, Geguritan Pakang Raras. Cerita geguritan Pakang Raras adalah bentuk saduran dari Cerita Panji dari sastra klasik nusantara. Naskah ini, terdiri dari 623 bait pupuh ginada. Berikut cuplikan, Geguritan Pakang Raras.
1.Ada
Kidung Satwa Mela.
Tutur
Malate kesembir,
Matembang
Ginada reka,
Nanging
twara pasti mupuh,
Suduke
katahan singsal,
“Dewa
Gusti,
Aksama
tityang manyurat.”
Terjemahan.
Tersebutlah
sebuah sajak yang menarik.
Bersumberkan
cerita Malat.
Memakai
tembang Ginada,
Tetapi
tidak sesuai dengan peraturan.
Lebih
banyak yang janggal.
“tuan-tuan,
Maafkanlah
saya mengarang.”
2.Sang
perabu ring Jenggala,
Agunge
manyakrawerti,
Mabala
ndatan paingan,
Madue
putra aukud,
Mapsengan
Mantri Koripan,
Anom
alit,
Wau
ida madwe mendra.
Terjemahan:
Seorang
raja di Jenggala,
Pemerintahannya
sangat luas,
Rakyatnya
tidak terbilang,
Berputra
seorang diri,
Bernama
Mantri Koripan.
Muda
belia.
Baru
belia akil balig.
3.Kadi
Hyang Smara
Ngindarat,
Rupane
twara madenin,
Yening
sasoring akasa,
Tong
ada ratu mamandung,
Sakadi
ring warnanida,
Tuhu
lewih,
Baguse
ngenyudang manah.
Terjemahan:
Bagaikan
Dewa Asmara,
Menjelma,
Wajahnya
tidak ada yang menandingi.
Kalau
di bawah langit.
Tidak
ada raja yang menandingi.
Sebagai
wajah beliau.
Sungguh
elok.
Tampannya
menarik hati.
Cerita
Geguritan Pakang Raras cukup populer dan penting pada masyarakat Bali. Bukan
hanya karena tersebar luas ditengah masyarakat tetapi juga karena geguritan
Pakang Raras memiliki nilai sastra dan budaya.
Geguritan
Pakang Raras juga memiliki ungkapan dan kata-kata asli masyarakat Bali. Karena
ditulis dimana pengaruh budaya luas belum begitu luas. Naskah yang ditulis pada
tahun 1913 Masehi atau 1835 Saka.
Kemungkinan, naskah Geguritan Pakang Raras adalah naskah salinan jauh sebelumnya. Masa penulisan, Pulau Bali belum masuk dalam administrasi Pemerintahan Kolonial Belanda. Sehingga unsur budaya asing belum mempengaruhi bahasa Bali.
Oleh:
Tim Apero Fublic
Editor.
Desti. S.Sos.
Fotografer.
Dadang Saputra.
Palembang.
5 Agustus 2020.
Sumber:
I Gusti Ngurah Bagus. Cerita Panji Dalam Sastra Klasik di Bali. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984.
Sy. Apero Fublic.
Post a Comment