Kontrak Politik: Raja Alim Raja Disembah-Raja Lalim Raja Disanggah.
Apero Fublic.- Palembang. Perjalanan Bangsa Melayu (Indonesia) sudah berlangsung ribuan tahun lalu. Telah bermunculan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Dalam perjanan politik bangsa Melayu ada kontrak politik antara rakyat dan penguasa. Rakyat dan penguasa harus mematuhi kontrak politik tersebut. Kalau tidak mematuhinya, maka bencana dan malapetaka akan datang. Hukuman Tuhan akan datang untuk menghukum rakyat atau sang penguasa.
Kontrak
politik bermulah pada masa lampau di negeri Melayu, Palembang. Palembang adalah
peradaban awal dari Bangsa Indonesia. Di mulai dari Kedatuan Sriwijaya, adalah negara
tradisional pertama Indonesia yang menyatukan Nusantara. Meliputi Pulau
Sumatera, Jawa, Papua, Kalimantan, Sulawesi dan Semenajung Malaysia, juga sekitarnya.
Kontrak
politik pertama orang Indonesia bermulah dari kronik Demang Lebar Daun di
Palembang. Perjanjian antara rakyat dan pemimpin, dilaksanakan. Sumpah setia
disepakati, dan Tuhan menjadi saksi sekaligus hakim. Hukuman akan menimpa kedua
belah pihak apabila melanggar sumpah setia tersebut. Yaitu, kontrak politik
antara Demang Lebar Daun dengan menantunya Sang Sapurba.
Sumpa
setia antara rakyat dan penguasa diikrarkan, setelah Demang Lebar Daun raja
Palembang menyerahkan tahtanya pada menantunya Sang Sapurba, putra Iskandar
Zulkarnain. Permintaan Demang Lebar Daun adalah; kalau anak-cucunya (rakyat)
berbuat salah, hukumlah.
Kalau
perlu dihukum mati sesuai salahnya. Tapi syaratnya jangan dipermalukan, yang
bermakna jangan berbuat melampaui batas. Demang Lebar Daun dalam sumpah setia
itu, memposisikan diri sebagai wakil rakyat.
Sedangkan
Sang Sapurba meminta rakyat agar tidak menjadi rakyat yang durhaka pada rajanya. Tidak Durhaka dalam makna disini adalah menjadi rakyat yang baik, patuh dan setia pada
negara dan pemerintah. Syarat Sang Sapurba diterima Demang Lebar Daun selaku
wakil rakyat.
Waktu
berlalu, kontrak politik berjalan dalam diam dan senyap. Bahkan para pemimpin
dan rakyat sendiri sudah banyak yang lupa dan tidak tahu dengan kontrak politik
ini. Kemudian terjadilah pelanggaran dari kontrak politik tersebut.
******Pelanggaran
Kontrak Politik.
Berawal
dari kisah Wan Anom istri Megat Sri Rama. Dia sedang mengandung anak
pertamanya. Megat Sri Rama adalah seorang Laksamana yang bertugas meronda
perairan Riau. Saat sedang duduk di depan rumah. Lewatlah Penghulu Bendahari
membawa talam berisi buah nangkah untuk dihidangkan pada Sultan Mahmud Syah II.
Sultan saat itu sedang diperistirahatan dikawan hulubalang Sri Bija Wangsa.
Wan
Anom yang sedang hamil, sangat ingin makan buah nangkah masak itu. Kemudian dia
beranikan diri meminta sebiji buah nangka pada Penghulu Bendahari. Karena
kasihan maka penghulu memberikan buah nangka. Betapa girangnya Wan Anom dan
dimakannya dengan lahap.
Penghulu
Bendahari berlalu dan masuk ke kamar Sultan. Sultan bertanya mengapa sudah ada
biji diambil, tidak rata lagi pada potongannya. Penghulu Bendahari menceritakan
dengan jujur. Dia tidak sampai hati pada Wan Anom yang sedang mengidam. Karena
itu adalah kehendak bayi di dalam kandungan Wan Anom.
Mendengar
itu, Sultan Muhmud Syah murka. Hulubalang Sri Bija Wangsa ternyata seorang
penjilat dan pencari muka, dia berkata menghasut. “Pendurhaka, memberi makan
Sultan makanan sisa.” Ujar Sri Bija Wangsa memanasi Sultan dan menjilat.
Bukan
tanpa alasan, Sri Bija Wangsa memang sudah lama iri hati dengan Megart Sri Rama
suami Wan Anom. Sultan yang dihasut dan dipanasi oleh hulubalang iri karena
Megat Sri Rama yang dipercaya Sultan menjadi laksamana.
Sudah
menjadi kebiasaan zaman feodal, kehormatan di simbolkan dari materi dan objek.
Sultan feodal ini merasa dirinya dirinya diberi makanan sisa. Hal tersebut
berkaitan dengan kehormatan dan derajad dirinya yang seorang Sultan. Mana
mungkin seorang Sultan memakan sisa makanan rakyat jelata.
Sultan
bersifat feodal tersebut meminta Penghulu Bendahari memanggil Wan Anom. Karena
lepas kendali Sultan memerintahkan agar membelah perut Wan Anom dibelah. Dia
ingin tahu apakah benar bayinya yang menginginkan makan sebiji buah nangkah
tersebut. Oleh karena itu, Wan Anom dan jabang bayi mati.
Hukuman
Dari Pelanggar Kontrak Politik.
Saat
Megat Sri Rama pulang dari dinas yang membawa rindu pada istrinya. Dia
mendapati cerita menyedihkan yang terjadi pada istrinya. Hanya gara-gara seulas
buah nangka sultan tega membunuh istrinya Wan Anom dengan keji. Laksamana Megat
Sri Rama bertekad menuntut balas.
Megat
mengumpulkan anak buahnya, lalu melakukan konspirasi politik yang berbau
kudeta. Laksamana Megat Sri Rama menemui Tun Abdul Jalil Bendahara Sultan.
Megat Sri Rama bercerita dan akan menghukum raja zalim atau penguasa
pendurhaka. Apabila Sultan Mahmud Syah II tewas maka Tun Abdul Jalil yang akan
menjadi raja.
Laksamana
Megat Sri Rama disuatu kesempatan menghadang iring-iringan Sultan. Dengan
dendam membara dia menyerang sultan. Sultan tewas ditikam oleh Megat Sri Rama.
Sultan Mahmud Syah II tewas terkena tikaman kerisnya. Setelah mati Sultan digelari (posthumous), “Mangkat di
julang (tandu).
Hal-Hal
dan Pertimbangan.
Zaman
kita sekarang sudah tidak terhitung lagi pelanggaran kontrak politik oleh
penguasa. Bahkan lebih dari mengerikan, tapi sudah mulai tidak manusiawi. Kemanusiaan bukan hanya dinilai dari nyawa manusia saja. Tapi prilaku berbuat sewenang-wenang, serakah, buruk dengan kebijakan dan upaya individualistis juga tidak bermoral.
Dengan demikian, apabila rakyat mulai tidak patuh, tidak menghormati, dan mulai melawan pemerintah. Sebaiknya pemerintah mulai mengevaluasi diri. Bukan hanya pemimpin poros seperti Bupati, Gubernur, Presiden, tapi juga para pemimpin lainnya. Apabila gejolak dan tikaman mulai muncul. Tidak mustahil telah terjadi kebiadaban yang mengerikan dibangsa ini.
Pepatah
Melayu, “Raja Alim raja disembah, Raja lalim raja disanggah.” Sebuah kearipan
lokal yang sangat perlu diperhitungkan oleh pemimpin. Bukan hanya itu, sifat neofeodalisme
hendaknya dihilangkan. Agar tidak hanya mementingkan simbol kehormatan melalui
materi dan bentuk objek.
Tetapi mulai dari nilai-nilai luhur sebagai seorang pemimpin yang sebenarnya. Hukum dan keadilan yang perlu ditegakkan. Bukan pencitraan dan bagaimana menggelapkan anggaran-anggaran. Atau mengutamakan jatah-jatah dari proyek-proyek. Dari Sabang sampai Merauke adalah rentang makna pepatah tersebut. Maka sebaiknya dipikirkan oleh kita semua. Sebelum hukum pelanggaran kontrak politik datang.
Post a Comment